Friday, November 11, 2016

Visi Fisika Masa Depan

Oleh: Natalie Wolchover

22 September 2015
(Sumber: www.quantamagazine.org)


Nima Arkani-Hamed tengah memperjuangkan kampanye pembangunan pembentur partikel (particle collider) terbesar di dunia seraya mengejar visi hukum alam yang baru.

Nima Arkani-Hamed. (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Nima Arkani-Hamed. (Béatrice de Géa untuk Quanta
Magazine)

Ajaklah Nima Arkani-Hamed berbincang tentang alam semesta—tidak sulit—maka dia akan bicara bermenit-menit atau berjam-jam dan membawa Anda ke batas pemahaman manusia, kemudian dia akan lewati batas tersebut, melampaui Einstein, melampaui ruang-waktu dan mekanika quantum dan semua tropus penat fisika abad 20, menuju visi baru nan spektakuler tentang bagaimana segala sesuatu bekerja. Rasanya begitu sederhana, begitu jelas. Dia akan mengingatkan Anda bahwa, di tahun 2015, ini masih spekulatif. Tapi dia yakin, suatu hari kelak visi ini akan jadi kenyataan.

Dia memenangkan Fundamental Physics Prize perdana senilai $3 juta pada 2012 atas “pendekatan orisinil terhadap permasalahan menonjol dalam fisika partikel, meliputi proposal dimensi tambahan besar, teori-teori baru untuk boson Higgs, realisasi baru supersimetri, teori-teori dark matter, dan eksplorasi struktur matematis baru dalam amplitudo hamburan teori tolok”. Atas dasar arus ide yang dihasilkannya selama 20 tahun ini, Arkani-Hamed, 43 tahun, profesor di Institute for Advanced Study (IAS), Princeton, New Jersey, diakui luas sebagai salah satu fisikawan teoritis terbaik hari ini. Para kolega menunjuk kejeniusannya atas penyederhanaan soal-soal kompleks, juga kemampuan matematika luar biasa, kreativitas, naluri, dan wawasan fisika yang luas. “Nima mengagumkan dalam setiap komponen ruang bakat,” ujar Savas Dimopoulos, fisikawan partikel teoritis di Universitas Stanford.

Tapi sementara banyak fisikawan papan atas menjauh dari panggung, Arkani-Hamed, kata koleganya, berfungsi sebagai “mesias”, “Pied Piper”, “impresario”. Lengan bergerak dan rambut terjurai ke pundak, dia menjalin kalkulasi, eksperimen pikiran, dan preseden sejarah ke dalam narasi, menguraikan bab-bab yang akan datang dengan percaya diri. Pendengarnya berasal dari kalangan mahasiswa pascasarjana hingga pemenang Hadiah Nobel. “Dia terus memenuhi harapan, dan bujukannya berdaya hipnotis,” kata Raman Sundrum, fisikawan teoritis di Universitas Maryland, College Park, “jadi banyak orang mengikuti panduannya.”

Misi Arkani-Hamed—mudah dikatakan, tapi menyita segalanya sampai-sampai dia nyaris tidak tidur—adalah memahami alam semesta. “Saya merasa tak ada waktu untuk bermalas-malasan,” tuturnya musim panas ini di Princeton. Obsesi ini membawanya ke beberapa arah, tapi pada tahun-tahun belakangan ada satu persoalan alam semesta yang menyita pikirannya, di samping bidang [fisika] secara keseluruhan. Fisikawan partikel berusaha mencaritahu apakah atribut-atribut alam semesta bersifat niscaya, terprediksi, “alami”, seperti kata mereka, saling mengunci membentuk pola pantas, ataukah alam semesta teramat tidak alami, sebuah permutasi ganjil di antara tak terhitung kemungkinan lain yang lebih monoton, diamati hanya karena kondisi istimewanya memungkinkan timbulnya kehidupan. Alam semesta alami, secara prinsip, adalah alam semesta yang dapat diketahui. Tapi jika alam semesta tidak alami dan disetel halus untuk kehidupan (hasil mujur dari roda rolet kosmik), maka sudah sewajarnya “multiverse” alam-alam semesta yang berlimpah dan beragam eksis di luar jangkauan kita—produk-produk tak berkehidupan dari putaran [rolet] yang kurang beruntung. Multiverse ini menjadikan alam semesta kita mustahil dipahami penuh berdasarkan persyaratannya sendiri.

Kenyataannya, partikel-partikel unsur yang dikenal, terkodifikasi dalam seperangkat persamaan berumur 40 tahun bernama “Standard Model”, tidak memiliki pola pantas dan herannya seolah disetel halus untuk kehidupan. Arkani-Hamed dan fisikawan partikel lain, dibimbing oleh keyakinan mereka akan kealamian, telah menghabiskan waktu berdekade-dekade guna merancang cara cerdik untuk mencocokkan Standard Model ke dalam pola alami dan lebih besar. Tapi berulangkali pembentur partikel yang kian canggih gagal menemukan bukti proposal mereka dalam wujud partikel atau fenomena baru, malah semakin menunjukkan prospek suram dan radikal bahwa kealamian telah mati.

