“Apa yang kulihat di alam ini adalah sebuah struktur yang maha besar, namun yang dapat kita pahami baru sebagian kecil saja. Begitu pun sudah cukup membuat pusing.” Demikian penggalan isi surat penggagas Teori Relativitas, Albert Einstein, yang dilayangkan kepada seorang rekannya.
Surat tersebut ditulis sekitar tahun 1944. Dari cuplikan kata-katanya itu nampak jelas Einstein begitu terkesan dengan apa yang disebut sebagai alam semesta. Semua orang tahu bahwa ia adalah fisikawan jenius, namun dengan kebesaran hatinya Einstein mengaku betapa kecil dirinya di tengah-tengah alam semesta ini. Hampir sebagian besar masa hidupnya didarmabaktikan untuk memahami fakta ‘ruang yang amat besar ini’, namun hingga akhir hayatnya Einstein meninggal tahun 1955 jawaban yang memuaskan belum juga berhasil diraihnya.
Begitulah memang status alam semesta. Manusia masih terlampau kecil untuk memahami segalanya. Kita pun hanya bisa terkagum-kagum jika suatu ketika berusaha untuk menekuni fenomena alam seperti ‘ledakan besar’ atau Bing Bang, lubang hitam (black hole), lubang cacing (wormhole), atau mungkin kalau memang ada tentang alam semesta paralel (parallel universe). Baru sebatas teori yang bisa merabanya.
Para ilmuwan seakan sepakat, kelambu misteri yang amat tebal memang masih akan lama sekali melingkupinya. Namun sebagaimana manusia adalah makhluk berakal-budi yang tercipta dengan rasa ingin tahu yang begitu tinggi, ada saja upaya yang ditempuh guna menyingkap sedikit demi sedikit rahasia alam semesta ini.
Apa yang kini ditempuh ilmuwan NASA bernama Marc G. Millis berikut ini bisa dibilang sebagai salah satu contoh. Pejabat direktur Program Terobosan Fisika Propulsi NASA ini kini tengah menekuni sejumlah penelitian yang berkaitan dengan Warp Drive. Sistem propulsi yang kerap disebut-sebut dalam sekuel fiksi-ilmiah Star Trek ini, menurutnya, adalah teknik pendorong yang paling ideal untuk wahana penjelajah antar-bintang salah satu langkah pembuka rahasia jagad raya.
Millis mengatakan, ada tiga terobosan penting yang harus ditempuh sebelum ikhtiar ke arah itu ditempuh. Pertama, adalah perihal kecepatan di atas kecepatan cahaya. Kedua, wahana tanpa propelan. Dan, ketiga, adalah segala bentuk peralatan yang terkait dengannya.
Baginya, wahana yang mampu melaju dengan kecepatan di atas kecepatan cahaya memang tak bisa ditawar lagi. Maklum, jarak bintang terdekat saja sudah sekitar 4,3 tahun cahaya. Tak terbayangkan jika manusia masih terpaku dengan kendaraan ruang angkasa yang kini ada, yang hanya memiliki kecepatan 37.000 mil per jam. Untuk bisa keluar dari tata-surya saja perlu waktu 80.000 tahun! Ini artinya, tak akan ada manusia yang mampu mengikuti perjalanan ilmiah ini secara utuh.
Keinginan Millis ini sesungguhnya bukan mimpi belaka. Pasalnya, sebelum dirinya berpikir ke arah itu, sejumlah ilmuwan dunia telah ‘menggelar jalan’. Dalam Proyek Orion yang dilakukan pada tahun 60-an, misalnya, sejumlah ilmuwan telah mencoba menggunakan nuklir sebagai propelan wahana ruang angkasa eksperimental.
Setelah itu, sekitar tahun 70-an, British Interplanetary Society melanjutkannya dengan Proyek Daedalus. Dalam situs eksperimen ini, sejumlah ilmuwan mencoba teknik peledakan fusi mikro pada wahana ruang angkasa yang diarahkan ke bintang Barnard yang berjarak 6 tahun cahaya dari Bumi.
Juga ada Proyek Robert Forward yang menggunakan semburan laser berkekuatan 10 juta gigawatt untuk perjalanan cepat sejauh ribuan kilometer. Tenaga sebesar ini adalah sepuluh ribu kali dari tenaga yang ada di Bumi saat ini. Lebih jauh, sekitar sepuluh survei dan temu-ilmiah yang berkaitan dengan teknik propulsi tingkat tinggi ini juga telah digelar antara tahun 1972 hingga 1995.
Time travel
Selain untuk menjelajah tempat-tempat nun jauh di sana, juga ada konsep-konsep yang dilontarkan untuk menjelajah alam semesta di sekitar kita atau yang biasa disebut sebagai alam semesta paralel. Pandangan brilian yang diberikan seorang mahasiswa Institut St. Gertrudis, Belgia, bernama Jurgen Vannoppen yang baru berusia 17 tahun, adalah salah satu contoh yang menarik.
Dalam thesis yang dibuat bersama dua rekannya, Vannoppen persisnya mengungkap konsep penjelajahan ruang dan waktu (time-travelling) yang disusun berdasarkan pandangan ilmiah Einstein, Nathan Rosen, Carl Sagan, Raymond Chiao, Gunter Nimtz, dan Steven Hawking. Namun, lebih futuris dibanding konsep yang dikemukakan Marc G. Millis, Vannoppen dan kawan-kawan menawarkan fenomena wormhole (lubang ulat) sebagai ‘medium penjelajahannya’.
