Tuesday, June 22, 2021

Iman Versus Fakta: Mengapa Sains dan Agama Tidak Kompatibel

Oleh: Jerry A. Coyne

KATA PENGANTAR
—Neil deGrasse Tyson

Pada Februari 2013, saya terlibat dalam diskusi publik dengan seorang teolog Lutheran mengenai pertanyaan mendasar: apakah sains dan agama kompatibel? Acara tersebut berlangsung di Gereja Jemaat Circular yang bersejarah di Charleston, Carolina Selatan. Setelah masing-masing menyampaikan argumen secara ringkas, kami diminta menyimpulkan posisi kami dalam satu kalimat. Saya tidak ingat persis pernyataan saya, namun saya mengingat dengan jelas jawaban rekan debat saya: “Kita harus selalu ingat bahwa iman adalah sebuah karunia.”

Pernyataan tersebut, jika ditinjau secara kritis, mengungkapkan kesenjangan epistemologis yang sangat mendasar antara sains dan agama. Dalam tradisi keilmuan, kepercayaan yang tidak didasarkan pada bukti tidak hanya tidak memadai, tetapi juga berpotensi merusak proses pencarian kebenaran. Iman, jika dipandang sebagai kepercayaan tanpa bukti atau bahkan bertentangan dengan bukti, merupakan antitesis dari metode ilmiah yang mengedepankan penalaran rasional dan verifikasi empiris.

Tujuan utama buku ini adalah untuk mengemukakan bahwa sains dan agama bukanlah dua domain yang saling melengkapi, melainkan dua sistem pengetahuan yang saling bertentangan dalam hal pendekatan terhadap realitas. Keduanya membuat klaim-klaim eksistensial—yakni pernyataan tentang apa yang nyata dan benar mengenai dunia dan keberadaan kita di dalamnya—namun menggunakan perangkat epistemik yang sangat berbeda. Sains mengandalkan pengamatan, eksperimen, dan pengujian hipotesis yang dapat direplikasi; sedangkan agama berpijak pada wahyu, dogma, dan iman.

Dalam konteks ini, saya menolak posisi "akomodasionis" yang menyatakan bahwa sains dan agama dapat didamaikan, atau bahwa keduanya membahas aspek realitas yang berbeda. Saya berpandangan bahwa keduanya terlibat dalam bentuk konflik metodologis yang tidak dapat dijembatani. Sains menuntut justifikasi berbasis bukti untuk setiap klaimnya, sementara agama justru menilai kebajikan dari kepercayaan tanpa bukti. Dengan kata lain, perbedaan mereka bersifat bukan hanya substantif, tetapi juga struktural dan epistemologis.

Penting pula untuk dicatat bahwa konflik ini tidak terbatas pada perbedaan pandangan semata, tetapi memiliki implikasi praktis yang signifikan. Dalam praktiknya, agama tidak hanya gagal menghasilkan pengetahuan yang dapat diandalkan tentang alam semesta, tetapi sering kali secara aktif menghambat pemahaman ilmiah, terutama dalam isu-isu seperti asal-usul kehidupan, moralitas, dan kesadaran manusia. Sebagai contoh, biologi evolusioner secara sistematik ditolak oleh sebagian besar komunitas religius di Amerika Serikat, meskipun bukti empirisnya sangat kuat dan telah teruji lintas disiplin selama lebih dari satu abad.

Sebagai ahli biologi evolusi, saya secara langsung mengalami resistensi ini dalam konteks pengajaran dan komunikasi sains. Sebagian besar penolakan terhadap evolusi terbukti berasal dari keyakinan keagamaan, bukan dari argumen ilmiah. Upaya saya untuk menjembatani kesenjangan ini melalui buku Why Evolution Is True menunjukkan bahwa pendidikan berbasis bukti, sekalipun disampaikan secara jelas dan menyeluruh, tidak selalu efektif dalam menghadapi kekuatan psikologis dan sosial dari iman.

Melalui pengalaman ini, saya menyimpulkan bahwa untuk meningkatkan penerimaan terhadap sains, kita tidak hanya harus menyampaikan fakta, tetapi juga mengedukasi masyarakat tentang sifat iman itu sendiri—yakni sebagai bentuk keyakinan yang tidak tunduk pada pembuktian dan falsifikasi. Iman, dalam konteks ini, bukan sekadar kekurangan bukti, tetapi secara aktif menolak perlunya bukti. Hal ini menjadikannya inkompatibel secara fundamental dengan sains.

Saya juga menyoroti bahwa ketika agama berusaha membuat klaim faktual tentang alam semesta—seperti keberadaan Tuhan, mukjizat, atau asal-usul moralitas—maka agama telah memasuki wilayah yang seharusnya tunduk pada pengujian ilmiah. Namun, dalam prakteknya, klaim-klaim tersebut dilindungi oleh dogma dan tidak terbuka terhadap pengujian yang objektif. Dalam hal ini, agama lebih menyerupai pseudosains dibandingkan filsafat atau sistem nilai lainnya.

Kesimpulannya, sains dan agama tidak hanya berbeda dalam metode, tetapi bertentangan dalam prinsip dasar. Sains menghargai keraguan dan koreksi diri sebagai mekanisme utama kemajuan pengetahuan; agama menekankan kepastian dan ketundukan terhadap otoritas spiritual. Oleh karena itu, mengklaim bahwa keduanya kompatibel tidak hanya menyesatkan secara konseptual, tetapi juga berisiko mengaburkan pemahaman publik terhadap cara kerja dan batas-batas sains.

