Ilusi tentang tujuan dan rancangan besar
mungkin ilusi paling hebat mengenai alam semesta sehingga sains harus
berkonfrontasi dengan hal itu dari hari ke hari. Di mana-mana kita
melihat, tampak bahwa dunia ini dirancang sedemikian rupa sehingga kita
dapat berkembang.
Posisi Bumi mengelilingi matahari,
kehadiran bahan organik, air dan iklim yang hangat—semua memungkinkan
terjadinya kehidupan di planet kita. Namun, dengan sekitar 100 miliar
sistem tenaga surya di galaksi kita sendiri, dengan air, karbon dan
hidrogen yang menyebar, maka tidak mengherankan bahwa kondisi ini akan
muncul seketika di suatu tempat. Dan mengenai keanekaragaman kehidupan
di Bumi—seperti yang dijelaskan Darwin lebih dari 150 tahun yang lalu
dan eksperimen-eksperimen yang telah divalidasi—seleksi alam dalam
evolusi bentuk-bentuk kehidupan dapat terjadi baik itu dalam kondisi
keragaman maupun keteraturan tanpa ada rancangan besar yang mengatur.
Sebagai seorang kosmolog, ilmuwan yang
mempelajari asal-usul dan evolusi alam semesta, saya sangat menyadari
bahwa ilusi kita tetap mencerminkan kebutuhan manusia yang mendalam
untuk menganggap bahwa keberadaan bumi, kehidupan, alam semesta dan
hukum-hukum yang mengaturnya membutuhkan sesuatu yang lebih mendalam.
Bagi banyak orang, hidup dalam alam semesta yang mungkin tidak memiliki
tujuan dan pencipta, pasti tidak akan terpikirkan oleh mereka.
Akan tetapi, sains telah mengajarkan kita
untuk memikirkan segala yang tak terpikirkan. Karena ketika alam
semesta dijadikan panduan—ketimbang prasangka apriori, harapan,
ketakutan atau keinginan–kita dipaksa keluar dari zona kenyamanan kita.
Satu demi satu, pilar logika klasik telah jatuh di pinggir jalan
sebagaimana perkembangan sains yang pesat pada abad ke-20, dari Einstein
yang merealisasikan bahwa pengukuran ruang dan waktu tidak absolut,
melainkan tergantung pada pengamatan, kepada mekanika kuantum yang tidak
hanya memberi batas mendasar pada apa yang dapat kita ketahui secara
empiris. Selain itu, juga menunjukkan bahwa partikel elementer dan atom
yang terbentuk telah melakukan sejuta hal yang tampaknya mustahil
terjadi sekaligus.
Demikian pula pada abad ke-21 yang telah
membawa revolusi baru dan wahyu baru pada skala kosmik. Gambaran kita
tentang alam semesta mungkin telah banyak berubah selama 80-90 tahun
terakhir di semua sejarah manusia. Delapan puluh tujuh tahun lalu,
sejauh yang kita tahu, alam semesta terdiri dari galaksi tunggal, Bima
Sakti kita, dikelilingi oleh kekosongan, kekal statis dan hampa.
Sekarang kita tahu bahwa ada lebih dari 100 miliar galaksi di alam
semesta yang teramati, dimulai dengan Big Bang sekitar 13,7 miliar tahun
yang lalu. Pada saat-saat awal, segala sesuatu yang sekarang kita lihat
sebagai alam semesta kita terkandung dalam volume yang lebih kecil
daripada ukuran atom tunggal.
Jadi, kita terus dikejutkan dengan
fakta-fakta itu. Kita seperti para pembuat peta awal menggambar ulang
gambar dari dunia. Bahkan, menemukan benua baru. Dan sama seperti yang
dihadapi pembuat peta adanya kesadaran bahwa bumi itu tidak datar. Kita
harus menghadapi fakta bahwa perubahan tampaknya menjadi konsep dasar
dan fundamental. Bahkan, gagasan kita tentang kehampaan telah diubah.
Sekarang kita mengetahui bahwa sebagian
besar energi di alam semesta yang teramati dapat ditemukan tidak hanya
dalam galaksi kita, tetapi juga di luar sana. Dengan kata lain, di ruang
kosong, yang mana untuk alasan tertentu kita masih tidak bisa
membayangkan “berat”-nya. Namun penggunaan kata “berat” mungkin
menyesatkan karena fenomena energi dalam ruang kosong secara alamiah
saling tarik-menarik antara objek fisik dengan massa-nya dan tentu
mengalami penolakan. Hal tersebut menyebabkan galaksi-galaksi saling
berjauhan dalam tingkat kecepatan yang tinggi. Akhirnya, mereka akan
surut lebih cepat dari cahaya dan tidak dapat teramati.