Dalam penjelasannya, yang dimaksud dengan alam semesta paralel adalah ruang di sekitar kita dalam dimensi waktu yang telah terpaut jauh. Sederhananya, jika konsep Vannoppen ini bisa direalisasikan, kita akan memiliki kemungkinan menjenguk kehidupan yang dijalani kakek buyut kita, atau sebaliknya, menengok keturunan kita yang tak mungkin kita tengok karena terbatasnya umur manusia. Tak hanya sekadar menjenguk, kita bahkan dimungkinkan untuk berinteraksi dengan masa lampau/datang kita tersebut. Inilah alam semesta paralel kita.
Terkesan mustahil atau mengada-ada memang, namun seperti juga rekaan tak masuk akal novelis fiksi-ilmiah Jules Verne tentang roket yang yang bisa mengantar manusia ke luar angkasa, segalanya ternyata bisa terealisasi tanpa ada seorang pun rekan Verne menyakininya ketika itu.
Wormhole sendiri, menurut batasan fisika-moderen, adalah bagian dari alam semesta yang bisa digunakan sebagai jalan pintas perjalanan yang amat jauh, namun dimana letaknya hingga kini belum diketahui. Fenomena alam ini adalah semacam lorong magnetik yang didalamnya memiliki gravitasi kuat yang mampu menarik apapun yang masuk ke dalamnya untuk kemudian mendorongnya ke ujung lorong yang lain hanya dalam beberapa saat. Yang dimaksud ‘ujung lorong lain’ tersebut itulah pintu dari alam semesta paralel kita atau bisa juga alam semesta dari galaksi lain.
Sejumlah ahli fisika terkemuka pernah berasumsi, kuatnya gravitasi wormhole sudah cukup membuat moda transportasi yang tak terlalu canggih mampu melaju dengan kecepatan di atas kecepatan cahaya. Oleh karena itu, secara teoretis, perjalanan antar galaksi yang letaknya amat berjauhan bukan tak mungkin bisa diselesaikan hanya dalam waktu 200 hari atau kurang!
Hanya kini masalahnya, bagaimana mencari sang wormhole yang amat eksotis tersebut. Sayang sekali, justru masalah inilah yang tak pernah terpecahkan hingga kini. Para ahli astro-fisika hingga saat ini baru sebatas mengetahui konstruksi teoretisnya. Selebihnya masih gelap.
Menurut Einstein dan I. Rosen sendiri dua ilmuwan yang memiliki dedikasi tinggi terhadap penelitian fenomena di jagad raya ini , keberadaan wormhole amat erat kaitannya dengan black-hole, obyek alam semesta yang dikenal memiliki gravitasi amat kuat.
Begitu pun ada sekolompok ilmuwan yang dipimpin Claudio Maccone mengungkap, secara teoretis fisik wormhole sebenarnya bisa ditiru. Hal ini dimungkinkan karena manusia telah memiliki pemahaman yang cukup tinggi di bidang medan magnet. Ruang angkasa tak lain adalah lautan medan magnet. Itu sebabnya manusia mempunyai kesempatan untuk membuat tiruannya.
“Untuk membuat wormhole berdiameter satu meter, kita perlu medan magnet sebesar 10^18 tesla. Sayangnya, untuk saat ini kita belum bisa mengupayakannya mengingat medan magnet terbesar yang bisa dibuat baru sekitar 10 tesla,” jelas Maccone.
Uniknya, sementara Maccone dan kawan-kawan masih terus berupaya meneruskan niatnya, belakangan beredar seruan dari sekelompok ilmuwan lain yang mempertanyakan kesiapan manusia dalam menghadapi ekses gelombang kemajuan tersebut jika seandainya wormhole tiruan benar-benar bisa dibuat.
“Kami merisaukan kelak akan terjadi hal-hal paradoksial yang akan dialami ras manusia di Bumi ini,” begitu kata mereka.
Apa maksudnya? Menurut Jurgen Vannoppen, salah satu ekses paradoksial yang dicemaskan itu adalah jika manusia selanjutnya akan menggunakan wormhole tersebut sebagai moda penjelajahan alam semesta. Sebab, misalnya, bukan tak mungkin seseorang yang merasa kecewa dengan keturunannya akan memanfaatkan wormhole untuk ‘mengubah’ masa lalunya demi memperbaiki masa yang tengah dijalaninya. Dan itu berarti akan merubah kehidupan di masa kini.
Selain itu, mengutip gurauan fisikawan besar Steven Hawking, sebagai relevansinya juga bukan tak mungkin jika ras manusia yang ada pada masa kini tengah diincar ras manusia dari alam semesta paralel lain yang kebudayaannya telah lebih maju. “Jika memang moda time-travel itu mungkin diwujudkan, kita akan bisa mengunjungi ras manusia dari masa mendatang. Itu sebabnya, bukan tak mungkin pula mereka telah melakukan upaya proteksi diri agar manusia masa kini tak bisa mencampuri urusan mereka,” begitu kata penulis buku A Brief History yang amat terkenal itu.
Begitulah alam semesta, masih teramat fenomental. (adr)
No comments:
Post a Comment