Tuesday, October 23, 2012

Agama versus Sains Modern

Diakui atau tidak, sains modern lahir dan berkembang di dunia Barat. Meski tidak selamanya bahwa Barat adalah Kristen, atau sebaliknya, Kristen adalah Barat, akan tetapi secara umum, Barat modern mengidentifikasikan dirinya sebagai berakar pada tradisi Yunani, Yahudi dan Kristen. Namun, dewasa ini sains modern dan turunannya, teknologi, telah dieksplorasi oleh semua budaya masyarakat di seluruh dunia. Sains modern mampu menggantikan semua cara lain dalam mengeksplorasi dan menggali potensi alam, setidak-tidaknya dalam pengertian praktisnya.

Dampak dari perkembangan sains modern sungguh menakjubkan. Sains modern telah mengubah cara manusia dalam menjalani hidup, berkomunikasi, melahirkan anak, memproduksi bahan makanan, pakaian, dan perumahan serta dalam menjalani berbagai kegiatan rutin dalam kehidupannya sehari-hari. Ini tidak hanya mewarnai kehidupan orang-orang Barat saja, namun keberadaan sains modern telah diakui secara mendunia dan sains modern telah hidup dan menguasai semua lini kehidupan dalam berbagai budaya, seperti budaya Hindu, Cina dan budaya bangsa-bangsa di belahan dunia lainnya, termasuk di dalamnya budaya Islam yang juga turut serta berpartisipasi dengan penuh gairah dalam mengkonsumsi hasil perkembangan sains modern.

Dalam sejarah sains, semua capaian sains modern saat ini, berawal dari berbagai pertanyaan manusia tentang misteri alam semesta; kemegahan langit malam, terjadinya siang dan malam serta berbagai fenomena alam, telah memunculkan berbagai pertanyaan: mengapa ada alam semesta ini? Mengapa alam semesta seperti ini? Kapan ia berawal dan akankah berakhir? Berbagai instrumen telah dicoba guna mengetahui asal mula, keberadaan serta kemungkinan kehancuran alam semesta. Hal ini telah dilakukan oleh manusia sejak dahulu kala, yaitu dengan mengkaji gerakan-gerakan bintang di langit yang disebut dengan ilmu astronomi dan merumuskan berbagai teori tentang alam semesta yang kemudian dikenal dengan kosmologi, yang pada gilirannya nanti keduanya menjadi cabang dari sains modern yang khusus mengkaji tentang ilmu perbintangan dan asal asul alam semesta.

Dalam langkah majunya, kajian tentang alam telah melalui dan mengalami banyak revolusi. Sebagai misal, dalam rentang waktu satu abad, revolusi Copernicus tahun 1543 M yang dikumandangkan oleh seorang astronom fisikawan Jerman Johannes Kepler (1571-1630 M) dan seorang ilmuwan dan filosof Italia Gelilei Galileo (1564-1642 M)―yang terjadi setelah kematian Copernicus―mampu meneguhkan sistem heliosentris (matahari sebagai pusat benda-benda luar angkasa, sedangkan bumi hanyalah salah satu planetnya). Penemuan ini cukup mengguncangkan fondasi pandangan dunia geosentris, yaitu bumi sebagai pusat alam semesta, yang sebelumnya telah berurat akar selama kurang lebih 1300 tahun. Kepler dengan tiga hukumnya yang berhubungan dengan orbit-orbit berbagai planet, dan Galileo dengan temuan mutakhirnya, yaitu sebuah teleskop kecil sehingga dapat melihat gerakan-gerakan benda langit yang belum pernah dilihat sebelumnya: satelit-satelit Yupiter, dan mengetahui bahwa benda-benda langit tidaklah sempurna dan bahkan serupa saja dengan bumi. Hal ini telah membawa perubahan dalam tata cara mengkaji dan menjawab berbagai pertanyaan tentang fenomena alam. Sejak saat itu, kajian tentang alam harus didasarkan pada eksperimen, observasi, analisis kuantitatif dan pertimbangan kualitatif, penjelasan kausal dan deskripsi fenomenologis.

