Semua bangsa memiliki mitos asal-usul
untuk menjelaskan dari mana mereka berasal. Dalam mitologi suku Aborigin
Tasmania, dewa bernama Moinee dikalahkan oleh dewa bernama Dromerdeener
dalam pertempuran di antara bintang-bintang. Moinee jatuh ke daratan
Tasmania. Sebelum mati, ia ingin memberikan berkat terakhirnya kepada
tempat persemayaman terakhirnya sehingga ia memutuskan untuk menciptakan
manusia. Namun, dia terburu-buru dan lupa memberi lutut kepada manusia.
Sebaliknya, justru menambah ekor seperti kangguru, yang berarti makhluk
ciptaannya itu tidak bisa duduk. Karena itu, mereka menjerit memohon
pertolongan.
Dromerdeener yang perkasa, yang masih
berkeliling langit dalam pawai kemenangannya, mendengar jeritan mereka
dan turun untuk melihat apa yang terjadi. Dia jatuh iba dan lekas
mengabulkan permohonan manusia; memberikan lutut yang bisa ditekuk dan
menghilangkan ekor. Dalam versi lain mitos Tasmania itu, Moinee
memanggil manusia pertama yang diberi nama Parlevar ke langit. Saat itu,
Parlevar tidak bisa duduk karena berekor seperti kangguru dan memiliki
lutut yang tidak bisa ditekuk. Melihat itu, sang dewa pesaing,
Dromerdeener datang menyelamatkan. Dia memberi lutut yang tepat dan
memotong ekornya, lalu menyembuhkan luka dengan lemak. Parlevar kemudian
turun ke Tasmania menyusuri jalanan langit (Bima sakti).
Orang Norse dari Skandinavia, terkenal
sebagai Viking, memiliki dewa-dewi seperti halnya Yunani dan Romawi.
Pemimpin para dewa itu adalah Odin, terkadang disebut Wotan atau Woden
(asal nama kata Wednesday—hari bagi Dewa Odin). Dia memiliki
anak, Thor (Thursday—hari bagi Dewa Thor). Suatu hari Odin sedang
berjalan-jalan di pesisir pantai bersama saudara-saudaranya, dan
menemukan dua batang pohon.
Salah satu batang pohon ini mereka ubah
menjadi manusia pertama, yang mereka sebut ‘Ask’, sementara yang satu
lagi mereka ubah menjadi perempuan pertama, yang mereka namai ‘Embla’.
Setelah menciptakan tubuh laki-laki pertama dan perempuan pertama,
kakak-beradik dewa itu kemudian memberika mereka napas kehidupan,
diikuti oleh kesadaran, wajah, dan kemudian anugerah kemampuan
berbicara.
Salah satu suku Bantu, Boshongo dari
Kongo, memiliki mitos bahwa pada awalnya tidak ada daratan, hanya
perairan yang gelap dan dewa bernama Bumba. Kemudian Dewa Bumba sakit
perut, ia memuntahkan Matahari. Cahaya dari Matahari mengusir kegelapan,
dan panas dari Matahari mengeringkan sebagian air, menyisakan daratan.
Tapi sakit perut Bumba belum juga hilang, jadi dia pun memuntahkan
Bulan, Bintang, hewan-hewan, dan manusia.
Di antara sekian banyak mitos asal-usul
di India, salah satunya mengatakan bahwa; sebelum bermulanya waktu,
membentanglah samudra gelap raksasa ketiadaan, dengan seekor ular
raksasa bergelung di permukaannya. Di dalam gelungan ular itu tidurlah
Dewa Wisnu. Pada akhirnya, Dewa Wisnu terbangun oleh suara dengungan
rendah dari dasar ‘samudera ketiadaan’ dan sebatan teratai tumbuh dari
pusarnya. Di tengah bunga teratai itu duduklah Brahma. Wisnu
memerintahkan kepada Brahma untuk menciptakan dunia. Maka Brahma pun
melakukannya.
Di Tiongkok, tokoh bernama Pan Gu kadang
digambarkan raksasa berambut gondrong dengan kepala bertanduk. Dalam
salah satu mitos, pada awalnya tidak ada perbedaan jelas antara langit
dan bumi; semua itu hanyalah kecampuradukan kental yang mengelilingi
sebutir telur hitam besar. Di dalam telur itu, Pan Gu terlelap selama
18.000 tahun. Sewaktu akhirnya dia terjaga, dia mengangkat kapaknya
untuk membuka jalan keluar. Sebagian isi telur itu berat dan mengendap,
membentuk bumi. Sebagian di antaranya ringan dan mengambang ke atas,
membentuk langit. Bumi dan langit lalu mengembang dengan laju setara 3
meter per hari selama 18.000 tahun berikutnya.
