Wednesday, July 18, 2018

Debat Antara Richard Dawkins and Francis Collins

Sumber:http://old.richarddawkins.net/articles/4047-god-vs-science-a-debate-between-richard-dawkins-and-francis-collins

Diterjemahkan oleh TACU

Sains modern dan agama sama-sama bermaksud menjelaskan cara alam semesta bekerja. Yang tersebut pertama menjelaskan melalui materi (natural) dan kedua melalui hal gaib (supernatural). Sejak beberapa abad yang lalu kemajuan sains mendorong gerakan ateisme (anti-Tuhan) yang menolak keberadaan Tuhan samasekali. Sebaliknya agama bersikukuh pada kehadiran Tuhan.

Segelintir orang beragama lantas kasak-kusuk dengan gerakan kreasionisme. Gerakan itu selalu dipecundangi bersama-sama atau terpisah oleh kalangan ateis dan ilmuwan beragama dalam setiap kesempatan. Ateis dan ilmuwan beragama sekubu dalam melawan kreasionisme. Tapi apa jadinya bila keduanya dihadapkan satu-sama lain untuk membahas sains dan ketuhanan?

Berikut ini terjemahan perdebatan wakil kedua pihak sekubu tentang sains dan ketuhanan (bukan membahas sains dan agama). Kubu ateis diwakili oleh zoolog Richard Dawkins. Ia ilmuwan biologi yang termasyhur sebagai penutur fasih teori evolusi, dan kemudian ateisme. Dawkins dikenal sebagai ilmuwan jurubicara ateis. Buku terbaru Dawkins berjudul God Delusion termasuk laris-manis di dunia.

Lawan debat Dawkins adalah genetikawan Francis Collins, yang kini jadi ilmuwan jurubicara kaum beragama. Collins pernah menjadi Director of the National Human Genome Research Institute. Ia memimpin 2.400 berbagai bangsa untuk memetakan tiga milyar gen. Pada usia 27 tahun ia masuk Kristen dari sebelumnya ateis. Dua tahun yang lalu ia menulis buku The Language of God: A Scientist Presents Evidence for Belief. 

Sekalipun beragama, Collins cenderung berpihak pada deisme daripada mendukung teisme. Deisme berpendapat bahwa Tuhan ada di luar Alam-Semesta dan tidak campur-tangan pada kehidupan sehari-hari manusia. Ada pun teisme (landasan teologi sebagian besar Samawi) berpendapat bahwa Tuhan hadir dan turun-tangan dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dengan mengabulkan doa.

Kedua ilmuwan kelas kakap dipertemukan oleh majalah TIME di Time & Life Building, New York City pada November 2006 untuk membahas perbedaan pendapat mereka.

Berikut ini terjemahan perdebatan mereka. Selamat menikmati!

TIME: Professor Dawkins, benarkah apabila seseorang benar-benar memahami sains, maka Tuhan merupakan halusinasi, sebagaimana judul buku Anda?

DAWKINS: Pertanyaan itu tentang apakah ada pencipta adi-gaib, Tuhan, adalah salah satu yang paling penting, yang kita harus jawab. Saya kira ini adalah pertanyaan ilmiah. Jawaban saya adalah tidak.

TIME: Dr. Collins, Anda percaya bahwa sains cocok dengan keyakinan Kristen.

COLLINS: Ya. Keberadaan Tuhan, bisa benar atau tidak. Tapi menyebutnya sebagai pertanyaan ilmiah berdampak pada perkakas keilmuan yang dapat memberi jawaban. Menurut hemat saya, Tuhan tidak bisa sepenuhnya menyatu dengan Alam, dan oleh karena itu di luar jangkauan sains untuk mengukurnya.

TIME: Stephen Jay Gould, paleontolog Harvard, terkenal dengan pendapat bahwa agama dan sains dapat hidup bersama, karena mereka berada di kawasan terpisah, kotak yang kedap. Kalian berdua sepertinya tidak setuju ya?

