Sunday, November 18, 2012

Mistisisme dan Fisika Baru

Michel Talbot seakan mengajak kita bertamasya ke wilayah mistik kuno, lebih tepatnya kearifan kuno, dan fisika baru, kemudian mempersilahkan kepada kita untuk menjumput persamaan-persamaan yang ada diantara wilayah tersebut. Apakah ada “sesuatu” yang memang bisa dijumput dari dua wilayah yang sekilas bertolak belakang itu? Kalau “ada” dimana letak titik pertemuan tersebut?

Membicarakan mistis tentunya tidak lepas dari hal-hal yang di luar nalar manusia. Mistis lebih cepat merebak di kalangan masyarakat dibandingkan dengan dunia ilmiah. Hal ini tidak lepas, kemunculan mistis memang lebih dahulu dibandingkan dengan cara berpikir ilmiah. Bahkan, keberadaan mistis sampai hari ini pun masih tetap eksis, dan digandurngi masyarakat dalam hal tertentu.

Fisika, baik lama maupun baru, merupakan metoda ilmiah. Kelahirannya didasarkan dari serangkain percobaan-percobaan yang mengikuti aturan ketat sehingga dihasilkan kesimpulan yang bisa diterima nalar. Fisika kini telah melanda kehidupan kita, meski tergolong baru namun kehadiran sungguh berasa dalam kebudayaan manusia. Teknologi juga menjadi roda yang turut melajukan perputaran kemajuan fisika dalam kehidupan ini.

Kemajuan-kemajuan fisika tidak hanya sebatas dapat dipandang mata, tetapi juga dunia subatomik yang notabenenya tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Kemajuan ini tentunya semakin melempangkan derap laju sains fisika untuk merambah lebih jauh ke dalam permasalahan-permasalahan yang mungkin selama ini diyakini tidak mungkin terjamah.

Fisika dalam balutan sejarah memang selalu mengundang pro dan kontra bagi banyak kalangan, khususnya agamawan yang lebih dulu bertengger sebagai komando perjalanan manusia. Sebut saja, Galileo yang menyatakan bahwa bumi bukanlah pusat tata surya, sebaliknya mataharilah sebagai pusat tata surya kita. Implikasi transformasi geosentri ke heliosentris menyebabkan Galileo harus berhadapan dengan kalangan agamawan.

Melihat dua wilayah yang mempunyai cara kerja yang berbeda bagaimana mungkin kita akan menemukan titik temu? Apakah yang menggerakkan Michel Talbot begitu yakin bahwa antara fisika baru dengan mistisme mempunyai titik singgung?

Berawal dari Werner Heisenberg yang mengemukakan Prinsip Ketidakpastiannya yang terkenal dan mengawali sebeuh perdebatan filosofis di antara para fisikawan kuantum yang masih belum juga terputuskan. Menurut Heisenberg bahwa pengamat mengubah apa yang diamati karena tindakan pengamatannya itu. sekilas pandangan Heisenberg menyinggung tentang maya, salah satu ketidak-logisan arsitektur yang dibicarakan Borges.

Menurut fisika baru, ruang-waktu dan pengamat tidak terpisahkan. Ketiganya saling mempengaruhi satu sama lainnya. Tidak ada waktu yang absolut. Tidak ada pembagian yang tegas antara realitas subjektif dan realitas objektif; kesadaran dan alam fisik dihubungkan oleh sesuatu mekanisme fisik yang fundamental. Hubungan antara pikiran dan realitas ini tidak bersifat subjektif atau objektif; tetapi “omnijektif” (hlm. 2)

Konsep omnijektif sudah lama bergulir dalam tradisi Tantra Hindu yang mempostulasikan filsafat yang serupa. Menurut tantra, realitas adalah ilusi atau maya. Kesalahan pokok kita yang tidak memahami maya ini, kata Tantra, adalah bahwa kita memahami diri kita sebagai bagian terpisah dari lingkungan. Tantra sangat eksplisit dalam menegaskan pandangan ini. Pengamat (observer) dan realitas objektif adalah satu.

Halaman awal, bagian satu dan dua, pembaca mungkin terasa bosan untuk mencerna pemaparan Talbot. Wajar jika itu terjadi, sebab di awal-awal Talbot masih membahas tentang fisika barunya, membahas sejarahnya meski ada sedikit persinggungan dengan mistisme tetapi itu tidak terlalu kental. Baru di bagian tiga Talbot menyinggung lebih dalam kesamaan konsep fisika baru dengan mistisme.

Seperti masalah materi, sains Barat mencoba memahami materi dengan membagi-bagi dalam blok-blok bangunan dasar. Namun, permasalahannya bagaimana caranya memahami blok-blok tersebut. Max Planck, mengatakan bahwa cahaya itu bercatu dan berisikan paket-paket energi kecil yang disebut kuanta.

Persamaan Enstein, E=MC2, menyiratkan bahwa materi merupakan energi yang terperangkap. Tampaknya bahan primordial alam semesta adalah gelombang/pertikel-pertikel dan kuanta tersebut. gelombang dan partikel, dua jenis entitas yang saling bertentangan dan komplementaritas yang menempati blok-blok dalama katergori analog dengan kucing Scrodinger.

Teori konsep materi tersebut setidaknya serupa dengan konsep-konsep Tantra Hindu tentang nada dan bindu. Jika diterjemahkan secara kasar, nada berarti gerakan atau vibrasi. Nada adalah gerakan yang pertama kali diciptakan Brahma dalam kesadaran kosmis. Bindu berarti sebuah titik. Menurut Tantra, ketika materi dianggap terpisah dari kesadaran, materi ini bisa dianggap terbuat dari banyak bindu, dan objek-objek fisik tampak membesar dalam ruang.

Ke manakah alam semesta ini ketika runtuh? Menurut tradisi Tantra, alam semesta ini ditarik ke dalam Sakti yang menciptakannya. Alam semesta ini runtuh menjadi apa yang sekarang dikenal sebagai Siva bindu, sebuah titi matematis tanpa besar. Sivabindu mirip sekali dengan lubang hitam makrofisik.

Masih banyak lagi yang coba dicari titik temu antara mistis yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat yang kemudian mencoba dijelaskan dengan fisika baru. Seperti kejadian yang menyangkut kehidupan para yogi yang mampu mengiringkan baju basah di puncak Himalaya dan berjalan dibara api. Semuanya dikupas dengan menarik, meski dengan bahasa fisika yang mungkin saja susah untuk dipahami.

Jika sains adalah kekuatan paling handal untuk mengungkap kebenaran dan agama sebagai kekuatan tunggal untuk mencipta makna, maka dengan bahasa yang agak berbeda agama merupakan biokomputer. Agama adalah seperangkat metaprogram, seperangkat simbol yang memungkinkan biokomputer secara struktural berkomunikasi dengan tingkat-tingkat yang lebih rendah dalam sistem syaraf yang mengendalikan pembuat realitas.

Nah, mungkin suatu saat ada ilmuwan yang bisa menjelaskan klenik-klenik yang ada di Indonesia, biar ada cakrawala baru soal ilmu-ilmu yang lebih dahulu bercongkol di tanah air itu. Suatu saat ada perubahan cara pandang tentang santet, misalnya, bahwa ilmu itu bisa dikaitkan dengan ilmu kedokteran seperti pemasangan pen pada korban patah tulang. Kalau ini yang terjadi, mungkin hidup ini lebih asyik.

Peresensi: Khoirul Anwar |Sumber: Kompasiana.

No comments:

Post a Comment