Berikut disajikan suatu artikel tentang Karl Pribram, seorang
ilmuwan syaraf dari Universitas Stanford yang terkenal dengan teori otak
holografisnya, ditulis oleh Marylin Ferguson, penulis buku "The
Aquarian Conspiracy" dari tahun 1960-an, yang menjadi buku klasik dari
gerakan New Age
Jika Anda ingin tahu, di mana revolusi riset otak yang akan datang berlangsung, pelajarilah apa yang pada saat ini diminati oleh Karl Pribram. Sepanjang karirnya, ilmuwan syaraf berusia 58 tahun dari Universitas Stanford ini selalu berada di dekat–kalau bukan penganjur utama—dari hampir semua pergolakan pemikiran tentang bagaimana otak bekerja.
Pada dewasa ini ia mengajukan suatu model yang mencakup segala-galanya dan mengejutkan, yang menimbulkan kegemparan di kalangan mereka yang tertarik dengan misteri kesadaran manusia. “Model holografis”-nya memadukan riset otak dengan fisika teoretik; model itu menjelaskan persepsi sehari hari, dan sekaligus membebaskan pengalaman-pengalaman paranormal dan transendental dari sifat supernaturalnya dengan menjelaskannya sebagai bagian dari alam.
Seperti temuan-temuan tertentu dari fisika kuantum, pemikiran-ulang yang radikal dari teori ini tiba-tiba membuat ucapan-ucapan paradoksal dari para ahli mistik sepanjang sejarah dapat dipahami. Ahli bedah otak, peneliti dan profesor yang bertubuh kecil ini mencoba menjelaskan data yang dihasilkan oleh laboratoriumnya di Universitas Stanford, tempat proses-proses otak dari hewan menyusui tingkat tinggi–terutama bangsa Primata [kera tingkat tinggi, termasuk manusia]–diteliti dengan ketat.
Perkembangan terakhir dari pemikiran Karl Pribram membuat lengkap peralihan dirinya dari apa yang disebutnya sendiri “seorang behavioris yang gigih” dalam tahun 1940-an, menjadi perintis psikologi kognitif dalam tahun 1950-an, dan sekali-sekali mendukung para psikolog humanistik dalam tahun 1960-an dan awal 1970-an, sampai menjadi pembela radikal dari pengalaman spiritual pada akhir tahun 1970-an.
Ahli biologi, T.H. Huxley, pernah menulis, “Duduklah di hadapan fakta seperti anak kecil, dan bersiaplah untuk membuang setiap pengertian yang ada sebelumnya, mengikuti dengan rendah hati ke mana pun dan ke jurang apapun Anda di bawa oleh Alam; kalau tidak, Anda tidak akan pernah belajar apa-apa.” Keterpakuan Pribram yang polos terhadap fakta-fakta yang ditemukannya telah membawanya ke jurang seperti itu. Ia lahir di Vienna, dan hijrah ke Amerika Serikat sebagai anak berusia delapan tahun. Ia belajar di Universitas Chicago, tempat ia memperoleh gelar BA dan MD dalam waktu lima tahun yang mencengangkan. Setelah menjalani residence dan internship [masa-masa pendidikan dokter ahli] di Illinois, ia mulai berpraktek sebagai ahli bedah otak di Florida. Di situlah ia mulai meneliti–di Yerkes Laboratories di Orange Park, di bawah bimbingan ilmuwan otak terkemuka, Karl Lashley. (Yang juga bekerja di Yerkes adalah D.O. Hebb dan Austin Riesen, yang kelak menjadi terkenal berkat risetnya dalam pematian-indra, dan Roger Sperry, yang kelak menjadi perintis dalam penelitian pembelahan otak.)
Selama tiga puluh tahun Lashley telah meneliti “engram”–yakni lokasi dan substansi dari ingatan. Ia melatih binatang-binatang percobaan, lalu secara selektif merusak bagian-bagian dari otak mereka, dengan mengasumsikan bahwa pada suatu titik ia akan menemukan lokasi dari apa yang telah mereka pelajari. Perusakan bagian-bagian otak itu membuat perilaku hewan itu menjadi agak kacau, tetapi tampaknya, selama tidak ada kerusakan otak yang mematikan, tidak mungkin untuk menghapuskan apa yang telah mereka pelajari.
Pada suatu titik, Lashley yang kebingungan mengatakan dengan masam, bahwa penelitiannya membuktikan bahwa hal itu tak mungkin dipelajari. Pribram ikut serta dalam penulisan riset monumental dari Lashley, dan ia juga menekuni misteri engram itu. Bagaimana mungkin ingatan tidak tersimpan di suatu bagian otak melainkan tersebar di seluruh otak?
Pribram lalu pindah ke Yale, tempat ia selama 10 tahun banyak menyumbang kepada sains otak dengan mengembangkan teknik-teknik operasi yang akhirnya memungkinkan orang mencapai daerah otak yang disebut sistem limbic yang primitif dan misterius. Penelitiannya tentang berbagai struktur limbic seperti hippocampus dan amygdala memperlihatkan bahwa teori-teori tradisional tentang bagaimana “pusat-pusat lebih tinggi” dari otak mengendalikan pusat-pusat yang lebih rendah perlu diubah secara radikal. Pusat-pusat otak yang lebih tua [dalam evolusi] itu ternyata mempunyai kerumitan yang lebih kaya dan lebih banyak kendali daripada yang dibayangkan sebelumnya.
Lalu Pribram memperlihatkan proses-proses bagaimana bagian limbic dan bagian frontal dari otak berinteraksi. Dan, pada tahun 1960, ia membantu melancarkan apa yang dinamakannya “jerit kesakitan” dari rekan-rekannya kaum behavioris. Buku “Plans and the Structure of Behavior”, ditulis oleh George A. Miller, Eugene Galanter, dan Pribram, kelak dijuluki oleh kepustakaan di bidang ilmu itu sebagai meluncurkan “revolusi kognitif”–pergeseran minat ilmiah dari perilaku kepada pikiran. Baik Miller maupun Pribram berada dalam kubu kaum behavioris sampai waktu itu. Kaum behavioris bergantung pada model rangsangan-respons sederhana, yang dikembangkan untuk sebagian dari penelitian otak yang lebih dini tentang lengkung refleks–yakni respons seluler sederhana–oleh Charles Sherrington. Pribram berpendapat bahwa Sherrington sendiri tidak bermaksud mendirikan seluruh bangunan psikologi di atas dasar model refleks. Pengalaman subyektif harus dikaji juga apabila riset otak diharapkan maju. Ia dan rekan-rekan penulisnya menamakan pendekatan ini “behaviorisme subyektif”.
Untuk beberapa lama Pribram juga memimpin riset di Institute of Living, bolak-balik dari Yale. Ia juga memimpin Yerkes Laboratories sebentar setelah Lashley pensiun. Ketika ia menerima kedudukan di Pusat Penelitian Lanjut dalam Ilmu-Ilmu Perilaku di Universitas Stanford pada tahun 1958, dibawanya naskah pertama dari bukunya “Languages of the Brain”, yang akan menghabiskan 15 tahun sejak dari awal penulisan hingga penerbitannya pada tahun 1971, dan merupakan buku klasik yang menyajikan penulisan teoretis yang jernih tentang otak.
Yang menarik adalah bahwa ruang kerja Pribram bersebelahan dengan ruang Thomas S.Kuhn, yang pada waktu itu menekuni apa yang kelak menjadi salah satu buku paling berpengaruh pada zaman kita, “The Structure of Scientific Revolutions”, yang di situ ia menguraikan proses bagaimana pandangan dunia ilmiah secara berkala terjungkir-balik dalam apa yang disebutnya “pergeseran paradigma”.
Pribram dan rekan-rekan kerjanya termasuk yang pertama menggunakan modeling komputer untuk memahami aspek-aspek pikiran dan perilaku. Salah satu sumbangannya yang paling dramatis adalah temuan bahwa pusat-pusat motorik otak bukan hanya terlibat dalam gerakan tubuh tetapi juga dalam proses pikiran yang mendahului gerakan–yang disebut “rencana tindakan” [plans of action]. Menjadi jelas bahwa ada hubungan syaraf yang amat penting antara pusat-pusat motorik dari otak dan proses belajar, suatu hubungan yang sudah diduga oleh para terapis pendidikan.
Membaca sekilas judul bab-bab dari buku “Languages of the Brain”, kita memperoleh pencerahan tentang minatnya yang intens dalam mengkaji hubungan antara proses-proses otak dengan pengalaman dan perilaku manusia yang aktual. “Gambar”, “Perasaan”, “Pencapaian”, “Tanda”, “Simbol”, “Bicara dan Pikiran”, “Pengaturan Masalah-masalah Manusia.” Ia berkata, sains otak harus menggarap kesadaran tentang kesadaran. Sains itu tidak dapat lebih lama mengesampingkan bagian alam yang kita namakan subyektif. Pribram masih merasa sangat terganggu dengan misteri yang menariknya ke dalam riset otak: bagaimana cara orang ingat?
Pada pertengahan tahun 1960-an ia membaca suatu artikel dalam majalah Scientific American yang menguraikan pembuatan pertama dari sebuah hologram, yakni sejenis “foto” tiga-dimensional yang dihasilkan melalui fotografi tanpa lensa. Dennis Gabor telah menemukan prinsip matematis dari holografi dalam tahun 1947, suatu temuan yang kelak membuatnya menerima hadiah Nobel, tetapi suatu demonstrasi dari holografi harus menunggu sampai ditemukannya sinar laser.
Hologram adalah salah satu temuan fisika modern yang betul-betul menakjubkan, dan sungguh menggemparkan batin bagi orang yang pertama kali melihatnya. Gambarnya yang tampak seperti hantu dapat dipandang dari berbagai sudut, dan tampak melayang di dalam ruang.
