Asal-usul kehidupan tetap menjadi salah satu misteri saintifik yang
sangat besar. Hanya ketika molekul organik mencapai tingkat kompleksitas
tertentu yang sangat tinggi, mereka dapat disebut ‘hidup’, dalam arti
bahwa mereka menginsyaratkan banyak informasi dalam bentuk yang stabil
dan tidak hanya menunjukkan kemampuan menyimpan cetak-biru bagi
peniruan, tetapi juga sarana untuk mengimplementasikan tiruan tersebut.
Persoalannya adalah, bagaimana persoalan ini dapat ditembus oleh proses
fisika dan kimiawi tanpa bantuan sebab supernatural.
Bumi kira-kira berusia 4,5 milyar tahun. Jejak kehidupan yang telah berkembang yang ada dalam rekaman fosil menunjukkan setidak-tidaknya 3,5 milyar tahun, dan kemungkinan bentuk kehidupan yang sangat sederhana telah ada sebelumnya. Jadi, dalam istilah geologi, kehidupan segera terbentuk di planet baru kita yang dingin manakala trauma kelahiran sistem tata surya telah hilang. Ini menunjukkan bahwa mekanisme apapun yang bertanggungjawab atas munculnya kehidupan, sistem itu sangat efisien, suatu pengamatan yang telah mendorong sebagian saintis berkesimpulan bahwa kehidupan merupakan suatu hasil tak terelakkan berkat kondisi fisika dan kimiawi.
Skenario yang paling digemari bagi asal-usul kehidupan adalah ‘kabut mula-mula’. Bumi yang sederhana, dengan pasokan airnya yang melimpah, yang diperkaya dengan senyawa organik sederhana yang terbentuk dari reaksi kimiawi dalam atmosfer, telah memiliki kolam dan danau yang sangat banyak dalam rentang proses kimiawi yang sangat luas yang telah terjadi. Selama jutaan tahun, molekul yang memiliki kompleksitas yang lebih besar akan terbentuk hingga kehidupan itu sendiri timbul murni dari penyusunan diri secara acak molekul organik yang kompleks.
Dukungan terhadap skenario ini datang bersamaan dengan eksperimen Miller-Urey yang terkenal pada 1953. Stanley Miller dan Harold Urey, dari University of Chicago, berupaya mensimulasikan kondisi-kondisi yang diyakini sudah lazim pada bumi yang mula-mula–atmosfer yang memiliki metan, ammonia dan hidrogen, genangan air dan petir (yang ditiru oleh saluran listrik). Setelah beberapa hari, saintis itu menemukan ‘genangan’ airnya berubah menjadi berwarna merah dan mengandung banyak senyawa kimiawi yang penting dalam kehidupan saat ini, seperti asid amino.
Meskipun terdorong oleh hasil ini, tidak ada alasan sama sekali untuk mengandaikan bahwa kabut semacam itu secara spontan menimbulkan kehidupan, bahkan setelah jutaan tahun, hanya dengan mengeksplorasi kombinasi susunan kimiawi. Statistik yang sederhana segera menunjukkan bahwa kemungkinan kumpulan DNA–molekul kompleks yang membawa kode genetik–sebagai hasil dari rentetan molekul kabut sangatlah kecil. Terdapat begitu banyak kombinasi molekul sehingga peluang bagi salah satunya yang benar yang timbul karena peluang semata-mata sebetulnya nol.
Namun, karya Prigogine menunjukkan bahwa banyak sistem yang secara spontan menyusun diri jika sistem tersebut terlempar dari keseimbangan termodinamis. Jadi, kabut mula-mula tergiring pada rangkaian reaksi yang menyusun diri yang lebih kompleks oleh pengaruh eksternal yang membalikkan keseimbangan termodinamis. Pengaruh ini bisa saja matahari, yang pancaran cahayanya sangat kuat melahirkan ketidakseimbangan (kecenderungan negatif) yang menggerakan biosfer bumi dewasa ini. Atau bisa jadi pengaruh ini sesuatu yang lain; tak seorang pun mengetahuinya. Hasil akhir dari rangkaian ini kemungkinan adalah DNA.
