Thursday, July 26, 2018

Mitos Asal-Usul, Penciptaan, dan Agama

Semua bangsa memiliki mitos asal-usul untuk menjelaskan dari mana mereka berasal. Dalam mitologi suku Aborigin Tasmania, dewa bernama Moinee dikalahkan oleh dewa bernama Dromerdeener dalam pertempuran di antara bintang-bintang. Moinee jatuh ke daratan Tasmania. Sebelum mati, ia ingin memberikan berkat terakhirnya kepada tempat persemayaman terakhirnya sehingga ia memutuskan untuk menciptakan manusia. Namun, dia terburu-buru dan lupa memberi lutut kepada manusia. Sebaliknya, justru menambah ekor seperti kangguru, yang berarti makhluk ciptaannya itu tidak bisa duduk. Karena itu, mereka menjerit memohon pertolongan.

Dromerdeener yang perkasa, yang masih berkeliling langit dalam pawai kemenangannya, mendengar jeritan mereka dan turun untuk melihat apa yang terjadi. Dia jatuh iba dan lekas mengabulkan permohonan manusia; memberikan lutut yang bisa ditekuk dan menghilangkan ekor. Dalam versi lain mitos Tasmania itu, Moinee memanggil manusia pertama yang diberi nama Parlevar ke langit. Saat itu, Parlevar tidak bisa duduk karena berekor seperti kangguru dan memiliki lutut yang tidak bisa ditekuk. Melihat itu, sang dewa pesaing, Dromerdeener datang menyelamatkan. Dia memberi lutut yang tepat dan memotong ekornya, lalu menyembuhkan luka dengan lemak. Parlevar kemudian turun ke Tasmania menyusuri jalanan langit (Bima sakti).

Orang Norse dari Skandinavia, terkenal sebagai Viking, memiliki dewa-dewi seperti halnya Yunani dan Romawi. Pemimpin para dewa itu adalah Odin, terkadang disebut Wotan atau Woden (asal nama kata Wednesday—hari bagi Dewa Odin). Dia memiliki anak, Thor (Thursday—hari bagi Dewa Thor). Suatu hari Odin sedang berjalan-jalan di pesisir pantai bersama saudara-saudaranya, dan menemukan dua batang pohon.

Salah satu batang pohon ini mereka ubah menjadi manusia pertama, yang mereka sebut ‘Ask’, sementara yang satu lagi mereka ubah menjadi perempuan pertama, yang mereka namai ‘Embla’. Setelah menciptakan tubuh laki-laki pertama dan perempuan pertama, kakak-beradik dewa itu kemudian memberika mereka napas kehidupan, diikuti oleh kesadaran, wajah, dan kemudian anugerah kemampuan berbicara.

Salah satu suku Bantu, Boshongo dari Kongo, memiliki mitos bahwa pada awalnya tidak ada daratan, hanya perairan yang gelap dan dewa bernama Bumba. Kemudian Dewa Bumba sakit perut, ia memuntahkan Matahari. Cahaya dari Matahari mengusir kegelapan, dan panas dari Matahari mengeringkan sebagian air, menyisakan daratan. Tapi sakit perut Bumba belum juga hilang, jadi dia pun memuntahkan Bulan, Bintang, hewan-hewan, dan manusia.

Di antara sekian banyak mitos asal-usul di India, salah satunya mengatakan bahwa; sebelum bermulanya waktu, membentanglah samudra gelap raksasa ketiadaan, dengan seekor ular raksasa bergelung di permukaannya. Di dalam gelungan ular itu tidurlah Dewa Wisnu. Pada akhirnya, Dewa Wisnu terbangun oleh suara dengungan rendah dari dasar ‘samudera ketiadaan’ dan sebatan teratai tumbuh dari pusarnya. Di tengah bunga teratai itu duduklah Brahma. Wisnu memerintahkan kepada Brahma untuk menciptakan dunia. Maka Brahma pun melakukannya.

