Saturday, November 26, 2016

La Galigo, Odisei, Trah Buendia


Oleh: Nirwan Ahmad Arsuka
 
Sawerigading dalam epik Bugis ‘karya’ I  La Galigo dan Odiseus dalam epik Yunani ‘karya’ Homerus — kedua tokoh ini tidak sekedar meniti ombak menyusur dunia. Mereka berdua membangun semesta, yang ditata pada skala pemahaman manusia.
 
Tersusun dari sekitar 300.000 larik sajak dalam bahasa tinggi arkaik dengan berbagai cerita berangkai, Sureq (serat) Galigo adalah salah satu karya sastra terbesar dunia. Dan yang pasti, bersama  epik besar Kyrgizstan yang berusia seribu tahun, Manas; dan novel terbesar Cina berjumlah 120 jilid, Impian Kamar Merah (Hung Lou Meng) ‘karya’ Cao Xueqin dan Gao E yang ditulis di Era Dinasti Manchu di pertengahan abad 18, Sureq Galigo termasuk naskah klasik terpanjang yang dihasilkan manusia.

Dari segi jumlah larik sajak saja, Sureq Galigo sudah melampaui epos terbesar Anak Benua India yang kerap dianggap terpanjang di dunia: Mahabharata. Tapi panjang larik sajak, kecuali mungkin memamerkan stamina penyusunnya, tak dengan sendirinya mencerminkan kekuatan sebuah karya.

Sebuah puisi epik, merujuk Ian Johnston, berbeda dari sajak naratif panjang lainnya karena cakrawalanya yang istimewa. Epik merujuk pada kualitas yang diciptakan oleh puisi berupa penjelajahan dan perayaan atas sesuatu yang jauh lebih besar ketimbang karakter-karakter atau tempat-tempat istimewa yang diuraikannya. Kepada pembaca yang menghidupi dan dihidupinya, epik mempersembahkan sebuah pandangan dunia, sebentuk rasa keparipurnaan budaya, a sense of cultural completeness.

Ian Johnston betul ketika ia mengulas epik Dante La Divina Commedia dan berkata, pembacaan larik-larik puisi epik membuahkan pengalaman eksplorasi sejumlah pertanyaan-pertanyaan besar tentang arah hidup individual dan sosial, tentang sebuah sistem keyakinan, tentang tradisi-tradisi masa silam dan kemungkinan-kemungkinan hari depan — tentang hal-hal besar yang dengannya kita mendefinisikan kebudayaan.

Alkisah, Sawerigading, putera mahkota kerajaan Luwu, tengah menjambangi makam neneknya di negeri Tompoq Tikkaq (Matahari Terbit). Di sana ia diberitahu rahasia terbesar kerajaan. Di bagian terlarang istana, hiduplah seorang gadis kelewat cantik yang berjalan dengan pakaian serampangan dan menghabiskan waktu dengan mabuk mandi dan bercakap dengan segala jenis burung: seorang makhluk langit yang dititipkan ke dunia.

Dengan berbagai cara, Sawerigading mencari jalan menerobos larangan istana. Begitu melihat gadis tersebut, sukmanya terbang. Ia jatuh cinta pada gadis yang ternyata adik kembarnya, We Tenriabeng, makhluk paling cendekia dalam seluruh kosmologi Bugis. Pangeran muda itu sesungguhnya sudah punya sejumlah isteri. Selain penjudi agung yang gemar menyabung ayam, ia adalah pemburu perempuan yang bersedia mengembara ke neraka untuk mendapatkannya. Pernah ia jatuh hati pada seorang puteri yang telah meninggal. Seluruh armadanya ia kumpulkan lalu dengan brutal ia menyerang alam arwah yang terlarang dan mengacak-acaknya untuk merebut kekasihnya dari tangan dewa.

Mengetahui bahwa tak boleh ia menikahi adiknya, Sawerigading bertolak dari Luwu. Untuk menjinakkan ingatannya pada si adik, pangeran tampan dan romantis itu berniat menjarah seluruh lautan. Armadanya mulai membelah samudera ketika sebuah pesan tiba dari orang tuanya yang kangen. Di depan ayah bundanya kembali ia memohon ijin mempersunting puteri yang satu tembuni dengannya. Orang tua yang mati akal dan bahkan pernah dibentak dengan muncratan ludah itu hanya bisa bilang bahwa insest itu tabu, pemali. Negeri akan berantakan, padi jadi lalang dan sagu lumpur.

Batara Lattuq Sang Raja lalu mendatangkan seorang nenek tua bangka yang seusia manusia pertama, untuk menegaskan akibat perkawinan sedarah: kehancuran dunia dan kelaparan yang membentang di cakrawala. Mungkin karena usianya yang uzur, mungkin karena tabuhan Sawerigading pada tubuh tua itu terlalu boros, nenek itu terkapar. Seakan ingin memutuskan sejarah yang menabukan insest, Sawerigading memenggalnya.