COLLINS: Gould mendirikan tembok imajiner antara dua cara pandang yang tidak pernah ada sepanjang hidup saya. Karena, pada pokoknya, saya percaya percaya pada kekuatan kreatif Tuhan untuk membawa semua hal ke kehidupan, saya mendapati bahwa mempelajari alam adalah kesempatan untuk mengamati kemegahan, keanggunan, kecanggihan ciptaan Tuhan.

DAWKINS: Saya kira ruang pemisah Gould murni politis untuk mengambil hati orang beragama moderat agar memihak sains. Tapi itu adalah pepesan kosong. Banyak tempat di mana agama tidak terbuka terhadap pemeriksaan ilmiah. Setiap kepercayaan terhadap mukjizat bertentangan lansung tidak sekadar pada fakta-fakta ilmiah tetapi juga pada semangat sains.

TIME: Professor Dawkins, Anda berpendapat bahwa teori evolusi Darwin berdampak lebih daripada sekadar melawan suratan dalam Kitab Suci.

DAWKINS: Ya. Selama berabad-abad argumen paling tangguh tentang kehadiran Tuhan di dunia nyata adalah: argument from design (argumen berdasarkan rancangan), yakni sosok hidup sedemikian cantik dan anggun dan sedemikian gamblang berguna, mereka hanya mungkin dibuat oleh sejenis perancang cerdas. Tapi Darwin menyajikan penjelasan yang lebih bersahaja. Penjelasan dia adalah lambat-laun, perbaikan bertahap mulai dari awal yang sangat sederhana dan berlangsung dalam langkah kecil ke yang lebih kompleks, lebih anggun, lebih pas sifat-sifatnya. Setiap langkah tidaklah terlalu musykil bagi kita untuk menerimanya, tapi ketika Anda rapel seluruh langkah jutaan tahun itu, Anda dapatkan sosok ini sebagai monster yang musykil, seperti otak manusia dan hutan-hujan tropis. [Kecenderungan berpikir rapelan] terus-menerus berasumsi bahwa karena sesuatu itu rumit, Tuhan-lah yang semestinya mengerjakannya.

COLLINS: Saya tidak melihat pemahaman dasar Professor Dawkins tentang evolusi tidak setia pada [kepercayaan bahwa] Tuhanlah yang mengerjakannya.

TIME: Memangnya di mana Dia?

COLLINS: Dengan berada di luar alam, Tuhan juga berada di luar ruang-waktu. Sebab itulah, pada saat penciptaan Alam-Semesta. Tuhan juga menghidupkan evolusi, dengan sepenuhnya paham bagaimana hasilnya, juga bahkan termasuk percakapan kita ini. Gagasan bahwa Dia dapat melihat ke masa depan dan juga memberi kita roh dan kehendak bebas (free-will) untuk membawa kemauan kita sendiri menjadi bisa diterima sepenuhnya.

DAWKINS: Saya kira itu luar-biasa janggal. Jika Tuhan berminat menciptakan kehidupan dan manusia, aneh sekali bahwa Dia mesti memilih jalan melingkar dengan menunggu sepuluh milyar tahun sebelum kehidupan muncul dan kemudian masih menunggu empat milyar tahun lagi sampai kalian, manusia, mampu berdoa dan berdosa dan segala hal yang diminati orang-orang beragama.

COLLINS: Siapakah kita sampai bisa mempertanyakan bahwa cara itu aneh? Saya tidak berpikir bahwa kehendak Tuhanlah yang membuat upayanya terlihat aneh buat kita. Apabila memungkinkan Dia memperlihatkan keagungannya, yang harus kita cari tanpa terpaksa, apakah tidak masuk akal bagi Dia untuk memakai mekanisme evolusi tanpa harus pamer tanda-tanda yang mencolok untuk menyingkapkan peran Dia dalam penciptaan?