Nima Arkani-Hamed. (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Nima Arkani-Hamed. (Béatrice de Géa untuk
Quanta Magazine)
Tetap saja banyak fisikawan, terutama Arkani-Hamed, mencari jawaban yang lebih pasti. Dan saat ini, usaha untuk menjawab persoalan kealamian membawanya ke China. Dua tahun silam, dia setuju menjadi direktur perdana Center for Future High Energy Physics yang baru di Beijing. Sejak saat itu dia mengunjungi China 18 kali, mengkampanyekan pembangunan mesin berskala tiada tara: sebuah particle collider bundar dengan keliling hingga 60 mil, atau nyaris empat kali lebih besar daripada Large Hadron Collider (LHC)-nya Eropa. Dijuluki “Great Collider”, dan ditaksir memakan biaya kurang-lebih $10 miliar dalam 30 tahun, ia akan menggantikan LHC sebagai pusat baru semesta fisika. Menurut Arkani-Hamed dan orang-orang yang sependapat dengannya, pembentur 100 triliun elektron volt (TeV) ini akan menghantamkan partikel-partikel subatom cukup keras untuk menemukan partikel-partikel yang tak mampu dihimpun oleh LHC atau justru mengesampingkannya, menyelamatkan atau menghabisi prinsip kealamian dan mendorong fisikawan kepada salah satu dari dua gambaran yang bertolak belakang: alam semesta yang dapat diketahui, atau multiverse yang tak dapat diketahui.

Kampanye pembentur China mendapat dukungan dan keterlibatan banyak peneliti terkemuka selain Arkani-Hamed, termasuk Yifang Wang, peraih Hadiah Nobel David Gross, dan peraih medali Fields S.T. Yau, serta sepasukan pelaku eksperimen dan insinyur yang bekerja di balik layar, walau proyek ini kontroversial. Para pakar berselisih: apa yang akan diraih mesin ini. Mereka juga bertanya-tanya apakah China siap mengambil kepemimpinan dalam fisika partikel, apakah komunitas fisika partikelnya yang kecil mampu tumbuh cukup cepat dalam dua dekade ke depan untuk menjalankan proyek sebesar dan serumit ini, sekalipun dengan bantuan ribuan fisikawan Eropa dan AS. Sebagaimana diungkapkan oleh Tao Han, salah satu fisikawan partikel yang mendukung kampanye tersebut, perihal kerisauan sebagian kolega China-nya, “Apa kita sedang melompat terlalu jauh dan jatuh keras?”

Sekarang adalah waktu pengambilan keputusan. Pemerintah China akan melansir rencana anggaran lima tahun menjelang akhir tahun. Itu akan menyingkap apakah mereka berencana berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan proyek pembentur.

“Program 100 TeV China ini brilian, sangat menantang, sangat riskan. Dan itu sebabnya hal semacam ini, saya pikir, takkan punya daya tarik tanpa Nima,” kata Sundrum, yang berkunjung ke Beijing untuk membantu kampanye. “Dia telah melakukan persuasi besar-besaran untuk mengangkatnya dari fantasi belaka, fantasi kekalahan, menjadi sesuatu yang memiliki peluang tempur.”

Parkir dan Pergi
Bagi Arkani-Hamed, kampanye pembentur China terasa seperti membuka sebuah pintu. “Kalau dipikir lebih dalam, ini sempurna sekali,” ungkapnya, menyeruput Coke Zero di sofa kantornya. “Ini akan bagus untuk fisika, ini akan bagus untuk China. Mereka sedang mencari sesuatu di mana mereka bisa menjadi yang terbaik di dunia.” Dia menyambung, “Ada segelintir hal dalam hidup ini di mana apa yang ingin Anda kerjakan untuk alasan idealistis dan apa yang ingin orang kerjakan untuk alasan Machiavelis adalah identik. Dan saat itu terjadi, kerjakan saja. Kerjakan saja!”

Cahaya mentari Juni menerpa papan tulis hitam bernoda kapur dan meja antik megah. Arkani-Hamed duduk di bawah foto macan tutul jantan, yang dijepret oleh mitranya, seorang biolog, sewaktu mereka bersafari di Afrika Selatan dua tahun silam. Mengenakan kaos hitam sehari-hari, celana pendek kargo, dan sandal, dengan lengan penuh luka cakaran kucing—bukti cinta keras dari seekor kucing betina pujaan—dia melompat bangkit untuk menghapus sepetak bercak kapur dan menulis argumen matematika baru, dan kemudian loncat lagi untuk merangkul seorang visiting researcher yang mengintip sopan dari koridor. Pada waktu makan siang, dikelilingi oleh anak didik, dia mencorat-coretkan teori pada serbet, mempertahankan sebagian, menerangkan sebagian lain, dan meneguk Coke Zero lagi. (Asupan kafeinnya memuncak beberapa tahun lalu akibat 15 hingga 16 shot espresso per hari.)

