Tuesday, August 28, 2012

Memerdekakan Pikiran

Oleh : Deepak Chopra

Apakah Anda mengasihi pikiran anda? Pikiran adalah bagian diri kita yang paling sulit dikasihi karena kita merasa terperangkap di dalamnya - tidak selalu tetapi di saat saat ketika timbul masalah. Ketakutan itu bisa merasuki pikiran sesukanya. Depresi menggelapkan pikiran; amarah menjadikan pikiran meledak dalam kekacauan tak terkendali.

Kebudayaan-kebudayaan kuno cenderung menggemakan anggapan bahwa pikiran itu gelisah dan tidak dapat diandalkan. Dalam ajaran Buddha pikiran itu diibaratkan  seperti monyet yang mengintip dunia lewat panca indra. Monyet itu terkenal impulsif dan berubah ubah, bisa berbuat apapun tanpa pemberitahuan lebih dulu. Psikologinya bertujuan menjinakkan monyet untuk mempelajari cara cara menerimanya, lalu melampaui kesadaran yang lebih tinggi, yang jauh melampaui sifat pikiran yang berubah ubah itu.

Kita harus menemukan sendiri pengalaman damai dan tenang yang sejati. Rahasia melakukan itu adalah memerdekakan pikiran. Ketika pikiran merdeka, ia justru tenang. Ia tidak lagi gelisah dan menjadi saluran damai. Ini adalah solusi yang berlawanan dengan intuisi sebab tidak ada seorangpun yang berani mengatakan bahwa seekor monyet bisa dijinakkan dengan memerdekakannya. Mereka akan mengatakan bahwa monyet yang dimerdekakan tersebut akan semakin liar, padahal rahasia ini didasarkan kepada pengalaman sesungguhnya: Pikiran itu “liar” karena kita berusaha mengurung dan mengendalikannya. Pada tingkatan yang lebih mendalam terdapat keteraturan total. Di sini pikiran dan dorongan mengalir harmoni dengan apa yang benar dan paling baik bagi masing masing orang.

Lalu bagaimana cara memerdekakan pikiran? Kemerdekaan bukanlah kondisi yang bisa kita masuki begitu saja dengan mematahkan pintu atau mematahkan seperangkat belenggunya sendiri. Orang bijak India di jaman dulu menciptakan konsep kunci berupa samskara (mengalir bersama). Samskara adalah lubang dalam pikiran yang membuat pikiran mengalir kearah yang sama. Psikologi pemeluk Buddha secara canggih menggunakan konsep ini dengan mengatakan samskara sebagai tanda tanda di dalam pikiran yang mempunyai kehidupannya sendiri. Samskara pribadi kita, yang dibangun dari kenangan masa lalu, memaksa kita untuk bereaksi dengan cara terbatas yang sama, berulang ulang, merampas pilihan bebas kita (yaitu, memilih seolah olah untuk pertama kalinya).

Kebanyakan orang membangun identitas atas dasar samskara tanpa mengetahui bahwa mereka sendiri yang memilih melakukan itu. Tetapi petunjuknya pasti. Seseorang yang cenderung pemarah atau emosional, dorongan amarah itu ibarat “itu” sesuatu yang mengendalikan mereka dari tempat berkuasa rahasia. Ledakan ledakan tak terkendali itu terungkap dalam beberapa tahapan. Pertama biasanya ada semacam gejala fisik - tekanan di dada, sakit kepala, jantung berdebar-debar, sesak nafas. Dari sanalah bangkit dorongan. Orang yang bersangkutan bisa merasakan amarah yang meninggi seolah olah air di dalam parit. Tekanannya bersifati fisik sekaligus emosional; tubuh ingin membuang ketidak nyamanannya, dan pikiran ingin melampiaskan perasaan yang terpendamnya. Pada titik itulah orang yang bersangkutan umumnya mencari alasan untuk mengamuk. Alasannya mungkin saja sepele - tugas yang tidak dilaksanakan, anak anak, pelayan yang lamban atau penjaga toko yang kurang sopan.