Penemuan dan cara baru ini berbeda dengan langkah-langkah para filsuf zamannya yang cenderung mencari jawaban atas masalah-masalah fisika dengan merujuk ke teks masa lampau. Perbedaan ini ternyata menuai konflik yang berkepanjangan antara sains dan agama. Penemuan Galileo mengguncang otoritas ilmiah Aristoteles yang mendukung astronomi Ptolemeus yang telah diterima secara luas di Eropa sejak abad ke-12. Lebih-lebih otoritas kitab suci saat itu meyakini bumi sebagai pusat alam semesta. Galileo dengan berpegang teguh pada hasil penelitiannya secara terang-terangan menentang otoritas gereja, sehingga pada tahun 1633 Galileo diadili oleh gereja, ia disumpah untuk meninggalkan pendapat sesat, yang tak lain sistem heliosentris Copernicus. Moment bersejarah ini diabadikan dalam sebuah lukisan Galileo yang sedang berlutut di hadapan Inkuisitor Gereja Katolik, berjubah terdakwa, satu tangan diletakkan di atas Injil.

Peristiwa Galileo tidak menjadikan para penerusnya menjadi ciut, akan tetapi kajian tentang alam semesta terus melangkah maju jauh meninggalkan para pendahulunya. Misalnya saja setelah Galileo meninggal pada tahun 1642 M, Isaac Newton (642-1727 M) berhasil membuat pandangan yang benar-benar baru tentang alam semesta, penemuannya tentang adanya gaya gravitasi―yang nantinya menjadi salah satu dari ladasan teori relativitas―yang konon terinspirasi dari sebuah peristiwa jatuhnya Apel di atas kepala Newton saat ia sedang duduk di bawah pohon Apel, telah membawa perubahan besar terhadap pandangan manusia tentang materi. Ia mampu menjelaskan hukum-hukum fisika dengan cara yang mudah dimengerti oleh manusia yang belum bisa dilakukan oleh William Harvey (1578-1657 M) dan RenĂ© Descartes (1596-1650 M) yang juga telah mengadakan percobaan sebelumnya.

Tidak hanya itu, pada dua abad berikutnya Sains modern berkembang begitu pesat. Ia menemukan jutaan fakta baru, menyusun ribuan teori baru dan melayani manusia dengan cara yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Penemuan Albert Einstein (1879-1955 M) misalnya, ia berhasil merumuskan teori relativitas, dan berdampak penting pada pemahaman manusia atas ruang, waktu, energi dan materi, serta menjadi cikal bakal lahirnya kosmologi modern, yang memunculkan berbagai gagasan tentang model alam semesta. Bahkan sains modern mampu merumuskan teologinya sendiri tentang alam, yaitu dengan memperlakukan materi sebagai unit otonom, yang dengan cara tertentu eksis dan hidup selamanya di alam semesta, serta menjalankan fungsinya tanpa membutuhkan Tuhan. Ia juga merumuskan asumsi dasar bahwa kosmos hanyalah kumpulan materi yang berjalan berdasarkan hukum tertentu yang bisa dipahami melalui metode ilmiah. Begitu dipahami, hukum ini kemudian bisa digunakan untuk menjelaskan segala sesuatu tanpa merujuk kepada apapun selain kepada sains. Oleh karena itu, tidak menutup kemungkinan bahwa sains akan memunculkan berbagai gagasan, persepsi atau teori yang tidak sesuai atau bahkan bertolak belakang dengan pandangan religius atau yang memunculkan pertanyaan tentang kemahakuasaan dan kebebasan Tuhan, sebab, sains tidak memiliki komitmen apapun terhadap agama manapun.

Meski demikian, segala penemuan sains modern membutuhkan sebuah perenungan religius dalam konteks kehidupan beragama. Karena bagaimanapun, meski penemuan sains modern bebas nilai serta tidak terikat dengan agama manapun, akan tetapi ia tidak akan bisa lari dan akan tetap bersinggungan dengan kehidupan keagamaan, paling tidak dengan manusia yang beragama. Proses ini memang telah terjadi di Barat yang banyak dilakukan oleh jajaran teolog dari semua madzhab―dalam agama Kristen―dan para filosof serta saintis terkemuka guna merenungkan implikasi penemuan ilmiah atas iman mereka.

Diantara semua agama di dunia, Kristenlah yang harus berhadapan langsung dengan serangan saintisme, sebab di dunia Kristen sains modern lahir dan berkembang, dan menurut paradigma kehidupan dan pemikiran Kristen abad pertengahan, sains modern harus ditolak dan dikeluarkan.