Dermawan dalam urusan waktu, bahkan terhadap seorang pemuda yang keluyuran di koridor, yang dengan setengah kelakar disebutnya sebagai “penguntit”, Arkani-Hamed mengaku tak pernah menolak mahasiswa pascasarjana yang ingin bekerjasama dengannya. Banyak dari kawanannya sudah bergabung sebagai staf pengajar di universitas-universitas riset terkemuka dan kini menjadi pemimpin dalam angkatan mereka. “Menjadi mahasiswa Nima seperti memiliki Usain Bolt sebagai pelatih lari,” tukas Clifford Cheung dari California Institute of Technology di Pasadena, yang belajar di bawah bimbingan Arkani-Hamed di Universitas Harvard. Jesse Thaler dari Massachusetts Institute of Technology melukiskan bagaimana dirinya menghabiskan waktu nyaris setiap hari di kantor sibuk Arkani-Hamed di Harvard, dalam obrolan remeh penuh gelak-tawa dan “interogasi menegangkan yang terangsang kafein”. Thaler menambahkan, “Jika mencermati momen-momen terbaik dalam karir fisika saya sejauh ini, kebanyakan terjadi karena (sadar atau tidak) berusaha meneladani Nima: mengejar ide-ide pribadi dengan antusiasme tak terkekang, santun mencampakkan para penentang, dan mengatasi rintangan secara frontal. Dan minum espresso.”

Nina Arkani-Hamed bersama rekan kerjanya, Raffaele Tito D’Agnolo (kiri) dan David Pinner (kanan), di Institute for Advanced Study, Princeton, New Jersey. (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Nina Arkani-Hamed bersama rekan kerjanya,
Raffaele Tito D’Agnolo (kiri) dan David Pinner (kanan),
di Institute for Advanced Study, Princeton, New Jersey.
(Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Arkani-Hamed telah menjadi kekuatan pengganggu sepanjang karirnya. Dia mulai mengukir nama di pascasarjana Universitas California, Berkeley, pertengahan 1990-an. Saat dia tunjukkan kekeliruan dalam [makalah] pracetak karya Dimopoulos, seorang peneliti terkemuka yang dua dekade lebih senior, penasehatnya menyebut bahwa Dimopoulos mungkin ingin pulang dari cuti panjang di Eropa demi bekerjasama dengan Arkani-Hamed, bakal peneliti pascadoktoral di SLAC National Accelerator Laboratory, Universitas Stanford. “Sungguh timpang,” kenang Dimopoulos. “Kenapa saya biarkan seorang pascadoktoral menentukan masa depan saya?” Pada akhirnya, dia memang pulang, dan mereka menjadi teman akrab dan rekan kerja. “Kami melewati waktu amat produktif dan mengasyikkan,” kata Dimopoulos. “Dia salah satu teman terbaik dalam hidup saya.” Kolaborasi terbesar mereka melengkapi Standard Model dengan efek-efek hipotetis dimensi ruang tambahan yang tergulung di setiap titik di realitas tiga-dimensi kita.

Sembari menelurkan bidang riset baru satu demi satu, Arkani-Hamed menolak selingan dunia nyata, misalnya aturan parkir. Sebagai profesor muda di Berkeley, dia bersikeras memarkir mobil di area kosong dekat gedungnya ketimbang di tempat jauh yang sudah disediakan. Ini menimbulkan perang epik dengan petugas parkir hingga wajahnya dipajang di poster “Daftar Buruan” dan turut mendorongnya pindah dari Berkeley ke Harvard. Di sana, masalah parkirnya agak berkurang (meski mobilnya rutin diderek ke area dekat), dan karirnya berkembang. Dia “menghidupkan seluruh tempat”, kata Melissa Franklin, fisikawan Harvard. Pada 2008, sewaktu pindah ke IAS, demi meraih “kemurnian tujuan” lembaga tersebut serta kebebasan dari tugas mengajar, masalah parkirnya berakhir, tapi “kami menangis”, ungkap Franklin. “Kami mencucurkan air mata.”

Kedamaian IAS, di mana pemikir besar macam Albert Einsten dan Kurt Gödel menyelesaikan karir mereka, tak memperlambat ambisi Arkani-Hamed. Kini, di puncak luapan ide-ide baru yang tiada putus, siang dan malamnya dipenuhi penerbangan dan pertemuan demi mengejar pembentur impian. Beberapa lama kemudian, di bulan Juni, usai meninggalkan reporter yang kelelahan secara intelektual di stasiun kereta, Arkani-Hamed berkendara ke Newark untuk mengejar penerbangan mata merah ke Hong Kong, di mana dia akan berceramah di sebuah konferensi sebelum naik penerbangan lain ke Beijing guna bertemu kolega Beijing dan membimbing riset untuk proyek pembentur. “Saya tidur seperti singa makan,” jelasnya, “rentang waktunya sempit sekali, disela oleh makan besar dan lezat.”