Sejumlah kesintingan, seperti memanggang berhari-hari semua anak Luwu di bawah matahari dengan harapan agar mereka juga menderita sebagaimana dirinya, masih dilakukan Sawerigading sebelum akhirnya adik kembarnya datang menemui. Bissu belia yang bahkan lebih cerdas dari dewa-dewa ini berupaya keras menghadapi kakaknya yang lebih mencemaskan bahkan ketimbang setan. Segala macam penjelasan kosmis pemali insest dan kabar adanya putri Cina lebih cantik dari si adik, tak dapat masuk ke benak pangeran kepala batu yang terus mendesaknya menikah. Setengah putus asa, We Tenriabeng yang hampir luluh melihat cinta tak berbatas itu, memperlihatkan bayangan I We Cudaiq di kuku jarinya. Lalu dimintanya si kakak berbaring dan ditiupkannya sebentuk mimpi.

Mimpi erotis tersebut — di dalamnya Sawerigading sempat dengan ganas baku cumbu dengan Sang Dewi Cina dalam satu sarung — rupanya bekerja, meski tak cukup ampuh. We Tenriabeng pun berjanji, jika I We Cudaiq tak lebih elok dari dirinya, Sawerigading boleh balik ke Luwuq. Si Adik kembar akan menerima suntingan kakaknya, dan “… kita runtuhkan langit, kita ubah hukum dewata, kita kubur rembulan, melangkahi pemali, duduk bersanding bersaudara”.

Raja Ithaka

Maka diadakanlah persiapan keberangkatan Sawerigading menuju daratan Cina, sebuah petualangan samudera yang memiliki persamaan moral-eksistensial dengan perjalanan pulang Raja Ithaka Odiseus dari Perang Troya yang dahsyat. Armada Bugis itu memang tak menemu orang-orang Lotopaga yang doyan teratai, raksasa buas Polifemus bermata satu, Raja Angin Eolus, penyihir cantik Sirse yang mengubah manusia jadi babi, atau Sirine yang menjerumuskan dengan nyanyian mautnya. Imajinasi tentang hantu dan monster laut yang demikian lama mempengaruhi kesadaran Barat dan masih menyisakan jejak pada peta-peta dunia yang disusun seratusan tahun sejak Columbus mencapai Amerika, bukanlah imajinasi yang mudah ditemui dalam kesadaran Bugis.

Dalam Sureq Galigo yang disusun dari pengalaman maritim ribuan tahun dan mulai diaksarakan sekitar dua abad sebelum komunitas pertama Eropa terbentuk di Nusantara, tak ada hantu dan monster mengerikan yang biasanya lahir dari campuran antara imajinasi agung dan prasangka purba.

Yang ditemui armada Sawerigading di hamparan gelombang menuju Cina adalah hadangan lawan-lawan yang betul-betul manusia, yang dibereskan dalam tujuh pertempuran laut besar-besaran. Lawan pertama ditemuinya setelah tujuh hari bertolak dari pantai Luwuq tempat ia bersumpah takkan kembali ke tanah kelahirannya dan menganggap kepergiannya sebagai sebentuk pembuangan diri menebus sepak terjangnya mengharu biru kerajaan ayah bundanya.

Armada Mancapaiq (Majapahit) yang dipimpin oleh Banynyaq Paguling awalnya melawan sengit. Penumpasannya diakhiri dengan diceraikannya tubuh dan kepala Paguling. Pertempuran-pertempuran selanjutnya yang tak kalah sengit datang dari armada pimpinan La Tuppu Soloq, La Tuppu Gellang, La Togeng Tana dan La Tenripulang. Sedemikian beratnya pertempuran keenam melawan armada La Tenrinyiwiq, Sawerigading terpaksa meminta bantuan adik kembarnya. Seperti Remedios the Beauty dalam One Hundred Years of Solitude, We Tenriabeng saat itu sudah terangkat naik ke langit, melewati guntur dan halilintar. Pertempuran ketujuh menghadapi armada Settia Bonga Lompeng ri Jawa Olioqe, yang sudah tiga tahun bertunangan dengan I We Cudaiq yang hendak disunting Sawerigading. Bersama para pengawalnya, Settia Bonga ditangkapi dan dipulangkan ke negeri asalnya.

Ketika pagi rekah, di istananya, Ratu Cina melihat sebuah matahari bergerak di depan matahari yang sedang naik di horison. Matahari itu adalah I La Welenreng, perahu induk Sawerigading yang tengah mendekati pantai Cina. Ketika akhirnya Odiseus terdampar sebagai gelandangan di negerinya, ia masih harus melewati sejumlah ujian dan rintangan berliku untuk bisa kembali menduduki tahtanya dan memenangkan hati Penelope, permaisurinya yang setia. Sawerigading pun harus menempuh jalan berliku dan perang penghancuran hanya untuk menggiring I We Cudaiq ke pelaminan.

Bahkan setelah pesta pernikahan itu, Sawerigading masih harus menyelusuri labirin untuk merebut hati I We Cudaiq. Selama tujuh hari di pusat labirinnya, Putri Cina itu mengenakan celana panjang yang dijahit rapat kedua ujungnya, mirip kiat Ursula Iguaran mencegah pemerkosaan Jose Arcadio Buendia. Versi lain menyebutkan bahwa I We Cudaiq membungkus dirinya bagai kepompong kupu-kupu raksasa dengan tujuh belas lapis kain sutra dewa. Hati I We Cudaiq akhirnya terbuka bukan oleh keperkasaan dan benda-benda, tapi oleh kata benda dan kata kerja: fiksi – rangkaian prosa dan puisi yang dicipta Sawerigading dari kedahsyatan imajinasi dan keajaiban petualangannya menjelajah segala jenis gelombang dunia.

