Friday, September 20, 2019

DEMOKRASI, PERASAAN, DAN OTORITAS ALGORITMA

Referendum dan pemilu sering kali dianggap sebagai manifestasi tertinggi dari rasionalitas publik dan partisipasi warga negara dalam sistem demokrasi. Namun, dalam praktiknya, pilihan politik kerap tidak didasarkan pada evaluasi rasional, melainkan pada respons afektif dan intuisi emosional. Psikologi kognitif dan ilmu saraf kontemporer telah menunjukkan bahwa sebagian besar keputusan manusia—termasuk keputusan politik—didorong oleh emosi, bukan oleh kalkulasi logis yang mendalam.

Jika demokrasi didasarkan secara eksklusif pada rasionalitas, maka tidak ada alasan obyektif untuk menganggap bahwa setiap individu memiliki kapasitas yang sama dalam membuat keputusan publik yang kompleks. Dalam logika ini, hak pilih universal bisa dipertanyakan. Mengapa seorang profesor hukum tata negara dan seorang petani di pelosok desa memiliki bobot suara yang sama? Jawabannya bukan karena kesetaraan intelektual, melainkan karena asumsi dasar demokrasi liberal: bahwa semua manusia memiliki kehendak bebas yang setara dan bahwa perasaan serta pilihan mereka layak dihormati sebagai ekspresi autentik dari diri mereka.

Yuval Noah Harari mencatat bahwa demokrasi liberal berakar pada keyakinan bahwa manusia adalah agen moral otonom, yang memiliki kapasitas untuk membuat keputusan berdasarkan suara hati mereka. Namun, ini adalah asumsi filosofis yang relatif baru dalam sejarah politik umat manusia. Selama ribuan tahun, otoritas politik dan moral diasosiasikan dengan sumber eksternal—terutama wahyu ilahi atau tradisi metafisis. Baru pada era Pencerahan dan setelahnya, narasi otoritas bergeser dari Tuhan ke manusia, dari kitab suci ke hati nurani individual.

Namun, tren ini kini menghadapi tantangan baru. Revolusi digital, kecerdasan buatan, dan Big Data memperkenalkan kemungkinan bahwa kehendak bebas manusia tidak hanya bisa dipetakan, tetapi juga dimanipulasi. Melalui analisis data biometrik, perilaku online, dan preferensi konsumen, perusahaan teknologi dan lembaga negara telah mulai memahami—dan bahkan mengintervensi—mekanisme emosional dan kognitif manusia. Proyek Cambridge Analytica pada Pilpres AS 2016 dan referendum Brexit, misalnya, menunjukkan bagaimana algoritma dapat menyesuaikan pesan politik secara psikografis untuk memicu respons emosional tertentu. Demokrasi, dalam konteks ini, mulai bergeser dari forum deliberatif menjadi arena rekayasa afektif.

Dalam pandangan Harari, jika seseorang di Silicon Valley atau Beijing mampu meretas sistem emosional manusia, maka demokrasi bisa berubah menjadi pertunjukan boneka yang digerakkan oleh emosi yang telah direkayasa secara sistematis. Otoritas tidak lagi berada pada manusia sebagai subjek moral, melainkan pada algoritma sebagai entitas prediktif. Seperti halnya mitologi agama yang memberi legitimasi pada otoritas ilahi, dan narasi liberal yang mengukuhkan otoritas individu, maka teknologi informasi kini mulai menyusun kisah baru yang memberi legitimasi pada otoritas algoritma.

Neurosains menambah dimensi baru dalam kritik ini. Perasaan bukanlah esensi spiritual yang unik bagi manusia. Dalam kerangka evolusi, emosi adalah sistem perhitungan cepat berbasis biokimia yang membantu organisme menilai risiko dan peluang bertahan hidup. Dalam artian ini, keputusan emosional bukanlah tindakan kehendak bebas, melainkan hasil kalkulasi adaptif yang terjadi di luar kesadaran penuh.

Dengan demikian, demokrasi liberal hari ini menghadapi paradoks mendasar. Ia dibangun atas keyakinan pada subjektivitas dan kebebasan, tetapi bergantung pada entitas biologis yang sepenuhnya dapat dikalkulasi, diprediksi, dan dimanipulasi. Ketika data mengungkap bahwa "hati nurani" bisa direkayasa oleh stimulus digital, maka landasan moral dari hak suara universal menjadi semakin rapuh. Masa depan politik mungkin tidak lagi berbicara atas nama rakyat yang "bebas", tetapi atas nama sistem yang paling efektif membaca dan memprediksi perasaan mereka.

Dalam situasi seperti ini, pertanyaannya bukan hanya "siapa yang berkuasa", tetapi "bagaimana kekuasaan bekerja". Ketika otoritas berpindah dari individu ke mesin yang memahami manusia lebih baik daripada mereka memahami diri sendiri, maka demokrasi harus mengembangkan respons baru—atau menerima transformasinya menjadi sesuatu yang sama sekali berbeda dari apa yang pernah kita kenal sebagai pemerintahan oleh rakyat.

AOS

No comments:

Post a Comment