Mungkin bukan suatu yang mengherankan ketika konflik antara sains dan agama di dunia Kristen dan Barat ini terjadi. Jika kita melihat sejarah lahirnya agama Kristen di Barat, hal itu telah menjadi cikal bakal adanya dikotomisasi antara kebenaran akal dan kebenaran wahyu. Selain itu juga tindakan gereja yang begitu keras memberangus dan memasung pemikiran-pemikiran dan teori-teori ilmiah, serta menjatuhkan hukuman terhadap si empunya―apabila berseberangan dengan pendapat resmi gereja―hal ini menimbulkan keinginan untuk melakukan kudeta terhadap gereja dengan menjadikan temuan ilmiahnya sebagai senjata paling ampuh untuk menyerang otoritas gereja dan menolak keberadaan dan campur tangan Tuhan dalam kehidupan manusia.

Pada abad ke-20 konflik hubungan sains dan agama menjadi sebuah kajian yang tak pernah tuntas dibahas. Selama 40 tahun terakhir, minat kuat dalam hubungan sains dan agama telah menghasilkan banyak tanggapan dan interaksi kesarjanaan yang berusaha menjembatani sains dan teologi Kristen. Salah satu inti permasalahan yang kemudian membawa pada konflik yang berkepanjangan adalah masalah penciptaan dan model alam semesta yang diajukan oleh kosmologi modern.

Sekarang, kosmologi bukan lagi sekadar teori teori spekulatif tentang asal usul, evolusi, komposisi, dan struktur alam semesta ini. Ia sudah merupakan ilmu pengetahuan yang didukung beragam hasil observasi astronomis, juga hasil-hasil eksperimen fisika yang berkaitan. Bahkan, sebagian kalangan ahli kosmologi mengatakan, saat ini adalah eranya kosmologi presisi (ketepatan), yaitu era ketika data-data astronomis melimpah dengan tingkat kepresisian yang semakin tinggi.

Banyak hasil observasi yang mendukung teori-teori yang diajukan. Ada juga yang masih menjadi rahasia tak terungkap sehingga alam semesta ini belum sepenuhnya terpahami, dan mendorong para ilmuwan untuk terus memformulasikan aturan atau teori-teori yang memerikan alam semesta ini.

Kosmologi modern pada abad ke-19 hingga abad ke-20 telah mengajukan berbagai gagasan mengenai model alam semesta. namun tinjauan terhadap semua teori ini mengungkapkan bahwa pada intinya hanya terbagi dua, yaitu:

1. Gagasan yang umum di abad ke-19 adalah gagasan yang diusung oleh kaum Materialisme seperti Karl Marx dan Friedrich, yang mengatakan bahwa alam semesta merupakan kumpulan materi berukuran tak hingga yang telah ada sejak dulu kala, tidak berawal dan akan terus ada selamanya. Selain meletakkan dasar berpijak bagi paham materialis, pandangan ini menolak keberadaan sang Pencipta dan menyatakan bahwa alam semesta tidak berawal dan tidak berkhir. Jelas telihat bahwa paham ini berakar dari kebudayaan Yunani kuno. Pada abad ke-20, konsep ini kemudian dilanjutkan oleh seorang ahli astronomi Inggris ternama, Sir Fred Hoyle dengan teori “Steady-state”nya.