Di Tiongkok, tokoh bernama Pan Gu kadang digambarkan raksasa berambut gondrong dengan kepala bertanduk. Dalam salah satu mitos, pada awalnya tidak ada perbedaan jelas antara langit dan bumi; semua itu hanyalah kecampuradukan kental yang mengelilingi sebutir telur hitam besar. Di dalam telur itu, Pan Gu terlelap selama 18.000 tahun. Sewaktu akhirnya dia terjaga, dia mengangkat kapaknya untuk membuka jalan keluar. Sebagian isi telur itu berat dan mengendap, membentuk bumi. Sebagian di antaranya ringan dan mengambang ke atas, membentuk langit. Bumi dan langit lalu mengembang dengan laju setara 3 meter per hari selama 18.000 tahun berikutnya.

Sejumlah versi lain menyatakan Pan Gu mendorong langit dan bumi agar memisah, dan setelahnya dia sedemikian kelelahan sehingga dia pun mati. Berbagai potongan tubuhnya kemudian menjadi semesta yang kita ketahui. Napasnya menjadi angin, suaranya menjadi halilintar; kedua matanya menjadi Bulan dan Matahari, otot-ototnya menjadi tanah pertanian, pembuluh-pembuluhnya menjadi jalan. Keringatnya menjadi hujan, sementara rambutnya menjadi bintang-bintang. Manusia berasal dari pinjal dan kutu yang tadinya hidup di tubuhnya.

Kisah Pan Gu mendorong langit dan bumi hingga terpisah mirip dengan mitos Yunani mengenai Atlas yang juga menyangga langit, meski anehnya dalam patung-patung atau lukisan-lukisan biasanya menggambarkan Atlas menyangga bumi. Namun, sebagaimana mitos di atas, Yunani, Romawi, Mesir, dan suku bangsa manusia memiliki mitos tentang alam semesta serta penciptaan makhluk hidup.

Yang namanya kisah fantasi seperti ini memang menyenangkan, dan kita semua suka mengulang-ulang kisah. Proses pengulangan yang dalam studi sosial-budaya disebut meme (dibaca ‘mim’), dari kata ‘mimesis’ atau imitate. Orang-orang membuat mitos, mengandaikan tentang keberadaan tokoh yang sudah ada sebelum semesta itu ada. Seperti halnya, Bumba, Brahma, Odin, Pan Gu, Zeus, Osiris, Abassie (di Nigeria), Unkulukulu (pada bangsa Zulu), petapa tua di langit (atau Salish di Kanada), dan juga YAHWEH, Elohim, Allah.

Nyaris seluruh manusia di bumi pasti tahu tentang kisah Tuhan yang menciptakan alam semesta, yang juga menciptakan Adam-Hawa di Surga. Kisah itu disakralisasi dan diyakini dalam berbagai versi oleh tiga agama berasal dari wilayah Timur Tengah, yang kini disebut; Yahudi, Kristiani, dan Islam. Dengan kata lain, kisah tentang ‘tokoh sebelum segalanya ada’ itu dibuat sedemikian rupa, lalu ditambahi ornamen ritual penyembahan, doktrin-doktrin keyakinan, dan dilengkapi dengan hukuman/dosa bagi siapa saja yang tidak meyakininya. Kumpulan dari satu set dogma ini dinamakan agama. Dibakukan dalam seperangkat kodifikasi manuskrip manusia yang disebut ‘kitab suci’. Disebarkan oleh pemuka agama, atau orang-orang/institusi/otoritas yang merasa paling berhak berbicara tentang dogma-dogma tersebut.

Kemudian dalam proses meme manusia, agama digunakan untuk mempengaruhi pikiran dan psikis manusia, seolah-olah ada ‘yang lain’ yang berkuasa atas mereka. Bahkan oleh manusia pula, agama dijadikan alat untuk menguasai sesamanya. Entah itu untuk tujuan kepatuhan, surplus ekonomi, stabilitas politik, pemenuhan moralitas sentimental, dan lain sebagainya.

Kini manusia telah memasuki—bahkan melewati—abad renaissance, abad pencerahan. Sejumlah orang kembali ke titik awal dan berangkat untuk menemukan kembali pengetahuan yang terlepas dari pemikiran teologis dan metafisik. Mungkin mirip seperti tahapan pemikiran manusia yang dikatakan oleh Auguste Comte (meski tidak terlalu tepat); dari tahapan teologis, metafisik, menuju positivistik.