Melalui buku ini, saya ingin menunjukkan bahwa mempertahankan keyakinan agama dalam dunia modern bukan hanya tidak perlu, tetapi juga berbahaya. Dalam jangka panjang, keberlangsungan peradaban manusia lebih bergantung pada keberanian untuk berpikir kritis dan menolak klaim yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Dan dalam perjuangan ini, sains harus berdiri tegak sebagai penjaga kebenaran yang dapat diuji dan diverifikasi.

Pendahuluan: Penapisan Konteks dan Ruang Lingkup

Sebelum memaparkan argumen utama, perlu diberikan beberapa klarifikasi konseptual. Tidak semua sistem keyakinan yang umumnya dikategorikan sebagai "agama" memiliki klaim metafisik eksplisit tentang alam semesta. Tradisi seperti Jainisme dan aliran Buddhisme yang lebih kontemplatif cenderung menghindari proposisi teistik atau klaim ontologis yang dapat diverifikasi atau disanggah oleh metode ilmiah. Dalam kerangka kajian ini, “agama” didefinisikan sebagai sistem keyakinan yang mencakup proposisi tentang realitas eksternal yang dipertahankan atas dasar keimanan, bukan bukti empiris. Fokus kajian diarahkan terutama pada agama-agama teistik, khususnya yang berasal dari tradisi Ibrahimik—Yudaisme, Kristen, dan Islam—karena penganut dan doktrinnya secara kuantitatif dominan, serta paling sering bersinggungan dengan diskursus ilmiah.

Fokus Geografis dan Teologis

Keterpusatan kajian pada konteks Amerika Serikat bukan tanpa alasan. Di wilayah ini, ketegangan antara sains dan agama muncul dalam bentuk konflik politik, pendidikan, dan hukum yang kentara. Sebaliknya, di Eropa utara, sekularisasi populasi mengurangi urgensi debat ini; dan di Timur Tengah, diskursus ilmiah sering dibingkai dalam kategori teologis yang memperlambat adopsi metode ilmiah bebas-dogma. Meskipun referensi terhadap agama-agama non-Ibrahimik tidak sepenuhnya diabaikan, porsi analisis terbesar tetap difokuskan pada varian Kristen karena peran dominannya dalam membentuk kerangka debat kontemporer antara iman dan ilmu.

Spektrum Keyakinan dan Kritik terhadap Akomodasiisme

Tidak dapat dipungkiri bahwa terdapat spektrum interpretasi teologis yang luas, dari fundamentalisme literal hingga teologi apofatik yang enggan menyatakan atribut apapun tentang Tuhan. Kaum teolog liberal kerap merumuskan Tuhan sebagai “dasar eksistensi” ketimbang sebagai entitas antropomorfik. Namun, meskipun model-model ini menawarkan pernyataan yang lebih sulit untuk disanggah, justru ketakberjelasan itulah yang menghambat dialog epistemologis yang bermakna antara sains dan agama. Keimanan semacam ini, meskipun sering diklaim sebagai bentuk yang "kuat", pada dasarnya justru terhindar dari pengujian kritis.

Kritik sering diajukan terhadap penolakan kaum skeptis untuk menanggapi versi “canggih” dari teologi, dengan tuduhan bahwa mereka menanggapi bentuk-bentuk kepercayaan yang terlalu sederhana. Namun, argumen ini bersifat problematik karena rata-rata umat beragama tidak hanya menjalankan agama sebagai sistem etika, tetapi juga sebagai sistem ontologis yang memuat klaim tentang kenyataan. Teolog tidak memiliki keistimewaan epistemologis dalam menetapkan keberadaan Tuhan, sebagaimana ilmuwan memiliki dalam menentukan kebenaran ilmiah. Oleh karena itu, ketidakcocokan antara sains dan agama harus dianalisis bukan hanya pada tingkat elite teologis, tetapi juga pada level praksis keagamaan umat.

Dimensi Ketidakcocokan: Metodologi, Hasil, dan Filsafat

Ketidakcocokan antara sains dan agama dapat dianalisis pada tiga tingkat:

  1. Metodologis: Sains bergantung pada observasi, eksperimen, dan falsifikasi; agama bersandar pada wahyu, otoritas, dan iman.

  2. Epistemologis-Hasil: Sains menghasilkan pengetahuan yang dapat diverifikasi dan direplikasi, sedangkan agama menciptakan sistem kebenaran partikular dan dogmatis.

  3. Filsafat Pengetahuan: Sains mencari kebenaran objektif dan independen dari keinginan manusia; agama sering kali merespons kebutuhan eksistensial manusia, tetapi tidak menjamin akurasi ontologis.