Sejumlah versi lain menyatakan Pan Gu
mendorong langit dan bumi agar memisah, dan setelahnya dia sedemikian
kelelahan sehingga dia pun mati. Berbagai potongan tubuhnya kemudian
menjadi semesta yang kita ketahui. Napasnya menjadi angin, suaranya
menjadi halilintar; kedua matanya menjadi Bulan dan Matahari,
otot-ototnya menjadi tanah pertanian, pembuluh-pembuluhnya menjadi
jalan. Keringatnya menjadi hujan, sementara rambutnya menjadi
bintang-bintang. Manusia berasal dari pinjal dan kutu yang tadinya hidup
di tubuhnya.
Kisah Pan Gu mendorong langit dan bumi
hingga terpisah mirip dengan mitos Yunani mengenai Atlas yang juga
menyangga langit, meski anehnya dalam patung-patung atau lukisan-lukisan
biasanya menggambarkan Atlas menyangga bumi. Namun, sebagaimana mitos
di atas, Yunani, Romawi, Mesir, dan suku bangsa manusia memiliki mitos
tentang alam semesta serta penciptaan makhluk hidup.
Yang namanya kisah fantasi seperti ini
memang menyenangkan, dan kita semua suka mengulang-ulang kisah. Proses
pengulangan yang dalam studi sosial-budaya disebut meme (dibaca ‘mim’), dari kata ‘mimesis’ atau imitate.
Orang-orang membuat mitos, mengandaikan tentang keberadaan tokoh yang
sudah ada sebelum semesta itu ada. Seperti halnya, Bumba, Brahma, Odin,
Pan Gu, Zeus, Osiris, Abassie (di Nigeria), Unkulukulu (pada bangsa
Zulu), petapa tua di langit (atau Salish di Kanada), dan juga YAHWEH,
Elohim, Allah.
Nyaris seluruh manusia di bumi pasti tahu
tentang kisah Tuhan yang menciptakan alam semesta, yang juga
menciptakan Adam-Hawa di Surga. Kisah itu disakralisasi dan diyakini
dalam berbagai versi oleh tiga agama berasal dari wilayah Timur Tengah,
yang kini disebut; Yahudi, Kristiani, dan Islam. Dengan kata lain, kisah
tentang ‘tokoh sebelum segalanya ada’ itu dibuat sedemikian rupa, lalu
ditambahi ornamen ritual penyembahan, doktrin-doktrin keyakinan, dan
dilengkapi dengan hukuman/dosa bagi siapa saja yang tidak meyakininya.
Kumpulan dari satu set dogma ini dinamakan agama. Dibakukan dalam
seperangkat kodifikasi manuskrip manusia yang disebut ‘kitab suci’.
Disebarkan oleh pemuka agama, atau orang-orang/institusi/otoritas yang
merasa paling berhak berbicara tentang dogma-dogma tersebut.
Kemudian dalam proses meme manusia,
agama digunakan untuk mempengaruhi pikiran dan psikis manusia,
seolah-olah ada ‘yang lain’ yang berkuasa atas mereka. Bahkan oleh
manusia pula, agama dijadikan alat untuk menguasai sesamanya. Entah itu
untuk tujuan kepatuhan, surplus ekonomi, stabilitas politik, pemenuhan
moralitas sentimental, dan lain sebagainya.
Kini manusia telah memasuki—bahkan melewati—abad renaissance,
abad pencerahan. Sejumlah orang kembali ke titik awal dan berangkat
untuk menemukan kembali pengetahuan yang terlepas dari pemikiran
teologis dan metafisik. Mungkin mirip seperti tahapan pemikiran manusia
yang dikatakan oleh Auguste Comte (meski tidak terlalu tepat); dari
tahapan teologis, metafisik, menuju positivistik.
Pada awal-awal abad pencerahan, geliat
pengetahuan mulai memperlihatkan keterbukaan terus-menerus terhadap data
baru yang dapat ditinjau kembali, difalsifikasi, dan diperluas.