Visi kita tentang masa depan telah
berubah, yang sekarang jauh suram. Semakin lama kita menunggu, semakin
sedikit alam semesta yang dapat kita amati. Dalam ratusan miliar tahun,
para astronom yang mengamati beberapa planet yang mengitari bintang
(Seperti Bumi dan matahari kita yang segera menghilang) akan mengamati
kosmos dan mendapati kecacatan pada pandangan kita saat pergantian abad
terakhir: sebuah galaksi tunggal akan tenggelam dalam gelap dan tak
berujung, kosong dan wujud alam semesta yang statis.
Beralih dari gambaran radikal mengenai
alam semesta pada skala luas, terdapat ide-ide baru tentang fisika di
skala kecil. Large Hadron Collider (LHC) telah memberikan petunjuk bahwa
asal-usul massa, dan karena itu semua yang dapat kita lihat, adalah
jenis kecelakaan kosmik. Percobaan di collider meningkatkan bukti adanya
“medan Higgs,” yang tampaknya hanya terjadi untuk membentuk seluruh
ruang di alam semesta kita; karena semua partikel dasar berinteraksi
dengan bidang ini ternyata memiliki massa yang bisa kita amati sekarang.
Yang paling mengejutkan dari semua,
kombinasi ide-ide teori relativitas umum dan mekanika kuantum,
memberikan pemahaman kepada kita yang memungkinkan bahwa seluruh alam
semesta, materi, radiasi dan bahkan ruang itu sendiri bisa muncul secara
spontan dari ketiadaan, tanpa campur tangan ilahi secara eksplisit.
Mekanika kuantum dalam prinsip Ketidakpastian Heisenberg memperluas apa
yang mungkin dapat terjadi dan tidak terdeteksi dalam ruang kosong. Jika
gravitasi terlalu diatur oleh mekanika kuantum, maka alam semesta ini
bisa saja secara spontan muncul, atau hilang, yang berarti alam semesta
kita sendiri mungkin tidak unik tapi sangat jelas merupakan bagian dari
“multiverse—multi universe”.
Sebagaimana fisika partikel merevolusi
konsep atas “Ada” (partikel dasar dan kekuatan-kekuatan yang mengikat
mereka) dan “Tiada” (dinamika ruang kosong, atau bahkan tidak adanya
ruang), maka tentu saja berimbas dan merevolusi pertanyaan yang
terkenal, “Mengapa selalu ada ‘yang ada’ daripada ‘yang tiada’?” Bahkan,
berimbas pada hukum fisika yang menggantungkan kita pada kemungkinan
kecelakaan kosmik, dengan hukum yang berbeda di semesta yang berbeda,
yang selanjutnya mengubah bagaimana kita bisa menghubungkan ‘Ada’ dengan
‘Tiada’. Mempertanyakan mengapa kita hidup di alam semesta yang ada
daripada yang tiada, akan menjadi pertanyaan tak bermakna ketimbang
mempertanyakan mengapa sebagian bunga bewarna merah dan lainnya biru.
Mungkin yang paling luar biasa dari semua
itu, bukan hanya masuk akal dalam pengertian ilmiah, bahwa alam
semesta kita berasal dari ketiadaan, jika kita bertanya dengan
bahan-bahan apa alam semesta diciptakan dari ketiadaan, tapi juga
tampaknya bahwa bahan-bahan itu membentuk alam semesta secara presisi di
mana kita hidup di dalamnya.
Apakah semua ini membuktikan bahwa alam
semesta dan hukum yang mengatur hal itu muncul secara spontan tanpa
bimbingan ilahi atau tujuan? Tidak, tapi itu bisa berarti mungkin saja
begitu. Dan kemungkinan itu tidak perlu berarti bahwa kehidupan kita
sendiri yang tanpa makna. Alih-alih tujuan ilahiah, makna dalam
kehidupan kita dapat timbul dari apa yang kita perbuat dari dan oleh
diri kita sendiri, dari hubungan kita dan institusi-institusi di sekitar
kita, atau dari prestasi-prestasi karya manusia.
Membayangkan hidup di alam semesta tanpa
tujuan dapat mempersiapkan kita untuk lebih baik menghadapi kenyataan.
Saya tidak bisa melihat bahwa ini adalah suatu hal yang buruk. Hidup di
alam semesta yang aneh, unik dan luar biasa ini, terlepas dari keinginan
dan harapan, jauh lebih memuaskan bagi saya daripada hidup di dunia
dongeng yang diciptakan untuk membenarkan keberadaan kita.
Lawrence M. Krauss is director of the Origins Project at Arizona State University. His newest book is A Universe From Nothing.
Sumber: Los Angeles Times.
No comments:
Post a Comment