Akomodasiisme: Bentuk, Gagalnya, dan Ilusi Harmoni

Bab ketiga dari kajian ini akan membongkar akomodasiisme, yaitu upaya untuk menyelaraskan sains dan agama. Contoh utamanya adalah argumen bahwa keberadaan ilmuwan religius membuktikan kesesuaian epistemologis keduanya, atau tesis “magisteria non-tumpang tindih” dari Stephen Jay Gould. Kedua strategi ini gagal menyentuh akar konflik: ketidaksesuaian metode pencarian kebenaran. Tiga kasus empiris akan dibedah untuk menunjukkan konflik nyata:

  • Evolusi teistik sebagai bentuk kompromi yang tak koheren,

  • Pencarian bukti historis untuk Adam dan Hawa,

  • Klaim Mormon tentang asal-usul penduduk asli Amerika, yang telah terbantahkan secara genetika.

Iman Menyerang Balik: Teologi Alam Baru dan "Cara Lain Mengetahui"

Bab keempat menelusuri bagaimana agama mencoba menyerang balik sains, baik dengan menyatakan bahwa sains berasal dari agama maupun dengan menyoroti "kekurangan" sains. Teologi alam baru menyandarkan argumennya pada "fine-tuning", inevitabilitas evolusi manusia, dan moralitas yang dianggap melampaui penjelasan naturalistik. Namun semua ini gagal memberikan metode yang reliabel untuk membedakan klaim yang benar dari yang salah. Gagasan bahwa ada "cara lain untuk mengetahui" selain sains juga dikritisi, karena tidak disertai mekanisme validasi klaim kebenaran.

Bahaya Sosial Akomodasiisme dan Implikasi Kebijakan

Ketergantungan sosial terhadap iman, terutama ketika bukti tersedia, berdampak merusak. Kasus perawatan medis berbasis doa yang dilindungi oleh hukum menunjukkan bagaimana kepercayaan dapat membunuh. Penolakan terhadap sel punca, vaksinasi, dan isu etis kontemporer seperti euthanasia dan hak reproduksi seringkali dipicu oleh dogma keagamaan. Sementara agama telah menjadi sumber amal dan kenyamanan eksistensial, pendekatan berbasis bukti akan memungkinkan masyarakat yang lebih rasional dan adil.

Kesimpulan: Sains sebagai Mekanisme Unggul Pencarian Kebenaran

Tesis utama buku ini adalah bahwa sains, bukan iman, merupakan satu-satunya pendekatan yang andal untuk memperoleh pengetahuan tentang realitas objektif. Sains telah berhasil menjelaskan fenomena dari partikel subatomik hingga kosmologi, sementara agama gagal memberikan konsensus epistemologis bahkan tentang isu paling mendasar seperti eksistensi Tuhan atau kehidupan setelah mati. Agama menghasilkan fragmentasi dogmatis; sains memfasilitasi akumulasi dan konvergensi pengetahuan.

Penutup: Humanisme Ilmiah sebagai Alternatif

Saya tidak mengusulkan masyarakat steril yang didominasi oleh kalkulasi rasional semata. Emosi, seni, dan kebutuhan akan makna tetap sah dan penting. Namun, pemenuhan kebutuhan ini tidak mengharuskan penerimaan terhadap keyakinan tanpa dasar. Individu dapat hidup secara emosional utuh, tanpa tunduk pada takhayul. Sebagai alternatif, humanisme sekuler, seperti yang diusulkan oleh Philip Kitcher, dapat mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kemunduran agama.

Dengan demikian, keberhasilan proyek ini akan diukur bukan dari kemenangan debat metafisik, tetapi dari semakin luasnya adopsi epistemologi berbasis bukti dalam semua ranah kehidupan manusia—dari kebijakan publik hingga keyakinan pribadi. 

Tesis Konflik antara Sains dan Agama: Telaah Historis dan Kritik Konseptual

Dalam diskursus hubungan antara sains dan agama, tesis konflik—yakni anggapan bahwa sains dan agama secara inheren dan permanen berada dalam pertentangan epistemologis dan historis—menjadi narasi yang berpengaruh dalam literatur modern. Dua tokoh utama yang paling sering dikaitkan dengan tesis ini adalah John William Draper dan Andrew Dickson White. Keduanya menulis pada abad ke-19 dan memandang sejarah sebagai arena benturan antara rasionalitas ilmiah dan otoritas keagamaan.

John William Draper, dalam bukunya History of the Conflict Between Religion and Science (1874), menyatakan bahwa konflik ini bersifat permanen dan tidak terhindarkan, dengan agama—terutama dalam bentuk institusi Gereja Katolik—dilukiskan sebagai penghambat utama kemajuan ilmiah. Menurut Draper, sains didasarkan pada observasi dan penalaran, sementara agama bertumpu pada wahyu dan dogma. Maka dari itu, keduanya dianggap tidak dapat didamaikan.

Andrew Dickson White, rektor pertama Cornell University, mengembangkan argumen ini lebih lanjut dalam A History of the Warfare of Science with Theology in Christendom (1896). Ia menyusun narasi sejarah yang menggambarkan sains sebagai korban represi teologis, menekankan kisah-kisah seperti pertentangan terhadap teori heliosentris Copernicus dan penolakan gereja terhadap teori evolusi Darwin. White memperkenalkan kerangka “warfare model” yang menyatakan bahwa dalam setiap babak sejarah, teologi telah menghambat kemajuan ilmu pengetahuan.

