A Matter of a New Physics
Teori kuantum juga mengumumkan adanya keterkaitan esensial dari alam semesta. Ia juga memperlihatkan bahwa kita tidak dapat mendekomposisikan dunia ke dalam unit-unit terkecil yang ada secara bebas. Bila menembus ke dalam materi, maka akan ditemukan bahwa ia terbuat dari partikel-partikel, tetapi semua ini bukanlah merupakan balok-balok bangunan dasar. Teori kuantum memaksa kita untuk melihat alam semesta bukan sebagai suatu kumpulan objek-objek fisik, melainkan lebih sebagai jaringan rumit dari relasi antar berbagai bagian dari suatu keseluruhan yang menyatu.
Riset terbaru dalam fisika yang bertujuan menggabungkan dua teori dasar, teori kuantum dan teori relativitas, menjadi sebuah teori lengkap tentang partikel-partikel subatom. Dan ini semua adalah perkembangan dari sains. Sains mempunyai dua makna. Jika kita menganggap bahwa apa yang kita saksikan dalam fenomena sains itu adalah “sebuah kenyataan sempurna,” maka kita akan melihat sains sebagai ‘hanya’ kebenaran inderawi saja. Sains pernah mengukuhkan bahwa kebenaran mutlak didasarkan pada panca-inderwi saja. Pandangan ini disebut “saintisme”. Karena itu, pertanyaannya adalah, “Apakah ada suatu hakikat yang berada di luar sains?” Saintisme akan menjawab tak ada. Kebenaran dan realitas hanyalah realitas material yang bisa dideskripsikan melalui hukum-hukum sains semata, menurut saintisme.
Ternyata saintisme ‘menjerumuskan’ para para fisakawan kuantum kepada sebuah ‘paradoks’ yang tidak direncanakan. Hal itu karena, sekarang seseorang bisa melihat “tanda-tanda” bahwa sains membawa kita kepada suatu hakikat kesatuan wujud (monisme). Tentu saja, tanda-tanda bukanlah “bukti”, tetapi tetaplah itu merupakan “sesuatu” yang perlu dieksplorasi.
Teori Kuantum berhasil menjelaskan ribuan gejala fisika; susunan berkala unsur-unsur dan terjadinya reaksi kimia, kerja laser dan mikrochip, kestabilan DNA dan penembusan partikel alfa ke inti atom. David Bohm dalam bukunya,”The Wholeness and The Implicate Order” (1980) menjelaskan hasil eksperimen kuantumnya bahwa seluruh tatanan alam wujud yang disebutnya dengan ‘explicate order’- berasal dari suatu sumber yang sama, yaitu apa yang disebutnya ‘implicate order’.
Pada tahun 1900, fisikawan berkebangsaan Jernam Max Planck (1858-1947), memutuskan untuk mempelajari radiasi benda hitam. Beliau berusaha untuk mendapatkan persamaan matematika yang menyangkut bentuk dan posisi kurva pada grafik distribusi spektrum. Planck menganggap bahwa permukaan benda hitam memancarkan radiasi secara terus-menerus, sesuai dengan hukum-hukum fisika yang diakui pada saat itu. Hukum-hukum itu diturunkan dari hukum dasar mekanika yang dikembangkan oleh Sir Isaac Newton. Namun dengan asumsi tersebut ternyata Planck gagal untuk mendapatkan persamaan matematika yang dicarinya. Kegagalan ini telah mendorong Planck untuk berpendapat bahwa hukum mekanika yang berkenaan dengan kerja suatu atom sedikit banyak berbeda dengan hukum Newton.
Max Planck mulai dengan asumsi baru, bahwa permukaan benda hitam tidak menyerap atau memancarkan energi secara kontinyu, melainkan berjalan sedikit demi sedikit dan bertahap-tahap. Menurut Planck, benda hitam menyerap energi dalam berkas-berkas kecil dan memancarkan energi yang diserapnya dalam berkas-berkan kecil pula. Berkas-berkas kecil itu selanjutnya disebut kuantum. Teori kuantum ini bisa diibaratkan dengan naik atau turun menggunakan tangga. Hanya pada posisi-posisi tertentu, yaitu pada posisi anak tangga kita dapat menginjakkan kaki, dan tidak mungkin menginjakkan kaki di antara anak-anak tangga itu. Dengan hipotesa yang revolusioner ini, Planck berhasil menemukan suatu persamaan matematika untuk radiasi benda hitam yang benar-benar sesuai dengan data percobaan yang diperolehnya. Persamaan tersebut selanjutnya disebut Hukum Radiasi Benda Hitam Planck yang menyatakan bahwa intensitas cahaya yang dipancarkan dari suatu benda hitam berbeda-beda sesuai dengan panjang gelombang cahaya. Planck mendapatkan suatu persamaan: E = hn, yang menyatakan bahwa energi suatu kuantum (E) adalah setara dengan nilai tetapan tertentu yang dikenal sebagai tetapan Planck (h), dikalikan dengan frekwensi (n) kuantum radiasi.