Mengomentari Dialektika Pencerahan Theodor Adorno dan Max Horkheimer yang melacak akar modernitas Barat dan mengangkat Odiseus sebagai protagonisnya, Jurgen Habermas menulis, episode-episode dalam Odisei berkisah tentang bahaya, tipu muslihat dan pelarian diri, yang dengan semua itu, ego — yang belajar mengatasi bahaya — menemukan jati dirinya sendiri dan mengenyam kebahagiaan karena persatuan asali dengan alam dalam dan alam luar. Hal yang serupa bisa juga dikatakan tentang episode-episode Sawerigading meninggalkan Luwu memasuki jantung istana raja Cina. Apa yang segera tampil dari alur kisah ini adalah perjuangan gigih suatu subyektivitas untuk membebaskan diri dari pesona daya-daya mitis dalam kasus Odiseus; dan daya-daya penakluk keganasan samudera, armada-armada lawan dan keperkasaan material dirinya sendiri dalam kasus Sawerigading: “sejarah” para sang tokoh.

Dunia mitis Odiseus dan dunia non-mitis Sawerigading adalah labirin berkelak-kelok yang harus ditelusuri sebelum sang tokoh menemukan jati dirinya, subyektivitasnya. Penelusuran itu bisa berangkat dari motif yang berbeda, bahkan bertentangan. Seperti terpapar di buku kelima, di Pulau Calipso, Odiseus merindukan rumah – yang lebih ia cintai ketimbang kekekalan dan kehidupan bersama seorang dewi di suatu tempat surgawi. Hal seperti ini nyaris tidak masuk akal bagi Sawerigading. Demi seorang dewi, bukan saja ia bersedia meninggalkan tanah kelahirannya: ia bahkan tak begitu keberatan jika tanah airnya berantakan dan seluruh penduduknya punah tertimpa kutuk.

Sedemikian pentingnya pembentukan subyektivitas itu sehingga kisah Odiseus dan Sawerigading tak diakhiri dengan ketenteraman, apalagi kasunyatan. Setelah mendapatkan kembali Ithaka dan Penelope, Odiseus diserang rasa bosan yang membakarnya untuk mengembara lagi. Hampir dua enam abad setelah Homerus konon menyusun Iliad dan Odisei, Alfred Lord Tennyson menghidupkan kembali gelora Odiseus, berpetualang demi petualangan itu sendiri, dalam sebuah sajak panjang Ulysses (1842).
……
Come, my friends,
‘Tis not too late to seek a newer world.
Push off, and sitting well in order smite
The sounding furrows; for my purpose holds
To sail beyond the sunset, and the baths
Of all the western stars, until I die.
It may be that the gulfs will wash us down:
It may be we shall touch the Happy Isles,
And see the great Achilles, whom we knew.
Tho’ much is taken, much abides; and tho’
We are not now that strength which in the old days
Moved earth and heaven; that which we are, we are;
One equal-temper of heroic hearts,
Made weak by time and fate, but strong in will
To strive, to seek, to find, and not to yield.
***
Sawerigading tak butuh waktu lama untuk akhirnya meninggalkan Cina. Lagipula I We Cudaiq menolak anak yang lahir dari rahimnya sendiri, dan Sawerigading kembali menjelajah samudera dengan sebuah tahapan baru dalam hidupnya: mengawal dan mengantar anak keturunannya tumbuh dan bertualang sendiri membentuk subyektivitas masing-masing.

Dalam Sureq Galigo, subyektivitas menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembentukan keluarga besar: masyarakat. Kuatnya tabu insest dalam keseluruhan epik ini hanyalah salah satu hal yang mengindikasikan itu. Tabu insest, kita tahu adalah tapis, penyaring, yang mengarahkan dan mendistribusikan arus keturunan generasi ke generasi. Seperti ditunjuk Octavio Paz dalam komentarnya atas karya-karya Claude Levi-Strauss, tabu insest menjalankan fungsi pembeda dan penengah – yakni menyelenggarakan diferensiasi, seleksi dan kombinasi sehingga hubungan seksual terubah menjadi sebuah sistem arti. Ia adalah skema, “yang olehnya dan di dalamnya terlaksana transisi dari natur ke kultur”, makna yang tereproduksi dalam transformasi dari seksualitas hewani ke sistem perkawinan manusia. Seperti halnya bahasa, tabu insest menetapkan dan mengukuhkan masyarakat. Di balik tabu universal itu, adalah kerja bawah sadar dari nalar dan budi manusia yang dalam dirinya mungkin tak punya dasar, tapi berkat kerja bawah sadar itu maka jadilah: manusia ialah manusia.