Kendati tesis ini memiliki daya tarik populer, para sejarawan sains kontemporer banyak mengkritisinya karena dianggap reduksionis dan ahistoris. Mereka menilai bahwa model konflik ini terlalu menyederhanakan hubungan kompleks antara sains dan agama. Kasus Galileo, misalnya, kerap dijadikan bukti utama konflik, padahal analisis sejarah yang lebih rinci menunjukkan bahwa dinamika politik internal Gereja dan konteks sosial saat itu memainkan peran signifikan dalam kontroversi tersebut.

Sebagai respons terhadap tesis konflik, muncul pendekatan alternatif seperti model harmoni dan akomodasi, yang menyoroti kolaborasi dan saling pengaruh antara sains dan agama sepanjang sejarah. Stephen Jay Gould, misalnya, menawarkan kerangka Non-Overlapping Magisteria (NOMA), di mana sains dan agama diposisikan sebagai dua domain yang otonom—sains menjawab pertanyaan tentang fakta dan proses alam, sementara agama menjawab pertanyaan tentang makna dan nilai. Meski model ini juga menuai kritik, terutama dari kalangan filsuf yang mempertanyakan batasan ketat antara magisterium, NOMA tetap menjadi representasi penting dari usaha rekonsiliasi antara dua domain ini.

Secara umum, tesis konflik telah kehilangan legitimasi di kalangan sejarawan sains, tetapi tetap memiliki pengaruh dalam perdebatan publik kontemporer. Hal ini menunjukkan bahwa narasi sejarah tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi juga normatif—yakni membentuk cara pandang masyarakat terhadap otoritas dan legitimasi pengetahuan.

Antara Akomodasionisme dan Kenyataan Sosial: Ambivalensi dalam Relasi Sains dan Agama

Pernyataan resmi dari lembaga seperti National Center for Science Education (NCSE) mencerminkan semangat akomodasionis yang umum dalam ranah kebijakan pendidikan sains. NCSE, misalnya, menyatakan bahwa teori evolusi—sebagaimana teori ilmiah lainnya seperti gravitasi atau lempeng tektonik—tidak membuat klaim metafisik mengenai keberadaan Tuhan. Oleh karena itu, menurut mereka, evolusi dapat diterima dalam kerangka teisme, ateisme, maupun agnostisisme. Banyak individu beragama diyakini menerima evolusi sebagai mekanisme ilahi yang digunakan Tuhan untuk menciptakan kehidupan. Sikap ini berupaya mendamaikan ilmu pengetahuan dengan keyakinan religius.

Namun, kenyataan sosial menunjukkan jurang yang signifikan antara pendekatan akomodasionis ini dengan pandangan publik. Survei menunjukkan bahwa hampir separuh warga Amerika Serikat setuju dengan pandangan kreasionis bahwa “Tuhan menciptakan manusia dalam bentuknya yang sekarang dalam sepuluh ribu tahun terakhir,” sebuah pandangan yang secara eksplisit menolak evolusi. Meskipun sekitar 20 persen populasi mengidentifikasi diri sebagai agnostik, ateis, atau tidak beragama, data ini menunjukkan bahwa sebagian besar orang beragama di Amerika menolak evolusi, bahkan dalam bentuk yang dibimbing oleh Tuhan. Fenomena ini mencerminkan ketegangan laten antara pemahaman ilmiah dan kepercayaan religius di tingkat populasi, terlepas dari narasi rekonsiliatif yang disuarakan oleh lembaga ilmiah dan keagamaan.

Ironi dari situasi ini semakin tampak ketika mempertimbangkan pandangan komunitas ilmiah. Sebagian besar ilmuwan, khususnya mereka yang berprestasi tinggi, adalah non-teistik—baik ateis maupun agnostik. Bagi mereka, ide tentang makhluk adikodrati tidak kompatibel dengan metode ilmiah yang didasarkan pada bukti empiris dan prinsip falsifikasi. Meskipun demikian, banyak dari mereka tetap mendukung pendekatan akomodasionis demi alasan pragmatis—baik untuk menghindari konflik politik maupun untuk mempertahankan dukungan publik terhadap pendidikan sains. Beberapa ilmuwan secara terbuka mengakui bahwa retorika rekonsiliasi ini lebih didorong oleh pertimbangan strategis ketimbang keyakinan filosofis.

Sikap serupa juga tampak dari sisi institusi keagamaan. Katekismus Gereja Katolik, misalnya, menyatakan bahwa tidak mungkin terjadi kontradiksi antara iman dan akal, karena keduanya berasal dari sumber ilahi yang sama. Dinyatakan bahwa "Tuhan tidak dapat menyangkal diri-Nya sendiri, dan kebenaran tidak dapat bertentangan dengan kebenaran." Meski terdengar mendamaikan, pernyataan ini tetap menempatkan iman sebagai superior terhadap akal. Posisi ini menunjukkan bahwa ketika terjadi konflik antara keduanya, keutamaan tetap diberikan kepada wahyu ketimbang bukti empiris. Konsekuensi logisnya adalah bahwa akomodasi hanya dapat diterima sejauh tidak menggugat kebenaran dogmatis.