Hipotesa Planck yang bertentangan dengan teori klasik tentang gelombang elektromagnetik ini merupakan titik awal dari lahirnya teori kuantum yang menandai terjadinya revolusi dalam bidang fisika. Terobosan Planck merupakan tindakan yang sangat berani karena bertentangan dengan hukum fisika yang telah mapan dan sangat dihormati. Dengan teori ini ilmu fisika mampu menyuguhkan pengertian yang mendalam tentang alam benda dan materi. Planck menerbitkan karyanya pada majalah yang sangat terkenal. Namun untuk beberapa saat, karya Planck ini tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat ilmiah saat itu. Pada mulanya, Planck sendiri dan fisikawan lainnya menganggap bahwa hipotesa tersebut tidak lain dari fiksi matematika yang cocok. Namun setelah berjalan beberapa tahun, anggapan tersebut berubah hingga hipotesa Planck tentang kuantum dapat digunakan untuk menerangkan berbagai fenomena fisika. Bohm berkata lagi bahwa,”The implicate order is continually unfolding, become explicate. But behind the explicate order the implicate is always present, so in that sense the whole universe is implicated behind every explicit form”. Apa yang “mengherankan” dari Fisika. Bohm menjelaskan adanya ‘the implicate order’ dalam fisika, yang jelas bukan kebiasaan fisika. Tetapi nyatanya, spekulasi-spekulasi fisika sekarang memasuki tema-tema semacam teologis. Suatu perubahan besar dalam sains klasik pasca renaissans yang “menafikan” hal-hal non-inderawi dlm diskursus sains. Karena memang belakangan ini konsep kuantum disejajarkan dengan filsafat timur, malah dipakai untuk meneliti rahasia kesadaran, kehendak bebas dan paranormal.
Dalam buku Bohm yang lain, “The wholeness of Life “(1978), “The Ending of Time” (1985) dan “The Future of Humanity” (1986), David Bohm membuat percakapan panjang dengan J. Krishnamurti, tokoh spiritual yang juga dikenal filsuf mistik India paling konversial abad ini. Pertemuan Bohm dengan Krishnamurti, dan dedikasinya dalam spiritualitas sains ternyata ikut mempengaruhi pandangan-pandangan fisikanya. Ini termuat dlm buku utamanya, yang sudah disebutkan diatas, “The Wholeness and The Implicate Order” (1980). Penting diketahui disini, istilah ‘wholeness’ (diterjemahkan sebagai “holistik”, yakni keseluruhan, kesatuan atau juga keutuhan) memang merupakan istilah yang amat disukai sebagai paradigma-baru dlm mendekati sains.
Menurut Bohm, materi adalah manifestasi dari ‘implicate order’ tatanan yang ada di balik yang “ada” ini – seperti pusaran air adalah manfestasi dari air. Materi sebenarnya tidak bisa direduksi menjadi partikel-partikel yang lebih kecil (seperti pandangan reduksionisme sains newtonian). Seperti materi, dan segala sesuatu yang ada di alam ini, partikel-partikel adalah manifestasi dari ‘implicate order’ ini. Realitas, pada dasarnya adalah sebuah kesatuan utuh yang tak terbagi-bagi, yang disebutnya dengan istilah “unbroken wholenesss”. Sehingga, karena ini menyangkut penafsiran tentang kenyataan alam, fisika perlu membalik cara penafsiran alam yang selama ini digunakan daripada memulai dari bagian-bagian dan kemudian menganalisanya (reduksionisme), lebih baik fisika menaruh perhatian pada keseluruhan dan dari sini menjelaskan bagian-bagiannya (holisme), karena alam yang ‘explicate’ ini adalah manifestasi dari ‘implicate order’.
Dilihat dari perwujudannya, memang seolah-olah bagian-bagian alam ini kelihatan tidak berhubungan sama sekali. Karena itulah, dalam fisika klasik diyakini bahwa alam bisa dipecah-pecah dalam kesatuan lokal (atau yg biasa disebut reduksionisme). Padahal segala sesuatu itu, dari sudut ‘implicate order’, jelas merupakan satu kesatuan utuh yang tak terbagi-bagi (atau yang sering disebut holistik/wholeness). Dengan begitu, teori fisika ini akhirnya, seperti kata Bohm, telah meruntuhkan gagasan klasik tentang dunia yang dapat dianalisis lewat bagian-bagiannya secara lepas dan terpisah seperti pada pandangan Descartes dan fisikawan klasik sejak Newton, yang sekarang ditentang habis-habisan oleh fisikawan “holistik” sepeti Bohm. Dan ada baiknya kalau kita ketahui hal-hal yang diyakini oleh Fisikawan fisika klasik tentang dunia material. Diantaranya dinyatakan bahwa alam semesta menyerupai mesin raksasa dalam kerangka ruang waktu mutlak. Dan juga mereka meyakini Hukum Newton yang menyimpulkan, setiap gerak mempunyai sebab. Jika sebuah benda bergerak, kita selalu bisa mencari penyebabnya.
Kesimpulannya, Bohm meyakini adanya Satu Sumber dari seluruh tatanan wujud alam semesta ini. Jika banyak fisikawan begitu sulit menerima filsafat Bohm tentang ‘implicate order’ ini karena dianggap terlalu spekulatif dan tak ada bukti empirisnya maka hal ini disebabkan (karena) fisikawan itu masih menuntut untuk mengetahui, “apa implicate order dari implicate order itu.” Bohm menjawab bahwa implicate order adalah implicate-order dari “itu-yang-ada” (that-which-is). Sebaliknya, “itu-yang-ada” merupakan implicate-order itu sendiri.
