Wednesday, July 21, 2021

Alam Semesta Paralel: Harapan Terakhir untuk Menghindari Kematian Kosmos?

Pengetahuan kita tentang alam semesta masih jauh dari lengkap. Setiap kali sains kosmologi membuat satu kemajuan, ia justru memunculkan puluhan pertanyaan baru. Di tengah kompleksitas ini, beberapa fisikawan teoretis mencoba menjawab pertanyaan paling eksistensial dari semuanya: Apakah alam semesta kita akan berakhir? Dan jika ya, apakah ada jalan keluar?

Salah satu jawaban paling menarik datang dari Dr. Michio Kaku—futuris, fisikawan teoritis, dan penulis buku The Future of Humanity (2018). Dalam salah satu sesi wawancara di kanal YouTube Big Think, Kaku memperkenalkan skenario akhir alam semesta yang disebut Big Freeze, berbeda dengan model alternatif seperti Big Crunch atau Big Rip.

Big Freeze: Akhir yang Lambat dan Dingin

Menurut data pengamatan dari teleskop Hubble dan observatorium berbasis ruang lainnya, alam semesta tidak hanya mengembang, tetapi laju ekspansinya semakin cepat. Penemuan ini, yang pertama kali dikonfirmasi pada akhir 1990-an melalui supernova tipe Ia, memperkuat dugaan bahwa energi gelap—zat misterius yang menyumbang sekitar 68% dari total energi alam semesta—mendorong percepatan ini.

Jika tren ini berlanjut, maka dalam waktu ratusan miliar tahun, galaksi-galaksi akan saling menjauh begitu cepat hingga tidak dapat saling diamati. Pada titik itu, langit malam akan tampak benar-benar hitam, bukan karena tidak ada bintang, tetapi karena cahaya dari bintang-bintang lain tidak lagi mencapai kita.

Kaku menggambarkan era ini sebagai masa yang didominasi oleh bintang neutron kesepian, lubang hitam yang membeku, dan suhu latar kosmik yang mendekati nol mutlak (0 Kelvin). Dalam kondisi ini, entropi alam semesta mencapai maksimum, dan segala bentuk struktur kompleks, termasuk kehidupan dan kesadaran, tidak dapat dipertahankan.

Jalan Keluar: Melompat ke Alam Semesta Paralel?

Jika umat manusia (atau keturunannya) masih ada di masa yang sangat jauh ini, apakah ada kemungkinan untuk menghindari akhir tersebut?

Menurut Kaku, satu-satunya harapan rasional mungkin adalah melarikan diri ke alam semesta paralel. Konsep ini, meskipun terdengar seperti fiksi ilmiah, memiliki dasar dalam teori fisika modern seperti multiverse inflasi kosmik, string theory, dan mekanika kuantum (terutama interpretasi banyak-dunia Hugh Everett).

Namun, untuk melintasi batas antara satu alam semesta dan alam semesta lain, dibutuhkan energi yang luar biasa besar—energi Planck, yaitu sekitar 101910^{19} giga-elektron volt (GeV). Energi ini kira-kira triliunan kali lebih besar daripada yang bisa dihasilkan oleh akselerator partikel tercanggih saat ini, seperti Large Hadron Collider (LHC) di CERN.

Kaku berspekulasi bahwa kecerdasan masa depan yang jauh, dengan penguasaan penuh atas hukum fisika dan teknologi pada skala kosmik, mungkin mampu membangun struktur yang dapat menembus "foam kuantum" atau medan Planckian yang memisahkan satu semesta dari semesta lainnya. Dalam terminologi sains teoretis, ini disebut "bubble universes" atau "baby universes" yang tercipta melalui fluktuasi kuantum ekstrem.

Perspektif: Apa Arti Keabadian Jika Alam Semesta Pun Fana?

Gagasan ini menimbulkan pertanyaan filosofis yang mendalam: Jika alam semesta kita sendiri tidak abadi, apa arti dari keberlanjutan kehidupan, kesadaran, atau peradaban? Dalam tradisi pemikiran kontemporer, baik dari filsafat eksistensial hingga kosmologi transhumanis, ide bahwa umat manusia mungkin dapat melepaskan diri dari nasib kosmiknya melalui teknologi dan pemahaman ilmiah adalah tema sentral.

Namun, tantangan yang ada bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga etis dan metafisik. Bagaimana kita mendefinisikan keberlangsungan? Apakah melompat ke semesta baru berarti membangun kembali makna, kesadaran, dan bahkan sejarah dari awal?

Dalam pandangan Kaku, langkah semacam ini adalah perwujudan dari hukum evolusi teknologi dan intelektual: bahwa kecerdasan tidak hanya akan bertahan, tetapi juga akan berkembang sampai mampu mengendalikan struktur dasar realitas itu sendiri.

Kesimpulan:

Gagasan tentang pelarian ke alam semesta paralel bukan hanya spekulasi ilmiah ekstrem, tetapi juga cerminan dari harapan manusia untuk mengatasi batasan waktu, kematian, dan entropi. Dengan laju kemajuan teknologi dan pemahaman fisika yang terus bertambah, tidak mustahil bahwa suatu hari, apa yang kini tampak sebagai mimpi fiksi ilmiah, akan menjadi cetak biru bagi masa depan kosmik peradaban.

AOS

No comments:

Post a Comment