2. Gagasan yang mengatakan bahwa alam semesta diciptakan dan memiliki awal, yang dikenal dengan model Big Bang. Model kosmologi ini pertama kali diajukan seorang ilmuwan Rusia, A. A. Friedmann (1922 M), dan secara terpisah oleh seorang pendeta ilmuwan Belgia, G. Lemaitre. Model kosmologi yang mereka ajukan merupakan salah satu solusi teori relativitas umum Einstein. Dalam teorinya ini, Einstein menyatakan hubungan kelengkungan ruangwaktu dengan sumber medan yang mengisi ruang-waktu tersebut. Model ini kemudian dikuatkan oleh hasil observasi Edwin Hubble (1929 M) di observatorium Mount Wilson Caliofornia. Ketika mengamati bintang-bintang dengan teleskop raksasa, ia menemukan bahwa mereka memancarkan cahaya merah sesuai dengan jaraknya. Hal ini berarti bahwa bintang-bintang ini bergerak menjauhi kita. Sebab, menurut hukum fisika yang diketahui, spektrum dari sumber cahaya yang sedang bergerak mendekati pengamat cenderung ke warna ungu, sedangkan yang menjauhi pengamat cenderung ke warna merah
.
Selama pengamatan oleh Hubble, cahaya dari bintang-bintang cenderung ke warna merah. Ini berarti bahwa bintang-bintang ini terusmenerus bergerak menjauhi kita. Jauh sebelumnya, Hubble telah membuat penemuan penting lain. Bintang dan galaksi bergerak tak hanya menjauhi kita, tapi juga menjauhi satu sama lain. Satu-satunya yang dapat disimpulkan dari suatu alam semesta di mana segala sesuatunya bergerak menjauhi satu sama lain adalah bahwa ia terus menerus mengembang. Mengembangnya alam semesta berarti bahwa jika alam semesta dapat bergerak mundur ke masa lampau, maka ia akan terbukti berasal dari satu titik tunggal. Perhitungan menunjukkan bahwa titik tunggal ini yang berisi semua materi alam semesta haruslah memiliki volume nol, dan kepadatan tak hingga. Alam semesta telah terbentuk melalui ledakan titik tunggal bervolume nol ini. Ledakan raksasa yang menandai permulaan alam semesta ini yang kemudian dikenal sebagai model Big Bang.

Kalau dicermati dari awal lahirnya kosmologi hingga pada kosmologi modern, kita akan melihat bahwa keberadaan Tuhan benar-benar menjadi sebuah permainan, yang akan dihapus ketika tidak dibutuhkan dan demikian pula akan dipanggil kembali ketika observasi mengatakan bahwa Tuhan itu ada; abad ke-2 masehi hingga abad ke-15 masehi sistem Ptolemaik bercokol dan langit menjadi objek pemujaan. Abad ke-17 lahirlah empat raksasa peruntuh langit spiritual, yaitu Copernicus, Kepler, Galileo dan Newton. Kosmologi tak lagi ada, yang ada hanyalah ilmu Astronomi. Hal ini kemudian yang menjadi landasan pemahaman tentang model alam semesta kekal pada abad ke-19 masehi, yang diajukan oleh paham materialisme yang diusung oleh Karl Marx. Paham ini mendapat penerimaan yang meluas bahkan sampai abad ke-20. Kemudian pada tahun 1929 M observasi Hubble yang mengatakan bahwa alam semesta mengembang dan menguatkan teori Big Bang. Ini adalah penemuan penting dalam astronomi, karena memungkinkan kembalinya kosmologi sebagai sains dan kembali bisa memberi ruang pada keberadaan Tuhan. Namun lagi-lagi Tuhan digusur pada tahun 1981 M oleh Stephen Hawking dalam konferensi Vatikan tentang kosmologi. Ia menyampaikan sebuah teori yang tidak beda jauh dengan gagasan Guth tentang teori Inflasi untuk menjelaskan mengembangnya alam semesta.

Hal inilah yang kemudian selalu menjadi kajian yang tak pernah tuntas dibahas, dan menjadi konflik berkepanjangan antara kaum materialisme yang tetap bersikukuh bahwa tidak ada campur tangan Tuhan di alam semesta dengan kaum teistik yang meyakini bahwa Tuhan adalah kausal final dari alam semesta.

Lalu bagaimana hubungan sains modern dengan agama Islam? Bagaimana Islam akan menjawab berbagai persoalan yang menjadi penyebab konflik antara sains dan agama jika kemudian persoalan itu juga menantang dunia Muslim? Kalaupun sains lahir dan berkembang di Barat, akan tetapi dunia Muslim tidak bisa melepaskan diri dari bersinggungan, berinteraksi bahkan berbaur dengan segala hasil penemuan sains modern. Hal ini tentu akan membawa dampak terhadap dunia Muslim, baik dalam kehidupan sosial maupun bagi pemikiran-pemikiran Muslim modern. Mungkin benar bahwa konflik historis agama dan sains adalah antara agama tertentu, yaitu Kristen, karena pada kenyataannya, pertemuan dengan intensitas yang tinggi antara Islam dan sains modern belum terjadi, sehingga banyak Muslim berkesimpulan, Islam tidak perlu memiliki kekhawatiran terhadap perbenturan semacam itu. Akan tetapi, kalau kita melihat pandangan ilmiah modern, yang lahir dari pandangan dunia sekuler dan materialistik dan pada gilirannya memperkuat pandangan dunia tersebut, itu akan menjadi  tantangan bagi kehidupan teistik yang meyakini bahwa Tuhan merupakan realitas tertinggi yang menciptakan alam semesta ini.