Prinsipnya diuraikan dengan baik oleh pakar biologi Lyall Watson:
“Jika Anda menjatuhkan sebuah kerikil ke dalam sebuah kolam, ia akan menghasilkan serangkaian gelombang yang bergerak keluar sebagai lingkaran-lingkaran yang konsentris. Jatuhkan dua kerikil yang serupa ke dalam kolam pada dua titik yang berbeda, dan Anda akan mendapatkan dua set gelombang yang bergerak saling menghampiri. Ketika gelombang-gelombang itu bertemu, akan terjadi interferensi. Jika puncak satu gelombang bertemu dengan puncak gelombang yang lain, mereka akan bekerja bersama dan menghasilkan gelombang diperkuat yang besarnya dua kali besar semula. Jika puncak satu gelombang bertemu dengan lembah gelombang yang lain, mereka akan saling menghapuskan dan di titik itu airnya akan tenang. Begitulah, terjadi segala macam kombinasi antara kedua gelombang itu, dan hasil akhirnya adalah suatu susunan rumit dari riak-riak yang dikenal sebagai ‘pola interferensi’.
“Gelombang cahaya mempunyai perilaku yang sama. Cahaya yang paling murni yang dapat kita peroleh adalah sinar laser, yang mengeluarkan seberkas cahaya yang semua gelombangnya mempunyai frekuensi (warna) sama, seperti yang dihasilkan oleh kerikil ideal di dalam sebuah kolam yang sempurna. Bila dua berkas sinar laser bertemu, mereka menghasilkan pola interferensi berupa riak-riak terang dan gelap, yang dapat dipotret pada sebuah pelat film. Dan bila salah satu berkas sinar laser itu bukan datang langsung dari sumber laser, melainkan dipantulkan dulu oleh sebuah obyek, misalnya wajah manusia, pola yang dihasilkan akan menjadi sangat rumit, namun masih dapat direkam. Rekaman itu disebut hologram dari wajah itu.”
Cahaya yang sampai ke pelat film itu datang dari dua sumber: dari obyek itu sendiri; dan dari berkas acuan, cahaya yang dipantulkan oleh sebuah cermin dari sumber ke pelat. Bercak-bercak hitam putih yang tampak tidak punya arti (informasi) pada pelat itu tidak berbentuk mirip obyek aslinya; tetapi gambar itu dapat disusun kembali dengan menyorotkan seberkas sinar koheren seperti sinar laser. Hasilnya adalah gambar 3-dimensi dari obyek semula diproyeksikan ke dalam ruang, pada suatu jarak tertentu dari pelat. Jika pelat hologram itu digunting, maka masing-masing guntingan akan menghasilkan gambar semula yang utuh. Berita bahwa sebuah hologram dapat dibuat berdasarkan matematika Gabor, menggugah minat banyak ilmuwan. Sejumlah insinyur melihat bahwa ide itu dapat diterapkan pada biologi, dan Bela Ulas dari Laboratorium Bell mengemukakan spekulasi tentang kemungkinan itu. Ini dulu juga telah terlintas dalam pikiran Gabor.
Pribram melihat hologram itu sebagai model yang menggairahkan tentang bagaimana otak mungkin menyimpan ingatan. Mungkin otak menggarap interaksi-interaksi, menafsirkan frekuensi dan menyimpan gambar, seperti hologram, tidak terlokalisasi melainkan tersebar di seluruh otak. Pada tahun 1966, ia menerbitkan makalah pertama yang mengemukakan hubungan itu. Selama beberapa tahun kemudian, Pribram dan sejumlah peneliti lain menemukan apa yang tampaknya merupakan strategi syaraf untuk mengetahui, untuk mengindra, dengan menggunakan komputasi matematis. Tampaknya untuk dapat melihat, mendengar, membau, mengecap, otak melakukan penghitungan rumit terhadap frekuensi-frekuensi data yang diterimanya. Proses matematis ini tidak mempunyai hubungan yang masuk-akal dengan dunia nyata sebagaimana kita serap. Pribram percaya bahwa matematika rumit itu mungkin berlangsung sementara impuls-impuls syaraf menjalar sepanjang, dan melompat di antara, sel-sel syaraf melalui suatu jaringan serat-serat halus pada sel-sel itu. Serat-serat itu bergerak sebagai gelombang-gelombang lambat sementara impuls itu menyeberangi sel, dan gelombang-gelombang itu mungkin melakukan fungsi kalkulasi. Dalam membuat suatu hologram, gelombang cahaya direkam sebagai kode, dan hologram yang diproyeksikan menguraikan kode, atau menguraikan kekaburan, dari gambar itu. Demikian pula otak mungkin menguraikan kode dari jejak ingatan yang disimpannya. Milyaran bit informasi dapat disimpan dalam suatu ruang yang sangat kecil. Pola pada pelat holografis tidak mempunyai dimensi ruang-waktu. Gambar tersimpan di mana-mana pada pelat itu.
Adalah khas sifat Pribram bahwa ia akan mengambil temuan baru di luar bidang disiplinnya dalam upaya untuk memahami ingatan. Kadang-kadang ia dikritik oleh sejawatnya sesama neurosaintis–yang khas merupakan sekelompok kecil orang yang sangat terspesialisasikan—karena spekulasi-spekulasinya yang berani.
Pribram teringat akan ucapan seorang pionir penelitian ingatan, Ewald Hering, bahwa pada suatu titik dalam hidupnya, setiap saintis harus membuat keputusan. “Ia mulai tertarik pada makna dari pekerjaannya dan temuannya,” kata Pribram. “Lalu ia harus memilih. Jika ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencoba menemukan jawaban, memahami apa arti semua itu, ia akan tampak bodoh bagi teman-teman sekerjanya. Sebaliknya, ia dapat menyerah dan melepaskan upaya untuk memahami arti dari semuanya; ia tidak tampak bodoh, dan semakin banyak ia tahu, semakin sempit bidang yang diketahuinya.” “Anda harus memutuskan untuk berani tampak bodoh.”
Dalam suatu konperensi kecil di Stanford belum lama berselang, Pribram diundang untuk berdebat dengan seorang lawan tentang teori holografis. Ia diserang secara efektif pada beberapa segi teknis, yang menunjukkan bahwa holografi otak dapat dipastikan merupakan varian dari holografi optik, dan bukan analogi yang eksak. “Saya bertahan cukup baik, tetapi mereka berhasil menyudutkan saya di sana-sini,” ingatnya. Setelah itu, seorang muda datang menghampirinya dan bertanya kepadanya, bagaimana ia bisa merasa begitu yakin. Bagaimana ia bisa bicara terus, bertahan terhadap argumen-argumen yang disiapkan secara matang? “Sederhana saja, ” jawab Pribram. “Ini sudah saya alami dari sejak saya terjun ke dalam sains–dan selama ini saya ternyata benar.” Dia bilang, jika Anda berada di garis depan, Anda tidak dapat menerangkan segala sesuatu. “Jika Anda tahu semuanya, itu bukan garis depan.”
Ilmuwan fisika terkemuka, Niels Bohr, pernah berkata, bila muncul inovasi besar, pada mulanya ia tampak kacau dan aneh. Ia tidak dipahami sepenuhnya oleh penemunya, dan merupakan misteri bagi orang lain. Bila suatu ide tidak tampak aneh pada mulanya, ide itu tidak punya harapan di masa depan. Pribram berkata, kita sekarang berada di zaman yang di situ hanya kecanggihan teknologis yang mendapat ganjaran; peneliti tidak boleh membuat ekstrapolasi, atau berpikir. “Orang Eropa lebih berorientasi teoretik. Orang Amerika paling banyak menguji hipotesis, dan lupa bahwa hipotesis itu muncul dari tesis. Bahkan di dalam sains kita yang sangat sukses, kita biasanya tidak lebih dari mencapai deskripsi tentang suatu wilayah. “Itu cukup bagi banyak orang,” kata Pribram. “Mereka bilang, ‘Nah, kita sudah menjawab pertannyaannya.’ Mereka tampaknya merasa bahwa mereka tidak berani untuk memahami, terutama jika mereka harus masuk ke bidang ilmu yang tidak mereka kuasai sepenuhnya. Mereka takut sains mereka akan salah.” Pribram sendiri tidak memperlihatkan kekerdilan seperti itu; ia berupaya memahami ilmu fisika lebih baik dan mengikuti kuliah-kuliah pasca-sarjana tentang metode matematis lanjut. Jika fakta-faktanya harus membawanya ke dalam jurang, ia akan terjun dengan persiapan penuh.
Pada tahun 1970 atau 1971, suatu pertanyaan terakhir yang mengganggu mulai menghantui pikirannya. Jika otak ini memang mengetahui dengan cara menyusun hologram–yakni dengan mentransformasikan secara matematis frekuensi-frekuensi yang datang dari “alam luar”–siapa di dalam otak yang menafsirkan hologram itu? Ini adalah pertanyaan tua yang terus menghantui. Para filsuf sejak zaman Yunani telah berspekulasi tentang “roh di dalam mesin”, “orang kecil di dalam orang kecil”, dan seterusnya. Di manakah sang “aku”, entitas yang memakai otak? Siapakah yang melakukan tindakan memahami itu? Atau, seperti dirumuskan oleh Santo Fransiskus dari Asisi, “Apa yang kita cari adalah yang mencari.” Ketika memberikan ceramah pada suatu malam di sebuah simposium di Minnesota, Pribram menyampaikan renungannya, bahwa mungkin jawabannya terletak di bidang psikologi gestalt, sebuah teori yang mengatakan bahwa apa yang kita persepsikan “di alam luar” adalah sama—isomorphic dengan–proses pikiran kita sendiri. Tiba-tiba ia menyeletuk, “Barangkali alam semesta ini sebuah hologram juga!” Ia berhenti, sedikit tertegun memikirkan implikasi dari apa yang dikatakannya. Apakah hadirin yang duduk di depannya semuanya hologram–perwujudan dari frekuensi-frekuensi, yang ditafsirkan oleh otaknya dan oleh otak masing-masing? Jika hakekat realitas itu sendiri bersifat holografis, dan otak bekerja secara holografis, maka alam semesta ini sesungguhnya–seperti dikatakan oleh agama-agama di Timur–adalah maya: tontonan sihir. Kekonkritan alam ini adalah ilusi. Tidak lama kemudian, ia melewatkan seminggu bersama anak laki-lakinya, juga seorang fisikawan, mendiskusikan ide-idenya dan mencari kemungkinan jawabannya di dalam disiplin fisika. Anaknya menyebutkan bahwa seorang fisikawan terkemuka, David Bohm, sudah beberapa lama berpikir dengan cara yang mirip. Beberapa hari kemudian, Pribram membaca karya-karya kunci dari Bohm, yang menyarankan suatu tatanan baru dalam fisika. Pribram merasa seperti disengat listrik. Bohm menguraikan suatu alam semesta yang holografis.