TIME: Buku Anda berdua menyarankan bahwa apabila konstanta semesta, sekitar enam di Alam-Semesta kita, tidak tercapai pada angka yang sekarang, maka kiranya kehidupan menjadi tidak mungkin ada. Dr. Collins, bisa Anda beri contoh?

COLLINS: Konstanta gravitasi, jika tidak berhenti pada angka sekarang di seratus juta juta, maka pengembangan Alam-Semesta setelah Ledakan Besar tidak bakal tiba pada kondisi yang memungkinkan kehidupan muncul. Ketika Anda melihat pada bukti itu, sangat sulit menerima gagasan bahwa hal itu hanya kebetulan. Tapi kalau Anda bersedia peduli pada kemungkinan satu perancang, hal ini merupakan penjelasan yang lebih bisa diterima, penjelasan untuk sejenis peristiwa yang luarbiasa musykil-katakanlah, kehadiran kita.

DAWKINS: Orang yang percaya pada Tuhan menyimpulkan bahwa haruslah ada tombol adiluhung yang mengatur setengah lusin konstanta agar bisa tepat. Persoalannya adalah, karena suatu hal sangat musykil bisa terjadi, kita perlu Tuhan untuk menjelaskannya. Tapi Tuhan semacam itu lebih musykil lagi. Fisikawan datang dengan penjelasan lain. Salah satunya menyatakan bahwa keenam konstanta itu tidak bebas berubah-ubah. Sejumlah teori penyatuan akhirnya bisa memperlihatkan bahwa konstanta-konstanta itu terkunci dalam saling-kait. Hal itu memangkas hal-hal ganjil seolah sekedar muncul untuk mengisi tempat yang sudah disediakan. Penjelasan lain adalah multiversi alam-semesta (multiverse) yang menyatakan bahwa boleh jadi Alam-Semesta tempat tinggal kita hanya satu dari sekian banyak alam-semesta. Sebagian besar alam-semesta lain tidak akan mengandung kehidupan karena konstata gravitasinya salah atau konstanta ini-itu salah. Tapi, sebagaimana bertambahnya jumlah Alam-Semesta, keganjilan pun menggunung pada pendapat bahwa satu dari sekian banyak Alam-Semesta sengaja disetel agar pas.

COLLINS: Ini adalah pilihan yang menarik. Kecuali punya penyelesaian teoretik, yang saya kira tidak ada, dengan kata lain Anda mau bilang ada trilyunan Alam-Semesta pararel di luar sana yang tidak bisa kita amati sekarang ataukah mau bilang ada satu rencana. Saya mendapati pendapat tentang kehadiran Tuhan yang merencanakan, lebih menarik daripada mengelembungkan semua multiverse ini. Jadi Silet-Occam-Occam kata kamu, harus memilih penjelasan yang paling sederhana dan lugas-membimbing saya untuk lebih percaya pada Tuhan daripada multiverse, yang kelihatannya lebih susah dibayangkan.

DAWKINS: Saya menerima bahwa mungkin ada hal yang jauh lebih agung dan lebih sulit diterima daripada yang kita mampu bayangkan. Apa yang tidak saya pahami adalah mengapa Anda menyertakan kemusykilan dan sebelumnya Anda tidak menerima bahwa Anda menjilat ludah sendiri dengan merumuskan sesuatu sebagai musykil, menimpakan semua pada kemunculan kata “Tuhan”.

COLLINS: Tuhan saya tidaklah musykil bagi saya. Dia tidak perlu kisah penciptaan atau menyetel sesuatu. Tuhan adalah jawaban untuk segala pertanyaan: “Bagaimana semestinya sesuatu muncul”.

DAWKINS: Saya kira itulah sumber segala kemalasan berpikir. Adalah pertanyaan besar sains yang rendah-hati untuk menemukan apa yang sekarang ini dianggap musykil. Sekarang, Dr Collins bilang bahwa, “Baiklah, Tuhan melakukannya. Dan Tuhan tidak perlu penjelasan karena Tuhan ada di luar semuanya.” Wah, benar-benar pengelakan yang luar-biasa dari tanggungjawab untuk menjelaskan. Ilmuwan tidak melakukan hal itu. Para ilmuwan bilang, “Kita sedang meneliti hal itu. Kita sedang bertungkus-lumus memahaminya.”

