Pandangan lain tentang kebebasan adalah sebagian (atau semua)
peristiwa disebabkan, akan tetapi peristiwa yang kita ciptakan tidak
memiliki sebab dari dalam alam semesta. Secara khusus, gagasan ini
menegaskan bahwa pikiran kita berada di luar dunia fisik (filsafat
dualistik), tetapi pikiran kita agaknya bisa mencapainya dan
mempengaruhi apa yang terjadi. Dengan demikian, sejauh dunia fisik saja
yang diperhatikan, tidak semua peristiwa dapat ditentukan, karena
pikiran bukan bagian dari dunia fisik. Kita masih bertanya, apa yang
menyebabkan pikiran memutuskan sebagaimana ia memutuskan?
Jika sebab-sebab itu bermula dalam dunia fisik (dan jelas sebagian memang demikian), maka kita kembali ke determinisme, dan pengenalan pikiran non-fisik merupakan hiasan kosong. Akan tetapi, jika sebagian dari sebab-sebab itu non-fisik, apakah hal itu membuat kita lebih bebas? Jika kita tidak memiliki kendali atas sebab-sebab non-fisik, maka kita tidak lebih baik daripada kita memiliki sebab-sebab fisik yang tak dapat dikendalikan. Namun jika kita dapat mengontrol sebab-sebab keputusan kita sendiri, apa yang menentukan bagaimana kita memilih melaksanakan kontrol tersebut: lebih banyak pengaruh eksternal (fisik atau non-fisik) atau kita? “Saya melakukannya karena saya menjadikan diri saya, menjadikan diri saya, menjadikan diri saya…” Di manakah rangkaian itu berakhir? Haruskah kita jatuh dalam gerak mundur tak berhingga? Dapatkah kita mengatakan bahwa kaitan pertama dalam rangkaian tersebut disebabkan oleh diri: kita tidak membutuhkan sebab dari luar diri kita? Apakah konsep ini kausalitas diri (sebab tanpa sebab) memiliki makna?
Sejauh ini kita telah mengabaikan determinisme. Sebagian besar fisikawan mengklaim bahwa konflik antara determinisme dan kehendak bebas tidak relevan, karena kita mengetahui bahwa faktor kuantum sama sekali tidak mengakui determinisme. Akan tetapi, kita harus hati-hati di sini. Dampak kuantum mungkin terlalu kecil untuk mempengaruhi cara kerja otak pada tingkatan neuron, namun jika dampak tersebut mempengaruhi kita pasti tidak memiliki kehendak bebas, tetapi kerusakan. Fluktuasi kuantum yang memaksa neuron menyala, padahal secara normal tidak menyala (atau sebaliknya), harus dipandang sebagai campur tangan terhadap cara kerja otak normal yang sebaliknya. Jika elektroda ditanamkan pada otak Anda dan dipacu secara acak oleh sumber eksternal, Anda akan mamandang bentuk campur tangan tersebut sebagai reduksi atas kebebasan Anda: seseorang ‘mengambil alih’, atau setidak-tidaknya mengganggu, cara kerja otak Anda. Bagaimana bisa perilaku kuantum acak di dalam kepala Anda mewakili sesuatu selain ‘kegaduhan’? Anda memutuskan mengangkat tangan Anda, akan tetapi fluktuasi kuantum mengganggu sinyalnya. Sebaliknya kaki Anda bergerak. Apakah itu kebebasan? Itulah masalah fundamental indeterminisme: tindakan Anda bisa jadi tidak berada di bawah kendali Anda karena tindakan-tindakan tersebut tidak ‘ditetapkan’, oleh Anda atau sesuatu lainnya.
Lagi-lagi, sulit menolak daya tarik yang dimiliki oleh faktor kuantum karena beberapa harapan akan kebebasan. Tentu, kita tidak menginginkan urutan nyala neuron disela, tetapi dapat dikatakan bahwa dampak kuantum hanya penting apda tahap pertama–permulaan. Bayangkanlah neuron yang dipersiapkan, dan membutuhkan hanya gangguan sedikit pada tingkatan atomik untuk mempercepatnya. Teori kuantum mengatakan, ada suatu kemungkinan yang jelas bahwa neuron akan terbakar atau tidak. Hasil aktualnya tidak dapat dipastikan. Ini terjadi ketika akal (atau jiwa) masuk. Teori itu (secara tidak sadar) mengatakan, “Elektron bergerak ke kanan!” atau perintah semacam itu, dan neuron terbakar. Tidak ada penyimpangan terhadap hukum fisika yang terlibat dalam versi pikiran-mengatasi-materi ini karena ada peluang yang jelas di mana neuron akan terbakar. Pikiran hanya menyentuh keseimbangan ganjil untuk menjamin peluang tersebut berjalan.
Tak satu pun dari pembahasan di atas benar-benar mengatasi paradoks utama teori kuantum, yang merupakan peran unik yang dimainkan oleh pikiran dalam menentukan realitas. Tindakan pengamatan menyebabkan posisi-tinggi realitas potensi seperti hantu untuk masuk ke dalam realitas tunggal dan konkret. Jika diserahkan pada perangkatnya sendiri, atom tidak dapat membuat suatu pilihan. Kita harus mengamatinya sebelum hasil tertentu direalisasikan. Fakta bahwa Anda dapat memutuskan untuk menciptakan, baik atom-di-suatu-tempat, ataupun atom-yang-memiliki-kecepatan, mempertegas bahwa apapun wataknya, pikiran Anda, dalam pengertian tertentu, dapat mencapai alam fisik. Akan tetapi, sekali lagi kini kita dapat menanyakan mengapa Anda memutuskan untuk mengukur, katakanlah, posisi atom, bukan geraknya. Apakah ini kebebasan untuk mengkonstruksi realitas lebih kuat ketimbang kebebasan yang telah ada, untuk mempengaruhi dunia eksternal oleh obyek yang bergerak, berputar, katakanlah, dengan sentuhan?
Telah banyak ditulis tentang hubungan kehendak bebas dan masalah kesalahan dan tanggung jawab terhadap kejahatan. Jika kehendak bebas itu adalah khayalan, mengapa seseorang harus disalahkan atas tindakannya? Dan jika semuanya telah ditetapkan, masing-masing di antara kita telah terkunci dalam alur tindakan yang telah diputuskan sebelum keberadaan kita. Kita harus bertanya tentang posisi Tuhan dalam sebuah alam deterministik. Segera setelah Tuhan dimasukkan dalam gambaran tersebut, kita memasukkan dalam diri kita suatu banjir teka-teki.
Dapatkah Tuhan melaksanakan kehendak bebas dan membuat keputusan?
Jika manusia memiliki kehendak bebas, tentu Tuhan juga punya? Dalam kasus mana di antara masalah-masalah di atas tentang konsep kebebasan meluas hingga Tuhan. Di samping itu, kita semua memiliki kebingungan yang dikaitkan dengan Tuhan yang Tak Berhingga dan Mahakuasa. Jika Tuhan memiliki rencana bagi alam semesta, mana yang diimplementasikan sebagai bagian dari kehendak-Nya, mangapa Dia tidak menciptakan saja alam semesta deterministik di mana tujuan rencana itu tidak terelakkan? Atau lebih baik lagi menciptakan alam semesta dengan rencana yang tercapai? Namun, jika alam semesta indeterministik, apakah itu berarti kekuasaan Tuhan terbatas karena ketidakmampuan-Nya memprediksi atau memutuskan apa hasilnya?
Mungkin dapat dikatakan bahwa Tuhan bebas melepaskan beberapa kekuasaan-Nya jika Dia menghendaki. Dia dapat memberikan kepada kita kehendak bebas untuk bertindak melawan rencana-Nya jika kita memang menghendaki, dan Dia dapat memberikan kepada atom faktor kuantum untuk mengalihkan ciptaan-Nya menjadi permainan kebetulan dalam alam. Akan tetapi, ada suatu persoalan logika, apakah yang benar-benar Mahakuasa dapat melepaskan sebagian kekuasaan-Nya.
Gagasan kebebasan yang diimplikasikan oleh kemahakuasaan sangat berbeda dengan sejenis kebebasan yang diperoleh manusia. Anda mungkin bebas memilih teh atau kopi, namun selama persediaan ada. Anda tidak bebas melakukan segala sesuatu semau Anda–merenangi Atlantik atau membalikkan bulan menjadi darah, misalnya. Kekuasaan manusia terbatas, dan hanya rentang kecil keinginan yang dapat dipenuhi. Sebaliknya, kekuasaan Tuhan Yang Mahakuasa tanpa batas, dan wujud semacam itu babas melakukan apapun yang dikehendaki-Nya.
Kemahakuasaan mengangkat kembali sejumlah persoalan teologis yang aneh. Apakah Tuhan bebas menghalangi kejahatan? Jika Dia Mahakuasa, ya. Lalu mengapa Dia gagal melakukannya? Argumen yang sangat mengena ini disebarkan oleh David Hume: jika kejahatan di dunia berasal dari kehendak Tuhan, berarti Dia tidak Maha Pemurah. Dia tidak dapat Mahakuasa sekaligus Maha Pemurah (sebagaimana diklaim oleh kebanyakan agama).
Salah satu respons terhadap argumen ini adalah bahwa kejahatan itu disebabkan sepenuhnya oleh aktivitas manusia; karena Tuhan telah memberikan kepada kita kebebasan, kita bebas melakukan kejahatan dan dengan demikian menghalangi rencana Tuhan. Lagi-lagi, jika Tuhan juga bebas melindungi kita dari tindakan jahat, tidak mestikah Dia memperoleh sebagian tanggung jawab jika Dia gagal melakukannya? Ketika orang tua membiarkan anaknya yang tidak menurut mengamuk, menyerang tetangga dan membuat kerusakan, kita biasanya melemparkan sebagian kecaman terhadap sikap orang tuanya. Karena itu, haruskah kita berkesimpulan bahwa kejahatan (mungkin dalam jumlah yang terbatas) adalah bagian dari seluruh rencana Tuhan? Ataukah Tuhan tidak bebas sama sekali menghalangi kita dari tindakan melawan-Nya?
Teka-teki segar muncul jika doktrin Kristen diikuti di mana Tuhan diyakini melampaui waktu, karena konsep kebebasan memilih secara intrinsik bersifat temporal. Apa maknanya membuat pilihan, bukan pada momen tertentu, tetapi kekal? Dan jika Tuhan sudah mengetahui masa depan, makna apa yang dapat kita lekatkan pada rencana kosmik dan partisipasi kita di dalamnya? Tuhan yang Tak Berhingga mengetahui apa yang terjadi di manapun. Namun sebagaimana kita lihat, tidak ada momen masa kini universal, maka pengetahuan Tuhan pasti berada dalam waktu jika pengetahuan itu berada dalam ruang. Jadi kita berkesimpulan bahwa sia-sialah Tuhan Kristen yang kekal itu memiliki kebebasan memilih. Akan tetapi, dapatkah kita meyakini bahwa manusia memiliki fakultas yang tidak terdapat pada penciptanya? Kita berhadapan pada kesimpulan paradoks bahwa kebebasan memilih sebenarnya merupakan suatu ‘pembatasan’ yang menimpa kita–yaitu, ketidakmampuan kita mengetahui masa depan. Tuhan, yang lepas dari penjara masa kini, tidak membutuhkan kehendak bebas.
Masalahnya terlihat tak dapat diatasi. Fisika baru, tak diragukan lagi, memberikan suatu pandangan baru terhadap enigma lama kehendak bebas dan determinisme, namun tidak menyelesaikannya. Teori kuantum meruntuhkan determinisme, akan tetapi memunculkan kesulitan mengenai kebebasan, di antaranya kemungkinan akan realitas berlipat-ganda. Teori relativitas menawarkan kepada kita suatu alam semesta yang berkembang dalam waktu dan ruang, namun masih menyisakan pintu terbuka bagi sejenis kebebasan bertindak. Tak diragukan lagi, perkembanan ke depan dalam pemahaman kita tentang waktu akan memberikan sinaran baru terhadap masalah-masalah fundamental dari eksistensi kita.
Tulisan ini dirangkum dari buku God and The New Physics
Sumber: Free Thinker
Jika sebab-sebab itu bermula dalam dunia fisik (dan jelas sebagian memang demikian), maka kita kembali ke determinisme, dan pengenalan pikiran non-fisik merupakan hiasan kosong. Akan tetapi, jika sebagian dari sebab-sebab itu non-fisik, apakah hal itu membuat kita lebih bebas? Jika kita tidak memiliki kendali atas sebab-sebab non-fisik, maka kita tidak lebih baik daripada kita memiliki sebab-sebab fisik yang tak dapat dikendalikan. Namun jika kita dapat mengontrol sebab-sebab keputusan kita sendiri, apa yang menentukan bagaimana kita memilih melaksanakan kontrol tersebut: lebih banyak pengaruh eksternal (fisik atau non-fisik) atau kita? “Saya melakukannya karena saya menjadikan diri saya, menjadikan diri saya, menjadikan diri saya…” Di manakah rangkaian itu berakhir? Haruskah kita jatuh dalam gerak mundur tak berhingga? Dapatkah kita mengatakan bahwa kaitan pertama dalam rangkaian tersebut disebabkan oleh diri: kita tidak membutuhkan sebab dari luar diri kita? Apakah konsep ini kausalitas diri (sebab tanpa sebab) memiliki makna?
Sejauh ini kita telah mengabaikan determinisme. Sebagian besar fisikawan mengklaim bahwa konflik antara determinisme dan kehendak bebas tidak relevan, karena kita mengetahui bahwa faktor kuantum sama sekali tidak mengakui determinisme. Akan tetapi, kita harus hati-hati di sini. Dampak kuantum mungkin terlalu kecil untuk mempengaruhi cara kerja otak pada tingkatan neuron, namun jika dampak tersebut mempengaruhi kita pasti tidak memiliki kehendak bebas, tetapi kerusakan. Fluktuasi kuantum yang memaksa neuron menyala, padahal secara normal tidak menyala (atau sebaliknya), harus dipandang sebagai campur tangan terhadap cara kerja otak normal yang sebaliknya. Jika elektroda ditanamkan pada otak Anda dan dipacu secara acak oleh sumber eksternal, Anda akan mamandang bentuk campur tangan tersebut sebagai reduksi atas kebebasan Anda: seseorang ‘mengambil alih’, atau setidak-tidaknya mengganggu, cara kerja otak Anda. Bagaimana bisa perilaku kuantum acak di dalam kepala Anda mewakili sesuatu selain ‘kegaduhan’? Anda memutuskan mengangkat tangan Anda, akan tetapi fluktuasi kuantum mengganggu sinyalnya. Sebaliknya kaki Anda bergerak. Apakah itu kebebasan? Itulah masalah fundamental indeterminisme: tindakan Anda bisa jadi tidak berada di bawah kendali Anda karena tindakan-tindakan tersebut tidak ‘ditetapkan’, oleh Anda atau sesuatu lainnya.
Lagi-lagi, sulit menolak daya tarik yang dimiliki oleh faktor kuantum karena beberapa harapan akan kebebasan. Tentu, kita tidak menginginkan urutan nyala neuron disela, tetapi dapat dikatakan bahwa dampak kuantum hanya penting apda tahap pertama–permulaan. Bayangkanlah neuron yang dipersiapkan, dan membutuhkan hanya gangguan sedikit pada tingkatan atomik untuk mempercepatnya. Teori kuantum mengatakan, ada suatu kemungkinan yang jelas bahwa neuron akan terbakar atau tidak. Hasil aktualnya tidak dapat dipastikan. Ini terjadi ketika akal (atau jiwa) masuk. Teori itu (secara tidak sadar) mengatakan, “Elektron bergerak ke kanan!” atau perintah semacam itu, dan neuron terbakar. Tidak ada penyimpangan terhadap hukum fisika yang terlibat dalam versi pikiran-mengatasi-materi ini karena ada peluang yang jelas di mana neuron akan terbakar. Pikiran hanya menyentuh keseimbangan ganjil untuk menjamin peluang tersebut berjalan.
Tak satu pun dari pembahasan di atas benar-benar mengatasi paradoks utama teori kuantum, yang merupakan peran unik yang dimainkan oleh pikiran dalam menentukan realitas. Tindakan pengamatan menyebabkan posisi-tinggi realitas potensi seperti hantu untuk masuk ke dalam realitas tunggal dan konkret. Jika diserahkan pada perangkatnya sendiri, atom tidak dapat membuat suatu pilihan. Kita harus mengamatinya sebelum hasil tertentu direalisasikan. Fakta bahwa Anda dapat memutuskan untuk menciptakan, baik atom-di-suatu-tempat, ataupun atom-yang-memiliki-kecepatan, mempertegas bahwa apapun wataknya, pikiran Anda, dalam pengertian tertentu, dapat mencapai alam fisik. Akan tetapi, sekali lagi kini kita dapat menanyakan mengapa Anda memutuskan untuk mengukur, katakanlah, posisi atom, bukan geraknya. Apakah ini kebebasan untuk mengkonstruksi realitas lebih kuat ketimbang kebebasan yang telah ada, untuk mempengaruhi dunia eksternal oleh obyek yang bergerak, berputar, katakanlah, dengan sentuhan?
Telah banyak ditulis tentang hubungan kehendak bebas dan masalah kesalahan dan tanggung jawab terhadap kejahatan. Jika kehendak bebas itu adalah khayalan, mengapa seseorang harus disalahkan atas tindakannya? Dan jika semuanya telah ditetapkan, masing-masing di antara kita telah terkunci dalam alur tindakan yang telah diputuskan sebelum keberadaan kita. Kita harus bertanya tentang posisi Tuhan dalam sebuah alam deterministik. Segera setelah Tuhan dimasukkan dalam gambaran tersebut, kita memasukkan dalam diri kita suatu banjir teka-teki.
Dapatkah Tuhan melaksanakan kehendak bebas dan membuat keputusan?
Jika manusia memiliki kehendak bebas, tentu Tuhan juga punya? Dalam kasus mana di antara masalah-masalah di atas tentang konsep kebebasan meluas hingga Tuhan. Di samping itu, kita semua memiliki kebingungan yang dikaitkan dengan Tuhan yang Tak Berhingga dan Mahakuasa. Jika Tuhan memiliki rencana bagi alam semesta, mana yang diimplementasikan sebagai bagian dari kehendak-Nya, mangapa Dia tidak menciptakan saja alam semesta deterministik di mana tujuan rencana itu tidak terelakkan? Atau lebih baik lagi menciptakan alam semesta dengan rencana yang tercapai? Namun, jika alam semesta indeterministik, apakah itu berarti kekuasaan Tuhan terbatas karena ketidakmampuan-Nya memprediksi atau memutuskan apa hasilnya?
Mungkin dapat dikatakan bahwa Tuhan bebas melepaskan beberapa kekuasaan-Nya jika Dia menghendaki. Dia dapat memberikan kepada kita kehendak bebas untuk bertindak melawan rencana-Nya jika kita memang menghendaki, dan Dia dapat memberikan kepada atom faktor kuantum untuk mengalihkan ciptaan-Nya menjadi permainan kebetulan dalam alam. Akan tetapi, ada suatu persoalan logika, apakah yang benar-benar Mahakuasa dapat melepaskan sebagian kekuasaan-Nya.
Gagasan kebebasan yang diimplikasikan oleh kemahakuasaan sangat berbeda dengan sejenis kebebasan yang diperoleh manusia. Anda mungkin bebas memilih teh atau kopi, namun selama persediaan ada. Anda tidak bebas melakukan segala sesuatu semau Anda–merenangi Atlantik atau membalikkan bulan menjadi darah, misalnya. Kekuasaan manusia terbatas, dan hanya rentang kecil keinginan yang dapat dipenuhi. Sebaliknya, kekuasaan Tuhan Yang Mahakuasa tanpa batas, dan wujud semacam itu babas melakukan apapun yang dikehendaki-Nya.
Kemahakuasaan mengangkat kembali sejumlah persoalan teologis yang aneh. Apakah Tuhan bebas menghalangi kejahatan? Jika Dia Mahakuasa, ya. Lalu mengapa Dia gagal melakukannya? Argumen yang sangat mengena ini disebarkan oleh David Hume: jika kejahatan di dunia berasal dari kehendak Tuhan, berarti Dia tidak Maha Pemurah. Dia tidak dapat Mahakuasa sekaligus Maha Pemurah (sebagaimana diklaim oleh kebanyakan agama).
Salah satu respons terhadap argumen ini adalah bahwa kejahatan itu disebabkan sepenuhnya oleh aktivitas manusia; karena Tuhan telah memberikan kepada kita kebebasan, kita bebas melakukan kejahatan dan dengan demikian menghalangi rencana Tuhan. Lagi-lagi, jika Tuhan juga bebas melindungi kita dari tindakan jahat, tidak mestikah Dia memperoleh sebagian tanggung jawab jika Dia gagal melakukannya? Ketika orang tua membiarkan anaknya yang tidak menurut mengamuk, menyerang tetangga dan membuat kerusakan, kita biasanya melemparkan sebagian kecaman terhadap sikap orang tuanya. Karena itu, haruskah kita berkesimpulan bahwa kejahatan (mungkin dalam jumlah yang terbatas) adalah bagian dari seluruh rencana Tuhan? Ataukah Tuhan tidak bebas sama sekali menghalangi kita dari tindakan melawan-Nya?
Teka-teki segar muncul jika doktrin Kristen diikuti di mana Tuhan diyakini melampaui waktu, karena konsep kebebasan memilih secara intrinsik bersifat temporal. Apa maknanya membuat pilihan, bukan pada momen tertentu, tetapi kekal? Dan jika Tuhan sudah mengetahui masa depan, makna apa yang dapat kita lekatkan pada rencana kosmik dan partisipasi kita di dalamnya? Tuhan yang Tak Berhingga mengetahui apa yang terjadi di manapun. Namun sebagaimana kita lihat, tidak ada momen masa kini universal, maka pengetahuan Tuhan pasti berada dalam waktu jika pengetahuan itu berada dalam ruang. Jadi kita berkesimpulan bahwa sia-sialah Tuhan Kristen yang kekal itu memiliki kebebasan memilih. Akan tetapi, dapatkah kita meyakini bahwa manusia memiliki fakultas yang tidak terdapat pada penciptanya? Kita berhadapan pada kesimpulan paradoks bahwa kebebasan memilih sebenarnya merupakan suatu ‘pembatasan’ yang menimpa kita–yaitu, ketidakmampuan kita mengetahui masa depan. Tuhan, yang lepas dari penjara masa kini, tidak membutuhkan kehendak bebas.
Masalahnya terlihat tak dapat diatasi. Fisika baru, tak diragukan lagi, memberikan suatu pandangan baru terhadap enigma lama kehendak bebas dan determinisme, namun tidak menyelesaikannya. Teori kuantum meruntuhkan determinisme, akan tetapi memunculkan kesulitan mengenai kebebasan, di antaranya kemungkinan akan realitas berlipat-ganda. Teori relativitas menawarkan kepada kita suatu alam semesta yang berkembang dalam waktu dan ruang, namun masih menyisakan pintu terbuka bagi sejenis kebebasan bertindak. Tak diragukan lagi, perkembanan ke depan dalam pemahaman kita tentang waktu akan memberikan sinaran baru terhadap masalah-masalah fundamental dari eksistensi kita.
Tulisan ini dirangkum dari buku God and The New Physics
Sumber: Free Thinker
No comments:
Post a Comment