Tema insest menyatukan Sureq Galigo dengan novel terbesar Amerika Latin yang oleh Pablo Neruda disebut sebagai revelasi terbesar dalam Bahasa Spanyol setelah Don Quixote: One Hundred Years of Solitude. Epik tentang para leluhur pertama manusia Bugis itu, diceritakan sedikitnya lewat tujuh generasi, di mana Sawerigading ada di lapis generasi ke empat. Gabriel Garcia Marquez bercerita persis tentang enam generasi trah Buendia, diawali dari sebuah desa di Amerika Latin, sepetak surga tanpa sejarah di mana kematian belum pernah datang bertamu. Adalah Jose Arcadio Buendia yang memimpin sekumpulan keluarga membangun pemukiman baru surgawi itu, yang ia namakan Macondo, sebuah nama yang tak pernah ia dengar sebelumnya, yang tak punya arti sama sekali, sebuah gema adikodrati dari mimpinya.

Secara kasar Solitude dapat dibagi ke dalam empat bagian besar: harmoni sosial dan kemurnian utopia, heroisme militer dan perjuangan demi otonomi, kemakmuran ekonomi dan kemunduran spiritual, dekadensi pungkas dan kehancuran besar. Meski pola kasarnya sangat sederhana: eden yang menjadi armagedon, novel ini penuh dengan peristiwa ajaib dan karakter yang tak terbayangkan yang sedemikian luar biasa hingga linieritas dan kesederhanaan terasa sebagai atribut asing baginya.

Sureq Galigo bermula ketika Patotoqe (Sang Penentu Nasib) yang maha kuasa di puncak langit, uring-uringan. Ribuan ayam aduannya terlantar. Rupanya para penggembala ayamnya sedang melanglang ke dunia, dan ketika balik ke khayangan mengusulkan agar dunia diisi kehidupan.

Dengan laporan itu, berangkatlah puisi epik ini membingkai sebuah semesta kognitif yang seakan sebuah perahu raksasa tempat dunia Bugis hidup mengarungi lautan waktu.

Putera sulung Patotoqe, La Togeq Langiq yang juga bernama Batara Guru, dikirim ke dunia dan jadilah ia Manusia Pertama. Sambil berjalan di Bumi mencari cinta dan pasangan hidupnya, ia menciptakan gunung-gunung, hutan, lautan, berbagai jenis unggas, hewan dan tanam-tanaman. Ia masih harus menjalani berbagai cobaan agar dapat dinilai sungguh-sungguh telah menjadi penduduk dunia, sebelum akhirnya We Nyiliq Timoq hadir di Bumi. Calon isterinya ini, yang adalah puteri sulung penguasa Dunia Bawah (Peretiwi), datang dan tercipta lewat buih gelombang Laut Timur, sebuah imaji yang gampang mengingatkan orang pada lukisan terkenal Sandro Botticelli tentang kelahiran Venus.

Dari perkawinan yang didahului adu kesaktian antara Batara Guru dan We Nyiliq Timoq, dari pertautan Dunia Atas dan Dunia Bawah, lahir Batara Lattuq. Seorang saudara perempuan lain ibu Batara Lattuq yang bernama We Oddang Riuq, meninggal tujuh hari setelah dilahirkan, menghujamkan perih yang beberapa hari kelak menjadi kangen tak tertahankan di hati ayah bundanya. Mirip imaji Goenawan Mohamad tentang seorang anak sekarat yang minta ditiupkan sajak ke dalam paru-parunya, dari kubur We Oddang Riuq tumbuh tanaman yang sedang menguning dalam lima nuansa warna yang menyebar ke seluruh bukit dan lembah. Tubuh puteri itu terurai menjadi padi yang akan menghidupi manusia beribu tahun.

Paling tidak sejak generasi Batara Lattuq, wacana insest kuat menjelujur. Patriark Luwu ini mengambil peran mirip Ursula Iguaran, matriark Macondo yang menghabiskan hidupnya seabad lebih untuk memastikan bahwa insest tak terjadi dalam seluruh cabang trah Buendia.

Insest memang tidak menyebabkan hancurnya dunia, demikian pemahaman leluhur Buendia, tapi lahirnya anak-anak dengan ekor babi. Tapi, lelaki Buendia yang juga tak kalah nekatnya dari Sawerigading, tak peduli jika insest melahirkan iguana, armadillo atau anak berekor babi, asalkan mereka masih bisa bicara. Dari orang tua istimewa seperti ini, lahirlah antara lain anak manis yang sedemikian penurutnya hingga kelak bersedia memimpin 32 pertempuran tanpa pernah memenangkannya, tapi yang menjadikan namanya identik dengan pemberontakan besar dan pahlawan dongeng. Seorang prajurit Kolonel Aureliano Buendia menegaskan tujuan perang panjang pembebasan itu, “kita kobarkan perang ini, melawan para pendeta, agar seseorang bisa menikahi ibu kandungnya sendiri.”

Persamaan

Ketakpedulian pada akibat insest dan kegototan membendung kemungkinannya hanyalah persamaan yang bersifat permukaan antara Sureq Galigo dan Solitude. Persamaan yang lebih mendalam adalah berjalinnya waktu historis-kronologis yang bersifat linier, dengan waktu kehidupan yang non-linier, yakni rajutan halus antara waktu siklis yang berulang tanpa henti dengan waktu imajiner di mana masa silam, masa kini dan hari depan hadir serempak. Dalam fisika, ini kita temui dalam pergulatan antara waktu thermodinamik-entropik yang mentakdirkan kehancuran semesta, dengan waktu evolusi-negentropik yang justeru memungkinkan tumbuhnya struktur kompleks kehidupan dan kecerdasan yang kian merumit. (Dalam Kalimat Carlos Fuentes di Pengantarnya: the chronological history runs simultaneously as a mythic historicity.)