COLLINS: Tentu saja sains semestinya terus mencari apakah kita dapat bukti tentang multiverse yang mungkin menjelaskan mengapa Alam-Semesta seperti sekarang adanya. Tapi saya keberatan pada pendapat bahwa segala sesuatu yang berada di luar alam, ditendang dari percakapan. Itu adalah pemiskinan wawasan seputar pertanyaan yang kita, manusia, ajukan, seperti “Mengapa saya ada”, “Apa yang terjadi setelah kita mati”, “Adakah Tuhan”. Kalau Anda menolak menerima  peran itu, Anda akan mentok pada kemungkinan nol untuk kehadiran Tuhan, lantaran meyakinkan Anda yang mengandalkan bukti. Tapi jika pikiran Anda terbuka tentang apakah bisa Tuhan hadir, Anda dapat menuju pada sisi-sisi Alam-Semesta yang konsisten dengan kesimpulan itu.

DAWKINS: Bagi saya, pendekatan yang tepat adalah dengan mengatakan bahwa kita luarbiasa tidak tahu tentang masalah-masalah ini. Kita perlu menelitinya. Tapi tiba-tiba saja menyatakan bahwa jawabannya adalah Tuhan-bagi saya sepertinya tiba waktunya mengakhiri diskusi ini.

TIME: Apakah jawabannya adalah Tuhan?

DAWKINS: Bisa jadi ada sesuatu yang luarbiasa agung dan tak terpahami dan di luar jangkauan pemahaman kita sekarang ini.

COLLINS: Ya itulah Tuhan.

DAWKINS: Betul. Tapi bisa jadi ada milyaran Tuhan. Bisa Tuhan versi orang Mars atau penduduk di [bintang] Alpha Centauri. Peluang Tuhan seperti itu, Yahweh, Tuhan Yesus, luarbiasa kecil-setidaknya, tugas Andalah memperlihatkan mengapa berpikir bahwa masalahnya adalah itu tadi.

TIME: Kitab Kejadian mendorong penganut Kristen Protestan konservatif menolak evolusi dan bersikukuh bahwa usia Bumi hanya 6.000 tahun.

COLLINS: Ada sejumlah orang beragama yang menafsirkan secara sangat apa adanya Kitab Kejadian I dan II, yang tidak cocok, maaf, dengan pengetahuan kita tentang umur Alam-Semesta atau bagaimana kehidupan saling-kait satu sama lain. Santo Agustinus menulis bahwa pada dasarnya tidaklah mungkin memahami apa yang disuratkan pada Kitab Kejadian. Kitab itu dimaksudkan untuk memerikan siapa Tuhan, siapa kita, dan kaitan kita terhadap Tuhan. Agustinus terang-terangan menyatakan perlawanan pada pemahaman picik yang mempertaruhkan keyakinan kita pada hal-hal yang kelihatannya tolol. Kalau Anda ke luar dari penafsiran picik itu, apa yang tersurat dalam Kitab Suci sangat setia pada Ledakan Besar.

DAWKINS: Fisikawan sedang meneliti Ledakan Besar, dan suatu hari mereka akan atau tidak akan memahaminya. Tapi, apa yang baru saja disampaikan oleh Dr Collins-eh boleh saya panggil Anda Francis saja?

COLLINS: Oh, silakan Richard.

DAWKINS: Apa yang Francis baru katakan tentang Kitab Kejadian, tentu saja, hanya segumpil pendapat yang bertentangan antara dia dan rekan-rekannya yang fundamentalis.

COLLINS: Ah, ini sih tidak pribadi. Ini sih umum. [Tertawa.]