Cara berpikir fisika ala Bohm ini, tentu saja memusingkan kepala banyak fisikawan yang masih dipengaruhi cara berpikir lama, dengan mode logika Aristotelian yang meneguhkan prinsip identitas. Prinsip ini memang selalu minta penjabaran. Kalau “yang ada” itu “ada”, maka “yang tidak ada.” Ya, “tidak ada.” Begitu bunyi prinsip ini. Cara berpikir identitas ini memang perlu untuk urusan sehari-hari sebagai cara memahami aspek teknik dalam sains, tetapi tidak menjelaskan apa-apa mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Sebab, apa yang terjadi, “yang tidak ada”, adalah “ada”. Kata Bohm “ada” dan “tidak ada” adalah ‘that-which-is’ itu. “There is nothing which is no that-which-is”
Cara berpikir paradoksal ini memang sudah cukup lama dalam kearian-kearifan timur klasik yang diadopsi Bohm untuk “memandang” fenomena alam fisik dengan paradigma baru, karena – baik Bohm maupun kearifan timur klasik (termasuk para sufi) telah terbiasa dengan mistisme yang memang paradoksal. Dalam bahasa Bohm, fisika perlu menanyakan apa ‘implicate order’ dari ‘implicate order’ tadi. Karena, fisika selama ini mempersepsi segala sesuatu hanya dari sudut ‘explicate order’-nya, dari persepsi pancaindera saja. Fisika, karena dipangaruhi tradisi Cartesian tadi, memisahkan keduanya. Bahkan, akhirnya menganggap ‘implicate order’ sebagai sesuatu yang sama sekali tidak perlu dibicarakan, karena tidak empiris.
Sampai disini sangat menarik sekali kita perhatikan, karena Bohm memakai cara pandang filsafat-mistik ala Ibn al-’Arabi dan juga Nicola de Cusanus, yaitu “coincidentia oppositorum”, yaitu penyatuan dari dua yang bertentangan. Yang mengejutkan adalah kesimpulan-kesimpulannya mirip sekali dengan pandangan kesatuan wujud (‘oneness of being’ atau istilah sufi Ibn al-’Arabi yang dipermak secara filosofis oleh Molla Shadra, wahdah al-wujud). Karena itulah, kalangan “New Physics” ini sering dituduh sebagi panteis. Sebuah tuduhan yang benar adanya, sejauh “panteisme” itu diartikan sebagai Tuhan yang imanen terhadap alam.
Begitulah, dengan para pemikir New Physics ini, akhirnya spekulasi teoritis New Physics, memang menjauhkan diri dari asumsi fisika klasik tentang alam yang dapat dipecah-pecah dalam kesatuan lokal. New Physics, mulai berbicara tentang pandangan-pandangan alam yang lebih harmonis, ekologis, dan saling tergantung. Pandangan yang disebut “holistik” ini makin memperlihatkan kesejajaran antara fisika dengan mistisme, yang sekarang ini mulai “diakui” sah oleh para fisikawan sendiri. Pertemuan ini bisa terjadi justru karena terbukanya ruang paradoks dalam penjelasan teori fisika.
Fisika ini juga telah memperlihatkan batas-batas fisika, yaitu batas-batas epistemologis yang tidak bisa ditembus manusia. Ada “akhir dari sains” dalam istilah Gary Zukav. Maksudnya, semua sains, yang selama ini didefinisikan sebagai ilmu yang objektif, sekarang dipertanyakan keabsahannya.”Esensi fisika kuantum adalah ketidakpastian,” kata Paul Davis, “ramalan dalam teori kuantum lebih bersifat kemungkinan, bukan kepastian.”
Fisika modern, kemudian, menggambarkan materi sama sekali bukan sebagai sesuatu yang pasif dan lamban, tapi mewujudkan dalam tarian yang berkesinambungan dan gerak yang bergetar yang pola-pola ritmisnya ditentukan oleh strukturnya molekul, atom, dan nulkir. Hal ini juga merupakan cara yang didalamya para sufi timur melihat dunia immateri. Mereka menekankan bahwa alam semesta harus dipahami secara dinamis, karena ia bergerak, bergetar, dan menari; bahwa alam tidak berada dalam posisi berhernti, tetapi dalam titik keseimbangan dinamis.
Para ilmuwan sendiri telah merumuskan empat gaya alami yang mengatur matematika tata letak dan tata gerak semesta. Pertama adalah gravitasi yang membuat materi bermassa saling tarik. Kedua adalah elektromagnetika yang bekerja pada muatan listrik yang diam dan bergerak, termasuk antara inti atom dan elektron. Ketiga adalah interaksi lemah yang mengikat inti atom. Dan keempat adalah interaksi kuat yang mengikat partikel yang menyusun inti atom.
Einstein berhipotetis bahwa gaya gravitasi dan elektromagnetik sebenarnya adalah satu macam gaya. Tapi hingga ia meninggal, hipotetis itu belum dibuktikannya. Saat ia meninggal, gaya interaksi kuat dan interaksi lemah belum dirumuskan. Saat ini sebagian besar ilmuwan sependapat bahwa keempat jenis gaya ini merupakan turunan dari sistem yang sama.
Gaya elektromagnetik yang mengikat inti atom dengan elektron dapat dilepas dengan energi satu elektron-volt (eV). Jadi dengan energi sebesar 1 eV itu, medan elektromagnetik dapat dilawan. Energi ini sebanding dengan suhu 10000 kelvin (sepuluh pangkat empat kelvin).
Weinberg, Glashow, dan Abdussalam menemukan bahwa elektromagnetika dan interaksi lemah merupakan gaya yang sama pada energi 10 pangkat 11 elektron-volt (eV) atau suhu 10 pangkat 15 kelvin. Hawking dkk berambisi menyatukan paduan elektrmagnetik-interaksi lemah ini dengan interaksi kuat, yang diperkirakan membutuhkan energi 10 pangkat 24 elektron-volt atau suhu 10 pangkat 28 kelvin. Pada saat itu Hawking meramalkan bahwa kita dapat merumuskan GUT [grand unification theory]. Dari perhitungan terakhir, gaya gravitasi pun ternyata memiliki potensi untuk bergabung dengan gaya lain pada energi yang setara dengan dengan suhu 10 pangkat 32 kelvin. Jadi, pada suhu di atas 10 pangkat 32 kelvin, kita tidak mengenal keempat rawasiya di atas. Tidak ada interaksi yang mengikat materi, dan artinya juga: tidak ada materi.
Karena Einstein menemukan bahwa elektromagnetik, yang selama ini dipandang sebagai gelombang [energi], dapat dipandang juga sebagai satuan-satuan kecil yang bulat. Ini kemudian membuka lahan baru ilmu fisika yang disebut dengan teori kuantum. Teori kuantum memandang setiap bentuk gelombang energi sebagai paket-paket kecil berbilangan bulat. Contohnya, kita bisa memperoleh cahaya sebesar satu paket, dua paket, dll, tapi tidak bisa setengah paket. Fokus pertama teori kuantum adalah pada gelombang elektromagnetik, termasuk cahaya. Satu paket kuantum cahaya disebut sebuah foton. Foton memiliki energi sebesar hasil kali frekuensinya dengan tetapan yang disebut tetapan Planck. Interaksi lemah ditransmisikan oleh kuantum W dan Z, yang dihipotetiskan Weinberg, Glashow, dan Abdussalam, dan baru dibuktikan keberadaannya tahun 1983. Kuantum W dan Z secara umum disebut boson madya. Interaksi kuat dibawa oleh kuantum yang disebut gluon. Namanya gluon, glue, lem, karena partikel ini digambarkan sebagai lem yang melekatkan quark-quark dalam satu inti atom. Gluon terbukti ada pada tahun 1979.
Kuantum pembawa gravitasi masih belum berhasil ditampakkan, karena membutuhkan energi yang terlalu besar untuk bisa melihatnya. Secara hipotetis, kuantum ini dianggap ada dan dinamai graviton. Dalam skala amat kecil itu, paket-paket kuantum tampak seolah-olah sebagai partikel. Dan memang pada skala itu tidak mungkin didefinisikan beda energi yang sudah berbentuk paket itu dengan partikel. Jadi akhirnya kita terbiasa menyebut partikel W dan Z, partikel gluon, dll.
Dan partikel-partikel yang sangat-sangat halus ini lah yang digunakan sebagai sarana mengatur kelangsungan alam semesta. Bayangkan, alam semesta yang luar biasa berat ini bergerak teratur dalam lintasannya, dari skala yang sedemikian besar, sampai bagian-bagian terkecilnya, atas sarana partikel-partikel halus ini.
Dan partikel-partikel kuantum halus ini dapat mengalir dengan mudah. Tidak seperti materi lain, partikel kuantum mampu bergerak pada kecepatan cahaya. Partikel-partikel ini, seperti telah dijelaskan, berbagi urusan. Gluon mengikat quark menjadi proton dan netron. Boson madya mengurusi ikatan inti atom kecil dalam inti atom besar. Foton menjadi pengurus ikatan inti atom dengan elektron menjadi atom serta melakukan urusan- urusan lain yang berkait dengan kelistrikan, kemagnetan, gelombang elektromagnetik [cahaya, sinar x, radio, televisi, telepon seluler], dan juga berkecimpung dalam bisnis kimia. Graviton bermain dalam bisnis konstruksi massa atom-atom dalam jumlah fantastis yang membentuk bintang dan planet, tatasurya, galaksi, supercluster, dan mengatur gerak benda-benda berat itu dalam lintasan yang pasti.
Faktanya, dalam teori kuantum kita tidak pernah berakhir dengan ‘benda’ apa pun; kita senantiasa berurusan dengan saling berhubungan (interkoneks). Inikah yang disebut dalam teologi Islam dengan Burhan an-Nizham? (bersambung)
(Seluruh isi artikel ‘Tuhan Baru’ (1-5) adalah hasil patungan Nur Aida dan Muhsin Labib)
Teori kuantum juga mengumumkan adanya keterkaitan esensial dari alam semesta. Ia juga memperlihatkan bahwa kita tidak dapat mendekomposisikan dunia ke dalam unit-unit terkecil yang ada secara bebas. Bila menembus ke dalam materi, maka akan ditemukan bahwa ia terbuat dari partikel-partikel, tetapi semua ini bukanlah merupakan balok-balok bangunan dasar. Teori kuantum memaksa kita untuk melihat alam semesta bukan sebagai suatu kumpulan objek-objek fisik, melainkan lebih sebagai jaringan rumit dari relasi antar berbagai bagian dari suatu keseluruhan yang menyatu.
Riset terbaru dalam fisika yang bertujuan menggabungkan dua teori dasar, teori kuantum dan teori relativitas, menjadi sebuah teori lengkap tentang partikel-partikel subatom. Dan ini semua adalah perkembangan dari sains. Sains mempunyai dua makna. Jika kita menganggap bahwa apa yang kita saksikan dalam fenomena sains itu adalah “sebuah kenyataan sempurna,” maka kita akan melihat sains sebagai ‘hanya’ kebenaran inderawi saja. Sains pernah mengukuhkan bahwa kebenaran mutlak didasarkan pada panca-inderwi saja. Pandangan ini disebut “saintisme”. Karena itu, pertanyaannya adalah, “Apakah ada suatu hakikat yang berada di luar sains?” Saintisme akan menjawab tak ada. Kebenaran dan realitas hanyalah realitas material yang bisa dideskripsikan melalui hukum-hukum sains semata, menurut saintisme.
Ternyata saintisme ‘menjerumuskan’ para para fisakawan kuantum kepada sebuah ‘paradoks’ yang tidak direncanakan. Hal itu karena, sekarang seseorang bisa melihat “tanda-tanda” bahwa sains membawa kita kepada suatu hakikat kesatuan wujud (monisme). Tentu saja, tanda-tanda bukanlah “bukti”, tetapi tetaplah itu merupakan “sesuatu” yang perlu dieksplorasi.
Teori Kuantum berhasil menjelaskan ribuan gejala fisika; susunan berkala unsur-unsur dan terjadinya reaksi kimia, kerja laser dan mikrochip, kestabilan DNA dan penembusan partikel alfa ke inti atom. David Bohm dalam bukunya,”The Wholeness and The Implicate Order” (1980) menjelaskan hasil eksperimen kuantumnya bahwa seluruh tatanan alam wujud yang disebutnya dengan ‘explicate order’- berasal dari suatu sumber yang sama, yaitu apa yang disebutnya ‘implicate order’.
Pada tahun 1900, fisikawan berkebangsaan Jernam Max Planck (1858-1947), memutuskan untuk mempelajari radiasi benda hitam. Beliau berusaha untuk mendapatkan persamaan matematika yang menyangkut bentuk dan posisi kurva pada grafik distribusi spektrum. Planck menganggap bahwa permukaan benda hitam memancarkan radiasi secara terus-menerus, sesuai dengan hukum-hukum fisika yang diakui pada saat itu. Hukum-hukum itu diturunkan dari hukum dasar mekanika yang dikembangkan oleh Sir Isaac Newton. Namun dengan asumsi tersebut ternyata Planck gagal untuk mendapatkan persamaan matematika yang dicarinya. Kegagalan ini telah mendorong Planck untuk berpendapat bahwa hukum mekanika yang berkenaan dengan kerja suatu atom sedikit banyak berbeda dengan hukum Newton.
Max Planck mulai dengan asumsi baru, bahwa permukaan benda hitam tidak menyerap atau memancarkan energi secara kontinyu, melainkan berjalan sedikit demi sedikit dan bertahap-tahap. Menurut Planck, benda hitam menyerap energi dalam berkas-berkas kecil dan memancarkan energi yang diserapnya dalam berkas-berkan kecil pula. Berkas-berkas kecil itu selanjutnya disebut kuantum. Teori kuantum ini bisa diibaratkan dengan naik atau turun menggunakan tangga. Hanya pada posisi-posisi tertentu, yaitu pada posisi anak tangga kita dapat menginjakkan kaki, dan tidak mungkin menginjakkan kaki di antara anak-anak tangga itu. Dengan hipotesa yang revolusioner ini, Planck berhasil menemukan suatu persamaan matematika untuk radiasi benda hitam yang benar-benar sesuai dengan data percobaan yang diperolehnya. Persamaan tersebut selanjutnya disebut Hukum Radiasi Benda Hitam Planck yang menyatakan bahwa intensitas cahaya yang dipancarkan dari suatu benda hitam berbeda-beda sesuai dengan panjang gelombang cahaya. Planck mendapatkan suatu persamaan: E = hn, yang menyatakan bahwa energi suatu kuantum (E) adalah setara dengan nilai tetapan tertentu yang dikenal sebagai tetapan Planck (h), dikalikan dengan frekwensi (n) kuantum radiasi.
