Deepak Chopra
Memoar: Kehidupan di Balik Sana
Menulis buku tentang kehidupan setelah kematian membawa saya kembali pada kisah-kisah masa kecil di India. Perumpamaan yang saya dengar—di rumah, kuil, dan sekolah—telah melekat seumur hidup saya. Maka saya pun merangkai buku ini di sekeliling kisah-kisah seperti itu, salah satunya tentang Savitri, seorang wanita pemberani yang berhadapan langsung dengan Yama, dewa kematian, untuk menyelamatkan suaminya. Pertarungan antara cinta dan kematian itu terasa sangat nyata bagi saya. Dunia mereka mengalir masuk ke dalam dunia saya sendiri.
Di India, akhirat bukan dipandang sebagai tempat fisik seperti dalam tradisi Barat—bukan surga di langit atau neraka di bawah tanah—melainkan sebagai tingkat kesadaran. Kosmos ini adalah kesadaran yang memancar dalam satu frekuensi; alam-alam lain hidup berdampingan, tak terlihat, namun tetap hadir.
Nenek saya pernah menunjuk ke rumah kami saat saya bertanya di mana surga. Bagi dia, banyak dunia bisa eksis dalam satu ruang, seperti orkestra yang memainkan banyak instrumen sekaligus dalam satu tempat. Begitu pula kenyataan: penuh lapisan dan frekuensi yang tak kita lihat. Pasar Delhi yang ramai hanyalah satu realitas; di baliknya ada gelombang suara, sinyal, partikel, dan kemungkinan yang tak terhitung jumlahnya.
Ketakutan terhadap kematian muncul karena kita tidak bisa melihat apa yang datang setelahnya. Saya pun merasakannya ketika kakek saya meninggal. Adik saya menangis, “Di mana dia?” Butuh waktu bertahun-tahun sebelum saya mengerti jawabannya: "Di sini dan di mana-mana."
Dalam filsafat India, dunia fisik adalah getaran paling padat dari kesadaran. Elemen-elemen alam—tanah, air, api, udara, dan ruang—mewakili manifestasi berbeda dari kesadaran yang sama. Di bidang yang lebih halus, seperti alam astral, getaran menjadi lebih ringan. Di sanalah eksis intuisi, telepati, roh yang belum tenang, dan makhluk yang “terjebak”.
Saya percaya kucing atau anjing bisa merasakan dunia ini—mereka kadang berhenti dan memandang ke ruang kosong, mungkin karena melihat sesuatu yang tak kasatmata. Seorang dokter muda pernah berkata bahwa dalam cahaya remang-remang, ia bisa melihat jiwa meninggalkan tubuh seseorang yang baru saja wafat. Anak-anak India pun akrab dengan kisah tentang para pahlawan yang bertarung di alam-alam halus—dunia penuh cahaya, energi, bentuk pikiran, dan tubuh astral.
Tubuh fisik kita memiliki cerminan di bidang astral: tubuh halus yang menyertainya selama hidup. Setelah kematian, tubuh ini mengambil alih dan bergetar sesuai dengan kualitas hidup yang telah dijalani. Di masa kecil saya, saya percaya bahwa setiap orang pergi ke tempat yang sesuai dengan dirinya: orang baik ke tempat damai, orang jahat ke tempat yang membuat mereka tak bisa menyakiti siapa pun selain diri mereka sendiri.
Ketika saya mempelajari konsep karma, saya memahami bahwa jiwa tetap memiliki kehendak setelah kematian. Ia menavigasi alam-alam kesadaran, menciptakan bentuk dan pertemuan sesuai kebutuhannya. Di balik semua alam itu ada Roh—yang dalam bahasa Sanskerta disebut Brahman—kesadaran murni yang melandasi segala sesuatu.
Alam astral memungkinkan pengalaman langsung akan Spirit, seperti melihat dewa, malaikat, atau makhluk halus. Namun semua itu hanyalah ekspresi dari kesadaran tunggal, sebagaimana dunia fisik hanyalah ekspresi lain. Perjalanan kita setelah mati bukan tentang bergerak ke tempat baru, tapi berpindah dalam kualitas perhatian. Kita hanya dapat menyadari apa yang kita getarkan.