Kabur ke Bintang
Ibunda Arkani-Hamed, Hamideh Alasti, yakin bahwa motivasi sang putera untuk memahami dunia pernah menyelamatkan nyawanya sendiri. Dia lahir di Houston, di mana ayahnya, Jafar, bekerja untuk program Apollo yang menganalisa atribut fisik bulan. (Ibunda Arkani-Hamed dan adiknya, Sanaz “Sunny” Jensen, juga fisikawan.) Selagi keluarganya meloncat-loncat antara pekerjaan akademis di Iran dan AS, Nima muda menyerap buku-buku semacam Tell Me Why karangan Arkady Leokun, dan menikmati penyelidikan ilmiah praktis seperti menangkap dan membesarkan katak, ular, salamander, dan mempelajari perilaku mereka. “Dia betul-betul tak peduli dengan kehidupan bendawi,” ungkap Alasti. “Jika disuruh mengenakan kemeja bagus, dia menolak.” Sang ayah menambahkan, “Saya biasa ajak Nima berjalan kaki hampir setiap akhir pekan di Teheran. Dia sangat keras kepala. Saya ingat, suatu kali dia berjalan-jalan sekitar 11 jam di usia 4 tahun. Saya hendak menggendongnya tapi dia menolak.”

Nima Arkani-Hamed. (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Nima Arkani-Hamed. (Béatrice de Géa untuk
Quanta Magazine)
Pada 1979, tatkala Shah Iran digulingkan, keluarganya lagi-lagi pulang ke tanah air dari AS, menuju janji kebebasan berpendapat dan segala prospeknya. Nima ikut mendengarkan diskusi politik antara orangtuanya dan teman-teman mereka yang berpendidikan barat, dan dia ingat pernah membaca The Communist Manifesto sebagai buku komik berbahasa Farsi. Tapi dalam setahun, Ayatullah Khomeini mulai menutup universitas-universitas. Jafar, kala itu bekerja di Universitas Sharif, Teheran, menulis sebuah surat bersama 14 kolega yang isinya mengecam penutupan tersebut. Para penandatangannya dimasukkan ke dalam daftar hitam; mereka yang terendus dipenjara atau digantung, tutur Jafar. Dia pun bersembunyi, dan akhirnya membayar $50.000—tabungan seumur hidupnya—kepada para penyelundup agar mengeluarkannya beserta keluarga dari negeri tersebut di atas kuda. Manakala salah satu penyelundup dalam rantai pemindahtanganan tidak menerima bayaran penuh, orang itu meninggalkan Nima, orangtuanya, dan adik bayinya di pegunungan antara Iran dan Turki.

Satu pekan dalam perjalanan yang harusnya memakan waktu dua hari, Nima usia 10 tahun terserang demam 107 derajat dan terlalu lemah untuk berjalan. Jafar meninggalkan isteri dan anak-anaknya berimpitan di sebuah lembah, terus lari mencari pertolongan. Tiga jam kemudian dia menemukan sekelompok Kurdi nomaden, dan seorang pemimpin oposisi Kurdi terhadap Khomeini ada di antara mereka. Menjadi pahlawan banyak lagak dalam ingatan Nima, pria ini mengirim kuda-kuda untuk menyelamatkan keluarganya. Sang bocah, nyaris sekarat, duduk merosot di atas punggung kuda ibunya selagi mereka dituntun keluar Iran dalam lindungan senjakala. “Kondisinya parah sekali,” kata Alasti. Guna menyemangati, dia arahkan perhatiannya pada pita bintang-bintang terang yang menghampar di langit—galaksi Bima Sakti—dan berjanji bahwa begitu mereka sampai ke tempat aman, dia akan memberinya teleskop. “Itu membuatnya tetap sibuk,” ujarnya, “bahkan sampai membuatnya tetap hidup.” Setelah melintasi perbatasan dengan aman, keluarga ini menempuh perjalanan ke Toronto.

Kehidupan di Kanada berjalan lancar; hanya satu hal yang menggemuruh. Waktu itu, “ada batas pada tingkat keluasan dan ambisi orang-orang dalam memikirkan sesuatu,” pungkas Arkani-Hamed. Dia terutama terkesan oleh betapa bangganya banyak warga Kanada atas pembangunan lengan robot pesawat ulang-alik milik NASA. Selama liputan berita peluncuran, kenangnya, “akan ada sorotan pada lengan, pada [label] ‘Kanada’ di lengan, maka saya pun berpikir pesawat antariksa ini urusan besar!” Di sekolah, dia menolak menjalani kesibukan dan mendapat nilai sedang, kecuali dalam matematika (yang semuanya berupa ujian) dan bahasa Inggris (karena dia suka guru-gurunya, dan suka membaca dan menulis), meski memperoleh angka tertinggi se-Kanada dalam ujian fisika nasional. Menjelang tahun senior di SMU, terlihat jelas dia akan menjadi fisikawan teoritis yang sukses. “Kau akan jadi Einstein berikutnya,” goda guru fisikanya, dan terus diingat olehnya dan kedua orangtua, “dan aku akan jadi orang yang memberimu nilai B!”