Hipotesa Planck yang bertentangan dengan teori klasik tentang gelombang elektromagnetik ini merupakan titik awal dari lahirnya teori kuantum yang menandai terjadinya revolusi dalam bidang fisika. Terobosan Planck merupakan tindakan yang sangat berani karena bertentangan dengan hukum fisika yang telah mapan dan sangat dihormati. Dengan teori ini ilmu fisika mampu menyuguhkan pengertian yang mendalam tentang alam benda dan materi. Planck menerbitkan karyanya pada majalah yang sangat terkenal. Namun untuk beberapa saat, karya Planck ini tidak mendapatkan perhatian dari masyarakat ilmiah saat itu. Pada mulanya, Planck sendiri dan fisikawan lainnya menganggap bahwa hipotesa tersebut tidak lain dari fiksi matematika yang cocok. Namun setelah berjalan beberapa tahun, anggapan tersebut berubah hingga hipotesa Planck tentang kuantum dapat digunakan untuk menerangkan berbagai fenomena fisika. Bohm berkata lagi bahwa,”The implicate order is continually unfolding, become explicate. But behind the explicate order the implicate is always present, so in that sense the whole universe is implicated behind every explicit form”. Apa yang “mengherankan” dari Fisika. Bohm menjelaskan adanya ‘the implicate order’ dalam fisika, yang jelas bukan kebiasaan fisika. Tetapi nyatanya, spekulasi-spekulasi fisika sekarang memasuki tema-tema semacam teologis. Suatu perubahan besar dalam sains klasik pasca renaissans yang “menafikan” hal-hal non-inderawi dlm diskursus sains. Karena memang belakangan ini konsep kuantum disejajarkan dengan filsafat timur, malah dipakai untuk meneliti rahasia kesadaran, kehendak bebas dan paranormal.
Dalam buku Bohm yang lain, “The wholeness of Life “(1978), “The Ending of Time” (1985) dan “The Future of Humanity” (1986), David Bohm membuat percakapan panjang dengan J. Krishnamurti, tokoh spiritual yang juga dikenal filsuf mistik India paling konversial abad ini. Pertemuan Bohm dengan Krishnamurti, dan dedikasinya dalam spiritualitas sains ternyata ikut mempengaruhi pandangan-pandangan fisikanya. Ini termuat dlm buku utamanya, yang sudah disebutkan diatas, “The Wholeness and The Implicate Order” (1980). Penting diketahui disini, istilah ‘wholeness’ (diterjemahkan sebagai “holistik”, yakni keseluruhan, kesatuan atau juga keutuhan) memang merupakan istilah yang amat disukai sebagai paradigma-baru dlm mendekati sains.
Menurut Bohm, materi adalah manifestasi dari ‘implicate order’ tatanan yang ada di balik yang “ada” ini – seperti pusaran air adalah manfestasi dari air. Materi sebenarnya tidak bisa direduksi menjadi partikel-partikel yang lebih kecil (seperti pandangan reduksionisme sains newtonian). Seperti materi, dan segala sesuatu yang ada di alam ini, partikel-partikel adalah manifestasi dari ‘implicate order’ ini. Realitas, pada dasarnya adalah sebuah kesatuan utuh yang tak terbagi-bagi, yang disebutnya dengan istilah “unbroken wholenesss”. Sehingga, karena ini menyangkut penafsiran tentang kenyataan alam, fisika perlu membalik cara penafsiran alam yang selama ini digunakan daripada memulai dari bagian-bagian dan kemudian menganalisanya (reduksionisme), lebih baik fisika menaruh perhatian pada keseluruhan dan dari sini menjelaskan bagian-bagiannya (holisme), karena alam yang ‘explicate’ ini adalah manifestasi dari ‘implicate order’.
Dilihat dari perwujudannya, memang seolah-olah bagian-bagian alam ini kelihatan tidak berhubungan sama sekali. Karena itulah, dalam fisika klasik diyakini bahwa alam bisa dipecah-pecah dalam kesatuan lokal (atau yg biasa disebut reduksionisme). Padahal segala sesuatu itu, dari sudut ‘implicate order’, jelas merupakan satu kesatuan utuh yang tak terbagi-bagi (atau yang sering disebut holistik/wholeness). Dengan begitu, teori fisika ini akhirnya, seperti kata Bohm, telah meruntuhkan gagasan klasik tentang dunia yang dapat dianalisis lewat bagian-bagiannya secara lepas dan terpisah seperti pada pandangan Descartes dan fisikawan klasik sejak Newton, yang sekarang ditentang habis-habisan oleh fisikawan “holistik” sepeti Bohm. Dan ada baiknya kalau kita ketahui hal-hal yang diyakini oleh Fisikawan fisika klasik tentang dunia material. Diantaranya dinyatakan bahwa alam semesta menyerupai mesin raksasa dalam kerangka ruang waktu mutlak. Dan juga mereka meyakini Hukum Newton yang menyimpulkan, setiap gerak mempunyai sebab. Jika sebuah benda bergerak, kita selalu bisa mencari penyebabnya.
Kesimpulannya, Bohm meyakini adanya Satu Sumber dari seluruh tatanan wujud alam semesta ini. Jika banyak fisikawan begitu sulit menerima filsafat Bohm tentang ‘implicate order’ ini karena dianggap terlalu spekulatif dan tak ada bukti empirisnya maka hal ini disebabkan (karena) fisikawan itu masih menuntut untuk mengetahui, “apa implicate order dari implicate order itu.” Bohm menjawab bahwa implicate order adalah implicate-order dari “itu-yang-ada” (that-which-is). Sebaliknya, “itu-yang-ada” merupakan implicate-order itu sendiri.