Analisis rasional mengenai data empirik akhirnya akan memungkinkan
manusia untuk memperoleh fakta-fakta. Pandangan pengetahuan sains
dijadikan dasar serta strategi untuk mengadakan pembaharuan-pembaharuan
di masyarakat.
Dalam konteks mengenai asal-usul alam
semesta. Para ilmuwan bekerja dengan menyusun ‘model’ untuk menemukan
jawaban mengenai bagaimana alam semesta muncul. Pada pertengahan abad
keduapuluh ada dua model yang bersaing; teori steady state dan big bang.
Teori steady state terbukti
keliru. Menurut teori ini; tidak pernah ada asal mula; alam semesta
senantiasa ada dalam kondisi yang kurang-lebih sama seperti sekarang. Di
sisi lain, teori big bang mengajukan bahwa alam semesta
dimulai pada suatu ledakan besar. Bahkan hingga kini, bukti-buktinya
terus-menerus bertambah. Seluruh alam semesta ‘yang bisa diamati’
meledak dan muncul antara 13 dan 14 miliar tahun lalu.
Mengapa ada kata-kata ‘sejauh yang bisa diamati’? Ini berarti bahwa,
alam semesta yang bisa diakses oleh peralatan-peralawan paling canggih
sejauh ini. Barangkali ada semesta lain yang belum bisa diamati. Namun,
dengan perhitungan tertentu dan observasi atas galaksi-galaksi yang
semakin menjauh dari galaksi bima sakti maka dapat dipastikan bahwa,
alam semesta pun berkembang terus.
Sejumlah ilmuwan berpendapat bahwa ruang
waktu sendiri bermula dalam ledakan besar, dan kita tidak bisa
mempertanyakan apa yang terjadi sebelum ledakan besar karena tidak ada
yang bisa diteliti. Bahkan ketika ada ilmuwan yang mengungkapkan tentang
empat forsa/gaya yang menyebabkan big bang (strong nuclear, weak nuclear, electromagnetism, and gravity),
mereka tetap tidak mengatakan bahwa seperti itulah kondisi sebelum
ledakan besar terjadi. Artinya, sains tidak mau terjebak dalam
pengandaian superstition atau perancang agung (grand designer) yang bercokol di langit ketujuh—atau di mana pun tempatnya—seperti yang diagung-agungkan oleh teologi dan mistifikasi.
Barangkali, di sinilah kemudian para
teolog yang seolah saintifik, seperti kalangan kreasionis dan ilmuwan
cocoklogi berusaha menambal keadaan itu dengan memasang sosok ‘sebelum
segalanya ada’ yang dijuluki Tuhan (dengan beragam namanya) tanpa adanya
bukti-bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, diverifikasi,
difalsifikasi, selain berdasarkan kisah-kisah dongeng semata. Demikian
pula dengan teori evolusi, yang diajukan oleh seorang ilmuwan bernama
Charles Darwin, kerap disalahpahami oleh kalangan kreasionis dan praktisi cocklogi.
Padahal, gagasan Darwin tidak stagnan. Terus-menerus dikaji dan
diteliti, tak luput pula dari koreksi oleh ilmuwan-ilmuwan sesudahnya.
Gagasan tersebut merupakan gagasan paling
penting yang pernah muncul dalam benak manusia. Gagasan Darwin
menjelaskan bagaimana makhluk hidup berkembang dari mikro-organisme atau
organisme sederhana menjadi organisme yang kompleks. Begitu juga dengan
kehidupan di Bumi. Evolusi berjalan sangat lambat dan bertahap, seperti
halnya tata surya kita di galaksi Bima Sakti yang juga terbentuk secara
bertahap dan memerlukan proses berjuta tahun lamanya (Usia Bumi sekitar 4 miliar tahun).
Bahkan, kebertahapan evolusi-lah yang memungkinkannya sebagai
penjelasan nyata, yang betul-betul bekerja, dan punya bukti nyata untuk
menunjukkan kebenarannya. Sedangkan mitos-mitos yang menunjukkan bahwa
alam semesta dan kehidupan di bumi muncul mendadak dalam sekejap (bukan
ber-evolusi secara bertahap), hanyalah cerita orang malas—tidak lebih
baik daripada sihir fiksi di ayunan tongkat ajaib ibu peri.
Disadur dari buku The Magic of Reality karya Richard Dawkins
Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com
Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com
No comments:
Post a Comment