Struktur inti Sureq Galigo adalah perkawinan agung yang melahirkan anak kembar emas di mana yang putri akhirnya terangkat ke khayangan dan menjadi poros antara dunia dan langit. Sedangkan putranya, ditakdirkan menjelajah ke seluruh kolong bintang membentangkan semesta baru yang lebih luas, dan melakukan perkawinan agung untuk kemudian melahirkan lagi kembar emas. Demikianlah, riwayat Sawerigading berulang kembali pada anaknya, I La Galigo To Botoq (Sang Penjudi). Dalam keseluruhan cerita ia memang hanya menduduki tempat yang tak terlalu penting, namun karakter dan kenekatannya lebih berwarna-warni dan lebih mencemaskan.

Solitude sangat kuat diwarnai oleh kehadiran cinta, kesunyian, perselingkuhan dan maut, yang terus-menerus muncul dan muncul lagi. Watak dan takdir pun tampil berulang-ulang pada karakter lain, generasi lain, yang memang terus menyandang nama dari generasi sebelumnya. Seperti dikatakan sendiri oleh Sang Matriark, jika para Aureliano cenderung menarik diri namun punya pikiran jernih, para Jose Arcadio impulsif dan giat tapi dicirikan oleh tanda-tanda tragis. Sejarah betul bisa memiuh takdir dasar tersebut, tapi tak jauh. Sejarahlah yang memaksa Kolonel Aureliano Buendia menjadi anarkis besar yang mengharu biru seluruh negeri, tapi itu tak cukup kuat untuk mencegahnya kembali tenggelam dalam kesendirian patologis di usia senjanya. Anarkisme yang memuncak ketika ia ke manapun membawa pleton pengawal dan kapur untuk menarik garis antara dirinya dengan segenap kemanusiaan, termasuk dengan Ursula Iguaran sendiri, dengan kuat memancarkan kesunyiannya.

Takdir dasar itu kembali muncul pada Aureliano Babilonia Buendia. Lahir dari seorang ayah yang tak bisa menahan mulutnya dan senantiasa diikuti kupu-kupu ke manapun berjalan, Aureliano Babilonia adalah makhluk paling berpengetahuan di Macondo. Jika ia membaca buku, itu dilakukannya melulu untuk mengkonfirmasi pengetahuannya, bukan mencari pengetahuan baru. Segala hal sudah diketahui, kata “kanibal” penyabar yang tak tahu apa-apa tentang dunia di luar pintu rumah, namun memiliki segala pengetahuan ajaib Abad Pertengahan, tentang segala hal di luar dirinya sendiri: sejarahnya. Cinta kelak menaklukkan pengetahuannya yang tanpa batas. Dan kesunyian meledakkan keliarannya sampai ia menggunakan kontolnya yang tak kalah dahsyat dari otaknya untuk berlari keliling ruangan menyeimbangkan botol bir.

Pada diri Aureliano Babilonia-lah insest kelak terjadi. Peristiwa itu mendekatkannya pada sosok legendaris yang dengan tragis melakukan hubungan seks haram dengan bundanya, penyelamat kota Thebes yang diberkahi pikiran tajam dan mendalam hingga sanggup memecahkan teka-teki besar Sphinx: Oedipus. Dan ketika lahir seorang anak dengan ekor babi, seperti yang sudah diramalkan rinci oleh perkamen Melquiades, seluruh semut merah yang ada di dunia menggotong pergi anak tersebut. Sebuah badai yang sarat dengan suara-suara masa silam menghancurleburkan Macondo, melenyapkan tuntas Kota Bayangan itu dari ingatan ummat manusia. Bangsa yang dikutuk dengan seratus tahun kesunyian, tak punya kesempatan kedua untuk hadir kembali di muka Bumi.

Sepintas lalu, Solitude adalah afirmasi pada fatalisme. Dengan cara ganjil satu persatu tokoh-tokohnya, jika tidak melenyap, akan mati setelah melalui semacam keruntuhan mental. Tapi kemampuan bercerita Marquez justeru menghidupkan Macondo di imajinasi pembaca. Sejarah Macondo mungkin keras seperti bongkahan padas. Tapi, keajaiban karakter dan sepak terjang tokoh-tokohnya, membuat padas itu seperi bongkahan yang ditaklukkan oleh lumut aneka warna: kehidupan; Planet Bumi dalam keluasan antariksa.

Macondo memang metafor sejarah 500 tahun Amerika Latin: sejarah yang dikuak ketika Antonio Pigafetta mencatat dengan takjub sebuah benua surgawi yang bahkan berada di luar impian paling liar Eropa. Firdaus yang tak dihuni dewa ini kemudian menyaksikan serbuan berdarah para penakluk dan kolonialisme ratusan tahun, yang mengubahnya jadi neraka. Lalu datang cabikan perang sipil berkepanjangan serta terjangan kapitalisme dan gaya hidup Eropa modern. Sejarah yang koyak moyak oleh penindasan dan penaklukan adalah sejarah yang pada akhirnya memang harus menghancurkan dirinya sendiri untuk kemudian, bagai burung phoenix, bangkit lagi dari abu reruntuhannya.

