Namun, pertanyaannya tetap menggantung dalam kehampaan yang luas: apa yang terjadi sebelum itu?
Inilah teka-teki besar kosmologi modern. Para ahli fisika dan astrofisika belum memiliki jawaban pasti, bukan karena kurang cerdas, tetapi karena keterbatasan alat dan kerangka hukum fisika kita saat ini. Dalam istilah Neil deGrasse Tyson, kita belum memiliki “dasar sains eksperimental” untuk menyelidiki pra-Big Bang. Fisika modern—termasuk relativitas umum Einstein dan mekanika kuantum—mulai gagal ketika kita mencoba memahami kondisi singularitas, yakni titik awal yang padat, panas, dan tak terbatas yang diyakini menjadi awal mula ruang dan waktu.
Namun dalam kosmologi teoritis kontemporer, muncul berbagai alternatif spekulatif—yang walau belum terbukti, membuka cakrawala baru untuk berpikir.
-
Teori Multiverse, misalnya, menyatakan bahwa alam semesta kita hanyalah satu dari lautan alam semesta lain yang terus lahir dari fluktuasi kuantum atau skenario inflasi kosmik. Seperti gelembung-gelembung dalam busa sabun, alam semesta kita bisa jadi merupakan cabang dari semesta sebelumnya, dan mungkin akan melahirkan semesta lain setelahnya.
-
Ada juga hipotesis bahwa alam semesta muncul “dari ketiadaan” (a universe from nothing), seperti yang diusulkan fisikawan Lawrence Krauss, dengan landasan bahwa hukum fisika tertentu memungkinkan terciptanya energi vakum yang melahirkan ruang-waktu.
-
Di sisi lain, muncul pula pemikiran radikal seperti hipotesis simulasi, yang menyatakan bahwa kita hidup dalam simulasi komputer yang sangat canggih, dibuat oleh makhluk berperadaban tinggi—gagasan yang kini bahkan didiskusikan oleh ilmuwan seperti Nick Bostrom dan Elon Musk.
Namun Tyson mengingatkan kita, bahwa ketidaktahuan bukanlah kelemahan, melainkan esensi dari pencarian ilmiah itu sendiri.
“Orang yang merasa telah mengetahui segalanya belum pernah menjumpai batas antara yang diketahui dan yang belum diketahui.”
Kita tahu bahwa alam semesta memiliki permulaan. Dan sejak momen Big Bang, sekitar 13,8 miliar tahun lalu, ruang dan waktu mulai mengembang dengan kecepatan luar biasa. Pengamatan terhadap radiasi latar kosmik (CMB)—jejak sisa panas Big Bang yang ditemukan oleh satelit WMAP dan Planck—menjadi bukti paling kuat bahwa semesta kita berasal dari keadaan yang sangat panas dan padat.
Alam semesta terus berkembang. Galaksi-galaksi saling menjauh satu sama lain, dan ekspansi ini bahkan makin cepat karena adanya energi gelap, entitas misterius yang menguasai sekitar 68% energi total alam semesta.
Namun di tengah kosmos yang tampak acak dan tak berperasaan ini, muncul satu fakta puitis dan ilmiah sekaligus: setiap atom dalam tubuh manusia—karbon, nitrogen, oksigen, kalsium—semuanya terbentuk di dalam inti bintang yang meledak miliaran tahun yang lalu. Unsur-unsur berat seperti besi, nikel, emas—semua berasal dari ledakan supernova atau bahkan tabrakan bintang neutron.
Dengan kata lain, kita adalah debu bintang yang menjadi sadar akan asal-usulnya.
“Kita adalah materi bintang yang berevolusi menjadi kesadaran, diberdayakan oleh alam semesta untuk mencoba mengerti dirinya sendiri.” — Neil deGrasse Tyson
Di titik ini, sains dan filsafat saling bersinggungan: kesadaran manusia adalah produk dari kosmos, namun juga menjadi jendela untuk memahami kosmos itu sendiri.
Apakah semesta ini hasil ciptaan? Ataukah ia sekadar manifestasi dari hukum alam yang dalam dan misterius? Kita belum tahu. Tetapi pencarian itu sendiri, seperti alam semesta, tampaknya tak pernah berhenti.
AOS
No comments:
Post a Comment