Menurut Bohm, apa yang tampak sebagai alam yang stabil, teraba, terlihat, terdengar, adalah suatu khayalan. Alam itu bersifat dinamis dan kaleidoskopis–tidak sungguh-sungguh “ada”. Yang kita lihat sehari-hari adalah tatanan yang eksplisit, atau terbabar (unfolded), seperti kalau kita menonton film. Tetapi ada suatu tatanan lain yang mendasarinya, yang merupakan cikal-bakal dari tatanan generasi kedua ini. Dinamakannya tatanan yang lain itu ‘implicate’ atau ‘enfolded’ (terserap). Tatanan terserap itu mengandung realitas kita sesungguhnya, seperti DNA di dalam inti sel mengandung potensial kehidupan dan menentukan pembabarannya.
Bohm menggambarkan suatu tetesan tinta yang tak larut di dalam cairan gliserin. Jika cairan itu perlahan-lahan diputar denga suatu alat mekanis, demikian rupa sehingga tidak terjadi difusi, tetesan tinta itu akhirnya akan tertarik memanjang menjadi benang tipis yang tersebar di dalam seluruh sistem, demikian rupa sehingga tak terlihat oleh mata. Jika alat mekanis itu diputar dengan arah berlawanan, benang itu akan perlahan-lahan menggumpal kembali sampai tiba-tiba gumpalan itu muncul sebagai tetesan tinta semula.
Sebelum terjadi penggumpalan, tetesan itu dapat dikatakan “terserap” ke dalam cairan kental, dan kemudian terbabar lagi. Lalu, bayangkanlah ada beberapa tetesan serupa yang telah diputar dalam cairan kental dengan sejumlah putaran yang berbeda dan berada di tempat-tempat yang berbeda. Jika sistem itu diputar ke arah berlawanan dengan cukup cepat, akan tampak seolah-olah ada satu tetesan tinta yang permanen yang bergerak berpindah tempat di dalam cairan. Sesungguhnya obyek seperti itu tidak ada. Contoh lain: sederetan lampu listrik pada sebuah billboard iklan yang berkedip hidup dan mati dengan presisi tertentu, sehingga memberi kesan ada cahaya yang bergerak membentuk anak panah yang meluncur, kartun animasi, dsb, yang memberikan ilusi suatu gerakan yang kontinyu. Seperti itu pula, semua yang tampak sebagai zat dan gerakan adalah khayalan. Mereka muncul dari suatu tatanan alam lain yang lebih primer. Bohm menyebut fenomena ini holomovement (gerakan-holo).
Katanya, sejak zaman Galileo, kita memandang alam semesta ini melalui berbagai lensa. Tindakan kita mengobyektivasikan, seperti dalam sebuah mikroskop elektron, mengubah apa yang ingin kita lihat. Kita ingin menemukan pinggirnya, membuatnya diam untuk sesaat, padahal hakekat sebenarnya adalah suatu tatanan lain dari realitas, suatu dimensi lain, yang di situ tidak ada benda-benda. Seolah-olah kita memfokuskan sesuatu yang kita “amati”, seperti Anda memfokuskan suatu gambar, padahal kekaburan sebetulnya lebih tepat untuk menggambarkan realitas. Kekaburan itu sendiri adalah realitas dasar.
Terlintas dalam pikiran Pribram bahwa matematika otak mungkin juga merupakan sebuah lensa. Transformasi matematis ini menciptakan obyek-obyek dari frekuensi-frekuensi yang kabur, membuatnya menjadi suara dan warna dan rasa kinestetik (rabaan), bau dan citarasa.
“Mungkin realitas ini bukan seperti yang kita lihat dengan mata kita,” kata Pribram. “JIka kita tidak memiliki lensa itu–matematika yang dilakukan oleh otak–mungkin kita akan melihat sebuah alam yang diorganisasikan menurut domain frekuensi. Tidak ada ruang, tidak ada waktu–yang ada hanyalah peristiwa (events). Dapatkah realitas dibaca dari domain itu?” Ia menawarkan bahwa pengalaman transendental–keadaan mistikal—mungkin memberikan kepada kita akses langsung kepada alam itu. Sungguh, laporan-laporan subyektif dari keberadaan seperti itu sering kali terdengar mirip deskripsi realitas kuantum, suatu kebetulan yang membawa sementara fisikawan untuk berspekulasi ke arah itu. Dengan memintasi cara persepsi kita sehari-hari yang bersifat menyempitkan–yang oleh Aldous Huxley dinamakan nilai yang mereduksikan–kita dapat menyetel kesadaran kita dengan sumber atau matriks dari realitas dan pola-pola interferensi syaraf otak, proses-proses matematisnya, mungkin identik dengan keberadaan primer dari alam semesta. Artinya, proses-proses mental kita secara efektif terbuat dari prinsip pengorganisasian yang sama. Para fisikawan dan ahli astronomi kadang-kadang berkata bahwa hakekat alam semesta yang sejati bersifat imaterial tetapi tertib. Einstein menyatakan ketakjuban mistikal melihat harmoni ini. Ahli astronomi James Jeans berkata bahwa alam semesta ini lebih mirip sebuah pikiran besar daripada sebuah mesin besar, dan ahli astronomi Arthur Eddington berkata, “Bahan alam semesta ini adalah bahan batin.” Lebih belakangan, ahli sibernetika David Foster menggambarkan “alam semesta yang cerdas”, yang kekonkritannya yang tampak sehari-hari dihasilkan–merupakan efek–dari data kosmik dari suatu sumber terorganisir yang tak dapat dikenal.
Secara singkat, superteori holografis mengatakan bahwa otak kita secara matematis mengkonstruksikan realitas “keras” dengan menafsirkan frekuensi-frekuensi dari suatu dimensi yang mengatasi waktu dan ruang. Otak ini sebuah hologram, menafsirkan suatu alam semesta holografik.
Pribram secara menarik kadang-kadang mengakui, “Saya harap Anda menyadari bahwa saya tidak mengerti semua ini.” Pengakuan ini biasanya menghasilkan desah kelegaan bahkan di kalangan pendengar yang paling saintifik, yang di situ setiap orang kecuali para fisikawan–yang lebih tahu—mencoba menerapkan proses berpikir linear dan logis terhadap dimensi yang nonlinear. Anda tidak dapat menggunakan cara berpikir sebab-akibat untuk memahami peristiwa-peristiwa yang tak terikat oleh waktu dan ruang.
Fenomena psikis tidak lain adalah hasil-samping dari matriks yang “serentak-ada di mana-mana” ini. Otak individual adalah “pecahan” dari hologram yang lebih besar. Masing-masing mempunyai akses dalam kondisi tertentu kepada semua informasi yang terkandung dalam keseluruhan sistem sibernetika itu. Sinkronisitas–peristiwa-peristiwa bersamaan yang tampak mempunyai tujuan atau keterkaitan yang lebih tinggi–juga cocok dengan model holografis. Kebetulan-kebetulan yang bermakna itu berasal dari hakekat matriks yang bertujuan, berpola, dan mengorganisasikan. Psikokinesis, batin yang mempengaruhi materi, mungkin adalah hasil alamiah dari interaksi di tingkat dasar. Model holografis memecahkan teka-teki lama dari ‘psi’: ketidakmampuan instrumen untuk menjejaki transfer energi yang tampaknya terjadi dalam telepati, penyembuhan, dan clairvoyance. Jika peristiwa-peristiwa ini terjadi dalam suatu dimensi yang mengatasi waktu dan ruang, tidak perlu energi untuk pergi dari sini ke sana. Seperti dikatakan oleh seorang peneliti, “Tidak ada suatu tempat tertentu di mana pun juga.” Selama bertahun-tahun, mereka yang tertarik pada fenomena batin manusia telah meramalkan bahwa suatu teori terobosan akan muncul; bahwa teori itu akan disusun dari matematika untuk menegakkan bahwa hal-hal adikodrati adalah bagian dari alam. Model holografis adalah teori integral seperti itu, yang meliputi seluruh hal-hal yang ganjil dari sains dan roh. Teori ini mungkin merupakan paradigma paradoksikal, tanpa tepi, yang dicari oleh sains.