Cara berpikir fisika ala Bohm ini, tentu saja memusingkan kepala banyak fisikawan yang masih dipengaruhi cara berpikir lama, dengan mode logika Aristotelian yang meneguhkan prinsip identitas. Prinsip ini memang selalu minta penjabaran. Kalau “yang ada” itu “ada”, maka “yang tidak ada.” Ya, “tidak ada.” Begitu bunyi prinsip ini. Cara berpikir identitas ini memang perlu untuk urusan sehari-hari sebagai cara memahami aspek teknik dalam sains, tetapi tidak menjelaskan apa-apa mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Sebab, apa yang terjadi, “yang tidak ada”, adalah “ada”. Kata Bohm “ada” dan “tidak ada” adalah ‘that-which-is’ itu. “There is nothing which is no that-which-is”
Cara berpikir paradoksal ini memang sudah cukup lama dalam kearian-kearifan timur klasik yang diadopsi Bohm untuk “memandang” fenomena alam fisik dengan paradigma baru, karena – baik Bohm maupun kearifan timur klasik (termasuk para sufi) telah terbiasa dengan mistisme yang memang paradoksal. Dalam bahasa Bohm, fisika perlu menanyakan apa ‘implicate order’ dari ‘implicate order’ tadi. Karena, fisika selama ini mempersepsi segala sesuatu hanya dari sudut ‘explicate order’-nya, dari persepsi pancaindera saja. Fisika, karena dipangaruhi tradisi Cartesian tadi, memisahkan keduanya. Bahkan, akhirnya menganggap ‘implicate order’ sebagai sesuatu yang sama sekali tidak perlu dibicarakan, karena tidak empiris.
Sampai disini sangat menarik sekali kita perhatikan, karena Bohm memakai cara pandang filsafat-mistik ala Ibn al-’Arabi dan juga Nicola de Cusanus, yaitu “coincidentia oppositorum”, yaitu penyatuan dari dua yang bertentangan. Yang mengejutkan adalah kesimpulan-kesimpulannya mirip sekali dengan pandangan kesatuan wujud (‘oneness of being’ atau istilah sufi Ibn al-’Arabi yang dipermak secara filosofis oleh Molla Shadra, wahdah al-wujud). Karena itulah, kalangan “New Physics” ini sering dituduh sebagi panteis. Sebuah tuduhan yang benar adanya, sejauh “panteisme” itu diartikan sebagai Tuhan yang imanen terhadap alam.
Begitulah, dengan para pemikir New Physics ini, akhirnya spekulasi teoritis New Physics, memang menjauhkan diri dari asumsi fisika klasik tentang alam yang dapat dipecah-pecah dalam kesatuan lokal. New Physics, mulai berbicara tentang pandangan-pandangan alam yang lebih harmonis, ekologis, dan saling tergantung. Pandangan yang disebut “holistik” ini makin memperlihatkan kesejajaran antara fisika dengan mistisme, yang sekarang ini mulai “diakui” sah oleh para fisikawan sendiri. Pertemuan ini bisa terjadi justru karena terbukanya ruang paradoks dalam penjelasan teori fisika.
Fisika ini juga telah memperlihatkan batas-batas fisika, yaitu batas-batas epistemologis yang tidak bisa ditembus manusia. Ada “akhir dari sains” dalam istilah Gary Zukav. Maksudnya, semua sains, yang selama ini didefinisikan sebagai ilmu yang objektif, sekarang dipertanyakan keabsahannya.”Esensi fisika kuantum adalah ketidakpastian,” kata Paul Davis, “ramalan dalam teori kuantum lebih bersifat kemungkinan, bukan kepastian.”
Fisika modern, kemudian, menggambarkan materi sama sekali bukan sebagai sesuatu yang pasif dan lamban, tapi mewujudkan dalam tarian yang berkesinambungan dan gerak yang bergetar yang pola-pola ritmisnya ditentukan oleh strukturnya molekul, atom, dan nulkir. Hal ini juga merupakan cara yang didalamya para sufi timur melihat dunia immateri. Mereka menekankan bahwa alam semesta harus dipahami secara dinamis, karena ia bergerak, bergetar, dan menari; bahwa alam tidak berada dalam posisi berhernti, tetapi dalam titik keseimbangan dinamis.
Para ilmuwan sendiri telah merumuskan empat gaya alami yang mengatur matematika tata letak dan tata gerak semesta. Pertama adalah gravitasi yang membuat materi bermassa saling tarik. Kedua adalah elektromagnetika yang bekerja pada muatan listrik yang diam dan bergerak, termasuk antara inti atom dan elektron. Ketiga adalah interaksi lemah yang mengikat inti atom. Dan keempat adalah interaksi kuat yang mengikat partikel yang menyusun inti atom.
