Science, Reason, Life, Religion & the Universe it self
By : Archer Clear
Erwin Schrödinger, “In
science and humanism once’s asking a question, ‘who are we?’ and the
answer on this question is not only one of the task, but the task of
science.”
Kita menyebut kehidupan adalah segala
sesuatu yang bergerak, aktif dalam ruang kesadarannya masing-masing.
Itulah hidup dalam pengertian yang paling sederhana. Erwin Schrodinger
dalam bukunya What is Life, mencoba menjawab dengan pendekatan
yang sangat fundamental, yaitu pada skala molekuler, atau level atom.
Dalam dunia quantum, semua partikel dapat dikategorikan hidup, karena
mereka bergerak dengan cara-cara yang tak menentu, proses interaksi yang
terjadi pada level quantum kemudian menghadirkan realitas yang
kompleks.
Manusia adalah salah satu produk dari
interaksi di dunia quantum, kita adalah spesies yang kompleks, jika
diurai seberapa kompleks struktur yang membangun manusia maka bisa
dibayangkan akan begitu banyak halaman akan habis untuk membahas satu
wilayah saja, ambil contoh satu bagian tubuh kita, misalkan struktur
otak. Ini membutuhkan science of neural untuk menjelaskan
bagaimana otak berinteraksi yang kemudian membentuk imej-imej yang
setiap saat bisa kita nikmati secara instan. Misalkan, jika Anda tidak
memiliki pengetahuan tentang apel, bagaimana Anda tahu yang Anda lihat
itu adalah apel dalam pengertian hasil komputasi otak Anda, atau apel
dalam pengertian yang lain? Dari pertanyaan sederhana itu bisa ditarik
satu garis pengertian bahwa pengetahuan itu adalah syarat utama dalam
memahami realitas, tanpa pengetahuan kita tidak akan mengerti apa yang
sedang kita saksikan dialam semesta ini, dalam bahasa Richard Dawkins we are the blind watchmaker.
Manusia dalam perjalanan
pencahariannya telah sukses melahirkan begitu banyak tradisi, termasuk
salah satu tradisi manusia yang masih bertahan hingga abad ini adalah
agama. Agama telah menjadi sebuah tradisi “purba” dalam memahami
kehidupan, argumentasi ini bisa dilihat dalam sudut pandang yang
sederhana, di mana agama mensyaratkan “Percaya”, jika tidak percaya pada
ajaran agama tentang kehidupan, maka tidak akan masuk dalam pengertian
agama itu sendiri. Percaya adalah the core atau jantungnya Agama itu sendiri.
Menjadi “purba” dalam pengertian saya karena agama itu adalah sistem kepercayaan yang “buta”, seperti the blind watchmaker-nya
Dawkins, agama juga telah banyak menyalahi hukum fundamental yang
bekerja di alam semesta dan sangat tidak kompatibel untuk menjelaskan
fenomena yang terjadi secara gradual di alam semesta ini. Argumentasi
paling umum yang bisa kita temukan dalam agama adalah bahwa semua yang
ada di atas alam semesta ini adalah atas kehendak Tuhan. Dan semua yang
pada dasarnya “ketidaktahuan” dijawab bahwa Tuhan yang bertanggungjawab
melakukan itu. Bagi saya ini adalah argumentasi yang paling tidak
bertanggungjawab yang selalu mengkambinghitamkan Tuhan atas kebodohan
kita sendiri.
The question of life is BIG, dan
untuk itu tidak akan ada satu jawaban yang benar-benar definitif untuk
menggambarkan seberapa besar kehidupan itu sendiri, yang ada adalah
sebuah proses transformasi yang akan terus-menerus terjadi dalam
ruang-ruang pengertian manusia akan kehidupan itu sendiri. Sains mencoba
menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental tersebut, tapi tetap saja
sains menyisahkan ruang ketidaktahuan atas materi-materi baru yang ada
di alam semesta ini. Misalkan, sains secara tegas mengakui bahwa the dark energy masih-lah
misteri, sampai saat ini belum ada satu eksperimen yang menjelaskan
secara meyakinkan apa yang membuat 73% di alam semesta ini gelap? No one know the answer yet! Akan tetapi, itulah sains yang mengerti secara jelas mana ketidaktahuan dan mana yang benar-benar bisa dibuktikan.