Pada awal-awal abad pencerahan, geliat pengetahuan mulai memperlihatkan keterbukaan terus-menerus terhadap data baru yang dapat ditinjau kembali, difalsifikasi, dan diperluas. Analisis rasional mengenai data empirik akhirnya akan memungkinkan manusia untuk memperoleh fakta-fakta. Pandangan pengetahuan sains dijadikan dasar serta strategi untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan di masyarakat.

Dalam konteks mengenai asal-usul alam semesta. Para ilmuwan bekerja dengan menyusun ‘model’ untuk menemukan jawaban mengenai bagaimana alam semesta muncul. Pada pertengahan abad keduapuluh ada dua model yang bersaing; teori steady state dan big bang.

Teori steady state terbukti keliru. Menurut teori ini; tidak pernah ada asal mula; alam semesta senantiasa ada dalam kondisi yang kurang-lebih sama seperti sekarang. Di sisi lain, teori big bang mengajukan bahwa alam semesta dimulai pada suatu ledakan besar. Bahkan hingga kini, bukti-buktinya terus-menerus bertambah. Seluruh alam semesta ‘yang bisa diamati’ meledak dan muncul antara 13 dan 14 miliar tahun lalu. Mengapa ada kata-kata ‘sejauh yang bisa diamati’? Ini berarti bahwa, alam semesta yang bisa diakses oleh peralatan-peralawan paling canggih sejauh ini. Barangkali ada semesta lain yang belum bisa diamati. Namun, dengan perhitungan tertentu dan observasi atas galaksi-galaksi yang semakin menjauh dari galaksi bima sakti maka dapat dipastikan bahwa, alam semesta pun berkembang terus.

Sejumlah ilmuwan berpendapat bahwa ruang waktu sendiri bermula dalam ledakan besar, dan kita tidak bisa mempertanyakan apa yang terjadi sebelum ledakan besar karena tidak ada yang bisa diteliti. Bahkan ketika ada ilmuwan yang mengungkapkan tentang empat forsa/gaya yang menyebabkan big bang (strong nuclear, weak nuclear, electromagnetism, and gravity), mereka tetap tidak mengatakan bahwa seperti itulah kondisi sebelum ledakan besar terjadi. Artinya, sains tidak mau terjebak dalam pengandaian superstition atau perancang agung (grand designer) yang bercokol di langit ketujuh—atau di mana pun tempatnya—seperti yang diagung-agungkan oleh teologi dan mistifikasi.

Barangkali, di sinilah kemudian para teolog yang seolah saintifik, seperti kalangan kreasionis dan ilmuwan cocoklogi berusaha menambal keadaan itu dengan memasang sosok ‘sebelum segalanya ada’ yang dijuluki Tuhan (dengan beragam namanya) tanpa adanya bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, diverifikasi, difalsifikasi, selain berdasarkan kisah-kisah dongeng semata. Demikian pula dengan teori evolusi, yang diajukan oleh seorang ilmuwan bernama Charles Darwin, kerap disalahpahami oleh kalangan kreasionis dan praktisi cocklogi. Padahal, gagasan Darwin tidak stagnan. Terus-menerus dikaji dan diteliti, tak luput pula dari koreksi oleh ilmuwan-ilmuwan sesudahnya.

Gagasan tersebut merupakan gagasan paling penting yang pernah muncul dalam benak manusia. Gagasan Darwin menjelaskan bagaimana makhluk hidup berkembang dari mikro-organisme atau organisme sederhana menjadi organisme yang kompleks. Begitu juga dengan kehidupan di Bumi. Evolusi berjalan sangat lambat dan bertahap, seperti halnya tata surya kita di galaksi Bima Sakti yang juga terbentuk secara bertahap dan memerlukan proses berjuta tahun lamanya (Usia Bumi sekitar 4 miliar tahun). Bahkan, kebertahapan evolusi-lah yang memungkinkannya sebagai penjelasan nyata, yang betul-betul bekerja, dan punya bukti nyata untuk menunjukkan kebenarannya. Sedangkan mitos-mitos yang menunjukkan bahwa alam semesta dan kehidupan di bumi muncul mendadak dalam sekejap (bukan ber-evolusi secara bertahap), hanyalah cerita orang malas—tidak lebih baik daripada sihir fiksi di ayunan tongkat ajaib ibu peri.

Disadur dari buku The Magic of Reality karya Richard Dawkins
Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com

No comments:

Post a Comment