Sepanjang sejarah Islam, dinamika pemikiran telah memainkan peran penting dalam membentuk arah peradaban, sistem pengetahuan, dan pandangan dunia umat. Keragaman pemikiran yang muncul dalam bentuk aliran-aliran teologi, filsafat, dan tasawuf mencerminkan pergulatan panjang antara teks wahyu, akal rasional, dan pengalaman spiritual. Dalam peta besar pemikiran Islam, terdapat sejumlah arus utama yang membentuk spektrum ideologis dan metodologis, seperti Jabariah, Qadariah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, sufisme, dan aliran hikmah filosofis.Jabariah merupakan aliran teologi yang berpandangan deterministik. Ia muncul pada awal abad pertama Hijriah, dengan tokoh seperti Jahm bin Safwan. Aliran ini berpendapat bahwa manusia tidak memiliki kebebasan kehendak; seluruh perbuatannya merupakan hasil kehendak dan ciptaan Allah. Dalam pandangan ini, manusia seolah menjadi wayang yang digerakkan sepenuhnya oleh kehendak Tuhan. Implikasinya adalah tidak adanya tanggung jawab moral individual yang otonom, sesuatu yang banyak dikritik karena dapat melemahkan dorongan etis dan pertanggungjawaban sosial.
Di sisi lain, Qadariah muncul sebagai antitesisnya. Aliran ini menegaskan kebebasan kehendak manusia. Tokoh-tokoh seperti Ma’bad al-Juhani dan Ghailan al-Dimasyqi menyatakan bahwa manusia adalah pencipta tindakannya sendiri dan karenanya bertanggung jawab penuh atasnya. Pandangan ini berkonsekuensi politik: dalam konteks kekuasaan Umayyah yang otoriter, Qadariah mendukung gagasan bahwa penguasa pun harus bertanggung jawab secara moral, bukan sekadar dianggap “wakil Tuhan di bumi”.
Dari perdebatan tersebut, muncullah gerakan rasionalisme teologis yang lebih sistematis dalam wujud Mu’tazilah. Didirikan oleh Wasil bin ‘Ata pada abad ke-2 H, Mu’tazilah membangun teologi berdasarkan lima prinsip utama: tauhid, keadilan Tuhan, janji dan ancaman, posisi netral bagi pelaku dosa besar, serta kewajiban amar makruf nahi munkar. Mu’tazilah sangat menekankan keadilan Tuhan—yakni bahwa Tuhan tidak mungkin berbuat zalim. Oleh sebab itu, mereka mengafirmasi kebebasan manusia sepenuhnya dalam bertindak. Bagi mereka, akal mampu membedakan baik dan buruk secara mandiri, sementara wahyu memperkuatnya. Namun, Mu’tazilah juga menimbulkan kontroversi, terutama dalam ajaran bahwa Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan, bukan kekal. Hal ini memicu krisis teologis dan politik besar pada masa Khalifah al-Ma’mun, ketika ajaran Mu’tazilah dijadikan mazhab resmi negara dan menimbulkan represi terhadap ulama yang menolak (MiḼna).
Sebagai tanggapan atas rasionalisme ekstrem Mu’tazilah, muncul Asy’ariyah yang didirikan oleh Abul Hasan al-Asy’ari, seorang mantan penganut Mu’tazilah yang kemudian menempuh jalan tengah. Asy’ariyah mempertahankan supremasi kehendak Tuhan namun mengakui adanya semacam peran manusia melalui konsep kasb—yakni bahwa manusia “memperoleh” perbuatan yang diciptakan oleh Allah. Akal tidak ditolak, tetapi tidak dijadikan sumber normatif atas moralitas secara mandiri. Bagi Asy’ariyah, Tuhan dapat berbuat semaunya, namun secara kebiasaan (uruf) Ia akan bertindak adil. Asy’ariyah menjadi fondasi utama teologi Sunni, terutama setelah didukung oleh tokoh-tokoh besar seperti Imam al-Ghazali dan menjadi dominan di lembaga-lembaga keilmuan Islam klasik.
Sementara itu, jalan spiritual yang ditempuh oleh kaum sufi memberikan dimensi lain dalam peta pemikiran Islam. Tasawuf menekankan pengalaman langsung dengan Tuhan melalui penyucian jiwa dan latihan spiritual. Kaum sufi meyakini bahwa Tuhan adalah realitas mutlak, dan dunia hanyalah pantulan atau manifestasi-Nya. Tujuan hidup bukan hanya kepatuhan normatif, melainkan mencapai fana’ (peleburan diri dalam Tuhan) dan baqa’ (kekekalan bersama-Nya). Pengetahuan spiritual dianggap lebih tinggi daripada pengetahuan rasional dan diperoleh melalui dzikir, khalwat, dan bimbingan spiritual seorang mursyid. Dalam konteks epistemologi modern, pengalaman mistik sufi memiliki kesamaan menarik dengan prinsip-prinsip dalam fisika kuantum modern, seperti non-lokalitas dan interkoneksi realitas, sebagaimana dikemukakan oleh Fritjof Capra dalam The Tao of Physics.
Aliran terakhir dalam peta besar ini adalah aliran hikmah, yakni pemikiran filosofis yang menggabungkan wahyu dengan warisan rasionalisme Yunani. Tokoh-tokohnya seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rushd, menyusun filsafat yang menjelaskan Tuhan sebagai wajib al-wujud (keberadaan niscaya) dan mengembangkan pemahaman tentang jiwa, akal aktif, serta tatanan kosmos secara rasional. Para filsuf Islam percaya bahwa filsafat merupakan jalan menuju kebenaran yang sama tingginya dengan wahyu. Ibn Sina, misalnya, menggambarkan jiwa manusia sebagai substansi abadi yang dapat bersatu dengan akal aktif. Al-Farabi menyusun struktur kenegaraan ideal yang mencerminkan tata kosmos, dan Ibn Rushd membela filsafat secara sistematis melawan tuduhan bid’ah yang dilemparkan oleh al-Ghazali. Filsafat Islam klasik mencapai puncaknya di Andalusia sebelum mengalami kemunduran akibat tekanan dari kaum tradisionalis.
Keseluruhan arus pemikiran ini mencerminkan pluralitas epistemologis dalam Islam. Wahyu, akal, dan intuisi spiritual tidak selalu berjalan seiring, tetapi bersama-sama membentuk jalinan kompleks yang memperkaya khazanah keilmuan dan peradaban Islam. Peta pemikiran dalam Islam tidak tunggal dan linear, melainkan bercabang, saling silang, dan sering kali bersaing secara sengit. Namun justru dalam ketegangan inilah, warisan intelektual Islam memperoleh kedalaman dan daya hidup yang terus berlanjut hingga hari ini.
AOS
Tuesday, November 5, 2019
Peta Pemikiran dalam Islam: Dinamika Aliran-Aliran Teologis dan Filsafat
Sepanjang sejarah Islam, dinamika pemikiran telah memainkan peran penting dalam membentuk arah peradaban, sistem pengetahuan, dan pandangan dunia umat. Keragaman pemikiran yang muncul dalam bentuk aliran-aliran teologi, filsafat, dan tasawuf mencerminkan pergulatan panjang antara teks wahyu, akal rasional, dan pengalaman spiritual. Dalam peta besar pemikiran Islam, terdapat sejumlah arus utama yang membentuk spektrum ideologis dan metodologis, seperti Jabariah, Qadariah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, sufisme, dan aliran hikmah filosofis.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment