Saturday, October 20, 2018

Determinisme atau Ketidakpastian?

Teori quantum adalah teori fisika tersukses sepanjang masa. Rumusan tertinggi teori quantum adalah Standard Model, yang melambangkan buah eksperimen akselerator partikel selama berdekade-dekade. Sebagian dari teori ini telah diuji hingga 1 bagian dalam 10 miliar. Bila seseorang memasukkan massa neutrino, maka Standard Model konsisten dengan semua eksperimen partikel subatom, tanpa kecuali.

Tapi tak peduli seberapa sukses teori quantum ini, secara eksperimen ia didasarkan pada postulat-postulat yang telah melepaskan badai kontroversi filsafat dan teologis selama 80 tahun terakhir. Postulat kedua, khususnya, telah menimbulkan kemarahan agama-agama karena menanyakan siapa yang memutuskan takdir kita. Di sepanjang zaman, para filsuf, teolog, dan ilmuwan tertarik dengan masa depan dan bertanya-tanya apakah, entah bagaimana caranya, takdir kita bisa diketahui. Dalam Macbeth-nya Shakespeare, Banquo, putus asa mengangkat tabir yang menutupi takdir kita, menyampaikan dialog terkenang berikut:

Jika kau mampu memandang benih-benih waktu
dan menyebutkan butiran mana yang akan tumbuh dan yang tidak,
maka berbincanglah denganku…
(babak 1, adegan 3)

Shakespeare menulis kata-kata ini pada 1606. Delapan tahun kemudian, seorang Inggris lain, Isaac Newton, dengan berani mengklaim bahwa dirinya mengetahui jawaban untuk pertanyaan kuno ini. Newton maupun Einstein meyakini konsep yang disebut determinisme (ketetapan/kepastian), yang menyatakan bahwa semua peristiwa masa depan pada prinsipnya bisa ditetapkan. Bagi Newton, alam semesta adalah jam raksasa yang diputar oleh Tuhan pada permulaan masa. Sejak saat itu, jam ini berdetak, mematuhi tiga hukum geraknya, dengan cara yang dapat diprediksi secara akurat. Matematikawan Prancis, Pierre Simon de Laplace, yang merupakan penasehat sains Napoleon, menulis bahwa, menggunakan hukum Newton, seseorang bisa memprediksikan masa depan dengan presisi yang sama seperti ketika memandang masa lalu. Dia menulis bahwa jika suatu entitas bisa mengetahui posisi dan kecepatan semua partikel di alam semesta, “bagi intelek secerdas itu, tak ada yang tak pasti; dan masa depan, juga masa lalu, berada di hadapan matanya.” Saat Laplace memberi Napoleon salinan karya hebatnya, Celestial Mechanics, sang kaisar berkata, “Kau telah menulis karya besar tentang angkasa ini tanpa satu kali pun menyebutkan Tuhan.” Laplace menjawab, “Tuan, aku tak memerlukan hipotesis tersebut.”

Bagi Newton dan Einstein, gagasan tentang kehendak bebas, bahwa kita adalah penguasa takdir kita, merupakan sebuah ilusi. Gagasan masuk akal tentang realitas ini, bahwa objek-objek konkret yang kita sentuh adalah nyata dan eksis dalam kondisi definitif, oleh Einstein disebut “realitas objektif”. Dia sangat jelas mengungkapkan posisinya sebagai berikut:

Saya adalah seorang determinis, dipaksa bertindak seolah-olah terdapat kehendak bebas, sebab jika saya ingin hidup dalam sebuah masyarakat beradab, saya harus bertindak secara bertanggung jawab. Saya tahu secara filosofis seorang pembunuh tidak bertanggung jawab atas kejahatannya, tapi saya tidak akan minum teh bersamanya. Karir saya telah ditentukan oleh berbagai gaya yang saya tidak punya kuasa atasnya, terutama kelenjar-kelenjar misterius itu di mana alam mempersiapkan esensi kehidupan. Henry Ford boleh menyebutnya Suara Batin, Socrates menyebutnya sebagai daemon: tiap manusia menjelaskan fakta dengan caranya sendiri bahwa kehendak manusia tidaklah bebas…Segala sesuatu itu ditetapkan…oleh gaya-gaya yang kita tak punya kuasa atasnya…pun bagi serangga dan bintang. Manusia, sayuran, atau debu kosmik, kita semua berdansa menurut tempo misterius, dilagukan di kejauhan oleh satu pemain tak nampak.