Kosmos bersifat nonlokal. Tak ada arah atau pusat mutlak. Anda berada di pusat alam semesta karena infinitas terbentang dari tempat Anda berdiri. Begitu pula waktu: setiap momen adalah pusat keabadian. Dalam pengalaman ini, kematian bukanlah lenyap, tapi transisi dari pengalaman padat menuju kesadaran yang lebih luas.
Saya memiliki seorang paman yang gemar mengunjungi orang-orang suci. Saya pernah melihat para pertapa yang nyaris tidak bergerak, tampak pasif tapi sebenarnya sedang melakukan pergeseran besar dalam perhatian. Melalui keheningan dan meditasi, mereka menjangkau alam kesadaran yang lebih tinggi, berbicara dengan Rama, Buddha, atau bahkan Kristus, tergantung keyakinannya.
Dalam kondisi hampir mati, seseorang mungkin memasuki cahaya—tanpa sengaja. Para yogi, sebaliknya, menjalani ini secara sadar. Mereka memudar dari dunia luar, satu indera demi satu, menuju puncak kesadaran batin. Dalam ajaran Veda, suara adalah yang terakhir pergi saat seseorang meninggal—karena suara adalah getaran yang mengikat tubuh.
Setelah kematian, kita masih bisa “melihat” dan “mendengar,” tapi bukan terhadap benda fisik, melainkan gambaran yang berasal dari getaran astral: cahaya, suara, makhluk, bahkan kenangan. Banyak yang merasakan kehadiran orang tercinta yang telah wafat sesaat sebelum meninggal—kontak halus di ambang dua dunia.
Jiwa yang baru meninggal tidak langsung bergerak. Ia melewati masa tidur di alam astral—sebuah inkubasi. Jiwa yang meninggal secara mendadak atau dengan emosi berat bisa gelisah, terjebak dalam gema penderitaan atau kerinduan. Bahkan cinta dan hasrat yang dalam bisa menahan jiwa di alam bawah astral.
Namun waktu tidak lagi bermakna bagi jiwa. Jiwa tidak menghitung hari atau tahun; ia hanya bergerak melalui kualitas pengalaman. Jiwa tidak tersesat. Ia sedang bermimpi dunia yang akan ia temui selanjutnya.
____________
Ulasan Editorial
Dari Publishers Weekly
Ulasan
“Penyelidikan yang mendalam dan mendalam tentang misteri terbesar keberadaan. Ini adalah buku yang penting karena hanya dengan menghadapi kematian kita akan menyadari siapa diri kita sebenarnya.” —Eckhart Tolle, penulis The Power of Now
“Jika saya memiliki keraguan tentang kehidupan setelah kematian, saya tidak memilikinya lagi. Deepak Chopra telah memberikan cahayanya yang tak ada bandingannya di sudut-sudut gelap kematian. Saya pikir ini adalah kontribusi terbesarnya.” —Marianne Williamson, penulis The Gift of Change
“Deepak Chopra. . . membawa kita ke tepi kebenaran batin terdalam kita sendiri tentang kehidupan setelah kematian dengan berbagi dengan kita visi dan kebijaksanaannya, yang, seperti biasa, menakjubkan, menyembuhkan, dan membuka jiwa.” —Neale Donald Walsch, penulis Home with God: In a Life That Never Ends
“Deepak Chopra telah menulis sebuah mahakarya yang telah lama tertunda dalam budaya spiritual kita. Life After Death: The Burden of Proof adalah panduan berani dan menghibur ke alam baka.” —Caroline Myss, penulis Anatomy of the Spirit and Sacred Contracts
“Dengan mengawinkan sains dan kebijaksanaan dalam Kehidupan Setelah Kematian, Chopra membangun kasusnya untuk kehidupan setelah kematian di mana diri kita yang paling esensial, pelihat yang mengamati pengalaman kita di rumah sementara yang kita sebut diri ini, menggunakan akhir kehidupan ini untuk melewati kehidupan berikutnya. Ini adalah tur de force intelektual dan spiritual.” —Profesor Robert Thurman, Universitas Columbia, penulis Infinite Life dan The Tibetan Book of the Dead
No comments:
Post a Comment