Kemampuannya menjelaskan memperkaya dan memperluas banyak disiplin, memberi makna pada fenomena-fenomena lama dan menampilkan pertanyaan-pertanyaan baru yang urgen. Yang tersirat dalam teori itu adalah asumsi bahwa keadaan kesadaran yang harmonis dan koheren lebih sesuai dengan tingkat realitas dasar, yakni suatu dimensi ketertiban dan keselarasan. Kesesuaian itu akan dirintangi oleh amarah, kecemasan dan ketakutan, dan diperlancar oleh cinta dan empati. Ini mempunyai implikasi bagi proses belajar, lingkungan, keluarga, seni, agama dan filsafat, penyembuhan dan penyembuhan-diri. Apakah yang memecah-belah kita? Apakah yang membuat kita utuh? Uraian tentang suatu rasa mengalir, tentang kerjasama dengan alam—dalam proses kreatif, dalam kinerja atletik yang luar biasa, dan kadang-kadang dalam kehidupan sehari-hari–apakah uraian seperti itu menandai kesatuan kita dengan sumber? Makin banyak orang bereksperimen dengan ‘keadaan kesadaran yang berubah’ (altered states of consciousness). Apakah mereka menciptakan masyarakat yang lebih koheren, resonan, dengan menanamkan ketertiban ke dalam hologram sosial yang besar, seperti “kristal benih”? Mungkin ini adalah proses misterius dari evolusi kesadaran.
Model holografis juga membantu menjelaskan kekuatan aneh dari gambar (image)–mengapa peristiwa dipengaruhi oleh apa yang kita bayangkan, apa yang kita visualisasikan. Suatu gambar yang dipegang dalam keadaan transendental mungkin dijadikan nyata. Keith Floyd, psikolog dari Virginia Intermont College, berkata tentang kemungkinan holografis, “Bertentangan dengan apa yang diketahui banyak orang, mungkin bukan otak yang menghasilkan kesadaran—melainkan sebaliknya, kesadaranlah yang menciptakan apa yang terlihat sebagai otak–materi, ruang, waktu, dan segala sesuatu lain, yang dengan senang hati kita tafsirkan sebagai alam fisik.”
Bila suatu paradigma bergeser, kata Pribram, sains sering kali dipaksa memeriksa kembali konsep-konsep terdahulu yang pernah ditolak. Liebniz, filsuf dan ahli matematika abad ke-17 M, yang temuannya kalkulus integral memungkinkan dikembangkannya holografi, pernah mempostulatkan suatu alam dari monad-monad–yakni unit-unit yang mengandung informasi dari keseluruhan. Liebniz menyatakan bahwa perilaku cahaya yang amat tertib mengisyaratkan adanya tatanan realitas yang berpola dan radikal yang mendasarinya.
Ada banyak kasus pemikir-pemikir di zaman dahulu menjelaskan apa yang seharusnya tak dapat dijelaskan pada zaman mereka. Misalnya, para ahli mistik kuno dengan tepat melukiskan fungsi kelenjar epifisis (pineal) berabad-abad sebelum sains membenarkannya. “Bagaimana ide-ide seperti ini muncul berabad-abad sebelum kita mempunyai alat untuk memahaminya?” tanya Pribram. “Mungkin di dalam keadaan holografis–domain frekuensi–empat ribu tahun yang lalu adalah esok hari.” Begitu pula, Henri Bergson pernah berkata pada tahun 1907 bahwa realitas yang paling dasar adalah suatu jaringan koneksi yang menjadi landasan, dan bahwa otak menyaring sebagian besar realitas yang ada. Pada tahun 1929, Alfred North Whitehead, filsuf dan ahli matematika, melukiskan alam sebagai pusat peristiwa-peristiwa yang besar dan mengembang yang di luar persepsi indera. Kita hanya mengira bahwa materi dan batin ini berbeda, padahal faktanya keduanya saling jalin-menjalin.
Bergson menyatakan bahwa para artis, seperti para ahli mistik, mempunyai akses kepada elan vital, yakni suatu impuls kreatif yang mendasar. Sajak-sajak T.S.Eliot penuh dengan gambar-gambar holografis: “Titik diam dari dunia yang berputar” yang bukan daging bukan pula tanpa daging, bukan berhenti bukan pula bergerak, “Dan jangan namakan itu keadaan yang tetap, yang di situ masa lampau dan masa depan terkumpul. Kecuali titik itu, titik diam itu./ Tak akan ada lagi tarian, dan yang ada hanyalah tarian.”
Ahli mistik Jerman, Meister Eckhart, menyatakan bahwa “Tuhan menjelma dan lenyap kembali.” David Hume, filsuf abad ke-18 M, mengantisipasi teori David Bohm tentang gerakan-holo, dengan berkata bahwa manusia tidak lain dari sekumpulan persepsi “yang susul-menyusul dengan kecepatan tak terbayangkan, dan berada dalam pusaran dan gerakan yang abadi.” Ahli mistik Sufi, Rumi, berkata, “Batin manusia melihat sebab-sebab kedua, tetapi hanya para nabi yang melihat tindakan dari Sebab Pertama.” Dan, barangkali suatu uraian kuno paling luar biasa tentang realitas holografis terdapat dalam sebuah Sutra Buddhis:
Di kahyangan Indra katanya terdapat jaringan mutiara yang tersusun demikian rupa, sehingga jika Anda memandang satu mutiara saja, Anda melihat seluruh mutiara itu terpantul di dalamnya. Secara itu pula, setiap obyek di dunia ini bukan hanya dirinya sendiri, melainkan juga mengandung semua obyek yang lain, bahkan sesungguhnya adalah setiap obyek yang lain.
Sejak perkembangan berangsur-angsur dari sintesis Pribram antara otak holografis dengan alam semesta holografis dari David Bohm, ide itu telah menarik minat banyak filsuf dan ahli psikologi humanistik. Perkumpulan Psikologi Humanistik mensponsori dua simposium satu-hari melalui undangan pada bulan Desember tahun lalu [1977] di San Francisco, agar Pribram dapat menjelaskan sepenuhnya konsep-konsep itu kepada suatu kelompok antar-disiplin. Di antara mereka yang hadir, terdapat George Leonard, Jean Houston, Charles Tart, Rollo May, Bob Samples, John Perry, Stanley Krippner, Arthur Deikman, Enoch Callaway, Huston Smith dan Sam Keen. Teori ini baru-baru ini juga ditayangkan dalam film dokumenter oleh Canadian Broadcasting Corporation, yang menghasilkan tanggapan penonton paling besar dalam sejarah jaringan itu. “Kita berada di sini merayakan terjadinya pergeseran paradigma,” kata Pribram dengan riang. Ketika dia mengatakan bahwa teori ini melihat segala sesuatu sebagai getaran, hadirin tertawa, dan dia berkata, “Saya rasa saya tidak perlu mengatakan itu kepada Anda.” Otak yang dulu dengan itu ia dibesarkan adalah sebuah komputer, kata Pribram kepada hadirin di San Diego pada tahun 1976, tetapi “otak yang kita kenal sekarang memungkinkan pengalaman yang dilaporkan dari displin spiritual.” Baru-baru ini, dalam sebuah konperensi besar atas undangan yang disponsori oleh Gereja Unification, Pribram membahas pendekatannya terhadap fisika kesadaran di dalam suatu sesi dengan lima orang pemenang Hadiah Nobel.
Bagaimana proses-proses batin dapat diubah untuk memungkinkannya mengalami langsung domain frekuensi masih merupakan dugaan. Hal itu mungkin menyangkut suatu fenomena persepsi yang dikenal–yakni “proyeksi” yang memungkinankan kita mengalami, misalnya, suara stereofonik tiga dimensi yang penuh, seolah-olah suara itu datang dari suatu titik di tengah-tengah di antara dua buah pengeras suara, alih-alih datang dari dua sumber suara. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa indera kinestetik dapat juga dipengaruhi seperti itu; rangsangan rabaan pada kedua tangan pada suatu frekuensi tertentu akhirnya dapat menyebabkan orang yang bersangkutan merasa seolah-olah ia mempunyai tangan ketiga, yang terletak di tengah-tengah di antara kedua tangan aslinya. Pribram mengatakan adanya kemungkinan keterlibatan jaringan otak yang berpusat di bagian yang dinamakan amygdala, yang telah dikenal sebagai tempat terjadinya gangguan patologis yang disebut deja vu (“pernah melihat”), dan tampaknya juga terlibat dalam “kesadaran tanpa isi” yang merupakan pengalaman mistikal. Beberapa perubahan frekuensi dan hubungan fase yang terjadi dalam struktur ini mungkin merupakan mantra pembuka bagi keadaan transendental.
Pribram berkata, pengalaman mistikal tidak lebih aneh daripada banyak peristiwa alam, seperti misalnya derepresi selektif dari DNA untuk membentuk mula-mula suatu alat tubuh, dan kemudian alat tubuh yang lain. “Jika kita memperoleh ESP [extrasensory perception--persepsi tanpa indera] atau fenomena paranormal lain–atau fenomena nuklir dalam fisika—itu sekadar berarti kita membaca dari suatu dimensi lain pada saat itu. Dalam keadaan sehari-hari, kita tidak dapat memahaminya.”
Pribram mengakui bahwa model ini tidak mudah dicernakan; paham ini terlalu radikal menjungkirbalikkan semua sistem kepercayaan kita sebelumnya, pemahaman akal sehat kita tentang benda dan waktu dan ruang. Suatu generasi baru akan tumbuh yang terbiasa akan cara berpikir holografis; dan untuk memudahkan itu, Pribram menganjurkan agar siswa di sekolah belajar tentang paradoks sejak sekolah dasar, oleh karena temuan-temuan ilmiah yang baru selalu penuh dengan kontradiksi.
Pada tahun 1977, Pribram meramalkan bahwa ‘sains lunak’ pada masa kini akan menjadi titik pusat dari ‘sains keras’ dalam waktu 10 – 15 tahun lagi, persis seperti psikologi kognitif, yang dulu pernah dianggap “lunak”, kini mengatasi psikologi perilaku (behaviorism). Ia juga meramalkan lahirnya holisme yang jelas, yakni suatu pergesaran paradigma yang mencakup semua bidang sains.