Islam adalah salah satu agama semacam itu, dan bukan tidak mungkin Islam juga menjadi target dari apa yang disebut kritik saintifik atau malah kritik saintistik yang memiliki asumsi dasar, bahwa alam fisik, menjalankan semua aktifitasnya tanpa membutuhkan Tuhan yang bisa diketahui dengan penyelidikan yang dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu, penelitian sains dalam perspektif Islam menjadi penting untuk dilakukan, guna mengantisipasi kemungkinan ancaman yang mungkin terjadi di masa yang akan datang, dan kita bisa mengambil sejumlah pelajaran penting dari pertemuan Kristen dan sains modern.

Oleh karena itu,  hal ini menjadi menarik untuk dikaji, namun ketika kita akan mempertemukan sains modern―dalam hal ini adalah kosmologi modern―dengan Islam, kita akan dipertemukan dengan berbagai persoalan. Sebagaimana telah kita ketahui dari paparan singkat di atas, begitu tampak jelas bahwa sains modern lahir dan berkembang di Barat dengan para pelaku utama yang diperankan oleh orang-orang non Muslim, sedangkan dari dunia Muslim tidak melahirkan seorangpun saintis yang mumpuni, yang bisa disejajarkan dengan saintis-saintis dari Barat, kalaupun ada, saintis Muslim merupakan produk lembaga sekuler gaya Barat; mereka tidak menerima pendidikan formal dalam pemikiran Islam.

Perlu juga kita ketahui bahwa dalam wacana sains dan agama di dunia, teologi Kristenlah yang telah dikemukakan sebagai imbangan bagi sains dalam wacana sains dan agama. Sedangkan dalam tradisi Islam, sebagaimana kita ketahui bahwa titik fokus utama teologi Islam berkisar pada perenungan tentang sifat-sifat Tuhan, hingga perenungan tentang surga dan neraka serta hakikat pahala dan siksa. Karena itu, teologi Islam merupakan imbangan yang tidak sepadan bagi sains dalam wacana tentang Islam dan sains. Maka dari itu kita perlu memandangnya dari perspektif konsep Islam tentang alam yang secara keseluruhan berakar secara autentik dan didefinisikan oleh nas wahyu, yaitu Alquran.

Membawa nas wahyu ke dalam wacana kontemporer adalah hal yang mungkin menimbulkan suatu sikap kontradiktif, apalagi dalam hal ini Alquran kemudian diasosiasikan dengan teori ilmiah yang sifatnya tidak konstan dan spekulatif dengan menggunakan metode-metodenya. Sedangkan Alquran adalah wahyu Allah yang memiliki otoritas kebenaran final yang tidak bisa diganggu gugat. Proses turunnya telah selesai 14 abad silam setelah wafatnya Nabi Muhammad saw yang menjadi penutup para nabi.

Memang, pada dasarnya Alquran adalah sebuah kitab suci yang berisikan tuntunan-tuntunan dan pedoman-pedoman bagi manusia dalam menata kehidupan mereka agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat, lahir dan batin. Namun selain itu, Alquran juga menyebutkan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan. Alquran tidak hanya menyebut dasar-dasar peraturan hidup, baik dalam hubungannya dengan Tuhan, maupun dalam interaksinya dengan sesama manusia, tetapi ia juga menghimpun bermacam-macam persoalan, termasuk di dalamnya tentang tumbuh-tumbuhan (QS. al-An’am (6):95; an-Nur (24):45; Fathir (35):27), reproduksi manusia (QS. al-Hajj (22):5; al-Mukminun (23):12.), ilmu falak, (QS. al-Ghasiyyat (88):18-20; al-Baqarah (2):189), binatang (QS. an-Nahl (16):8 dan 66; al-Mulk (67):19), dan lainnya yang disebutkan secara global.

Demikian juga di dalam Alquran terdapat beberapa ayat yang menerangkan tentang alam semesta. Alquran menyebutkan, bahwa Allah menciptakan alam semesta dalam enam periode (fi sittati ayyam). Informasi ini tercantum di dalam beberapa surat surat Alquran, diantaranya: al-A’raf (7): 54:

Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.