Satu contoh yang paling mutakhir di abad
ini adalah sains telah sukses menjawab salah satu pertanyaan yang paling
fundamental, terutama dalam wilayah partikel elementer, di mana the origin of mass telah
terjawab melalui eksperimen yang memakan waktu hampir setengah abad dan
melibatkan begitu banyak ilmuan dari berbagai latar belakang disiplin.
Melalui eksperimen LHC di mana CERN adalah organisasi yang
bertanggungjawab dalam menjawab pertanyaan fundamental tersebut, adalah
seorang Peter Higgs yang pertama kali mengajukan teori yang menyatakan
bahwa yang bertanggungjawab dalam memberikan massa pada semua materi
yang ada di alam semesta ini adalah partikel yang kemudian dikenal
dengan Higgs Boson Partikel.
Tanpa partikel Higgs maka takkan ada alam
semesta sebagaimana kita ketahui sekarang. Penemuan ini sedikit menjadi
polemik karena dalam perspektif “Umum” manusia di atas planet ini lebih
“nyaman” menyebutnya dengan “Partikel Tuhan” daripada menyebutnya the Higgs Boson Particle, saya
kira ini terjadi karena semua yang bersanding dengan nama Tuhan akan
membuat manusia seolah-olah merasa damai, padahal itu hanya efek delusi
yang memang sudah menjadi penyakit manusia sejak ratusan tahun lamanya.
Sedikit menduga mengapa dikatakan sebagai partikel Tuhan adalah karena
menganggap bahwa sains bisa direkonsiliasi dengan agama, bahwa partikel
Higgs Boson adalah pembuktian dan pembenaran dalil-dalil agama. Padahal,
tidak. Jelas apa yang telah diungkapkan George Bernard Shaw, bahwa 2 %
penduduk bumi ini berpikir, 3% lainnya merasa berpikir dan yang paling
parah adalah 95% penduduk bumi ini lebih memilih mati daripada
mengunakan akal pikirannya.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan
fundamental, maka syarat utamanya adalah berpikir, jika berpikir saja
masih kesulitan, bagaimana kita ingin menjawab problem-problem kehidupan
yang memang nyata. Saya kira, tradisi yang terbangun dalam sebuah
masyarakat yang generasinya terdelusi oleh agama akan mengalami
kesulitan yang luar biasa dalam menerima kenyataan hidup yang kompleks,
biasanya mereka lebih senang berhalusinasi tentang dunia utopis yang
ditawarkan oleh agama, padahal semua itu hanyalah Ilusi, sama sekali
semua konsep hidup setelah kematian yang banyak didiskusikan dalam
forum-forum debat agama adalah nonsense.
Steven Hawking dalam sebuah pernyataan populernya mengatakan bahwa “there is no after life for the broken computer”, memahami
pernyataan Hawking itu butuh pengetahuan sekaligus keterbukaan yang
luas, tanpa itu kita hanya akan mentertawakan pernyataan dari seorang
yang duduk di kursi roda, sama dengan saat kita mentertawakan presiden
Gus Dur yang kebetulan secara fisik buta, tapi apakah mereka buta atas
kehidupan, saya kira justru sebaliknya, kitalah yang buta atas realitas
kehidupan itu sendiri, sementara orang-orang seperti Steven Hawking
adalah manusia yang sanggup melihat hidup dari berbagai dimensi.
Pertanyaanya, What’s wrong with the 95% people on this planet?” saya
kira jawaban secara generalnya adalah karena 95% manusia di atas planet
ini beragama, bukan berpikir, itu perbedaan fundamentalnya. Agama itu
membunuh pikiranmu, sementara sains sebaliknya mencoba untuk
menghidupkan pikiranmu dengan membimbingmu untuk mempertanyakan segala
hal yang ada di sekitarmu.
No comments:
Post a Comment