Para ilmuwan yang produktif harus siap membela roh sebagai data. “Inilah sains sebagaimana dibayangkan semula: yakni mencari pemahaman,” kata Pribram. “Hari-hari kaum teknokrat yang berhati dingin dan berkepala batu tampaknya bisa dihitung dengan jari.”*
_________________________
(Dari: “The Holographic Paradigm and Other Paradoxes: Exploring the Leading Edge of Science”, Ken Wilber (editor),
Jika Anda ingin tahu, di mana revolusi riset otak yang akan datang berlangsung, pelajarilah apa yang pada saat ini diminati oleh Karl Pribram. Sepanjang karirnya, ilmuwan syaraf berusia 58 tahun dari Universitas Stanford ini selalu berada di dekat–kalau bukan penganjur utama—dari hampir semua pergolakan pemikiran tentang bagaimana otak bekerja.
Pada dewasa ini ia mengajukan suatu model yang mencakup segala-galanya dan mengejutkan, yang menimbulkan kegemparan di kalangan mereka yang tertarik dengan misteri kesadaran manusia. “Model holografis”-nya memadukan riset otak dengan fisika teoretik; model itu menjelaskan persepsi sehari hari, dan sekaligus membebaskan pengalaman-pengalaman paranormal dan transendental dari sifat supernaturalnya dengan menjelaskannya sebagai bagian dari alam.
Seperti temuan-temuan tertentu dari fisika kuantum, pemikiran-ulang yang radikal dari teori ini tiba-tiba membuat ucapan-ucapan paradoksal dari para ahli mistik sepanjang sejarah dapat dipahami. Ahli bedah otak, peneliti dan profesor yang bertubuh kecil ini mencoba menjelaskan data yang dihasilkan oleh laboratoriumnya di Universitas Stanford, tempat proses-proses otak dari hewan menyusui tingkat tinggi–terutama bangsa Primata [kera tingkat tinggi, termasuk manusia]–diteliti dengan ketat.
Perkembangan terakhir dari pemikiran Karl Pribram membuat lengkap peralihan dirinya dari apa yang disebutnya sendiri “seorang behavioris yang gigih” dalam tahun 1940-an, menjadi perintis psikologi kognitif dalam tahun 1950-an, dan sekali-sekali mendukung para psikolog humanistik dalam tahun 1960-an dan awal 1970-an, sampai menjadi pembela radikal dari pengalaman spiritual pada akhir tahun 1970-an.
Ahli biologi, T.H. Huxley, pernah menulis, “Duduklah di hadapan fakta seperti anak kecil, dan bersiaplah untuk membuang setiap pengertian yang ada sebelumnya, mengikuti dengan rendah hati ke mana pun dan ke jurang apapun Anda di bawa oleh Alam; kalau tidak, Anda tidak akan pernah belajar apa-apa.” Keterpakuan Pribram yang polos terhadap fakta-fakta yang ditemukannya telah membawanya ke jurang seperti itu. Ia lahir di Vienna, dan hijrah ke Amerika Serikat sebagai anak berusia delapan tahun. Ia belajar di Universitas Chicago, tempat ia memperoleh gelar BA dan MD dalam waktu lima tahun yang mencengangkan. Setelah menjalani residence dan internship [masa-masa pendidikan dokter ahli] di Illinois, ia mulai berpraktek sebagai ahli bedah otak di Florida. Di situlah ia mulai meneliti–di Yerkes Laboratories di Orange Park, di bawah bimbingan ilmuwan otak terkemuka, Karl Lashley. (Yang juga bekerja di Yerkes adalah D.O. Hebb dan Austin Riesen, yang kelak menjadi terkenal berkat risetnya dalam pematian-indra, dan Roger Sperry, yang kelak menjadi perintis dalam penelitian pembelahan otak.)
Selama tiga puluh tahun Lashley telah meneliti “engram”–yakni lokasi dan substansi dari ingatan. Ia melatih binatang-binatang percobaan, lalu secara selektif merusak bagian-bagian dari otak mereka, dengan mengasumsikan bahwa pada suatu titik ia akan menemukan lokasi dari apa yang telah mereka pelajari. Perusakan bagian-bagian otak itu membuat perilaku hewan itu menjadi agak kacau, tetapi tampaknya, selama tidak ada kerusakan otak yang mematikan, tidak mungkin untuk menghapuskan apa yang telah mereka pelajari.
Pada suatu titik, Lashley yang kebingungan mengatakan dengan masam, bahwa penelitiannya membuktikan bahwa hal itu tak mungkin dipelajari. Pribram ikut serta dalam penulisan riset monumental dari Lashley, dan ia juga menekuni misteri engram itu. Bagaimana mungkin ingatan tidak tersimpan di suatu bagian otak melainkan tersebar di seluruh otak?
Pribram lalu pindah ke Yale, tempat ia selama 10 tahun banyak menyumbang kepada sains otak dengan mengembangkan teknik-teknik operasi yang akhirnya memungkinkan orang mencapai daerah otak yang disebut sistem limbic yang primitif dan misterius. Penelitiannya tentang berbagai struktur limbic seperti hippocampus dan amygdala memperlihatkan bahwa teori-teori tradisional tentang bagaimana “pusat-pusat lebih tinggi” dari otak mengendalikan pusat-pusat yang lebih rendah perlu diubah secara radikal. Pusat-pusat otak yang lebih tua [dalam evolusi] itu ternyata mempunyai kerumitan yang lebih kaya dan lebih banyak kendali daripada yang dibayangkan sebelumnya.
Lalu Pribram memperlihatkan proses-proses bagaimana bagian limbic dan bagian frontal dari otak berinteraksi. Dan, pada tahun 1960, ia membantu melancarkan apa yang dinamakannya “jerit kesakitan” dari rekan-rekannya kaum behavioris. Buku “Plans and the Structure of Behavior”, ditulis oleh George A. Miller, Eugene Galanter, dan Pribram, kelak dijuluki oleh kepustakaan di bidang ilmu itu sebagai meluncurkan “revolusi kognitif”–pergeseran minat ilmiah dari perilaku kepada pikiran. Baik Miller maupun Pribram berada dalam kubu kaum behavioris sampai waktu itu. Kaum behavioris bergantung pada model rangsangan-respons sederhana, yang dikembangkan untuk sebagian dari penelitian otak yang lebih dini tentang lengkung refleks–yakni respons seluler sederhana–oleh Charles Sherrington. Pribram berpendapat bahwa Sherrington sendiri tidak bermaksud mendirikan seluruh bangunan psikologi di atas dasar model refleks. Pengalaman subyektif harus dikaji juga apabila riset otak diharapkan maju. Ia dan rekan-rekan penulisnya menamakan pendekatan ini “behaviorisme subyektif”.
Untuk beberapa lama Pribram juga memimpin riset di Institute of Living, bolak-balik dari Yale. Ia juga memimpin Yerkes Laboratories sebentar setelah Lashley pensiun. Ketika ia menerima kedudukan di Pusat Penelitian Lanjut dalam Ilmu-Ilmu Perilaku di Universitas Stanford pada tahun 1958, dibawanya naskah pertama dari bukunya “Languages of the Brain”, yang akan menghabiskan 15 tahun sejak dari awal penulisan hingga penerbitannya pada tahun 1971, dan merupakan buku klasik yang menyajikan penulisan teoretis yang jernih tentang otak.
Yang menarik adalah bahwa ruang kerja Pribram bersebelahan dengan ruang Thomas S.Kuhn, yang pada waktu itu menekuni apa yang kelak menjadi salah satu buku paling berpengaruh pada zaman kita, “The Structure of Scientific Revolutions”, yang di situ ia menguraikan proses bagaimana pandangan dunia ilmiah secara berkala terjungkir-balik dalam apa yang disebutnya “pergeseran paradigma”.
Pribram dan rekan-rekan kerjanya termasuk yang pertama menggunakan modeling komputer untuk memahami aspek-aspek pikiran dan perilaku. Salah satu sumbangannya yang paling dramatis adalah temuan bahwa pusat-pusat motorik otak bukan hanya terlibat dalam gerakan tubuh tetapi juga dalam proses pikiran yang mendahului gerakan–yang disebut “rencana tindakan” [plans of action]. Menjadi jelas bahwa ada hubungan syaraf yang amat penting antara pusat-pusat motorik dari otak dan proses belajar, suatu hubungan yang sudah diduga oleh para terapis pendidikan.
Membaca sekilas judul bab-bab dari buku “Languages of the Brain”, kita memperoleh pencerahan tentang minatnya yang intens dalam mengkaji hubungan antara proses-proses otak dengan pengalaman dan perilaku manusia yang aktual. “Gambar”, “Perasaan”, “Pencapaian”, “Tanda”, “Simbol”, “Bicara dan Pikiran”, “Pengaturan Masalah-masalah Manusia.” Ia berkata, sains otak harus menggarap kesadaran tentang kesadaran. Sains itu tidak dapat lebih lama mengesampingkan bagian alam yang kita namakan subyektif. Pribram masih merasa sangat terganggu dengan misteri yang menariknya ke dalam riset otak: bagaimana cara orang ingat?
Pada pertengahan tahun 1960-an ia membaca suatu artikel dalam majalah Scientific American yang menguraikan pembuatan pertama dari sebuah hologram, yakni sejenis “foto” tiga-dimensional yang dihasilkan melalui fotografi tanpa lensa. Dennis Gabor telah menemukan prinsip matematis dari holografi dalam tahun 1947, suatu temuan yang kelak membuatnya menerima hadiah Nobel, tetapi suatu demonstrasi dari holografi harus menunggu sampai ditemukannya sinar laser.
Hologram adalah salah satu temuan fisika modern yang betul-betul menakjubkan, dan sungguh menggemparkan batin bagi orang yang pertama kali melihatnya. Gambarnya yang tampak seperti hantu dapat dipandang dari berbagai sudut, dan tampak melayang di dalam ruang.
