Di era ketika sains mampu membaca DNA, memetakan galaksi jauh, dan bahkan menciptakan kecerdasan buatan, ada satu pertanyaan mendasar yang tetap tidak terjawab: apa itu kesadaran? Bagaimana mungkin segumpal materi biologis di dalam tengkorak manusia bisa menghasilkan pengalaman subyektif seperti rasa sakit, marah, cinta, atau rasa ingin tahu?
Pertanyaan ini bukan hanya teka-teki ilmiah. Ia adalah jantung dari apa artinya menjadi manusia.
Pikiran yang Tak Terjamah
Ilmuwan tahu bahwa otak terdiri dari sekitar 86 miliar neuron, masing-masing bisa memiliki hingga 10.000 koneksi dengan neuron lain. Jaringan ini membentuk sistem paling kompleks yang diketahui dalam semesta. Setiap pikiran, ingatan, dan emosi diyakini muncul dari komunikasi listrik dan kimia antar neuron ini. Ketika neuron menembakkan sinyal—secara kolektif dan serentak—pengalaman pun muncul. Begitulah kira-kira kerangka kerja ilmiah saat ini.
Namun, penjelasan ini hanya menyentuh permukaan. Kita tahu di mana aktivitas terjadi saat seseorang melihat warna merah atau merasakan takut, tetapi kita tidak tahu bagaimana aktivitas itu berubah menjadi pengalaman subyektif. Mengapa ada sesuatu yang “terasa” dalam diri kita? Mengapa tidak hanya reaksi otomatis seperti pada robot?
Filsuf David Chalmers menyebut hal ini sebagai "masalah sulit kesadaran" (the hard problem of consciousness): mengapa proses fisik otak harus menghasilkan pengalaman batin sama sekali? Apa keuntungan evolusioner dari "merasakan", bukan sekadar "melakukan"?
Antara Otak dan Pikiran
Teori-teori yang ada mencoba menjelaskan kesadaran dengan berbagai pendekatan. Misalnya, Global Workspace Theory berpendapat bahwa informasi yang disalurkan ke ruang kerja "global" di otak memungkinkan integrasi pengalaman sadar. Tapi “ruang kerja” ini hanyalah metafora. Tidak ada lokasi fisik nyata di mana “pikiran” terjadi. Semua yang bisa kita ukur adalah aktivitas otak—tidak pernah pikiran itu sendiri.
Kita pun menghadapi dilema mendalam:
> Jika tidak ada yang terjadi dalam pikiran selain apa yang terjadi di otak, mengapa kita membutuhkan “pikiran”?
Tapi jika pikiran menyimpan sesuatu yang tak dapat direduksi menjadi aktivitas otak, maka di mana ia berada, dan apa ia sebenarnya?
Para ilmuwan belum punya jawaban. Bahkan fungsi evolusioner kesadaran pun masih spekulatif. Apakah kesadaran memberi keunggulan bertahan hidup? Atau hanya efek samping kompleksitas saraf? Belum ada yang tahu.
Sains, Tuhan, dan Jiwa
Sepanjang sejarah, manusia menjelaskan fenomena yang tak dipahami lewat konsep adikodrati. Kilat adalah murka dewa. Penyakit adalah hukuman Tuhan. Jiwa adalah pengendali tubuh. Tapi sains modern secara perlahan mengganti mitos dengan mekanisme: kilat dijelaskan lewat listrik statis; penyakit lewat virus dan bakteri; dan banyak perilaku manusia kini dijelaskan lewat genetika dan lingkungan.
Konsep “jiwa” mengalami nasib serupa. Dalam konteks ilmiah, jiwa sebagai entitas non-materi yang berdiri terpisah dari tubuh tak lagi digunakan. Bukan karena dibuktikan salah, tapi karena tidak bisa diuji dan tidak memberi daya prediksi atau penjelasan. Tidak ada artikel di jurnal Nature atau Science yang secara serius membahas jiwa. Para ilmuwan boleh percaya secara pribadi, tapi sebagai ilmuwan, mereka bekerja tanpa hipotesis “jiwa”.
Ilusi Pikiran?
Dalam pandangan biologis ekstrem, memori, imajinasi, dan olah pikir hanyalah sinyal elektrik di jaringan neuron. Bahkan ketika kita merenung, mengingat, atau membayangkan, yang terjadi hanyalah reaksi elektrokimia kompleks. Pikiran tidak eksis di dunia lain—hanya dalam otak.
Namun tetap saja, pengalaman itu terasa nyata. Rasa malu, haru, atau cinta—semua itu tidak tampak di mikroskop. Tapi kita tahu ia ada, karena kita mengalaminya. Lalu muncul pertanyaan yang menggoda:
> Jika pengalaman subyektif tidak bisa dijelaskan oleh sains, apakah itu berarti ia tak nyata?
Atau justru sains kita yang belum cukup dalam?
Beberapa ilmuwan, seperti Giulio Tononi (teori integrasi informasi) dan Anil Seth (kesadaran sebagai "halusinasi yang dikendalikan realitas"), mencoba menembus kabut ini. Tapi semua teori masih bersifat spekulatif, tak satu pun yang dapat diuji secara tuntas atau diterima secara luas.
Mengapa Tidak Kita Tinggalkan Saja Konsep Kesadaran?
Jika kesadaran tak bisa dijelaskan, tak bisa diukur, dan tak memberi manfaat ilmiah praktis, mengapa kita tidak membuangnya saja dari kerangka ilmiah?
Jawabannya sederhana namun mencengangkan: karena kesadaran adalah satu-satunya hal yang pasti kita miliki. Kita bisa meragukan realitas fisik, bahkan keberadaan dunia luar, tapi tidak bisa meragukan bahwa kita sedang mengalami sesuatu. RenĂ© Descartes menyimpulkan ini berabad-abad lalu: cogito, ergo sum—aku berpikir, maka aku ada.
Tanpa kesadaran, dunia menjadi kosong. Tidak ada makna, tidak ada nilai, tidak ada "aku". Ia adalah fondasi dari semua pengalaman manusia. Maka meski tak terlihat, tak terukur, dan tak dijelaskan secara tuntas, kesadaran tetap menjadi pusat dari segala pencarian pengetahuan.
Akhirnya: Kekosongan yang Mencerminkan Kita
Kita hidup di masa ketika manusia bisa mengedit gen dan mendaratkan robot di asteroid. Tapi kita belum bisa menjelaskan mengapa sebuah lagu bisa membuat kita menangis, atau mengapa kehilangan bisa terasa seperti luka nyata di dada.
Kesadaran tetap menjadi misteri—dan mungkin akan tetap begitu untuk waktu yang lama. Bukan karena sains gagal, tetapi karena kesadaran bukan sekadar objek yang bisa kita pisahkan dari subjek: ia adalah kita sendiri.
Mungkin, untuk benar-benar memahami kesadaran, sains tidak cukup. Kita mungkin memerlukan lensa baru: filsafat, seni, pengalaman batin, bahkan spiritualitas—bukan untuk menggantikan sains, tapi untuk memperluas cakrawalanya.
Hingga saat itu tiba, kesadaran adalah celah terbesar dalam peta pengetahuan kita—sekaligus jendela yang paling intim menuju misteri eksistensi itu sendiri.
AOS
No comments:
Post a Comment