Adapun Sureq Galigo adalah metafor sejarah ribuan tahun pembentukan, yakni pembentukan kehidupan dan masyarakat yang mencoba menjauh dari sebuah benua besar di Utara dan mungkin juga di Timur, menata hidup di atas gelombang, belajar membangun akar di pulau-pulau dan yang akhirnya tahu bahwa samudera yang tak berbatas dengan badainya yang tak berbelas adalah medan realisasi diri yang sejati. Daratan memang hanyalah persinggahan bagi para pemula dan kaum uzur untuk memberi kesempatan pada keperkasaan badai samudera menuntaskan hak-haknya dalam siklus musiman yang teratur. Sejarah yang dimulai ribuan tahun yang silam itu, yang selama puluhan abad mengendap dan baru meledak tumbuh ketika kerajaan-kerajaan pantai cukup kuat untuk menopangnya, masih menunjukkan degupnya ketika Antonio Pigafetta menumpang Victoria yang dikapteni Sebastian de Elcano peninggalan Magellan memasuki Nusantara dan membawa pulang ke Eropa barang-barang paling menakjubkan di dunia.

Di antara kelompok utama etnolinguistik di dunia, keluarga besar Nusantara menempati teritori geografis terluas di dunia sebelum era modern. Keluarga besar yang juga dikenal sebagai Melayu-Polinesia dan Austronesia oleh para peneliti Barat, mencakup sekitar 60 % keliling Planet Bumi, membentang dari Madagaskar ke Rapa-Nui (Pulau Paska), pulau paling terpencil di dunia yang dipenuhi patung-patung batu megalithik. Konon, leluhur pertama Rapa-Nui disebut Hotu Matu’a, artinya Orang Tua Agung. Dalam Bahasa Bugis, arti itu ditandai oleh kata To Matoa. Dari Utara ke Selatan, keluarga Nusantara meliput Taiwan, Kepulauan Hawaii (dari “Hava-iki”, atau “Jawa Kecil”) dan terus ke Selandia Baru. Di luar teritori inti ini, kawasan lain sering juga dikunjungi, termasuk sebagian besar Samudera Indonesia hingga ke pantai-pantai Afrika Timur, dan Samudera Pasifik sampai ke Amerika Selatan. Sampai kini, seperti dikatakan oleh antropolog Belanda Wjin Sargent, komunikasi masih dapat berlangsung antara pelaut Bajo Indonesia dengan pelaut Bajo yang mencapai Chile dan Argentina.

Penjelajahan maritim tokoh-tokoh Sureq Galigo memang tidak terlalu jauh ke Timur, mencapai Colombia atau Chile misalnya. Kawasan penjelajahan mereka meliput geografi Asia Tenggara. Sejumlah nama dalam epik yang dimeriahkan oleh ratusan protagonis ini, seperti dipungut lewat penjelajahan maritim yang menerobos jauh ke Barat: ke Anak Benua India dan Jazirah Arab. Di masa ketika Sureq Galigo mulai ditulis, di abad ke 14, Nusantara dikelilingi oleh Dinasti Ming yang baru bangkit dari reruntuhan Dinasti Yuan di Utara, Kesultanan Mogul yang hidup di tengah warisan Dinasti Gupta dan ajaran Hindu Budha di anak benua India, dan imperium Usmani yang bangun dari puing kekhalifahan Abbasiah di sekitar Arabia. Kebudayaan-kebudayaan besar berbasis benua ini, adalah Sang Lain bagi Nusantara yang berbasis lautan.

Bersama Majapahit yang agraris di Selatan, dinasti-dinasti benua ini, adalah lawan sekaligus sumber inspirasi bagi Bugis. Bagai sebuah spon raksasa, Bugis menyerap semua yang bisa diambilnya dari luar, menetapkan keberadaan entitas-entitas itu dengan perkawinan dan perang laut, atau perjudian yang tak lain adalah matafor untuk ujian bagi nyali dan intelegensi. Perahu-perahu Bugis yang menjelajah hampir sepertiga keliling Bumi, tak hanya membawa barang dagang atau bajak laut, tapi juga memuat pulang ide-ide, imaji-imaji, metafora-metafora yang kesemuanya dipakai dan dicerna untuk membentuk semesta simbolik.

Bugis sedang dalam puncak-puncak pertumbuhannya saat itu, dan belum melihat jalan turun.

Kebudayaan yang baru mekar dan penuh semangat hidup ini, memberi tempat terhormat pada petualangan-petualangan untuk menyebar luas bagai diaspora di atas pantai-pantai yang seakan baru diciptakan. Ia belum terlalu tua untuk mulai memberi tempat yang seimbang pada kematian, untuk merenunginya dan menjelajahi sudut-sudutnya. Kematian memang muncul dalam Sureq Galigo, hanya untuk kemudian ditampik, atau dijadikan pupuk bagi kehidupan baru: kematian We Oddang Riuq, perang-perang brutal yang dilakukan seperti pesta pora dalam menumpas penghuni langit, ritual pengorbanan para bissu demi lahirnya anak-anak penyambung generasi penguasa dunia.

