Pada awal abad ke-20, keyakinan ilmiah umum menyatakan bahwa alam semesta adalah statis—diam, tak berubah sejak awal keberadaannya. Namun penemuan besar di tahun 1920-an oleh Edwin Hubble mengubah segalanya. Ia menunjukkan bahwa galaksi-galaksi jauh ternyata bergerak menjauhi kita, dan semakin jauh galaksi itu, semakin cepat ia menjauh. Alam semesta ternyata sedang mengembang.
Penemuan ini mengarah pada pemahaman baru: jika kita membalik arah waktu dan menghitung mundur, maka semua materi, energi, dan ruang waktu itu sendiri menyatu dalam satu titik sangat kecil dan sangat padat sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu. Dari sinilah alam semesta kita bermula—dari sebuah peristiwa yang kita sebut Big Bang, ledakan kosmik yang menandai awal dari ruang, waktu, dan segala sesuatu yang ada.
Namun, pertanyaan yang lebih dalam pun muncul: Apa yang ada sebelum Big Bang? Ataukah pertanyaan ini sendiri tidak relevan karena waktu—sebagaimana kita memahaminya—belum eksis sebelum peristiwa itu? Apa yang “menyebabkan” alam semesta muncul dari ketiadaan? Mengapa hukum-hukum fisika berlaku sebagaimana adanya, dan mengapa nilai-nilai konstanta alam semesta tampak begitu “disetel halus” sehingga memungkinkan terbentuknya kehidupan?
Selama bertahun-tahun, para fisikawan membagi pemahaman mereka tentang alam semesta ke dalam dua ranah:
-
Hukum-hukum fisika seperti relativitas umum Einstein dan persamaan Maxwell yang menggambarkan bagaimana alam semesta berevolusi dari waktu ke waktu.
-
Kondisi awal dari mana alam semesta memulai evolusinya—sesuatu yang dulu dianggap sebagai “diberikan”, bukan sesuatu yang dapat dijelaskan.
Namun pendekatan ini mulai berubah ketika teori relativitas umum dan mekanika kuantum bertemu dalam kerangka ekstrem, seperti saat Big Bang terjadi. Dalam keadaan sangat ekstrem ini, waktu bisa “melengkung” dan bahkan bertindak seperti dimensi ruang. Maka perbedaan antara “awal” dan “evolusi” mulai kabur—dan hukum-hukum fisika itu sendiri bisa menjelaskan bagaimana alam semesta bermula dari keadaan tanpa ruang dan waktu.
Melalui pendekatan yang dikenal sebagai "No-Boundary Proposal", saya dan James Hartle mengusulkan bahwa alam semesta bisa tercipta secara spontan dari "ketiadaan" kuantum, tanpa memerlukan penyebab eksternal apa pun. Dalam kerangka ini, alam semesta tak memerlukan Tuhan sebagai pencipta dalam pengertian klasik; ia dapat muncul melalui hukum-hukum alam semata.
Yang luar biasa, prediksi dari model ini cocok dengan hasil pengamatan dari satelit WMAP dan misi Planck, yang mengamati radiasi latar gelombang mikro kosmis—jejak halus dari dentuman pertama Big Bang. Ini adalah bukti kuat bahwa pemahaman kita bukan hanya spekulatif, tetapi memiliki dasar empiris.
Dengan keberhasilan ini, saya pernah bergurau bahwa mungkin seharusnya kita mempatenkan alam semesta, dan menagih royalti kepada siapa pun yang hidup di dalamnya.
Pertanyaan besar berikutnya adalah: Apakah kita sendirian di alam semesta?
Kehidupan di Bumi muncul relatif cepat setelah kondisi menjadi memungkinkan. Bumi terbentuk 4,6 miliar tahun yang lalu, dan kita memiliki fosil mikroba berusia 3,5 miliar tahun. Artinya, kehidupan muncul dalam waktu kurang dari satu miliar tahun sejak kondisi memungkinkannya. Itu waktu yang singkat dalam skala usia Bumi.