Diskrepansi antara sikap institusi dan keyakinan umat juga sangat mencolok. Gereja Katolik secara resmi menerima teori evolusi dalam bentuk tertentu, namun survei menunjukkan bahwa sebagian besar umat Katolik Amerika tetap menganut pandangan kreasionis. Ketegangan serupa muncul dalam banyak denominasi lain. Dalam sebuah survei Time dan Roper Center (2006), 64 persen responden Amerika menyatakan bahwa jika sains bertentangan dengan keyakinan agama mereka, mereka akan menolak temuan ilmiah tersebut. Hanya 23 persen yang menyatakan kesediaan untuk mempertimbangkan revisi kepercayaan. Angka-angka ini menunjukkan bahwa bagi mayoritas populasi religius, otoritas iman tetap lebih tinggi daripada otoritas ilmiah.

Konflik potensial ini melampaui isu evolusi. Temuan genetika modern, misalnya, telah menggugat secara langsung klaim literalistik tentang Adam dan Hawa sebagai nenek moyang biologis seluruh umat manusia—sebuah dogma yang masih dipertahankan di berbagai tradisi agama. Fakta bahwa banyak orang menolak temuan ilmiah semacam ini demi mempertahankan narasi religius menegaskan bahwa konflik antara sains dan agama tidak semata-mata produk konstruksi historiografis, tetapi juga realitas epistemik yang hidup di dalam masyarakat.

Survei Pew Research Center (2009) mencatat bahwa 55 persen warga Amerika meyakini bahwa sains dan agama “seringkali bertentangan.” Walau hanya 36 persen yang merasa bahwa sains bertentangan dengan iman pribadi mereka, persepsi konflik tetap dominan, terutama di kalangan mereka yang tidak berafiliasi dengan agama. Fenomena ini memperkuat dugaan bahwa ketidakharmonisan antara sains dan agama bersifat sistemik dan melibatkan aspek epistemologis serta sosiologis yang kompleks.

Salah satu motivasi utama bagi institusi keagamaan untuk menyatakan keselarasan dengan sains adalah kekhawatiran akan kehilangan generasi muda. Studi oleh Barna Group mengidentifikasi persepsi bahwa agama tidak ramah terhadap sains sebagai salah satu dari enam alasan utama mengapa kaum muda meninggalkan Kekristenan. Ini menunjukkan bahwa strategi akomodasi tidak hanya bersifat ideologis, tetapi juga merupakan respons terhadap dinamika sosial yang berubah.

Alasan ketiga yang mendorong keterputusan generasi muda Kristen dari gereja adalah citra gereja yang dilihat sebagai antagonis terhadap sains. Banyak di antara mereka merasa bahwa komunitas religius—terutama yang konservatif—menolak realitas ilmiah yang berkembang, alih-alih mencoba memahaminya atau mengakomodasinya secara reflektif. Dalam sebuah studi yang dilansir oleh Barna Group, 35 persen orang dewasa muda dari latar belakang Kristen menilai bahwa umat Kristen terlalu percaya diri bahwa mereka “tahu semua jawaban.” Sekitar 29 persen merasa bahwa gereja tidak kompatibel dengan realitas ilmiah kontemporer, 25 persen menganggap bahwa Kekristenan bersifat anti-sains, dan 23 persen mengaku kehilangan minat karena perdebatan seputar penciptaan dan evolusi.

Temuan ini menggambarkan dinamika yang mengkhawatirkan: ketegangan yang dirasakan antara iman dan sains tidak hanya bersifat konseptual, tetapi memiliki implikasi praktis terhadap partisipasi religius. Sering kali, mereka tidak serta-merta meninggalkan iman, tetapi memilih menjauh dari institusi gereja, yang mereka anggap telah gagal mengintegrasikan pengetahuan ilmiah dengan spiritualitas yang bermakna. Gereja konservatif, yang enggan menyesuaikan doktrinnya dengan temuan ilmiah, cenderung merespons dengan resistensi yang terorganisir. Sebuah contoh mencolok adalah gugatan hukum pada tahun 2013 yang diajukan oleh sekelompok orang tua di Kansas terhadap standar pendidikan sains negara bagian, yang mereka tuding mendorong “pandangan dunia ateistik.” Upaya ini akhirnya kandas, tetapi memperlihatkan perlawanan sistemik terhadap integrasi sains dalam kurikulum publik.

Pertanyaan mendasar pun muncul: jika sains dan agama sedemikian harmonis, mengapa begitu banyak ilmuwan yang menolak keyakinan religius? Perbedaan tingkat religiositas antara masyarakat umum dan komunitas ilmuwan di Amerika sangat mencolok dan konsisten selama lebih dari delapan dekade. Survei Pew menunjukkan bahwa hanya 33 persen ilmuwan di Amerika yang percaya pada Tuhan, sementara ateis mencapai 41 persen—jauh lebih tinggi dibandingkan angka ateisme di kalangan masyarakat umum yang hanya sekitar 4 persen. Perbedaan ini makin kentara di antara para ilmuwan elit, seperti anggota National Academy of Sciences, di mana 93 persen menyatakan diri sebagai ateis atau agnostik. Sementara itu, hanya 7 persen yang percaya pada Tuhan personal—proporsi yang hampir merupakan kebalikan dari populasi umum.

Jika pendidikan menjadi satu-satunya faktor yang menjelaskan rendahnya religiositas ini, maka kita seharusnya melihat tren serupa di antara para akademisi dari semua disiplin ilmu. Namun, studi tahun 2006 menunjukkan bahwa para ilmuwan, terutama dari bidang biologi dan psikologi, adalah kelompok paling tidak religius bahkan jika dibandingkan dengan profesor humaniora atau ilmu sosial. Hal ini mengindikasikan bahwa faktor intrinsik dalam praktik ilmiah itu sendiri—bukan sekadar pendidikan tinggi—berkontribusi terhadap skeptisisme religius.