Ringkasnya, tidak sulit memahami kabut prebiotik yang mengandung semua unsur biologi yang diperlukan, yang didorong oleh kekacauan dari luar ke dalam kisaran terbuka dari ‘arus balik’ yang menyusun dan memperkuat diri, yang dengan begitu memfokuskan keteraturan dan secara fantastik meningkatkan keganjilan dalam mendukung melintas ambang kehidupan. Tetapi salah jika kita mengandaikan bahwa kita memiliki semacam pemahaman tentang langkah-langkah perantara antara eksperimen Miller-Urey dan molekul tiruan yang dihembuskan. Asal-usul kehidupan tetap menjadi misteri dan diperdebatkan bahkan di kalangan saintis.
Apakah studi tentang kehidupan–asal-usul dan fungsinya–memberikan bukti bagi wujud Tuhan? Kita telah melihat bahwa para saintis modern memandang kehidupan sebagai suatu mekanisme, dan tidak menemukan bukti nyata tentang daya-kehidupan yang bersifat non-material. Asal-usul kehidupan sama sekali tidak dimengerti, meskipun kajian yang terus tumbuh terhadap sistem yang menyusun diri membuat versi mekanistik biogenesis masuk akal bagi sebagian orang. Kemampuan luar biasa kehidupan untuk mengkonstentrasikan kecenderungan negatif sama sekali tidak mendorong pada pelanggaran terhadap hukum kedua termodinamika.
Tentu, tak satupun dari semua ini mengenyampingkan Tuhan yang kreatif, tetapi memang menginsyaratkan bahwa tindakan Ilahi tidak lagi penting bagi biologi kecuali untuk, katakanlah, menciptakan cincin Saturnus atau bentuk permukaan Yupiter. Bisa jadi kita melihat bukti Tuhan di mana-mana atau tidak di mana-mana. Kehidupan, tampaknya, secara khusus tidaklah berbeda dengan struktur tersusun yang kompleks lainnya, kecuali mungkin dalam tingkatannya. Ketidaktahuan kita tentang asal-usul kehidupan meninggalkan banyak ruang bagi penjelasan Ilahi, tetapi hal itu sepenuhnya sikap negatif, yang menyebutkan ‘Tuhan memiliki jarak’ yang hanya akan berisiko mundur di masa mendatang berhadapan dengan kemajuan saintifik. Sebaliknya, mari kita pandang kehidupan, bukan sebagai suatu keajaiban terpisah dalam alam semesta, tetapi sebagai bagian integral dari keajaiban kosmik.
Keyakinan umum di kalangan saintis bahwa hidup adalah alamiah, telah mendorong spekulasi tentang wujud kehidupan alien di tempat lain di alam semesta. Tentu, ini merupakan persoalan yang diperdebatkan, dan tidak ada upaya yang dilakukan untuk meninjaunya di sini. Hingga kini, tidak ada bukti yang positif terhadap biologi di luar bumi, meskipun diklaim oleh sebagian orang bahwa penyelidikan Mars Viking memang menginsyaratkan suatu kemungkinan reaksi bio-kimiawi dalam salah satu eksperimennya. Namun demikian, kemungkinan ada milyaran planet di dalam galaksi kita saja, dan sebagian saintis yakin bahwa alam semesta padat dengan kehidupan. Sungguh, baik Hoyle maupun Crick telah berspekulasi bahwa kehidupan bumi bisa jadi semula berasal dari ruang angkasa.