Prinsipnya diuraikan dengan baik oleh pakar biologi Lyall Watson:
“Jika Anda menjatuhkan sebuah kerikil ke dalam sebuah kolam, ia akan menghasilkan serangkaian gelombang yang bergerak keluar sebagai lingkaran-lingkaran yang konsentris. Jatuhkan dua kerikil yang serupa ke dalam kolam pada dua titik yang berbeda, dan Anda akan mendapatkan dua set gelombang yang bergerak saling menghampiri. Ketika gelombang-gelombang itu bertemu, akan terjadi interferensi. Jika puncak satu gelombang bertemu dengan puncak gelombang yang lain, mereka akan bekerja bersama dan menghasilkan gelombang diperkuat yang besarnya dua kali besar semula. Jika puncak satu gelombang bertemu dengan lembah gelombang yang lain, mereka akan saling menghapuskan dan di titik itu airnya akan tenang. Begitulah, terjadi segala macam kombinasi antara kedua gelombang itu, dan hasil akhirnya adalah suatu susunan rumit dari riak-riak yang dikenal sebagai ‘pola interferensi’.
“Gelombang cahaya mempunyai perilaku yang sama. Cahaya yang paling murni yang dapat kita peroleh adalah sinar laser, yang mengeluarkan seberkas cahaya yang semua gelombangnya mempunyai frekuensi (warna) sama, seperti yang dihasilkan oleh kerikil ideal di dalam sebuah kolam yang sempurna. Bila dua berkas sinar laser bertemu, mereka menghasilkan pola interferensi berupa riak-riak terang dan gelap, yang dapat dipotret pada sebuah pelat film. Dan bila salah satu berkas sinar laser itu bukan datang langsung dari sumber laser, melainkan dipantulkan dulu oleh sebuah obyek, misalnya wajah manusia, pola yang dihasilkan akan menjadi sangat rumit, namun masih dapat direkam. Rekaman itu disebut hologram dari wajah itu.”
Cahaya yang sampai ke pelat film itu datang dari dua sumber: dari obyek itu sendiri; dan dari berkas acuan, cahaya yang dipantulkan oleh sebuah cermin dari sumber ke pelat. Bercak-bercak hitam putih yang tampak tidak punya arti (informasi) pada pelat itu tidak berbentuk mirip obyek aslinya; tetapi gambar itu dapat disusun kembali dengan menyorotkan seberkas sinar koheren seperti sinar laser. Hasilnya adalah gambar 3-dimensi dari obyek semula diproyeksikan ke dalam ruang, pada suatu jarak tertentu dari pelat. Jika pelat hologram itu digunting, maka masing-masing guntingan akan menghasilkan gambar semula yang utuh. Berita bahwa sebuah hologram dapat dibuat berdasarkan matematika Gabor, menggugah minat banyak ilmuwan. Sejumlah insinyur melihat bahwa ide itu dapat diterapkan pada biologi, dan Bela Ulas dari Laboratorium Bell mengemukakan spekulasi tentang kemungkinan itu. Ini dulu juga telah terlintas dalam pikiran Gabor.
Pribram melihat hologram itu sebagai model yang menggairahkan tentang bagaimana otak mungkin menyimpan ingatan. Mungkin otak menggarap interaksi-interaksi, menafsirkan frekuensi dan menyimpan gambar, seperti hologram, tidak terlokalisasi melainkan tersebar di seluruh otak. Pada tahun 1966, ia menerbitkan makalah pertama yang mengemukakan hubungan itu. Selama beberapa tahun kemudian, Pribram dan sejumlah peneliti lain menemukan apa yang tampaknya merupakan strategi syaraf untuk mengetahui, untuk mengindra, dengan menggunakan komputasi matematis. Tampaknya untuk dapat melihat, mendengar, membau, mengecap, otak melakukan penghitungan rumit terhadap frekuensi-frekuensi data yang diterimanya. Proses matematis ini tidak mempunyai hubungan yang masuk-akal dengan dunia nyata sebagaimana kita serap. Pribram percaya bahwa matematika rumit itu mungkin berlangsung sementara impuls-impuls syaraf menjalar sepanjang, dan melompat di antara, sel-sel syaraf melalui suatu jaringan serat-serat halus pada sel-sel itu. Serat-serat itu bergerak sebagai gelombang-gelombang lambat sementara impuls itu menyeberangi sel, dan gelombang-gelombang itu mungkin melakukan fungsi kalkulasi. Dalam membuat suatu hologram, gelombang cahaya direkam sebagai kode, dan hologram yang diproyeksikan menguraikan kode, atau menguraikan kekaburan, dari gambar itu. Demikian pula otak mungkin menguraikan kode dari jejak ingatan yang disimpannya. Milyaran bit informasi dapat disimpan dalam suatu ruang yang sangat kecil. Pola pada pelat holografis tidak mempunyai dimensi ruang-waktu. Gambar tersimpan di mana-mana pada pelat itu.
Adalah khas sifat Pribram bahwa ia akan mengambil temuan baru di luar bidang disiplinnya dalam upaya untuk memahami ingatan. Kadang-kadang ia dikritik oleh sejawatnya sesama neurosaintis–yang khas merupakan sekelompok kecil orang yang sangat terspesialisasikan—karena spekulasi-spekulasinya yang berani.
Pribram teringat akan ucapan seorang pionir penelitian ingatan, Ewald Hering, bahwa pada suatu titik dalam hidupnya, setiap saintis harus membuat keputusan. “Ia mulai tertarik pada makna dari pekerjaannya dan temuannya,” kata Pribram. “Lalu ia harus memilih. Jika ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencoba menemukan jawaban, memahami apa arti semua itu, ia akan tampak bodoh bagi teman-teman sekerjanya. Sebaliknya, ia dapat menyerah dan melepaskan upaya untuk memahami arti dari semuanya; ia tidak tampak bodoh, dan semakin banyak ia tahu, semakin sempit bidang yang diketahuinya.” “Anda harus memutuskan untuk berani tampak bodoh.”
Dalam suatu konperensi kecil di Stanford belum lama berselang, Pribram diundang untuk berdebat dengan seorang lawan tentang teori holografis. Ia diserang secara efektif pada beberapa segi teknis, yang menunjukkan bahwa holografi otak dapat dipastikan merupakan varian dari holografi optik, dan bukan analogi yang eksak. “Saya bertahan cukup baik, tetapi mereka berhasil menyudutkan saya di sana-sini,” ingatnya. Setelah itu, seorang muda datang menghampirinya dan bertanya kepadanya, bagaimana ia bisa merasa begitu yakin. Bagaimana ia bisa bicara terus, bertahan terhadap argumen-argumen yang disiapkan secara matang? “Sederhana saja, ” jawab Pribram. “Ini sudah saya alami dari sejak saya terjun ke dalam sains–dan selama ini saya ternyata benar.” Dia bilang, jika Anda berada di garis depan, Anda tidak dapat menerangkan segala sesuatu. “Jika Anda tahu semuanya, itu bukan garis depan.”
Ilmuwan fisika terkemuka, Niels Bohr, pernah berkata, bila muncul inovasi besar, pada mulanya ia tampak kacau dan aneh. Ia tidak dipahami sepenuhnya oleh penemunya, dan merupakan misteri bagi orang lain. Bila suatu ide tidak tampak aneh pada mulanya, ide itu tidak punya harapan di masa depan. Pribram berkata, kita sekarang berada di zaman yang di situ hanya kecanggihan teknologis yang mendapat ganjaran; peneliti tidak boleh membuat ekstrapolasi, atau berpikir. “Orang Eropa lebih berorientasi teoretik. Orang Amerika paling banyak menguji hipotesis, dan lupa bahwa hipotesis itu muncul dari tesis. Bahkan di dalam sains kita yang sangat sukses, kita biasanya tidak lebih dari mencapai deskripsi tentang suatu wilayah. “Itu cukup bagi banyak orang,” kata Pribram. “Mereka bilang, ‘Nah, kita sudah menjawab pertannyaannya.’ Mereka tampaknya merasa bahwa mereka tidak berani untuk memahami, terutama jika mereka harus masuk ke bidang ilmu yang tidak mereka kuasai sepenuhnya. Mereka takut sains mereka akan salah.” Pribram sendiri tidak memperlihatkan kekerdilan seperti itu; ia berupaya memahami ilmu fisika lebih baik dan mengikuti kuliah-kuliah pasca-sarjana tentang metode matematis lanjut. Jika fakta-faktanya harus membawanya ke dalam jurang, ia akan terjun dengan persiapan penuh.
Pada tahun 1970 atau 1971, suatu pertanyaan terakhir yang mengganggu mulai menghantui pikirannya. Jika otak ini memang mengetahui dengan cara menyusun hologram–yakni dengan mentransformasikan secara matematis frekuensi-frekuensi yang datang dari “alam luar”–siapa di dalam otak yang menafsirkan hologram itu? Ini adalah pertanyaan tua yang terus menghantui. Para filsuf sejak zaman Yunani telah berspekulasi tentang “roh di dalam mesin”, “orang kecil di dalam orang kecil”, dan seterusnya. Di manakah sang “aku”, entitas yang memakai otak? Siapakah yang melakukan tindakan memahami itu? Atau, seperti dirumuskan oleh Santo Fransiskus dari Asisi, “Apa yang kita cari adalah yang mencari.” Ketika memberikan ceramah pada suatu malam di sebuah simposium di Minnesota, Pribram menyampaikan renungannya, bahwa mungkin jawabannya terletak di bidang psikologi gestalt, sebuah teori yang mengatakan bahwa apa yang kita persepsikan “di alam luar” adalah sama—isomorphic dengan–proses pikiran kita sendiri. Tiba-tiba ia menyeletuk, “Barangkali alam semesta ini sebuah hologram juga!” Ia berhenti, sedikit tertegun memikirkan implikasi dari apa yang dikatakannya. Apakah hadirin yang duduk di depannya semuanya hologram–perwujudan dari frekuensi-frekuensi, yang ditafsirkan oleh otaknya dan oleh otak masing-masing? Jika hakekat realitas itu sendiri bersifat holografis, dan otak bekerja secara holografis, maka alam semesta ini sesungguhnya–seperti dikatakan oleh agama-agama di Timur–adalah maya: tontonan sihir. Kekonkritan alam ini adalah ilusi. Tidak lama kemudian, ia melewatkan seminggu bersama anak laki-lakinya, juga seorang fisikawan, mendiskusikan ide-idenya dan mencari kemungkinan jawabannya di dalam disiplin fisika. Anaknya menyebutkan bahwa seorang fisikawan terkemuka, David Bohm, sudah beberapa lama berpikir dengan cara yang mirip. Beberapa hari kemudian, Pribram membaca karya-karya kunci dari Bohm, yang menyarankan suatu tatanan baru dalam fisika. Pribram merasa seperti disengat listrik. Bohm menguraikan suatu alam semesta yang holografis.