Ada dua hipotesis utama: pertama, bahwa individu yang sejak awal skeptis terhadap agama tertarik masuk ke dunia sains; kedua, bahwa keterlibatan aktif dalam praktik ilmiah justru mendorong penolakan terhadap kepercayaan agama. Bukti menunjukkan bahwa yang terakhir memiliki bobot signifikan. Data menunjukkan bahwa ilmuwan senior lebih tidak religius daripada rekan mereka yang lebih muda, bertentangan dengan "efek generasi" yang seharusnya membuat mereka lebih religius karena tumbuh di era yang lebih konservatif secara religius.

Jika demikian, maka aktivitas ilmiah itu sendiri memiliki potensi untuk mereduksi kepercayaan religius—bukan melalui doktrin ateistik eksplisit, melainkan karena budaya sains yang menuntut bukti empiris, skeptisisme sistematis, dan penolakan terhadap otoritas dogmatik. Ini menyentuh esensi konflik antara sains dan agama: yang pertama tumbuh dari metodologi penyelidikan terbuka dan revisibilitas; yang kedua cenderung mengandalkan wahyu dan kepastian doktrinal.

Penting untuk dicatat bahwa keberadaan ilmuwan yang religius tidak secara otomatis membantah ketegangan epistemologis ini. Seperti halnya perokok yang tidak terkena kanker tidak membatalkan korelasi antara merokok dan penyakit paru-paru, ilmuwan religius pun bisa jadi adalah individu yang berhasil mempartisi dua sistem kepercayaan yang bertentangan dalam pikirannya—bukan karena keduanya kompatibel secara inheren.

Kebangkitan diskursus konflik sains dan agama pada era kontemporer, setelah periode relatif sepi sejak era Draper dan White, dapat dijelaskan oleh tiga faktor utama: kemajuan pesat dalam ilmu pengetahuan yang menggusur klaim-klaim religius, peran Yayasan Templeton dalam mendanai narasi akomodasiisme, dan munculnya gerakan “Ateisme Baru” yang menjadikan sains—khususnya evolusi—sebagai basis utama kritik terhadap agama.

Evolusi tetap menjadi titik fokus utama ketegangan ini. Sejak Darwin menerbitkan On the Origin of Species, respons keagamaan—terutama dari kalangan fundamentalis—berkembang dari penolakan langsung, ke kreasionisme ilmiah, hingga desain cerdas (Intelligent Design/ID). Namun, semua pendekatan tersebut gagal memperoleh validitas ilmiah. Sementara itu, evolusi terus diperkuat oleh bukti dari berbagai bidang seperti biologi molekuler, paleontologi, dan biogeografi. Ironisnya, semakin kehilangan pijakan intelektual, para pendukung antievolusi justru makin vokal dalam upaya mereka menolak sains.

Selain evolusi, bidang-bidang seperti ilmu saraf, fisika, dan psikologi juga turut menggoyang fondasi teologis tradisional. Kesadaran, misalnya, tidak lagi dipahami sebagai entitas metafisik, tetapi sebagai produk aktivitas saraf. Begitu pula kehendak bebas yang telah lama menjadi pilar teologis kini dipertanyakan oleh hasil-hasil eksperimen neurosains yang menunjukkan determinisme biologis dan lingkungan atas tindakan manusia. Fisika dan kosmologi, melalui konsep multisemesta dan asal-usul kuantum alam semesta, menempatkan eksistensi manusia dalam kerangka naturalistik tanpa perlu intervensi adikodrati.

Konsekuensinya, fenomena-fenomena yang dulu dianggap memerlukan penjelasan teistik semakin kehilangan pijakan. Dalam responsnya, institusi keagamaan hanya memiliki dua pilihan: menolak sains secara frontal (sebagaimana kaum fundamentalis lakukan) atau merevisi teologi untuk mengakomodasi temuan ilmiah—yang dalam batas tertentu dapat menyebabkan teologi tersebut kehilangan karakter esensialnya dan tergerus menjadi humanisme sekuler.

Akhirnya, meningkatnya akomodasiisme dapat juga dimengerti sebagai respons terhadap turunnya afiliasi keagamaan formal. Kaum “nones”—ateis, agnostik, dan mereka yang “spiritual tapi tidak religius”—tumbuh menjadi kelompok kepercayaan dengan pertumbuhan tercepat di Amerika. Gereja-gereja, terutama yang liberal, mencoba menarik kelompok ini dengan menjembatani narasi antara iman dan sains—meskipun sering kali dengan mengorbankan konsistensi teologis.

Sains, dengan keberhasilannya dalam mengubah kualitas hidup dan menjelaskan dunia secara efektif, telah menjadi otoritas epistemik yang dominan. Agama, jika masih ingin berbicara dalam bahasa relevansi modern, dituntut untuk merespons realitas ini. Namun, sejauh mana respons tersebut bersifat autentik atau sekadar strategi retoris adalah pertanyaan yang layak untuk direnungkan lebih lanjut.