Pekerjaan rumah tak lagi jadi masalah di Universitas Toronto; dia menyapu ujian fisika pertamanya, dan di tahun senior dia membantu mengajarkan teori medan quantum kepada mahasiswa pascasarjana. Orang-orang tertarik oleh virus antusiasmenya akan matematika dan fisika. “Kebanyakan orang mulai terbiasa dengan pemikiran bahwa sulit sekali memahami bahan dan kita umumnya menyerah. Dia tidak demikian,” ujar Hugh Thomas, sahabat dan teman sekelas yang kini menjadi matematikawan. “Dia sangat, sangat, sangat, sangat pintar, jadi dia coba pahami banyak hal.”

Energi Tertinggi
Kampanye Arkani-Hamed untuk [pembangunan] pembentur 100 TeV dimulai pada 30 Juli 2013 dalam sebuah diskusi panel mengenai masa depan fisika partikel Amerika di Minneapolis, Minnesota. Dengan jatah waktu cuma lima menit untuk berceramah di depan 1.000 fisikawan, padahal biasa berbicara selama yang dia suka, Arkani-Hamed telah menyiapkan kata-katanya dengan cermat. “Semua sudah tahu, kita sedang memulai era baru dalam fisika fundamental,” bukanya. Setelah menyinggung krisis kealamian, dia berlanjut: “Taruhannya lebih tinggi daripada di masa lalu. Kita bukan sedang menanyakan partikel ini atau itu, tapi sesuatu yang jauh lebih struktural mengenai realitas fisik… Sejauh ini, cara terbaik menjawab pertanyaan ini adalah menyerbu energi tertinggi dan membangun pembentur 100 TeV.”

“Saya duduk di sebelahnya dan mengamati bagaimana dia membaca kata demi kata yang sudah dituliskan,” kata Kyle Cranmer dari Universitas New York, sesama panelis yang mengaku merasa seperti “anak kecil yang berbagi panggung hari itu… Ceramah Nima meniupkan semangat kepada orang-orang yang jauh di lubuk hatinya merasakan bahwa kita perlu pembentur lebih besar untuk membuat kemajuan nyata… Itu bukan argumentasi tentang kepraktisan, itu ajakan blak-blakan, sebuah peluncuran, dan pada dasarnya dia menyebut orang-orang yang tidak memandangnya demikian sebagai pengecut dan orang-orang yang berpandangan demikian sebagai pemberani.”

Nima Arkani-Hamed mengargumentasikan “gambaran besar”-nya untuk pembangunan pembentur partikel 100 TeV. (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Nima Arkani-Hamed mengargumentasikan
“gambaran besar”-nya untuk pembangunan
pembentur partikel 100 TeV. (Béatrice de Géa
untuk Quanta Magazine)
Seruan tempurnya menggemparkan hadirin dan mendominasi sisa diskusi, tapi itu tidak disukai oleh mayoritas sesama panelis. Salah seorang menyebut Arkani sedang “bermimpi”. Banyak orang lebih suka konstruksi eksperimen neutrino skala kecil di Fermilab, Illinois, sebagai proyek besar AS berikutnya—rencana yang disertakan ke dalam laporan penentu kebijakan komunitas fisika partikel Mei nanti. Arkani-Hamed sangat tidak setuju dengan rencana ini. Fisika neutrino “memang menarik”, katanya baru-baru ini, “tapi semestinya itu tidak dijadikan produk utama sebuah negara besar.”
Menurut diagnosanya, fisikawan Amerika mengidap “gangguan stres pasca trauma SSC”, suatu ketidakmampuan untuk pulih dari musibah pembatalan Superconducting Super Collider, direncanakan tiga kali lebih besar dari ukuran LHC, yang konstruksinya berjalan separuh pada 1993 di Texas. Penelantaran SSC bukan cuma menghamburkan miliaran dolar, merusak karir kawula muda, dan mencederai hubungan dengan lembaga-lembaga luar negeri secara permanen, ungkapnya, itu juga “berakibat melemahkan cara pikir bidang ini tentang dirinya sendiri, dan caranya menyajikan diri di depan pemerintah, di depan khalayak.” Di AS, seperti kata Sundrum, ide semacam pembentur 100 TeV $10 miliar “mati begitu tiba”.