Akhirnya meledaklah amarahnya, dan hanya ketika meredalah orang yang  bersangkutan sadar akan kerusakan yang telah diakibatkannya - siklusnya berakhir dengan penyesalan dan janji untuk tidak pernah lagi demikian. Masuklah rasa malu dan bersalah, bersumpah untuk meredam dorongan itu di masa depan, dan pikiran berpikir secara rasional, betapa sia sianya dan riskanya melampiaskan amarah itu.

Bagi pencandu marah manapun, unsur pilihan itu sulit untuk direbut kembali. Ketika dorongan itu mulai menguat, tekanannya harus dilampiaskan. Entah kapan di masa lalu mereka, orang orang pemarah memutuskan untuk menjadikan amarah itu mekanisme mengatasi. Mereka lihat amarah bekerja di dalam keluarga mereka atau di sekolah. Mereka kaitkan kekuasaan dengan intimidasi, mungkin mereka tidak mempunyai akses lain terhadap kekuasaan. Umumnya mereka merasa tidak sanggup mengekpresikan diri secara lisan, dan marah menjadi pengganti kata kata dan pikiran. Begitu kebiasaan marah, mereka tidak lagi mencari jalan pelampiasan lain. Amarah yang mereka coba akhiri itu terikat kepada mereka oleh kebutuhan dan hasrat - mereka tidak tahu bagaimana caranya mendapatkan apa yang mereka inginkan tanpa amarah.

Inilah anatomi samskara dalam segala variasinya. Kita bisa mengganti pengalaman pengalaman marah itu dengan pengalaman lain seperti cemas, depresi, kecanduan seksual, penyalahgunaan subtansi, obsesi; semuanya akan membuktikan, betapa samskara itu merampas pilihan bebas manusia. Tidak sanggup melepaskan  diri dari kenangan-kenangan beracun, orang beradaptasi tehadapnya, menambahkan kesan selapis demi selapis. Lapisan bawahnya yang diletakkan ketika masih kecil, terus saja mengirimkan pesannya; itulah sebabnya orang dewasa sering becermin dan merasa seperti anak anak yang impulsif, yang ketakutan. Masa lalu belum dituntaskan secara memadai; samskara menguasai psikis lewat pengalaman pengalaman lama yang sudah usang.

Kenangan kenangan yang tersimpan itu ibarat chip mikro yang diprogamkan untuk mengirim untuk terus mengirim pesan yang sama berulang-ulang. Ketika kita temukan diri kita mampunyai reaksi yang kaku, pesannya telah terkirim: Tak ada gunanya mencoba mengubah pesannya. Tetapi demikianlah persisnya kebanyakan orang yang berusaha menjinakkan pikiran. Mereka terima pesan yang tidak mereka sukai, dan reaksi mereka adalah salah satu dari ketiga berikut ini.

Memanipulasi
Mengendalikan
Menyangkal

Memanipulasi artinya mendapatkan apa yang kita inginkan dengan mengabaikan atau merugikan hasrat orang lain. Mengunakan daya tarik, persuasi, bujuk rayu siasat dan pembelokan. Kita bisa menangkap diri kita jatuh ke dalam perilaku ini ketika kita tidak mendengarkan orang lain, ketika kita mengabaikan apa yang diinginkan orang lain, dan ketika kita pura-pura bahwa hasrat kita tidak merugikan orang lain.

Mengendalikan artinya memaksa kejadian dan orang mengikuti cara kita. Mengendalikan adalah topeng ketidak tenteraman. Orang yang menggunakan perilaku ini ketakutan setengah mati membiarkan orang lain menjadi diri mereka adanya, sehingga terus menerus mengajukan tuntutan yang membuat orang lain tidak pernah seimbang. Ini banyak terjadi dalam kehidupan baik keluarga atau sosial, agama dll. Tetapi begitu kita tidak mengendalikan, orang disekeliling kita mulai lega, mereka rileks dan tertawa. Mereka merasa bebas menjadi siapa mereka adanya tanpa harus kita dukung.