Segenap bissu dan prajurit yang mati ini, juga prajurit lawan, kelak dihidupkan lagi. Yang jadi arwahpun masih bisa dikunjungi, kadang-kadang didatangi untuk perang, seakan-akan mereka cuma pindah pulau ke seberang cakrawala yang bau mentah pantainya masih tercium.

Ringkasnya, Sureq Galigo adalah selebrasi pada kehidupan. Perayaan dunia yang muda dengan hamparan samuderanya yang tak pernah berdusta, yang selalu setia membuka kesempatan menyesap keabadian detik-detik terakhir kesunyian sebelum prahara; keluasan tanpa batas yang kadang diterawang dengan mata berawan.

Paz pernah mencoba menunjukkan betapa mitos-mitos berkomunikasi, peradaban-peradaban saling berbicara, di luar kesadaran manusia-manusia yang membentuk dan mengembangkannya.

Penentukan secara pasti sintaksis mitologis benua Amerika, untuk kelak dikaitkan dengan sistem-sistem lain dari bangsa-bangsa Indo-Eropa, Oceania, Afrika dan Mongol di Asia, dipakainya sebagai dasar menuju kesimpulan komunikasi antar mitos itu. Memastikan sintaksis mitologis Sureq Galigo, mengaitkannya dengan sintaksis Odisei dan Solitude, lalu menyimpulkan bahwa ketiga karya sastra besar ini berkomunikasi, memang agak kurang pas di sini. Tetapi jelas, ketiga karya tersebut menunjukkan adanya suatu universalitas. Dan itu bukan sekedar universitas nalar, yakni “nalar” dalam pengertian yang lebih besar dan luas dari sekedar nalar kritis: nalar yang bekerja dengan pluralitas metafora, semacam tata kerja universal spirit manusiawi, yang menyatakan hal yang sama belaka.

Marquez punya istilah untuk universalitas tersebut: the persistent advantage of life over death. Pada pidato penerimaan Nobel-nya, sambil mengutip Faulkner yang menampik Kematian Manusia, Marquez bicara tentang universalitas itu, dan tentang penciptaan sebuah utopia baru dan agung tentang Hidup, di mana bangsa yang terkutuk dengan seratus tahun kesunyian, akan punya kesempatan kedua di muka bumi.

Universalitas Nalar dan Kehidupan membuat Sureq Galigo yang maha panjang itu adalah episode awal Solitude, perjalanan Raja Ithaka adalah cuplikan bagian tengah Sureq Galigo, sementara penghancuran Macondo dan Pidato Nobel Marques tak lain dari ajakan petualangan baru Odiseus.

Dalam kepustakaan mutakhir Matematika Kompleksitas, struktur dalam struktur seperti itu dikenal sebagai subyek kajian geometri fraktal, dengan contoh terbaik Set Mandelbrot: superfraktal yang tampaknya merepresentasi sebagian watak dasar semesta dan kehidupan. Adapun Sureq Galigo, begitu kuat ia terdorong oleh angin musim pertumbuhan dan pembentukan masyarakat, sehingga ia melingkar-lingkar tertenun sedemikian panjang dan rinci, seakan jika suatu saat dunia Bugis lenyap dari permukaan Bumi, maka ia bisa diciptakan lagi melulu dari puisi epik ini.

Daya Perempuan

R.A. Kern pernah mencoba meringkas puisi ini. Hasilnya adalah sebuah (inti) novel raksasa dalam bentuk sinopsis dan katalog sejumlah 1027 halaman. Christian Pelras menyebut bahwa ringkasan Kern itu berjumlah 1356 halaman, disuling dari 113 manuskrip yang jumlah seluruh halamannya sekitar 31500. Karya yang pertama kali diperkenalkan sekilas ke Barat oleh T. S. Raffles lewat The History of Java (1817) ini tak pernah dikisahkan tuntas dari awal sampai akhir: hanya bagian-bagian tertentu saja yang pada kesempatan upacara khusus, dibacakan sambil dilagukan. Ada upaya memang untuk menyalin serat ini dari ingatan bersama dan psike Bugis ke dalam abjad-abjad lontar sejak enam abad silam. Hasilnya adalah fragmen episode-episode, dengan versi masing-masing, yang terkandung dalam ratusan kumpulan naskah yang tersebar di berbagai perpustakan dalam dan luar negeri. Kumpulan terlengkap disusun oleh perempuan ningrat Colliq Puji, Arung Pancana Toa dari Kerajaan Tanete atas permintaan B.F. Matthes di pertengahan abad kesembilanbelas. Terdiri dari 12 jilid, naskah ini diperkirakan baru merangkum sepertiga dari keseluruhan cerita.

Fakta bahwa makhluk paling cerdas dalam kosmos Galigo dan penyusun naskah terlengkap puisi panjang ini adalah perempuan, dan bahwa selain anggota istana, hanya perempuanlah yang menguasai kunci ke naskah agung ini, membuat saya pernah membayangkan bahwa penyusun utama wiracarita yang sangat kuat nuansa maskulinnya ini bukanlah lelaki. Saya membayangkannya mirip Jorge Luis Borges membayangkan Pierre Menard, pengarang Don Quixote. Andaipun tak menduduki posisi sentral seperti Yesus dalam Agama Kristen, barangkali perempuan mengambil posisi mirip Petrus, tokoh terpenting kedua yang menginstitusikan inspirasi Kristus. Ini tak mustahil mengingat alangkah tingginya posisi perempuan dalam semesta Bugis-Makassar selama berabad-abad hingga mendaratnya monotheisme di pantai-pantainya.