DAWKINS: … Rasanya tidak pantas aku masuk [dalam perdebatan ini] kecuali untuk meyarankan bahwa dia telah menyelamatkan dirinya dari banyak masalah seandainya cukup berhenti membuang waktu dengan mereka. Ngapain sih ngurusin badut-badut itu?

COLLINS: Richard, aku kira kita tidak sedang berdialog tentang sains dan agama untuk mempersonakan sejumlah orang dengan nama tertentu. Hal itu memancing semakin banyak perlawanan. Ateis seringkali muncul dengan sombong dalam hal-hal ini, dan mempersonakan keyakinan hanya sebagai sesuatu yang goblok bakal tidak membantu apa-apa dalam masalah kamu.

TIME: Dr. Collins, Hari Kiamat adalah argumen pokok dalam keyakinan Kristiani, namun, bersama perawan yang melahirkan dan keajaiban kecil lain, secara telak merusak metode ilmiah, yang bergantung pada konsistensi hukum-hukum alam?

COLLINS: Kalau kamu bersedia menjawab ya kepada Tuhan yang ada di luar alam, makan tidak ada yang berlawanan dengan Tuhan yang jarang-jarang memilih campur-tangan di dunia nyata daam bentuk mukjizat. Jika Tuhan menciptakan hukum-hukum alam, mengapa dia tidak bisa melanggarnya ketika memang sedang diperlukan? Dan jika kamu menerima gagasan bahwa Kristus juga Tuhan, seperti saya, maka kedatangannya pada hari akhir, hal ini tidaklah sesuatu yang melompat dari logika.

TIME: Lha, bukankah sifat utama keajaiban itu mencampakkan ilmu?

COLLINS: Nggak semua sih. Kalau kamu satu kubu dengan saya, tempat di mana sains dan agama saling berkawan baik dalam penelitian yang dianggap sebagai mukjizat.

DAWKINS: Jika ada sesuatu ibarat membanting pintu di hadapan penyelidikan yang membangun, itulah yang disebut mukjizat. Bagi orang-orang yang hidup di Abad Pertengahan, radio terlihat sebagai mukjizat. Apa yang menurut sains sekarang termasuk mukjizat mirip seperti orang Abad Pertengahan melihat Boeing 747. Francis ngotot menyatakan hal seperti “Dari pemahaman orang beragama.” Sekali kamu berposisi sebagai orang beragama, maka sontak kamu akan mendapati diri kehilangan skeptisisme alami dan kredibilitas ilmiah-benar-benar ilmiah. Mohon maaf aku sedemikian berterus-terang.

COLLINS: Richard, sebenarnya aku sih setuju pada bagian pertama pernyatanmu. Tapi aku jadi tertantang pada pernyataan bahwa naluri ilmiahku jadi kurang tajam dibanding dirimu. Perbedaannya adalah bahwa dugaanku tentang kemungkinan adanya Tuhan dan kemudian adigaib tidaklah nol seperti kamu.

TIME: Dr. Collins, Anda memerikan bahwa moralitas manusia bukan hanya rahmat Tuhan tapi juga pertanda jelas bahwa Dia ada.

COLLINS: Ada banyak bidang penelitian yang muncul dalam 30 – 40 tahun terakhir-salah satuhnya sosiobiologi atau psikologi evolusioner-terkait dengan dari mana asal moral kita dan mengapa kita menghargai ide welas-asih, dan menempatkan jawaban pada adaptasi perilaku untuk melestarikan gen-gen kita. Tapi jika kamu percaya, dan Richard cukup fasih dalam hal ini, seleksi alam terjadi pada tingkat individu, bukan kelompok, sehingga mengapa seseorang mempertaruhkan DNAnya untuk melakukan kebajikan pada orang lain untuk menolong orang lain yang menutup kemungkinan peluang dia berketurunan? Pastilah, kita mencoba menolong keluarga kita sendiri karena mereka punya DNA yang sama dengan kita. Atau, tolong seseorang dengan harapan mereka akan menolong kita di kemudian hari. Tapi ketika kamu melihat pada apa yang kita terima sebagai ungkapan welas-asih yang paling kuat, hal itu tidak bertumpu pada kaitan kekerabatan atau balas-budi. Contoh ekstrim adalah Oskar Schindler yang mempertaruhkan hidupnya untuk menyelamatkan ribuan Yahudi dari kamar gas. Sikap ini berlawanan dengan upaya penyelamatan gennya. Kita melihat versi yang kurang dramatis setiap hari. Banyak dari kita mengira hal ini datang dari Tuhan-terutama sejak keadilan dan moralitas adalah dua dari sekian sifat yang paling kita lekatkan pada Tuhan.