Menyangkal artinya tidak mengakui adanya masalah. Para psikolog menganggap ini yang paling kekanak-kanakan diantara ketiga perilaku itu sebab sangat erat hubungannya dengan kerentanan. Orang yang menyangkal merasa tiada berdaya memecahkan masalah masalah, persis seperti anak kecil. Ketakutan dikaitkan dengan penyangkalan; demikian pula kebutuhan atas kasih yang kekanak kanakan.

Bagaimanakah semua kebisingan itu bisa dijinakkan? Bagaimanakah kita bisa mendapatkan kembali kesadaran diri yang sesuai dengan realitas tunggal? Jawabannya sekali lagi adalah kemerdekaan, tetapi dengan cara yang  sangat unik. Kita harus memerdekakan diri dari keputusan-keputusan. Suara dalam benak kita akan mati sendiri begitu kita tidak lagi membuat pilihan. Samskara itu pilihan yang kita ingat dari masa lalu. Masing masing pilihan mengubah kita sedikit. Prosesnya dimulai semenjak lahir dan terus berlangsung hingga sekarang. Bukannya melawannya, kita semua yakin bahwa kita seharusnya terus membuat pilihan; akibatnya kita terus saja menambahkan samskara baru dan menguatkan samskara lama (roda samskara). Dalam pengertian kosmik, roda samskara itulah yang mendorong jiwa dari satu kehidupan ke kehidupan yang berikutnya - tanda-tanda lama yang membuat kita menghadapi masalah yang itu itu juga, bahkan setelah matipun.

Kesadaran tanpa pilihan adalah nama lain dari kesadaran merdeka. Dengan memerdekakan sang pembuat pilihan di dalam, kita rebut kembali hak kita untuk hidup tanpa batasan, menindak lanjuti kehendak Tuhan dengan kepercayaan penuh. Bagi kita semua kehidupan telah dijalani dengan pilihan demi pilihan. Tetapi setiap kali kita memilih A daripada B, kita terpaksa meninggalkan salah satu bagian dari realita tunggal itu. Kita mendefinisikan diri dengan preferensi selektif.

Alternatifnya adalah berhenti berkonsentrasi kepada hasil hasil dan mempelajari penyebabnya. Siapakah pembuat pilihan di dalam? Suara ini adalah peninggalan masa lalu, akumulasi keputusan keputusan lama yang terbawa hingga sekarang. Sekarang ini kita hidup dibawah beban diri kita di masa lalu, yang tidak hidup lagi. Kita harus melindungi ribuan pilihan yang membentuk diri yang sudah mati itu. Padahal sebetulnya si pembuat pilihan bisa hidup lebih merdeka. Seandainya pilihan terjadi di masa sekarang dan sepenuhnya dihargai sekarang, tidak ada lagi yang tersisa untuk dijadikan pegangan, maka masa lalu  tidak akan berakumulasi menjadi beban yang meremukkan.

Pilihan hendaknya merupakan aliran. Tubuh kita sudah menyarankan bahwa inilah cara hidup yang alami. Seperti yang kita lihat pada tubuh kita, masing-masing sel menyimpan makanan dan oksigen hanya secukupnya untuk bertahan beberapa detik. Sel-sel tidaklah  menyimpan enegi karena mereka tidak pernah tahu apa yang datang berikutnya. Respon respon fleksibel itu jauh lebih penting bagi kelangsungan hidup daripada menumpuk. Dari satu sudut pandang, ini menjadikan sel-sel kita tampak sepenuhnya rentan dan tak terlindung, tapi serapuh apapun tampaknya sel itu, dua milyar evolusi tidaklah dapat disangkal.

Semua orang tahu bagaimana caranya memilih; tidak banyak yang tahu bagaimana caranya merelakan. Padahal hanya dengan merelakan masing masing pengalamanlah kita memberikan tempat bagi yang berikutnya, keterampilan merelakan bisa dipelajari; begitu dipelajari, kita akan menikmati hidup jauh lebih spontan.

Sumber: Henkykuntarto’s Blog -Wellcome to my spiritual blog

No comments:

Post a Comment