Arkani-Hamed segera mendengar kabar dari Tao Han, yang memegang jabatan di Universitas Pittsburgh dan Universitas Tsinghua di Beijing. Han sudah mengkampanyekan pembangunan pembentur partikel energi tinggi di China selama 10 tahun, tanpa hasil hingga belakangan ini, katanya. Terlepas dari reputasi China akan keunggulan dalam pendidikan sains, ia tertinggal jauh di belakang AS dan Eropa dalam penelitian dasar. Selama berdekade-dekade, para fisikawan partikel terbaik negeri tersebut bermigrasi ke AS dan Eropa, ketimbang mengembangbiakkan tradisi di sana.

Ini mulai berubah dengan suksesnya pembangunan Beijing Electron-Positron Collider II (BEPCII), sebuah cincin berkeliling 240 meter yang rampung pada 2008. Han mencium perubahan lebih besar lagi pada 2012, sewaktu China melaksanakan eksperimen neutrino penting di Daya Bay, lepas pantai Laut China Selatan. Hasil temuannya, dipublikasikan April itu, melengkapi gambaran bagaimana partikel-partikel ringan licin mampu berubah dari satu tipe ke tipe lain, sebuah fenomena yang dikenal sebagai “osilasi neutrino”. Ilmuwan Barat memandang Daya Bay sebagai buah fisika partikel terpenting yang pernah lahir dari China.

Tenaga pendorong di balik BEPCII dan Daya Bay adalah Yifang Wang, fisikawan giat di Beijing yang menghabiskan karir awalnya di Eropa dan AS. Pada 2011, sebagian berkat keberhasilan eksperimen tersebut, Wang ditunjuk menjadi direktur Institute of High Energy Physics (IHEP) Beijing. Dia segera mendesak eksperimen lebih besar lagi di China. Karena pembangunan mesin terlalu mahal dan memakan waktu, Wang dan kolega memutuskan mempersilakan teori memimpin jalan. Dua tahun silam, mereka sepakat untuk membangun sebuah pusat penelitian teori di IHEP. Itu akan butuh direktur pendiri (founding director), dan Han mengaku tahu orang yang tepat.

Setelah serangkaian pertemuan antara Arkani-Hamed, Wang, dan lain-lain di Beijing, Center for Future High Energy Physics di IHEP diluncurkan dalam upacara pengguntingan pita pada Desember 2013, di mana Arkani-Hamed menjadi direkturnya. “Saya menghubungi 40 teman fisika pembentur paling akrab,” katanya, dan memboyong mereka ke Princeton guna menjadwalkan kunjungan ke pusat penelitiannya di China. Di sana, mereka bekerjasama dengan orang-orang China untuk menyusun argumen fisika demi membangun pembentur super yang baru. Mesin ini akan dibuka sebagai “pabrik Higgs”, membenturkan partikel-partikel pada besaran energi rendah untuk menghasilkan partikel bernama boson Higgs dan memeriksa atributnya guna mencari tanda-tanda fisika baru secara tak langsung, lalu menanjak ke besaran 70 sampai 100 TeV (tergantung pada teknologi magnet yang tersedia) menjelang tahun 2042. Studi mereka membuahkan 50 makalah riset dan satu laporan komprehensif yang menguraikan bagaimana eksperimen akan bekerja. Sementara itu, Arkani-Hamed dan Gross, teoris di Universitas California, Santa Barbara, membujuk sembilan fisikawan terkemuka dunia lainnya agar menandatangani surat rekomendasi proyek. Salah satu dari mereka, Yau, matematikawan dan teoris string Harvard yang masyhur di China, mengantarkan langsung surat tersebut kepada wakil presiden China, Li Yuanchao. Menurut Yau, daftar tandatangan terkenal menarik perhatian sang wapres. Atas permintaannya, ungkap Yau, menteri sains dan teknologi mengadakan sederet pertemuan untuk membahas kelayakan proyek. (Buku karangan Yau, From the Great Wall to the Great Collider, ditulis bersama Steve Nadis, akan terbit musim gugur ini.)

Tantangan besar masih tersisa. Dengan bantuan penting dari komunitas internasional sekalipun, para pakar memperkirakan beberapa ribu fisikawan partikel baru China harus dilatih selama 10 tahun ke depan. Minat terhadap fisika partikel sudah tampak meningkat di kalangan pelamar pascasarjana di sana, dan Arkani-Hamed seperti biasa sangat optimistis, tapi sebagian peneliti khawatir angka peningkatan ini takkan cukup. Terlebih, magnet-magnet yang diperlukan untuk mengakselerasi proton hingga 100 TeV diproduksi di Fermilab, lab milik pemerintah AS, dan pada saat ini mereka masih terlalu mahal; negara-negara harus bekerjasama, dan ongkos magnet harus turun lumayan banyak dalam satu dekade ke depan agar proyek ini tetap dalam batasan anggaran.