Jika kehidupan muncul begitu cepat di sini, itu mungkin menunjukkan bahwa kemunculan kehidupan adalah sesuatu yang umum bila kondisi mendukungnya. Dan kini kita tahu—berkat observasi teleskop luar angkasa seperti Kepler dan TESS—bahwa ada miliaran planet di galaksi ini yang mungkin menyerupai Bumi.
Namun sejauh ini, tidak ada bukti meyakinkan bahwa kita telah dikunjungi oleh makhluk cerdas dari luar angkasa. Saya cenderung skeptis terhadap laporan-laporan tentang UFO, karena mereka tampaknya hanya muncul di hadapan orang-orang yang kredibilitasnya dipertanyakan. Jika memang ada konspirasi besar oleh pemerintah untuk menyembunyikan kunjungan alien, maka mereka telah melaksanakannya dengan cara yang sangat tidak efisien dan tidak meyakinkan.
Selain itu, pencarian kehidupan cerdas melalui proyek SETI (Search for Extraterrestrial Intelligence) sejauh ini belum membuahkan hasil. Tidak ada transmisi radio, tidak ada sinyal laser, tidak ada permainan kuis intergalaksi. Ini menyiratkan bahwa tidak ada peradaban maju dalam radius beberapa ratus tahun cahaya dari kita—atau bahwa mereka tidak menggunakan teknologi komunikasi seperti kita.
Ini mengantar kita pada pertanyaan terakhir dan paling mendesak secara eksistensial: Seperti apa masa depan umat manusia?
Jika kita memang satu-satunya makhluk berakal budi dalam galaksi ini—bahkan mungkin di seluruh alam semesta yang teramati—maka tanggung jawab moral kita luar biasa besar. Kita tidak hanya memiliki tugas untuk melestarikan spesies kita, tetapi juga untuk menjaga nyala kesadaran kosmis agar tidak padam.
Namun dunia kita semakin rapuh. Populasi manusia terus tumbuh, sumber daya menipis, dan teknologi yang kita ciptakan—dari senjata nuklir hingga kecerdasan buatan—bisa menjadi penyelamat atau justru penghancur. Masalahnya, genetik dan psikologi kita masih mewarisi naluri agresif dan egois dari masa prasejarah—naluri yang mungkin dulu menyelamatkan kita, namun kini bisa membawa kehancuran.
Itulah sebabnya saya percaya bahwa masa depan umat manusia berada di luar Bumi. Kita harus menjadi spesies multiplanet. Kita harus menjajah Mars dan dunia lain, membangun habitat di luar angkasa, dan menyebarkan kehidupan cerdas ke penjuru galaksi. Hanya dengan menyebar, kita bisa mengurangi risiko kepunahan akibat bencana tunggal—baik buatan manusia maupun bencana alam seperti tabrakan asteroid.
Saya mendukung eksplorasi antariksa berawak—bukan hanya untuk ilmu pengetahuan, tetapi demi kelangsungan jangka panjang umat manusia. Kita harus mulai merancang visi baru, bukan hanya untuk abad ini, tetapi untuk ribuan tahun ke depan.
Sepanjang hidup saya, saya telah mencoba memahami alam semesta dan menggali jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besar ini. Kecacatan fisik saya, alih-alih menjadi penghalang, justru memberi saya waktu dan fokus untuk merenung lebih dalam tentang hukum-hukum alam. Dan meskipun saya belum menemukan “teori segalanya” yang lengkap, kita telah membuat kemajuan luar biasa. Ilmu pengetahuan adalah pelita di tengah gelapnya ketidaktahuan, dan kita harus terus menjaganya tetap menyala.
Terima kasih telah mendengarkan. Semoga kita semua terus mencari, bertanya, dan bermimpi.
No comments:
Post a Comment