Tentang Penulis

Jerry A. Coyne adalah profesor emeritus di Universitas Chicago di Departemen Ekologi dan Evolusi, di mana ia mengkhususkan diri dalam genetika evolusioner. Buku terlarisnya di New York Times , Why Evolution Is True, adalah salah satu dari "50 Buku untuk Waktu Kita" Newsweek pada tahun 2010. 
 _______________________
 
“Buku yang diperdebatkan dengan luar biasa.” -Richard Dawkins, penulis The God Delusion

The  New York Times bestselling: Mengapa Evolusi adalah Benar menjelaskan setiap upaya untuk membuat agama kompatibel dengan ilmu pasti gagal. Dalam buku provokatif ini, ahli biologi evolusi Jerry A. Coyne menjabarkan dengan jelas, perincian yang tidak memihak mengapa perangkat sains, yang didasarkan pada nalar dan studi empiris, dapat diandalkan, sedangkan perangkat agama—termasuk iman, dogma, dan wahyu—mengarah pada kesimpulan yang salah, tidak dapat diuji, atau bertentangan.
   
Coyne menanggapi iklim nasional di mana lebih dari separuh orang Amerika tidak percaya pada evolusi, anggota Kongres menyangkal pemanasan global, dan penyakit masa kanak-kanak yang telah lama ditaklukkan muncul kembali karena penolakan agama terhadap inokulasi, dan dia memperingatkan bahwa prasangka agama di politik, pendidikan, kedokteran, dan kebijakan sosial sedang meningkat. Memperluas karya-karya laris Richard Dawkins, Daniel Dennett, dan Christopher Hitchens, ia menghancurkan klaim-klaim agama untuk memberikan "kebenaran" yang dapat diverifikasi dengan menundukkan klaim-klaim itu pada tes yang sama yang kita gunakan untuk menetapkan kebenaran dalam sains.
 
Coyne secara tak terbantahkan menunjukkan bahaya besar—bagi individu dan planet kita—dalam salah mengira iman sebagai fakta dalam membuat keputusan paling penting tentang dunia tempat kita tinggal. 
  
Ulasan Editorial
 
  “Tepat waktu dan penting. Jerry Coyne dengan ahli mengungkap inkoherensi dari kepercayaan yang semakin populer bahwa Anda dapat memilikinya dalam dua cara: bahwa Tuhan (atau sesuatu yang seperti Tuhan, seperti Tuhan, atau semacam Tuhan) itu ada; keajaiban semacam itu terjadi; dan bahwa kebenaran dogma agak-sedikit-sedikit-kurang lebih-siapa-yang-mengatakannya-tidak seperti kebenaran sains dan akal budi.”
—Steven Pinker, Profesor Psikologi Keluarga Johnstone, Universitas Harvard; penulis The Better Angels of Our Nature

“[N]satu membuat kasus untuk perceraian terakhir agama dan sains, dengan perintah penahanan permanen terhadap pelecehan dan penguntit sains oleh agama, lebih baik daripada Coyne.” —Ray Olson, Daftar Buku (ulasan berbintang)

“Sebuah buku penting yang layak mendapatkan pembaca yang berpikiran terbuka.”— Ulasan Kirkus

“Banyak orang bingung tentang sains—tentang apa itu, bagaimana praktiknya, dan mengapa itu adalah metode paling ampuh untuk memahami diri kita sendiri dan alam semesta yang kita miliki. spesies yang pernah dibuat. Dalam Faith vs. Fact , Coyne telah menulis buku dasar yang luar biasa tentang apa artinya berpikir secara ilmiah, menunjukkan bahwa keraguan yang jujur ​​terhadap sains lebih baik—dan lebih mulia—daripada kepastian palsu dari agama. Ini adalah buku yang dalam dan indah. Itu harus menjadi bacaan wajib di setiap perguruan tinggi di bumi.”
Sam Harris, penulis  The End of Faith, The Moral Landscape, dan Waking Up
 
“Ahli genetika terkemuka Jerry Coyne melatih kekuatan intelektualnya yang hebat pada keyakinan agama, dan sulit untuk melihat bagaimana orang yang berakal dapat menolak kesimpulan dari bukunya yang diperdebatkan dengan luar biasa. Meskipun agama akan hidup dalam pikiran orang-orang yang buta huruf, di kalangan terpelajar, iman sedang memasuki pergolakan kematiannya. Gejala dari keputusasaan akhir adalah kepura-puraan 'apofatik' dari 'teolog yang canggih', yang karena obskurantisme kosongnya, Coyne menyimpan serangan-serangannya yang paling menghancurkan. Baca buku ini dan rekomendasikan kepada dua orang teman.”
Richard Dawkins, penulis The God Delusion 

Pujian untuk Mengapa Evolusi Itu Benar

“Luar biasa bagus. . . Pengetahuan Coyne tentang biologi evolusi sangat luar biasa, penerapannya sama mahirnya dengan sentuhannya yang ringan.”
Richard Dawkins, The Times Literary Supplement

“Coyne adalah seorang stylist yang anggun dan penjelas ilmiah yang jelas seperti Darwin sendiri (bukan prestasi yang berarti) . . . salah satu pengantar jilid tunggal terbaik untuk teori evolusi yang pernah ada.”
Wired