Arkani-Hamed bersama Pinner (kiri) dan D’Agnolo (kanan). (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Arkani-Hamed bersama Pinner (kiri) dan D’Agnolo
(kanan). (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Yang lebih merepotkan, sebagian peneliti curiga Great Collider takkan memberi jawaban pasti terhadap persoalan kealamian yang digembar-gemborkan oleh Arkani-Hamed. Cranmer, contohnya, menyimpan keraguan. “Saya sangat simpati dengan pemikiran bahwa ini merupakan titik genting di bidang ini dan bahwa kealamian/penyetelan halus adalah isu mendalam,” tulisnya dalam sebuah surel. “Namun, saya tidak yakin jika kita membangun pembentur 100 TeV dan tak menjumpai apa-apa, itu akan jadi bukti tegas bahwa alam disetel halus.” Tetap tersisa kemungkinan bandel bahwa ada penyelesaian alami Standard Model yang tak bisa diakses oleh pembentur. (Arkani-Hamed dan rekan kerjasamanya mengusulkan satu skenario demikian musim panas ini, dijuluki “Nnaturalness”, yang dapat diuji dengan cara lain.) Adam Falkowski, fisikawan partikel di Paris yang membuat blog mengenai perkembangan di bidang ini, berargumen bahwa jika tak ditemukan partikel baru pada besaran 100 TeV, fisikawan akan mandek dalam pencarian teori alam yang lebih lengkap—kehilangan petunjuk. “Sekarang ini tak ada indikasi bahwa pembentur ini akan membantu kita memecahkan teka-teki manapun dalam fisika partikel atau kosmologi,” ujarnya.

Penentang proyek pembentur yang paling menonjol adalah peraih Nobel C.N. Yang, fisikawan kenamaan berumur 93 tahun yang karyanya telah mempengaruhi fisika partikel secara signifikan, tapi menganggap fisika materi terkondensasi (yang mengurusi perilaku material) jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat. Pandangan Yang tidak tampil secara terbuka dalam tulisan, tapi bagi Han itu sudah dikenal luas dan menjadi hambatan kampanye.

Banyak fisikawan partikel mengidamkan pembentur generasi mendatang lantaran itu akan menjamin ribuan pekerjaan dan masa depan bagi bidang ini. Sedangkan Gross, yang menganggap kealamian sebagai konsep suram, hanya mengidamkan pencarian final fisika baru. “Kita butuh lebih banyak isyarat dari alam,” katanya. “Alam pasti memberitahu ke mana kita harus pergi.”

Menurut Han, proses pertimbangan di China buram, tapi dia sudah dengar tetesan kabar yang membesarkan semangat, dan para fisikawan partikel China sedang meneruskan rencana mereka.

Jika China mundur, Arkani-Hamed akan mengerahkan seluruh tenaganya pada kampanye serupa (atau lebih lambat) di laboratorium CERN Eropa, yang menampung LHC. Michelangelo Mangano, teoris partikel di CERN yang terlibat dalam penaksiran opsi-opsi di sana, mengisyaratkan bahwa kedua proyek dapat lepas-landas dengan sukses. “Bila China meneruskan cita-cita utama mereka [pabrik Higgs], skenario potensial adalah CERN berproyeksi ke arah pembentur 100 TeV, dan China memanfatkan pengalaman dengan proyek pertama mereka untuk beranjak ke sesuatu yang lebih ambisius lagi daripada 100 TeV.”

Atau mungkin takkan ada pembentur generasi mendatang. “Saya terpukul keras pada titik tertentu,” ungkap Joe Incandela, fisikawan partikel terkemuka di LHC yang mendukung kampanye pembentur Eropa maupun China. Sekali dunia berhenti membangun pembentur, ujarnya, kemitraan dan kepakaran kolektif yang diperlukan untuk membangunnya akan lenyap dalam satu generasi. “Hasil yang kita peroleh akan harus bertahan selama bermilenium-milenium, kira-kira… Dan buset, dengan berhenti dan menyisakan pertanyaan-pertanyaan itu—Anda bisa bayangkan tanggungjawab yang kita rasakan. Nima merasakan tanggungjawab ini. Kami semua merasa ini tak boleh tamat. Kami harus membawanya paling tidak selangkah lagi.”

Melampaui Ruang dan Waktu
Entah pembentur 100 TeV akan terwujud atau tidak, pusaka peninggalan Arkani-Hamed mungkin terletak pada kampanye lain dan berpotensi lebih penting. Bahkan selagi mengejar pertanyaan “apakah atribut alam semesta bersifat alami”, dia juga berusaha mencari apa yang menimbulkan ruang dan waktu pertama-tama. Betapapun kedengarannya radikal, banyak fisikawan kini berpikir dimensi ruangwaktu tempat kita bergerak tidaklah fundamental, melainkan timbul dari deskripsi realitas yang lebih dalam dan lebih sejati. Pada 2013, sebuah temuan tak terduga oleh Arkani-Hamed dan mahasiswanya, Jaroslav Trnka, menyodorkan petunjuk potensial menuju hukum alam pokok.