Kemungkinan adanya kehidupan alien mengangkat prospek makhluk yang memiliki intelegensia yang jauh lebih besar ketimbang manusia. Karena bumi kurang dari separuh usia alam semesta, bisa jadi ada planet-planet yang di situ terdapat makhluk cerdas yang telah berkembang meilyaran tahun lalu. Akal dan teknologinya mungkin tak terbayangkan superiornya daripada akal dan teknologi kita. Kemampuan yang demikian maju itu mungkin dapat mengontrol sebagian besar bidang alam semesta, namun kita sama sekali tidak melihat bukti aktivitasnya.
Adanya kecerdasan di luar bumi akan memiliki dampak yang mendasar terhadap agama, dengan menghancurkan sepenuhnya perspektif tradisional tentang hubungan khusus Tuhan dengan manusia. Kesulitan-kesulitan benar-benar akut terutama bagi agama Kristen, yang menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah inkarnasi Tuhan yang misinya adalah memberikan keselamatan bagi manusia di muka bumi. Prospek tentang sekelompok ‘Kristus alien’ yang secara sistematis mengunjungi setiap penduduk planet dalam bentuk fisik makhluk lokal agaknya memiliki aspek yang sia-sia. Bagaimana sebaliknya alien itu harus diselamatkan?
Dalam era ruang angkasa ini, ketika banyak orang jelas-jelas menerima realitas UFO, sedikit sekali perhatian dicurahkan pada ‘dimensi alien’ oleh agama-agama besar dunia. Menurut Ernan McMullin, salah seorang dari sedikit teolog yang menyinggung masalah ini, “agama yang tidak mampu menemukan tempat bagi pribadi-pribadi yang ada di luar bumi dalam memandang hubungan Tuhan dengan alam semesta akan terlihat semakin sulit untuk memperoleh persetujuan manusia dalam waktu mendatang”. Sangat menarik untuk mengetahui apa yang akan dikatakan teolog alien mengenai hal ini.
Dalam pencarian kita akan eksistensi kehidupan, apakah dapat dijelaskan secara alamiah atau membutuhkan intervensi keajaiban, memberikan bukti yang kuat bagi adanya semacam tujuan dalam alam semesta. Akan tetapi, kehidupan semacam itu hanyalah satu tangga dalam hirarki kompleksitas. Arti penting kehidupan adalah bahwa ia adalah batu loncatan bagi, atau kendaraan bagi, jiwa…
Tulisan ini dirangkum dari buku God and The New Physics
Bumi kira-kira berusia 4,5 milyar tahun. Jejak kehidupan yang telah berkembang yang ada dalam rekaman fosil menunjukkan setidak-tidaknya 3,5 milyar tahun, dan kemungkinan bentuk kehidupan yang sangat sederhana telah ada sebelumnya. Jadi, dalam istilah geologi, kehidupan segera terbentuk di planet baru kita yang dingin manakala trauma kelahiran sistem tata surya telah hilang. Ini menunjukkan bahwa mekanisme apapun yang bertanggungjawab atas munculnya kehidupan, sistem itu sangat efisien, suatu pengamatan yang telah mendorong sebagian saintis berkesimpulan bahwa kehidupan merupakan suatu hasil tak terelakkan berkat kondisi fisika dan kimiawi.
Skenario yang paling digemari bagi asal-usul kehidupan adalah ‘kabut mula-mula’. Bumi yang sederhana, dengan pasokan airnya yang melimpah, yang diperkaya dengan senyawa organik sederhana yang terbentuk dari reaksi kimiawi dalam atmosfer, telah memiliki kolam dan danau yang sangat banyak dalam rentang proses kimiawi yang sangat luas yang telah terjadi. Selama jutaan tahun, molekul yang memiliki kompleksitas yang lebih besar akan terbentuk hingga kehidupan itu sendiri timbul murni dari penyusunan diri secara acak molekul organik yang kompleks.