Teolog juga telah bergulat dengan pertanyaan ini. Sebagian besar agama dunia meyakini suatu bentuk takdir, ide bahwa Tuhan tak hanya mahakuasa (serba kuasa) dan mahaada (ada di mana-mana), tapi juga mahatahu (tahu segalanya, bahkan masa depan). Dalam beberapa agama, ini artinya Tuhan mengetahui apakah kita akan masuk surga atau neraka, bahkan sebelum kita lahir. Pada esensinya, terdapat “buku takdir” di suatu tempat di surga dengan semua nama kita terdaftar, mencakup tanggal lahir kita, kegagalan dan keberhasilan kita, kesenangan dan kesusahan kita, bahkan tanggal kematian kita, dan apakah kita akan hidup di surga atau dalam kutukan abadi.

(Pertanyaan teologis sulit tentang takdir ini, sebagian, membantu memecah gereja Katolik pada tahun 1517, ketika Martin Luther menempelkan 95 tesis mengenai gereja di Wittenberg. Di dalamnya, dia menyerang praktek penjualan indulgence oleh gereja—pada esensinya adalah uang suap yang melapangkan jalan menuju surga bagi kaum kaya. Mungkin Luther mengatakan, Tuhan mengetahui masa depan kita dan nasib kita sudah ditakdirkan, tapi Tuhan tidak bisa dibujuk untuk berubah pikiran dengan memberi banyak donasi kepada gereja.)

Tapi bagi fisikawan yang menerima konsep probabilitas, postulat yang paling kontroversial sejauh ini adalah postulat ketiga, yang telah membuat sakit kepala bergenerasi-generasi fisikawan dan filsuf. “Pengamatan” adalah konsep longgar dan tidak jelas. Selain itu, ia bersandar pada fakta bahwa sebetulnya terdapat dua tipe fisika: satu untuk dunia subatom yang ganjil, di mana elektron-elektron tampaknya bisa berada di dua tempat pada waktu yang sama, dan satu lainnya untuk dunia makroskopis yang kita tinggali, yang terlihat mematuhi hukum Newton yang masuk akal.

Menurut Bohr, terdapat suatu “dinding” tak tampak yang memisahkan dunia atom dari dunia makroskopis keseharian yang familiar. Sementara dunia atom mematuhi aturan ganjil teori quantum, kita menjalani kehidupan di luar dinding itu, di dunia penuh planet dan bintang yang terumuskan dengan baik di mana gelombang-gelombang telah kolaps.

Wheeler, yang mempelajari mekanika quantum dari pendirinya, gemar meringkas dua aliran pemikiran mengenai pertanyaan ini. Dia memberikan contoh berupa tiga orang wasit dalam permainan bisbol yang sedang merundingkan point bisbol yang bagus. Dalam membuat keputusan, ketiga wasit mengatakan:

Wasit 1: Saya memutuskannya seolah-olah saya melihatnya.
Wasit 2: Saya memutuskannya sebagaimana adanya.
Wasit 3: Mereka tidak ada sampai saya memutuskannya.

Bagi Wheeler, wasit kedua adalah Einstein, yang mempercayai adanya realitas mutlak di luar pengalaman manusia. Einstein menyebut ini sebagai “realitas objektif”, yaitu bahwa objek-objek dapat eksis dalam kondisi definitif tanpa intervensi manusia. Wasit ketiga adalah Bohr, yang berargumen bahwa realitas hanya eksis setelah pengamatan dilakukan.

Sumber: Dunia Paralel

No comments:

Post a Comment