Mereka menyingkap objek geometris multisegi yang volumenya menyandikan hasil benturan partikel-partikel—bilangan jelek yang dikalkulasi dengan metode tradisional. Temuan ini menyiratkan bahwa gambaran standar partikel-partikel yang berinteraksi di ruang dan waktu mengaburkan sesuatu yang jauh lebih sederhana: logika abadi garis-garis dan bidang-bidang berpotongan. Kendati mulanya “amplituhedron” (demikian Arkani-Hamed dan Trnka menamai objek mereka) melukiskan fisika partikel versi sederhana, para peneliti sedang berusaha memperluas geometrinya agar melukiskan interaksi partikel dan gaya-gaya yang lebih realistis, termasuk gravitasi. “Kelihatannya kami akan mampu beranjak sangat jauh,” tukas Zvi Bern, pemimpin dalam disiplin riset ini di Universitas California, Los Angeles. Riset Arkani-Hamed sendiri melaju cepat, dan dengan terus-terang dia berspekulasi tentang ke mana arahnya.

Nima Arkani-Hamed. (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Nima Arkani-Hamed. (Béatrice de Géa untuk Quanta
Magazine)
Dia yakin bahwa kebertukaran (interchangeability) titik dan garis pada geometri amplituhedron merupakan sumber dualitas matematis misterius antara partikel dan string, blok dasar penyusun alam dalam teori string. Dan interaksi partikel hanyalah “versi bayinya”, ungkapnya. Cita-cita tertingginya adalah mendeskripsikan keseluruhan sejarah kosmologis alam semesta sebagai objek matematis. Dalam karya yang belum diterbitkan, dia sudah mulai menemukan pola-pola pada korelasi kosmologis—contohnya kemungkinan bahwa jika dua bintang merah terpisah jarak 20 kiloparsec, ada satu bintang biru pada jarak 50 kiloparsec dari mereka berdua. Pola-pola statistik ini menyandikan sejarah kosmos, seperti tulang-belulang dinosaurus yang terkubur dalam pasir. Dan sebagaimana benturan partikel, dia mendapati pola-pola ini dapat dilambangkan sebagai volume geometris. Pada akhirnya, kata dia, 10 hingga 500 tahun dari sekarang, amplituhedron dan pola kosmologis ini akan bergabung menjadi bagian dari struktur matematis spektakuler tunggal yang mendeskripsikan masa lalu, masa kini, dan masa depan segala sesuatu “secara otonom dan tak terpengaruh waktu”.

Baru-baru ini, dalam acara makan malam, diikuti oleh segolongan kecil mahasiswa pascadoktoral, Arkani-Hamed menggambar sebuah pentagram pada sehelai serbet. Pentagram tersebut, seperti halnya amplituhedron, didefinisikan oleh himpunan terhingga garis-garis yang bersilangan di titik-titik berjumlah terhingga. Arkani-Hamed mempergelap sembilan titik dalam konfigurasi ini dan menjelaskan bahwa delapan titik pertama dapat ditempatkan pada sebuah kisi. Tapi tak peduli seberapa halus kisinya, titik kesembilan selalu berada di antara titik-titik kisi; ia terpaksa disamakan dengan bilangan irasional. Ada bukti matematis, tinjau Arkani-Hamed, bahwa semua bilangan aljabar dapat diperoleh dari konfigurasi titik dan garis berpotongan yang berjumlah bulat terhingga. Dan bersamaan dengan itu dia mengutarakan sebuah tebakan akhir, di penghujung hari intelektual panjang, sebelum semua orang pulang untuk tidur dan dia bertolak ke bandara: segala sesuatu—bilangan irasional, serta interaksi partikel dan korelasi antarbintang—pada dasarnya timbul dari susunan kombinatorial potensial bilangan bulat: 1, 2, 3, dan seterusnya. Mereka eksis, katanya, dan begitupun semua yang lain harus eksis.

Arkani-Hamed meninjau kecenderungannya untuk memikirkan kelemahan pribadi. “Ini bukan kebersahajaan palsu, ini betul-betul kelemahan pribadi, tapi ini sungguhan, jadi tak ada yang bisa saya perbuat,” tandasnya. “Penting sekali bagi saya, selagi mengerjakan sesuatu, untuk bersikap ideologis tentangnya. Dan kemudian, tentu saja, penting juga setelah urusan selesai, untuk melupakan ideologi tersebut dan beralih ke ideologi lain.” Mempertimbangkan persoalan kealamian, dan pencariannya akan teori matematis alam, dia menyambung, “Tapi tentu dalam hal-hal di mana kemajuannya tidak begitu dekat, penting sekali untuk meyakinkan diri saya sendiri bahwa itu satu-satunya jalan sejati. Atau sekurangnya suatu jalan sejati.”

Sumber: SainStory

No comments:

Post a Comment