Menurut Bohm, apa yang tampak sebagai alam yang stabil, teraba, terlihat, terdengar, adalah suatu khayalan. Alam itu bersifat dinamis dan kaleidoskopis–tidak sungguh-sungguh “ada”. Yang kita lihat sehari-hari adalah tatanan yang eksplisit, atau terbabar (unfolded), seperti kalau kita menonton film. Tetapi ada suatu tatanan lain yang mendasarinya, yang merupakan cikal-bakal dari tatanan generasi kedua ini. Dinamakannya tatanan yang lain itu ‘implicate’ atau ‘enfolded’ (terserap). Tatanan terserap itu mengandung realitas kita sesungguhnya, seperti DNA di dalam inti sel mengandung potensial kehidupan dan menentukan pembabarannya.
Bohm menggambarkan suatu tetesan tinta yang tak larut di dalam cairan gliserin. Jika cairan itu perlahan-lahan diputar denga suatu alat mekanis, demikian rupa sehingga tidak terjadi difusi, tetesan tinta itu akhirnya akan tertarik memanjang menjadi benang tipis yang tersebar di dalam seluruh sistem, demikian rupa sehingga tak terlihat oleh mata. Jika alat mekanis itu diputar dengan arah berlawanan, benang itu akan perlahan-lahan menggumpal kembali sampai tiba-tiba gumpalan itu muncul sebagai tetesan tinta semula.
Sebelum terjadi penggumpalan, tetesan itu dapat dikatakan “terserap” ke dalam cairan kental, dan kemudian terbabar lagi. Lalu, bayangkanlah ada beberapa tetesan serupa yang telah diputar dalam cairan kental dengan sejumlah putaran yang berbeda dan berada di tempat-tempat yang berbeda. Jika sistem itu diputar ke arah berlawanan dengan cukup cepat, akan tampak seolah-olah ada satu tetesan tinta yang permanen yang bergerak berpindah tempat di dalam cairan. Sesungguhnya obyek seperti itu tidak ada. Contoh lain: sederetan lampu listrik pada sebuah billboard iklan yang berkedip hidup dan mati dengan presisi tertentu, sehingga memberi kesan ada cahaya yang bergerak membentuk anak panah yang meluncur, kartun animasi, dsb, yang memberikan ilusi suatu gerakan yang kontinyu. Seperti itu pula, semua yang tampak sebagai zat dan gerakan adalah khayalan. Mereka muncul dari suatu tatanan alam lain yang lebih primer. Bohm menyebut fenomena ini holomovement (gerakan-holo).
Katanya, sejak zaman Galileo, kita memandang alam semesta ini melalui berbagai lensa. Tindakan kita mengobyektivasikan, seperti dalam sebuah mikroskop elektron, mengubah apa yang ingin kita lihat. Kita ingin menemukan pinggirnya, membuatnya diam untuk sesaat, padahal hakekat sebenarnya adalah suatu tatanan lain dari realitas, suatu dimensi lain, yang di situ tidak ada benda-benda. Seolah-olah kita memfokuskan sesuatu yang kita “amati”, seperti Anda memfokuskan suatu gambar, padahal kekaburan sebetulnya lebih tepat untuk menggambarkan realitas. Kekaburan itu sendiri adalah realitas dasar.
Terlintas dalam pikiran Pribram bahwa matematika otak mungkin juga merupakan sebuah lensa. Transformasi matematis ini menciptakan obyek-obyek dari frekuensi-frekuensi yang kabur, membuatnya menjadi suara dan warna dan rasa kinestetik (rabaan), bau dan citarasa.
“Mungkin realitas ini bukan seperti yang kita lihat dengan mata kita,” kata Pribram. “JIka kita tidak memiliki lensa itu–matematika yang dilakukan oleh otak–mungkin kita akan melihat sebuah alam yang diorganisasikan menurut domain frekuensi. Tidak ada ruang, tidak ada waktu–yang ada hanyalah peristiwa (events). Dapatkah realitas dibaca dari domain itu?” Ia menawarkan bahwa pengalaman transendental–keadaan mistikal—mungkin memberikan kepada kita akses langsung kepada alam itu. Sungguh, laporan-laporan subyektif dari keberadaan seperti itu sering kali terdengar mirip deskripsi realitas kuantum, suatu kebetulan yang membawa sementara fisikawan untuk berspekulasi ke arah itu. Dengan memintasi cara persepsi kita sehari-hari yang bersifat menyempitkan–yang oleh Aldous Huxley dinamakan nilai yang mereduksikan–kita dapat menyetel kesadaran kita dengan sumber atau matriks dari realitas dan pola-pola interferensi syaraf otak, proses-proses matematisnya, mungkin identik dengan keberadaan primer dari alam semesta. Artinya, proses-proses mental kita secara efektif terbuat dari prinsip pengorganisasian yang sama. Para fisikawan dan ahli astronomi kadang-kadang berkata bahwa hakekat alam semesta yang sejati bersifat imaterial tetapi tertib. Einstein menyatakan ketakjuban mistikal melihat harmoni ini. Ahli astronomi James Jeans berkata bahwa alam semesta ini lebih mirip sebuah pikiran besar daripada sebuah mesin besar, dan ahli astronomi Arthur Eddington berkata, “Bahan alam semesta ini adalah bahan batin.” Lebih belakangan, ahli sibernetika David Foster menggambarkan “alam semesta yang cerdas”, yang kekonkritannya yang tampak sehari-hari dihasilkan–merupakan efek–dari data kosmik dari suatu sumber terorganisir yang tak dapat dikenal.
Secara singkat, superteori holografis mengatakan bahwa otak kita secara matematis mengkonstruksikan realitas “keras” dengan menafsirkan frekuensi-frekuensi dari suatu dimensi yang mengatasi waktu dan ruang. Otak ini sebuah hologram, menafsirkan suatu alam semesta holografik.
Pribram secara menarik kadang-kadang mengakui, “Saya harap Anda menyadari bahwa saya tidak mengerti semua ini.” Pengakuan ini biasanya menghasilkan desah kelegaan bahkan di kalangan pendengar yang paling saintifik, yang di situ setiap orang kecuali para fisikawan–yang lebih tahu—mencoba menerapkan proses berpikir linear dan logis terhadap dimensi yang nonlinear. Anda tidak dapat menggunakan cara berpikir sebab-akibat untuk memahami peristiwa-peristiwa yang tak terikat oleh waktu dan ruang.
Fenomena psikis tidak lain adalah hasil-samping dari matriks yang “serentak-ada di mana-mana” ini. Otak individual adalah “pecahan” dari hologram yang lebih besar. Masing-masing mempunyai akses dalam kondisi tertentu kepada semua informasi yang terkandung dalam keseluruhan sistem sibernetika itu. Sinkronisitas–peristiwa-peristiwa bersamaan yang tampak mempunyai tujuan atau keterkaitan yang lebih tinggi–juga cocok dengan model holografis. Kebetulan-kebetulan yang bermakna itu berasal dari hakekat matriks yang bertujuan, berpola, dan mengorganisasikan. Psikokinesis, batin yang mempengaruhi materi, mungkin adalah hasil alamiah dari interaksi di tingkat dasar. Model holografis memecahkan teka-teki lama dari ‘psi’: ketidakmampuan instrumen untuk menjejaki transfer energi yang tampaknya terjadi dalam telepati, penyembuhan, dan clairvoyance. Jika peristiwa-peristiwa ini terjadi dalam suatu dimensi yang mengatasi waktu dan ruang, tidak perlu energi untuk pergi dari sini ke sana. Seperti dikatakan oleh seorang peneliti, “Tidak ada suatu tempat tertentu di mana pun juga.” Selama bertahun-tahun, mereka yang tertarik pada fenomena batin manusia telah meramalkan bahwa suatu teori terobosan akan muncul; bahwa teori itu akan disusun dari matematika untuk menegakkan bahwa hal-hal adikodrati adalah bagian dari alam. Model holografis adalah teori integral seperti itu, yang meliputi seluruh hal-hal yang ganjil dari sains dan roh. Teori ini mungkin merupakan paradigma paradoksikal, tanpa tepi, yang dicari oleh sains.
Kemampuannya menjelaskan memperkaya dan memperluas banyak disiplin, memberi makna pada fenomena-fenomena lama dan menampilkan pertanyaan-pertanyaan baru yang urgen. Yang tersirat dalam teori itu adalah asumsi bahwa keadaan kesadaran yang harmonis dan koheren lebih sesuai dengan tingkat realitas dasar, yakni suatu dimensi ketertiban dan keselarasan. Kesesuaian itu akan dirintangi oleh amarah, kecemasan dan ketakutan, dan diperlancar oleh cinta dan empati. Ini mempunyai implikasi bagi proses belajar, lingkungan, keluarga, seni, agama dan filsafat, penyembuhan dan penyembuhan-diri. Apakah yang memecah-belah kita? Apakah yang membuat kita utuh? Uraian tentang suatu rasa mengalir, tentang kerjasama dengan alam—dalam proses kreatif, dalam kinerja atletik yang luar biasa, dan kadang-kadang dalam kehidupan sehari-hari–apakah uraian seperti itu menandai kesatuan kita dengan sumber? Makin banyak orang bereksperimen dengan ‘keadaan kesadaran yang berubah’ (altered states of consciousness). Apakah mereka menciptakan masyarakat yang lebih koheren, resonan, dengan menanamkan ketertiban ke dalam hologram sosial yang besar, seperti “kristal benih”? Mungkin ini adalah proses misterius dari evolusi kesadaran.