DAWKINS: Aku boleh mulai dengan perumpamaan? Banyak orang tahu bahwa hasrat birahi terkait dengan penyebaran gen. Hubungan seks di alam cenderung untuk reproduksi dan dengan itulah semakin banyak salinan genetik. Tapi dalam masyarakat modern, banyak hubungan seks melibatkan alat kontrasepsi, dirancang sedemikian rupa menghindari reproduksi. Welas-asih boleh jadi punya asal-usul yang mirip dengan nafsu gasang. Di masa prasejarah kita, kita kiranya hidup dalam keluarga besar, dikelilingi saudara yang keinginannya perlu kita dukung karena punya gen yang sama. Sekarang kita hidup di kota besar. Kita tidak tinggal di antara saudara atau juga orang-orang yang akan selalu mendukung kemauan kita. Tidak masalah sih. Sebagaimana orang yang berhubungan seks dengan alat kontrasepsi, yang tidak berkeinginan untuk beranak, tidaklah terlintas dalam benak kita bahwa alasan untuk melakukan kebajikan bertumpu pada fakta bahwa leluhur purba kita tinggal dalam kelompok-kelompok kecil. Tapi bagiku, lebih masuk-akal itulah asal keinginan bermoral, keinginan berbuat baik.

COLLINS: Evolusi dapat menjelaskan sejumlah fitur hukum moral, tapi tak mampu menjelaskan mengapa bisa menjadi hal-hal yang menentukan. Jikalau ini sepenuhnya hasil proses evolusi, maka memang tidak ada hal yang baik dan buruk. Tapi buat saya urusannya lebih daripada itu. Hukum moral adalah alasan mengenai kehendak Tuhan-tidak sekedar Tuhan yang menata gerak Alam-Semesta, tapi Tuhan yang peduli pada kehidupan manusia, karena kita unik dibanding oknum-oknum lain untuk mengembangkan sejenis pertimbangan moral. Apa yang tadi kamu katakan menegaskan bahwa di luar pikiran manusia, yang diatur oleh proses-proses evolusioner, baik dan buruk tidak ada artinya. Kamu setuju pada pernyataan ini?

DAWKINS: Bahkan pertanyaan yang kamu ajukan saja tak ada apa-apanya bagiku. Baik dan buruk-saya tidak percaya ada di luar sana, di manapun, sesuatu yang disebut baik dan buruk.

COLLINS: Aku pikir itulah perbedaan mendasar di antara kita. Aku senang kita menemukannya.

TIME: Dr. Collins, saya tahu Anda mendukung percobaan transplantasi sel organ sebagai eksperimen. Tapi bukankah ada fakta yang memperlihatkan bahwa agama menyebabkan beberapa orang menolaknya menimbulkan kesan bahwa agama menghalangi sains menolong kehidupan?

COLLINS: Pertama-tama saya peringatkan bahwa saya berbicara sebagai pribadi dan  bukan sebagai perwakilan lembaga negara pemerintah AS. Kesan bahwa orang beragama sepakat menolak penelitian transplantasi sel tidak tercatat dalam jajak pendapat. faktanya, banyak orang yang berlatarbelakang agama yang kuat berpikir bahwa percobaan itu dapat didukung secara moral.
TIME: Tapi, itu kan memperkuat argumen pribadi dengan keyakinan agama atau ayat-ayat suci ketimbang akal, bagaimana tanggapan para ilmuwan?