Dukungan terhadap skenario ini datang bersamaan dengan eksperimen Miller-Urey yang terkenal pada 1953. Stanley Miller dan Harold Urey, dari University of Chicago, berupaya mensimulasikan kondisi-kondisi yang diyakini sudah lazim pada bumi yang mula-mula–atmosfer yang memiliki metan, ammonia dan hidrogen, genangan air dan petir (yang ditiru oleh saluran listrik). Setelah beberapa hari, saintis itu menemukan ‘genangan’ airnya berubah menjadi berwarna merah dan mengandung banyak senyawa kimiawi yang penting dalam kehidupan saat ini, seperti asid amino.
Meskipun terdorong oleh hasil ini, tidak ada alasan sama sekali untuk mengandaikan bahwa kabut semacam itu secara spontan menimbulkan kehidupan, bahkan setelah jutaan tahun, hanya dengan mengeksplorasi kombinasi susunan kimiawi. Statistik yang sederhana segera menunjukkan bahwa kemungkinan kumpulan DNA–molekul kompleks yang membawa kode genetik–sebagai hasil dari rentetan molekul kabut sangatlah kecil. Terdapat begitu banyak kombinasi molekul sehingga peluang bagi salah satunya yang benar yang timbul karena peluang semata-mata sebetulnya nol.
Namun, karya Prigogine menunjukkan bahwa banyak sistem yang secara spontan menyusun diri jika sistem tersebut terlempar dari keseimbangan termodinamis. Jadi, kabut mula-mula tergiring pada rangkaian reaksi yang menyusun diri yang lebih kompleks oleh pengaruh eksternal yang membalikkan keseimbangan termodinamis. Pengaruh ini bisa saja matahari, yang pancaran cahayanya sangat kuat melahirkan ketidakseimbangan (kecenderungan negatif) yang menggerakan biosfer bumi dewasa ini. Atau bisa jadi pengaruh ini sesuatu yang lain; tak seorang pun mengetahuinya. Hasil akhir dari rangkaian ini kemungkinan adalah DNA.
Ringkasnya, tidak sulit memahami kabut prebiotik yang mengandung semua unsur biologi yang diperlukan, yang didorong oleh kekacauan dari luar ke dalam kisaran terbuka dari ‘arus balik’ yang menyusun dan memperkuat diri, yang dengan begitu memfokuskan keteraturan dan secara fantastik meningkatkan keganjilan dalam mendukung melintas ambang kehidupan. Tetapi salah jika kita mengandaikan bahwa kita memiliki semacam pemahaman tentang langkah-langkah perantara antara eksperimen Miller-Urey dan molekul tiruan yang dihembuskan. Asal-usul kehidupan tetap menjadi misteri dan diperdebatkan bahkan di kalangan saintis.
Apakah studi tentang kehidupan–asal-usul dan fungsinya–memberikan bukti bagi wujud Tuhan? Kita telah melihat bahwa para saintis modern memandang kehidupan sebagai suatu mekanisme, dan tidak menemukan bukti nyata tentang daya-kehidupan yang bersifat non-material. Asal-usul kehidupan sama sekali tidak dimengerti, meskipun kajian yang terus tumbuh terhadap sistem yang menyusun diri membuat versi mekanistik biogenesis masuk akal bagi sebagian orang. Kemampuan luar biasa kehidupan untuk mengkonstentrasikan kecenderungan negatif sama sekali tidak mendorong pada pelanggaran terhadap hukum kedua termodinamika.
Tentu, tak satupun dari semua ini mengenyampingkan Tuhan yang kreatif, tetapi memang menginsyaratkan bahwa tindakan Ilahi tidak lagi penting bagi biologi kecuali untuk, katakanlah, menciptakan cincin Saturnus atau bentuk permukaan Yupiter. Bisa jadi kita melihat bukti Tuhan di mana-mana atau tidak di mana-mana. Kehidupan, tampaknya, secara khusus tidaklah berbeda dengan struktur tersusun yang kompleks lainnya, kecuali mungkin dalam tingkatannya. Ketidaktahuan kita tentang asal-usul kehidupan meninggalkan banyak ruang bagi penjelasan Ilahi, tetapi hal itu sepenuhnya sikap negatif, yang menyebutkan ‘Tuhan memiliki jarak’ yang hanya akan berisiko mundur di masa mendatang berhadapan dengan kemajuan saintifik. Sebaliknya, mari kita pandang kehidupan, bukan sebagai suatu keajaiban terpisah dalam alam semesta, tetapi sebagai bagian integral dari keajaiban kosmik.