Model holografis juga membantu menjelaskan kekuatan aneh dari gambar (image)–mengapa peristiwa dipengaruhi oleh apa yang kita bayangkan, apa yang kita visualisasikan. Suatu gambar yang dipegang dalam keadaan transendental mungkin dijadikan nyata. Keith Floyd, psikolog dari Virginia Intermont College, berkata tentang kemungkinan holografis, “Bertentangan dengan apa yang diketahui banyak orang, mungkin bukan otak yang menghasilkan kesadaran—melainkan sebaliknya, kesadaranlah yang menciptakan apa yang terlihat sebagai otak–materi, ruang, waktu, dan segala sesuatu lain, yang dengan senang hati kita tafsirkan sebagai alam fisik.”
Bila suatu paradigma bergeser, kata Pribram, sains sering kali dipaksa memeriksa kembali konsep-konsep terdahulu yang pernah ditolak. Liebniz, filsuf dan ahli matematika abad ke-17 M, yang temuannya kalkulus integral memungkinkan dikembangkannya holografi, pernah mempostulatkan suatu alam dari monad-monad–yakni unit-unit yang mengandung informasi dari keseluruhan. Liebniz menyatakan bahwa perilaku cahaya yang amat tertib mengisyaratkan adanya tatanan realitas yang berpola dan radikal yang mendasarinya.
Ada banyak kasus pemikir-pemikir di zaman dahulu menjelaskan apa yang seharusnya tak dapat dijelaskan pada zaman mereka. Misalnya, para ahli mistik kuno dengan tepat melukiskan fungsi kelenjar epifisis (pineal) berabad-abad sebelum sains membenarkannya. “Bagaimana ide-ide seperti ini muncul berabad-abad sebelum kita mempunyai alat untuk memahaminya?” tanya Pribram. “Mungkin di dalam keadaan holografis–domain frekuensi–empat ribu tahun yang lalu adalah esok hari.” Begitu pula, Henri Bergson pernah berkata pada tahun 1907 bahwa realitas yang paling dasar adalah suatu jaringan koneksi yang menjadi landasan, dan bahwa otak menyaring sebagian besar realitas yang ada. Pada tahun 1929, Alfred North Whitehead, filsuf dan ahli matematika, melukiskan alam sebagai pusat peristiwa-peristiwa yang besar dan mengembang yang di luar persepsi indera. Kita hanya mengira bahwa materi dan batin ini berbeda, padahal faktanya keduanya saling jalin-menjalin.
Bergson menyatakan bahwa para artis, seperti para ahli mistik, mempunyai akses kepada elan vital, yakni suatu impuls kreatif yang mendasar. Sajak-sajak T.S.Eliot penuh dengan gambar-gambar holografis: “Titik diam dari dunia yang berputar” yang bukan daging bukan pula tanpa daging, bukan berhenti bukan pula bergerak, “Dan jangan namakan itu keadaan yang tetap, yang di situ masa lampau dan masa depan terkumpul. Kecuali titik itu, titik diam itu./ Tak akan ada lagi tarian, dan yang ada hanyalah tarian.”
Ahli mistik Jerman, Meister Eckhart, menyatakan bahwa “Tuhan menjelma dan lenyap kembali.” David Hume, filsuf abad ke-18 M, mengantisipasi teori David Bohm tentang gerakan-holo, dengan berkata bahwa manusia tidak lain dari sekumpulan persepsi “yang susul-menyusul dengan kecepatan tak terbayangkan, dan berada dalam pusaran dan gerakan yang abadi.” Ahli mistik Sufi, Rumi, berkata, “Batin manusia melihat sebab-sebab kedua, tetapi hanya para nabi yang melihat tindakan dari Sebab Pertama.” Dan, barangkali suatu uraian kuno paling luar biasa tentang realitas holografis terdapat dalam sebuah Sutra Buddhis:
Di kahyangan Indra katanya terdapat jaringan mutiara yang tersusun demikian rupa, sehingga jika Anda memandang satu mutiara saja, Anda melihat seluruh mutiara itu terpantul di dalamnya. Secara itu pula, setiap obyek di dunia ini bukan hanya dirinya sendiri, melainkan juga mengandung semua obyek yang lain, bahkan sesungguhnya adalah setiap obyek yang lain.
Sejak perkembangan berangsur-angsur dari sintesis Pribram antara otak holografis dengan alam semesta holografis dari David Bohm, ide itu telah menarik minat banyak filsuf dan ahli psikologi humanistik. Perkumpulan Psikologi Humanistik mensponsori dua simposium satu-hari melalui undangan pada bulan Desember tahun lalu [1977] di San Francisco, agar Pribram dapat menjelaskan sepenuhnya konsep-konsep itu kepada suatu kelompok antar-disiplin. Di antara mereka yang hadir, terdapat George Leonard, Jean Houston, Charles Tart, Rollo May, Bob Samples, John Perry, Stanley Krippner, Arthur Deikman, Enoch Callaway, Huston Smith dan Sam Keen. Teori ini baru-baru ini juga ditayangkan dalam film dokumenter oleh Canadian Broadcasting Corporation, yang menghasilkan tanggapan penonton paling besar dalam sejarah jaringan itu. “Kita berada di sini merayakan terjadinya pergeseran paradigma,” kata Pribram dengan riang. Ketika dia mengatakan bahwa teori ini melihat segala sesuatu sebagai getaran, hadirin tertawa, dan dia berkata, “Saya rasa saya tidak perlu mengatakan itu kepada Anda.” Otak yang dulu dengan itu ia dibesarkan adalah sebuah komputer, kata Pribram kepada hadirin di San Diego pada tahun 1976, tetapi “otak yang kita kenal sekarang memungkinkan pengalaman yang dilaporkan dari displin spiritual.” Baru-baru ini, dalam sebuah konperensi besar atas undangan yang disponsori oleh Gereja Unification, Pribram membahas pendekatannya terhadap fisika kesadaran di dalam suatu sesi dengan lima orang pemenang Hadiah Nobel.
Bagaimana proses-proses batin dapat diubah untuk memungkinkannya mengalami langsung domain frekuensi masih merupakan dugaan. Hal itu mungkin menyangkut suatu fenomena persepsi yang dikenal–yakni “proyeksi” yang memungkinankan kita mengalami, misalnya, suara stereofonik tiga dimensi yang penuh, seolah-olah suara itu datang dari suatu titik di tengah-tengah di antara dua buah pengeras suara, alih-alih datang dari dua sumber suara. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa indera kinestetik dapat juga dipengaruhi seperti itu; rangsangan rabaan pada kedua tangan pada suatu frekuensi tertentu akhirnya dapat menyebabkan orang yang bersangkutan merasa seolah-olah ia mempunyai tangan ketiga, yang terletak di tengah-tengah di antara kedua tangan aslinya. Pribram mengatakan adanya kemungkinan keterlibatan jaringan otak yang berpusat di bagian yang dinamakan amygdala, yang telah dikenal sebagai tempat terjadinya gangguan patologis yang disebut deja vu (“pernah melihat”), dan tampaknya juga terlibat dalam “kesadaran tanpa isi” yang merupakan pengalaman mistikal. Beberapa perubahan frekuensi dan hubungan fase yang terjadi dalam struktur ini mungkin merupakan mantra pembuka bagi keadaan transendental.
Pribram berkata, pengalaman mistikal tidak lebih aneh daripada banyak peristiwa alam, seperti misalnya derepresi selektif dari DNA untuk membentuk mula-mula suatu alat tubuh, dan kemudian alat tubuh yang lain. “Jika kita memperoleh ESP [extrasensory perception--persepsi tanpa indera] atau fenomena paranormal lain–atau fenomena nuklir dalam fisika—itu sekadar berarti kita membaca dari suatu dimensi lain pada saat itu. Dalam keadaan sehari-hari, kita tidak dapat memahaminya.”
Pribram mengakui bahwa model ini tidak mudah dicernakan; paham ini terlalu radikal menjungkirbalikkan semua sistem kepercayaan kita sebelumnya, pemahaman akal sehat kita tentang benda dan waktu dan ruang. Suatu generasi baru akan tumbuh yang terbiasa akan cara berpikir holografis; dan untuk memudahkan itu, Pribram menganjurkan agar siswa di sekolah belajar tentang paradoks sejak sekolah dasar, oleh karena temuan-temuan ilmiah yang baru selalu penuh dengan kontradiksi.
Pada tahun 1977, Pribram meramalkan bahwa ‘sains lunak’ pada masa kini akan menjadi titik pusat dari ‘sains keras’ dalam waktu 10 – 15 tahun lagi, persis seperti psikologi kognitif, yang dulu pernah dianggap “lunak”, kini mengatasi psikologi perilaku (behaviorism). Ia juga meramalkan lahirnya holisme yang jelas, yakni suatu pergesaran paradigma yang mencakup semua bidang sains.
Para ilmuwan yang produktif harus siap membela roh sebagai data. “Inilah sains sebagaimana dibayangkan semula: yakni mencari pemahaman,” kata Pribram. “Hari-hari kaum teknokrat yang berhati dingin dan berkepala batu tampaknya bisa dihitung dengan jari.”*
_________________________
(Dari: “The Holographic Paradigm and Other Paradoxes: Exploring the Leading Edge of Science”, Ken Wilber (editor),
No comments:
Post a Comment