Puisi epik yang konon adalah pencapaian tertinggi yang diaspirasikan penyair memang hidup untuk menyimbolkan kesadaran sebuah jaman, mengikhtisarkan nilai-nilai yang diyakini manusia. Dihiasi oleh tindakan-tindakan dan karakter-karakter heroik yang dimuliakan oleh jaman yang dihidupkannya, ia adalah sebentuk puisi yang dengan hati-hati memasukkan sejarah, tapi yang kemudian mengatasi sejarah itu melalui imajinasi mitikal yang niscaya berdimensi teologis. Dan sekedar bayangan bahwa di belakang wiracarita Galigo ada semacam sosok Hypatia dari Perpustakaan dan Museum Aleksandria, sudah membentangkan gambaran menakjubkan tentang bagaimana sebentuk “feminisme purba” dengan cara yang sangat canggih melakukan rekayasa kognitif yang bukan sekedar penciptaan sebuah dunia di mana dimensi-dimensi fisis diimbuhi dengan ketertataan dalam pengertian moral dan spiritual.

Ada kemungkinan bahwa sampai akhir jaman versi pamungkas Sureq Galigo yang serba koheren, semacam teks pertama “pra-Menara-Babel” yang utuh sebelum terpecah-pecah dalam waktu, tak akan pernah terbentuk. Sinopsis Kern memang menunjukkan, meminjam Sirtjo Koolhof, suatu inti naratif dasar yang disari dari segugus episode yang relatif tegas. Tetapi, rincian cerita dan kemungkinan-kemungkinannya yang dapat muncul antara pembukaan dan penutup serat ini, sungguh tak terbatas. Ketakterbatasan itu adalah samudera kosong yang menanti penjelajahan artistik besar-besaran di mana sureq ini dibongkar, disalah-baca, diperkaya seluas dan sedalam psike manusia dan keliaran imajinasinya.

Tentang psike dan imajinasi, Bugis memang hanya bagian sangat kecil dari kenyataan besar Kehidupan, yang sedemikian besar hingga tanpa Bugis pun, bahkan mungkin tanpa homo sapiens, ia tetap akan tumbuh mengagungkan dirinya dan mengatasinya. Bersama segenap karya agung imajinasi manusia, Sureq Galigo — asal tak dibiarkan mati oleh pensakralan dan penyempitan pembuluh akses — dan karya-karya sastra dunia yang lain adalah bahan mentah penulisan puisi epik yang sedemikian agung sehingga jika kelak dunia, bahkan alam semesta seisinya, tiba-tiba melenyap dalam ketiadaan, ia mungkin saja diciptakan lagi antara lain dari puisi akbar itu.***

Rujukan:
  1. Fachruddin, A. E. 1983. Ritumpanna Wélenrénngé: Telaah Filologis Sebuah Episode Sastra Bugis Klasik Galigo. Ph.D. thesis. Jakarta: University of Indonesia.
  2. Garcia Marquez, Gabriel. 1970. One Hundred Years of Solitude. Translated from Spanish into English by Gregory Rabassa. England: Penguin Books. Introduction by Carlos Fuentes.
  3. Homer. 1997. The Odyssey. Translated by Robert Fagels; Introduction by Bernard Knox. USA: Penguin Books.
  4. Johnston, Ian at http://www.mala.bc.ca/~johnstoi/
  5. Kern, R.A. 1989. I La Galigo: Cerita Bugis Kuno. KITLV-LIPI Translation Series. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  6. Koolhof, Sirtjo. 1999a. Diversity in Unity: The Language of Tradition in the La Galigo. Paper for the Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara “Tradisi Tulis Nusantara Menjelang Milenium III”. Jakarta, 12 – 13 October 1999.
  7. Koolhof, Sirtjo. 1999b. The La Galigo: A Bugis Encyclopedia and its Growth. Bijdragen. Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania. Nederland: KITLV
  8. Pelras, Christian. 1996. The Bugis. Oxford / Cambridge, Massachusetts: Blacwell. [The Peoples of South-East Asia and The Pacific].
  9. Rahman, Nurhayati. 1998. Sompeqna Sawerigading Lao ri Tana Cina. (Episode Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina). Ph.D. thesis. Jakarta: University of Indonesia. [Sawerigading’s Odyssey to China Land].
  10. Salim, Muhammad, et al. (eds). 1995. I La Galigo Menurut Naskah NBG 188 Yang Disusun oleh Arung Pancana Toa. Introduction by Sirtjo Koolhof. Volume 1. Jakarta: Djambatan.
Versi yang lebih ringkas tanpa catatan kaki dan rujukan, terbit di KOMPAS Edisi Millenium 1 Januari 2000. Diterbitkan kembali dalam bungarampai “1000 Tahun Nusantara,” JB Kristanto (ed.), (Jakarta: KOMPAS, 2000)

No comments:

Post a Comment