Q.S. Yunus (10): 3:
Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arasy (berkuasa) untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan memberi syafa’at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka apakah kamu tidak mengambil pelajaran?

Q.S. Hud (11): 7:
Dan Dia-lah yang mencitakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arasy-Nya (singgasana-Nya) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): “Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati”, niscaya orang orang yang kafir itu akan bertanya: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”.

Hal ini menunjukkan bahwa Alquran adalah sebuah kitab suci yang komprehensif yang mengandung berbagai ragam masalah, yang tentunya diturunkan ke dunia bukan hanya untuk sekedar dibaca demi memperoleh pahala, akan tetapi sudah menjadi tugas dan kewajiban umat muslim untuk mengkaji dan menimba ilmu darinya tanpa sedikitpun mengurangi keagungan Alquran.

Apalagi dalam membicarakan suatu masalah, Alquran tidak menyebutkan secara sistematis seperti yang dikenal dalam buku-buku ilmiah, akan tetapi tersebar dalam berbagai surat. Metode pengungkapannyapun bersifat universal, bahkan tak jarang ia menampilkan suatu masalah dalam prinsip-prinsip pokoknya saja. Mungkin inilah kemudian yang membedakan Alquran dengan buku-buku ilmu pengetahuan lainnya, dan menjadikan Alquran sebagai objek kajian yang tak pernah kering dan selalu menghasilkan pengetahuan baru yang mengajak umat Islam untuk kreatif menghimpun ayat-ayat yang berserakan dan menyusunnya dalam sebuah kerangka yang sistematis dalam kajian-kajian keislaman.

Sumber tulisan:
  1. Bagir, Zainal Abidin, et.al. ed, Ilmu, Etika dan Agama: Menyingkap Tabir Alamdan Manusia, Yogyakarta: Program Studi dan Lintas Budaya (CRCS), 2006.
  2. Cayne, Berdnard S., ed. et.al, Ilmu Pengetahuan Populer, USA: Grolier International, Inc., Jakarta: PT. Widyadara, 2005
  3. Barbour, Ian G., When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or Partners?, an Francisco: Publishers, Inc., 2000. Juru Bicara Tuhan Antara Sains dan Agama, terj. E.R. Muhammad, Bandung: Mizan, 2002.
  4. Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Cet. II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
  5. Peters, Ted, et.al. ed, God, Life, and the Cosmos: Christian and Islamic Perspectives, Inggris: Ashgate Publishing Ltd, 2002. Tuhan, Alam, Manusia Perspektif Sains dan Agama, terj. Ahsin Muhammad, et.al., Bandung: Mizan, 2006.
  6. Thoha, Anis Malik, “Problem Agama dan Sains di Dunia Kristen dan Barat”, Islamia, Vol. II No. 5, April-Juni, 2005.
  7. Yahya, Harun, The Miracle in the Atom, Lodon: Ta-Ha Publishers Ltd., 1999. Kesempurnaan Penciptaan Atom, terj. Ary Nilandry, Bandung: Dzikra, 2004.
  8. Guiderdoni, Bruno, Membaca Alam Membaca Ayat, terj. Anton Kurnia dan Andar Nubowo, Bandung: Mizan, 2004.
  9. Qardhawi, Yusuf, Kaifa Nata’amalu Ma’a Al Qurani Al Azhim, Kairo: Daarusy- Syuruq, 1999. Berinteraksi dengan Alquran, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.
  10. Zar, Sirajuddin, Konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran Islam, Sains dan Alquran, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994.
  11. Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Semarang: PT. Tanjung Mas Inti, 1992.
Sumber: Dunia Kita

1 comment:

  1. Menciptakan sesuatu, katakan menciptakan benda-benda yang akrab dengan kita seperti komputer, HP, televisi, mobil dan lain-lain, bukan dengan ayat-ayat suci yang tercantum baik di Alkitab maupun Alquran, tetapi dengan sains yang direkayasa dan dirangkai dalam teknologi, menjadi benda-benda yang bermaafaat bagi kehidupan manusia. Keyakinan agama, bermanfaat agar moral manusia dapat disempunakan untuk melakukan hal-hal yang lebih baik untuk sesamanya, namun pada kenyataan digunakan secara praktis untuk kepentingan para elitnya agar mencapai kekuatan dan kekuasaan meraih ambisinya.

    ReplyDelete