“Kegembiraan yang diambil Coyne dalam karyanya terlihat di setiap halaman, apakah dia menawarkan analisis tulang demi tulang tentang bagaimana dinosaurus berevolusi menjadi burung atau menggambarkan bagaimana lebah madu Jepang yang jinak muncul dengan pertahanan mereka yang sangat membara melawan lebah raksasa yang merampok .”
San Francisco Chronicle

“[Coyne] membuat kasus yang tidak dapat disangkal.”
New York Times

“Dalam sembilan bab yang tajam . . . ahli biologi evolusioner yang disegani memaparkan kasus kedap udara bahwa Bumi sudah sangat tua dan bahwa spesies baru berevolusi dari yang sebelumnya.”
Boston Globe

“Buku Coyne adalah penjelasan umum terbaik tentang evolusi yang saya ketahui dan pantas mendapatkan kesuksesannya sebagai buku terlaris.”
RC Lewontin, New York Review Buku

“Saya merekomendasikan agar penilaian mendalam dan tajam Mr. Coyne tentang studi evolusi psikologi dan perilaku manusia ditempelkan ke cermin kamar mandi dari semua orang (mungkin terutama jurnalis) yang cenderung tersapu ke dalam pengumuman bersemangat tentang Apa yang Ditunjukkan Evolusi Tentang Kami.”
Philip Kitcher, The Wall Street Journal

“Dengan logika dan kejelasan, Coyne menyajikan banyak bukti ilmiah yang mendukung teori Darwin.”
Dealer Biasa Cleveland

“Selalu menyenangkan untuk memberi tahu orang-orang tentang sebuah buku yang luar biasa, terutama ketika subjek buku itu bersifat universal dan sangat penting. Ahli genetika evolusioner Jerry A. Coyne telah memberi kita buku semacam itu. . . . Sebuah buku yang dapat mengubah cara Anda memandang sesuatu—jika Anda berani.”
The Huffington Post

“Dalam peringatan 200 tahun kelahiran Darwin ini, Why Evolution is True berada di antara judul-judul baru terbaik yang membanjiri toko buku.”
Christian Science Monitor

Mengapa Evolusi Itu Benaradalah buku yang saya harapkan akan ditulis suatu hari nanti: kisah yang menarik dan dapat diakses dari salah satu ide paling penting yang pernah disusun oleh umat manusia. Buku ini merupakan pencapaian yang menakjubkan, yang ditulis oleh salah satu ahli biologi evolusioner terkemuka di dunia. Coyne telah menghasilkan karya klasik—apakah Anda ahli atau pemula dalam sains, teman atau musuh biologi evolusi, membaca Why Evolution is True pasti akan menjadi pengalaman yang mencerahkan.”
Neil Shubin, penulis Your Inner Fish

“Jerry Coyne telah lama menjadi salah satu pembela ilmu evolusi paling terampil di dunia dalam menghadapi pengaburan agama. Dalam Mengapa Evolusi Itu Benar, dia telah menghasilkan sebuah buku yang tak tergantikan: satu-satunya buku yang dapat diakses yang membahas evolusi. Tapi Coyne telah memberikan lebih dari sekadar tendangan voli terbaru dalam "perang budaya" kita; dia telah memberi kita catatan yang sangat menarik, jelas, dan ditulis dengan indah tentang tempat kita di dunia alami. Jika Anda ingin lebih memahami kekerabatan Anda dengan sisa hidup, buku ini adalah tempat untuk memulai.
Sam Harris, pendiri Reason Project dan penulis buku terlaris New York Times The End of Faith and Letter to a Christian Nation

“Para ilmuwan tidak menggunakan kata 'benar' dengan enteng, tetapi dalam buku yang hidup dan mengasyikkan ini, Jerry Coyne menunjukkan mengapa para ahli biologi senang menggunakannya dalam hal evolusi. Evolusi 'benar' bukan karena para ahli mengatakannya, atau karena beberapa pandangan dunia menuntutnya, tetapi karena bukti sangat mendukungnya. Ada banyak buku luar biasa tentang evolusi, tetapi yang satu ini luar biasa dalam cara baru — buku ini menjelaskan bukti terbaru untuk evolusi dengan gamblang, menyeluruh, dan dengan keefektifan yang menghancurkan.”
Steven Pinker, Universitas Harvard, dan penulis The Stuff of Thought: Language as a Window into Human Nature

“Bagi siapa saja yang menginginkan penjelasan evolusi yang jelas dan ditulis dengan baik oleh salah satu ilmuwan terkemuka yang bekerja pada subjek ini, Mengapa Evolution is True harus menjadi pilihan Anda. ”
EO Wilson, penulis The Social Conquest of Earth and Letters to a Young Scientist

“Saya pernah menulis bahwa siapa pun yang tidak percaya pada evolusi pastilah bodoh, gila, atau bodoh, dan saya kemudian berhati-hati untuk menambahkan bahwa ketidaktahuan bukanlah kejahatan. Saya sekarang harus memperbarui pernyataan saya. Siapa pun yang tidak percaya pada evolusi itu bodoh, gila, atau belum pernah membaca Jerry Coyne. Saya menentang setiap orang yang masuk akal untuk membaca buku yang luar biasa ini dan masih menganggap serius "kegilaan yang menakjubkan" yang merupakan "teori" desain cerdas atau sepupu negaranya, kreasionisme bumi muda.
Richard Dawkins, penulis The God Delusion

No comments:

Post a Comment