COLLINS: Agama tidak melawan akal. Agama bertumpu kuat-kuat pada akal, tapi dengan sejumlah tambahan pahala. Jadi diskusi-diskusi antara ilmuwan dan orang beragama terjadi sejak dulu. Tapi, baik ilmuwan maupun orang beragama selalu berbeda prinsip secara presisi. Para ilmuwan dapat menyelimuti pendapat mereka dengan ide-ide profesional. Dan keagamaan yang sejati dan murni adalah ketika kamu dapat berpikir bahwa air spiritual nan bening, dituangkan ke dalam vas bunga bernama manusia, dan kadang-kadang prinsip-prinsip bajik agama dapat menyimpang dan perbedaan pun mengeras.

DAWKINS: Menurut hemat saya, pertanyaan moral seperti pada penelitian transplantasi sel pada pokoknya adalah apakah muncul penderitaan. Dalam kasus ini jelas tidak ada yang menderita. Embrio tidak punya sistem syaraf. Tapi bukan itu isu yang diangkat ke publik. Isunya adalah, Apakah Mereka Manusia? Jika Anda seorang moralis absolut, Anda akan bilang, “Sel-sel itu adalah manusia, dan oleh karena itu mereka berhak atas sejumlah perlakuan moral khusus.” Moralis absolut tidak selalu datang dari agama, tetapi biasanya sih begitu. Kita menjagal binatang non-manusia di rumah jagal, dan mereka punya sistem syaraf dan menderita. Orang beragama tidak terlalu peduli pada penderitaan mereka.

COLLINS: Memangnya manusia punya perbedaan moral yang tajam dibandingkan sapi?

DAWKINS: Manusia punya tanggungjawab moral karena mampu berpikir.

TIME: Apakah Anda berdua punya kesimpulan?

COLLINS: Saya cuma mau menyampaikan bahwa selama lebih daripada seperempat abad, sebagai ilmuwan dan orang beragama, saya samasekali tidak menemukan benturan antara sepakat dengan Richard dalam praktik atas apa yang ia simpulkan mengenai alam, dan juga menyatakan bahwa saya masih bisa menerima dan memeluk kemungkinan bahwa ada jawaban-jawaban yang tidak bisa dijawab oleh sains tentang Alam-pertanyaan tentang MENGAPA, alih-alih BAGAIMANA. Saya tertarik pada MENGAPA. Saya menemukan banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu pada agama. Hal itu tidak merusak kemampuan saya berpikir sebagai ilmuwan.

DAWKINS: Pikiranku tidak tertutup sebagaimana kamu sering bilang Francis. Pikiranku sih terbuka pada hal-hal paling menakjubkan serba-kemungkinan di masa depan, yang bahkan tidak pernah saya dan kamu bayangkan. Saya skeptis pada gagasan bahwa seberapa menakjubkan pun penemuan dalam sains di masa depan, hal itu akan menjadi bagian sejarah agama yang didambakan oleh orang-orang. Ketika kita mulai dan membahas tentang asal-usul Alam Semesta dan konstanta-konstanta fisika, aku jelaskan bahwa apa yang aku pikir sebagai alasan masuk-akal melawan perancang adigaib. Tapi kelihatannya hal itu merupakan gagasan yang penting. Bisa dibantah-tapi paling tidak agung dan cukup besar untuk dihormati. Aku sih tidak melihat dewa-dewi di Gunung Olimpus atau kelahiran dan kematian Yesus di salib sebagai hal yang berharga untuk dihormati. Ide-ide itu terlihat picik. Jikalau Tuhan ada, maka dia jauh lebih besar dan jauh lebih sulit dipahami daripada yang pernah diajarkan oleh teolog semua agama.

No comments:

Post a Comment