Einstein berhipotetis bahwa gaya gravitasi dan elektromagnetik sebenarnya adalah satu macam gaya. Tapi hingga ia meninggal, hipotetis itu belum dibuktikannya. Saat ia meninggal, gaya interaksi kuat dan interaksi lemah belum dirumuskan. Saat ini sebagian besar ilmuwan sependapat bahwa keempat jenis gaya ini merupakan turunan dari sistem yang sama.
Gaya elektromagnetik yang mengikat inti atom dengan elektron dapat dilepas dengan energi satu elektron-volt (eV). Jadi dengan energi sebesar 1 eV itu, medan elektromagnetik dapat dilawan. Energi ini sebanding dengan suhu 10000 kelvin (sepuluh pangkat empat kelvin).
Weinberg, Glashow, dan Abdussalam menemukan bahwa elektromagnetika dan interaksi lemah merupakan gaya yang sama pada energi 10 pangkat 11 elektron-volt (eV) atau suhu 10 pangkat 15 kelvin. Hawking dkk berambisi menyatukan paduan elektrmagnetik-interaksi lemah ini dengan interaksi kuat, yang diperkirakan membutuhkan energi 10 pangkat 24 elektron-volt atau suhu 10 pangkat 28 kelvin. Pada saat itu Hawking meramalkan bahwa kita dapat merumuskan GUT [grand unification theory]. Dari perhitungan terakhir, gaya gravitasi pun ternyata memiliki potensi untuk bergabung dengan gaya lain pada energi yang setara dengan dengan suhu 10 pangkat 32 kelvin. Jadi, pada suhu di atas 10 pangkat 32 kelvin, kita tidak mengenal keempat rawasiya di atas. Tidak ada interaksi yang mengikat materi, dan artinya juga: tidak ada materi.
Karena Einstein menemukan bahwa elektromagnetik, yang selama ini dipandang sebagai gelombang [energi], dapat dipandang juga sebagai satuan-satuan kecil yang bulat. Ini kemudian membuka lahan baru ilmu fisika yang disebut dengan teori kuantum. Teori kuantum memandang setiap bentuk gelombang energi sebagai paket-paket kecil berbilangan bulat. Contohnya, kita bisa memperoleh cahaya sebesar satu paket, dua paket, dll, tapi tidak bisa setengah paket. Fokus pertama teori kuantum adalah pada gelombang elektromagnetik, termasuk cahaya. Satu paket kuantum cahaya disebut sebuah foton. Foton memiliki energi sebesar hasil kali frekuensinya dengan tetapan yang disebut tetapan Planck. Interaksi lemah ditransmisikan oleh kuantum W dan Z, yang dihipotetiskan Weinberg, Glashow, dan Abdussalam, dan baru dibuktikan keberadaannya tahun 1983. Kuantum W dan Z secara umum disebut boson madya. Interaksi kuat dibawa oleh kuantum yang disebut gluon. Namanya gluon, glue, lem, karena partikel ini digambarkan sebagai lem yang melekatkan quark-quark dalam satu inti atom. Gluon terbukti ada pada tahun 1979.
Kuantum pembawa gravitasi masih belum berhasil ditampakkan, karena membutuhkan energi yang terlalu besar untuk bisa melihatnya. Secara hipotetis, kuantum ini dianggap ada dan dinamai graviton. Dalam skala amat kecil itu, paket-paket kuantum tampak seolah-olah sebagai partikel. Dan memang pada skala itu tidak mungkin didefinisikan beda energi yang sudah berbentuk paket itu dengan partikel. Jadi akhirnya kita terbiasa menyebut partikel W dan Z, partikel gluon, dll.
Dan partikel-partikel yang sangat-sangat halus ini lah yang digunakan sebagai sarana mengatur kelangsungan alam semesta. Bayangkan, alam semesta yang luar biasa berat ini bergerak teratur dalam lintasannya, dari skala yang sedemikian besar, sampai bagian-bagian terkecilnya, atas sarana partikel-partikel halus ini.
Dan partikel-partikel kuantum halus ini dapat mengalir dengan mudah. Tidak seperti materi lain, partikel kuantum mampu bergerak pada kecepatan cahaya. Partikel-partikel ini, seperti telah dijelaskan, berbagi urusan. Gluon mengikat quark menjadi proton dan netron. Boson madya mengurusi ikatan inti atom kecil dalam inti atom besar. Foton menjadi pengurus ikatan inti atom dengan elektron menjadi atom serta melakukan urusan- urusan lain yang berkait dengan kelistrikan, kemagnetan, gelombang elektromagnetik [cahaya, sinar x, radio, televisi, telepon seluler], dan juga berkecimpung dalam bisnis kimia. Graviton bermain dalam bisnis konstruksi massa atom-atom dalam jumlah fantastis yang membentuk bintang dan planet, tatasurya, galaksi, supercluster, dan mengatur gerak benda-benda berat itu dalam lintasan yang pasti.
Faktanya, dalam teori kuantum kita tidak pernah berakhir dengan ‘benda’ apa pun; kita senantiasa berurusan dengan saling berhubungan (interkoneks). Inikah yang disebut dalam teologi Islam dengan Burhan an-Nizham? (bersambung)
(Seluruh isi artikel ‘Tuhan Baru’ (1-5) adalah hasil patungan Nur Aida dan Muhsin Labib)
No comments:
Post a Comment