Keyakinan umum di kalangan saintis bahwa hidup adalah alamiah, telah mendorong spekulasi tentang wujud kehidupan alien di tempat lain di alam semesta. Tentu, ini merupakan persoalan yang diperdebatkan, dan tidak ada upaya yang dilakukan untuk meninjaunya di sini. Hingga kini, tidak ada bukti yang positif terhadap biologi di luar bumi, meskipun diklaim oleh sebagian orang bahwa penyelidikan Mars Viking memang menginsyaratkan suatu kemungkinan reaksi bio-kimiawi dalam salah satu eksperimennya. Namun demikian, kemungkinan ada milyaran planet di dalam galaksi kita saja, dan sebagian saintis yakin bahwa alam semesta padat dengan kehidupan. Sungguh, baik Hoyle maupun Crick telah berspekulasi bahwa kehidupan bumi bisa jadi semula berasal dari ruang angkasa.
Kemungkinan adanya kehidupan alien mengangkat prospek makhluk yang memiliki intelegensia yang jauh lebih besar ketimbang manusia. Karena bumi kurang dari separuh usia alam semesta, bisa jadi ada planet-planet yang di situ terdapat makhluk cerdas yang telah berkembang meilyaran tahun lalu. Akal dan teknologinya mungkin tak terbayangkan superiornya daripada akal dan teknologi kita. Kemampuan yang demikian maju itu mungkin dapat mengontrol sebagian besar bidang alam semesta, namun kita sama sekali tidak melihat bukti aktivitasnya.
Adanya kecerdasan di luar bumi akan memiliki dampak yang mendasar terhadap agama, dengan menghancurkan sepenuhnya perspektif tradisional tentang hubungan khusus Tuhan dengan manusia. Kesulitan-kesulitan benar-benar akut terutama bagi agama Kristen, yang menegaskan bahwa Yesus Kristus adalah inkarnasi Tuhan yang misinya adalah memberikan keselamatan bagi manusia di muka bumi. Prospek tentang sekelompok ‘Kristus alien’ yang secara sistematis mengunjungi setiap penduduk planet dalam bentuk fisik makhluk lokal agaknya memiliki aspek yang sia-sia. Bagaimana sebaliknya alien itu harus diselamatkan?
Dalam era ruang angkasa ini, ketika banyak orang jelas-jelas menerima realitas UFO, sedikit sekali perhatian dicurahkan pada ‘dimensi alien’ oleh agama-agama besar dunia. Menurut Ernan McMullin, salah seorang dari sedikit teolog yang menyinggung masalah ini, “agama yang tidak mampu menemukan tempat bagi pribadi-pribadi yang ada di luar bumi dalam memandang hubungan Tuhan dengan alam semesta akan terlihat semakin sulit untuk memperoleh persetujuan manusia dalam waktu mendatang”. Sangat menarik untuk mengetahui apa yang akan dikatakan teolog alien mengenai hal ini.
Dalam pencarian kita akan eksistensi kehidupan, apakah dapat dijelaskan secara alamiah atau membutuhkan intervensi keajaiban, memberikan bukti yang kuat bagi adanya semacam tujuan dalam alam semesta. Akan tetapi, kehidupan semacam itu hanyalah satu tangga dalam hirarki kompleksitas. Arti penting kehidupan adalah bahwa ia adalah batu loncatan bagi, atau kendaraan bagi, jiwa…
Tulisan ini dirangkum dari buku God and The New Physics
No comments:
Post a Comment