
Pada akhirnya, dalam kepenuhan waktu, segala yang hidup akan mati. Selama lebih dari tiga miliar tahun, kehidupan — dari bentuk paling sederhana hingga yang paling kompleks — telah tumbuh dan berevolusi di bawah bayang-bayang sabit kematian. Dari laut yang purba hingga daratan luas, dari langit yang dijelajahi oleh sayap-sayap pertama, keberagaman biologis berkembang, namun tak pernah lepas dari keniscayaan akhir. Buku besar kelahiran dan kematian, dengan entri yang tak terhitung banyaknya — lebih banyak dari bintang di galaksi — secara perlahan namun pasti menuju keseimbangan yang dingin dan tak memihak. Hidup adalah misteri, tapi kematian adalah kesimpulan pasti.
Namun kesadaran akan akhir ini — yang datang pasti, seperti senja menyusul siang — tampaknya hanya menjadi milik manusia. Jauh sebelum kita ada, badai menggelegar, gunung berapi meletus, dan gempa mengguncang bumi, memaksa makhluk hidup untuk melarikan diri dalam naluri bertahan hidup. Tapi pelarian itu hanya respons sesaat terhadap ancaman. Sebagian besar makhluk hidup hidup hanya dalam sekejap sekarang. Hanya kita — Anda, saya, dan umat manusia lainnya — yang mampu menoleh ke masa silam, membayangkan masa depan, dan memahami kegelapan yang menanti di ujung jalan.
Dan itu menakutkan. Bukan ketakutan yang membuat kita melompat atau berteriak, melainkan firasat sunyi yang hidup diam-diam dalam diri kita — sebuah kesadaran yang kita pelajari untuk diredam, dijinakkan, bahkan dijadikan lelucon. Namun di bawah lapisan sikap itu, tersembunyi sebuah kenyataan yang mengganggu, sebuah pengetahuan yang oleh William James disebut sebagai “cacing di inti dari semua mata air kesenangan kita.” Kita bekerja dan bermain, bercita-cita dan mencinta, merajut hidup dalam tenunan harapan dan usaha. Tapi semua itu menuju lenyap. Untuk meminjam kelakar Steven Wright: itu cukup untuk membuat kita ketakutan setengah mati — dua kali.
Meski begitu, kebanyakan dari kita memilih untuk tidak terus-menerus memikirkan akhirnya. Demi kewarasan, kita menjalani hari-hari dengan perhatian pada urusan duniawi. Kita menerima bahwa waktu kita terbatas, dan mengarahkan tenaga kita ke hal-hal yang berarti. Namun, kesadaran bahwa waktu itu terbatas tetap hadir, membentuk pilihan-pilihan kita, menentukan arah langkah kita. Seperti yang diungkapkan antropolog Ernest Becker, manusia hidup dalam ketegangan eksistensial: kesadaran kita mampu menjulang seperti da Vinci, Shakespeare, atau Einstein, namun tubuh kita tak bisa lepas dari takdir untuk membusuk dan kembali menjadi debu. “Manusia,” kata Becker, “terbagi dua: ia sadar akan keistimewaannya yang agung, namun ia akan kembali ke tanah, membusuk secara membabi buta dan lenyap selamanya.”
Untuk menghadapi kenyataan ini, kita membangun berbagai bentuk pelarian dan penghiburan. Kita berpegang pada keluarga, komunitas, agama, bangsa — struktur yang dirancang untuk bertahan lebih lama dari hidup individu. Kita menciptakan karya, meninggalkan warisan simbolik sebagai jejak keberadaan. Kita mendambakan keindahan, seperti kata Emerson, “sebagai tempat berlindung dari teror keterbatasan.” Sebagian mengejar keabadian melalui prestasi, kekuasaan, atau kekayaan — seolah-olah itu bisa memberi kekebalan terhadap akhir yang menanti semua manusia.
Selama ribuan tahun, kerinduan akan keabadian melahirkan berbagai keyakinan dan mitos — tentang kehidupan setelah mati, tentang kelahiran kembali, tentang semesta yang tak berujung. Tapi yang membedakan zaman kita adalah kemampuan sains untuk menelusuri bukan hanya asal mula segala sesuatu, hingga ke dentuman besar, tetapi juga menatap ke masa depan dengan ketepatan analitis. Kita mungkin tidak pernah mencapai keabadian, namun ilmu telah menunjukkan bahwa bahkan alam semesta ini pun tidak kekal. Planet dan bintang, galaksi dan lubang hitam — semuanya memiliki umur. Tidak hanya kehidupan individu yang terbatas, tetapi kehidupan itu sendiri pun suatu hari akan lenyap. Bumi, yang Carl Sagan gambarkan sebagai “setitik debu yang tergantung dalam cahaya matahari,” adalah sekuntum bunga kosmik yang akan layu. Debu-debu itu, di dekat maupun jauh, menari sejenak di dalam cahaya sebelum menghilang.
Namun di planet ini, dalam waktu yang singkat ini, kita telah menciptakan sesuatu yang menakjubkan. Dengan akal dan imajinasi, generasi demi generasi membangun di atas pencapaian mereka yang telah pergi, mencoba memahami dari mana kita berasal, ke mana kita menuju, dan mengapa semuanya berarti. Dalam ketidakabadian, kita mencari makna. Dalam kefanaan, kita mencipta keabadian.
Kisah tentang SegalanyaKita adalah makhluk pencinta cerita. Realitas yang kita temui sehari-hari—baik yang tampak maupun yang tersembunyi—kita bentuk ulang menjadi narasi. Dari pola yang kita temukan, kita rajut makna, dan dari makna kita ciptakan kisah: untuk menjelaskan, menghibur, menggugah, dan menyentuh nurani. Namun, tidak ada satu narasi tunggal yang dapat menjelaskan semuanya. Alih-alih satu buku besar berjudul "Kebenaran", kita punya perpustakaan yang penuh dengan kisah-kisah—masing-masing disusun dengan bahasa, tata istilah, dan perspektifnya sendiri. Ada kisah reduksionis yang membedah realitas hingga ke tingkat terkecil: partikel-partikel subatomik yang menjelaskan mengapa bintang bersinar dan lukisan bisa terwujud. Ada kisah biologis yang merunut bagaimana molekul bermetamorfosis menjadi sel, dan sel membentuk kehidupan. Ada pula kisah neurologis yang menelusuri jaringan saraf, informasi, dan kesadaran hingga menjadi refleksi, mimpi, musik, dan makna.
Setiap kisah ini adalah jendela yang membuka lanskap pemahaman—berbeda, tetapi saling terkait. Kita bisa menelusuri kisah Don Quixote dari puncak sastra hingga ke dasar atom-atom yang menyusun jari Cervantes saat menulisnya. Kita bisa menelusuri karya seni hingga ke fusi bintang yang melahirkan unsur-unsur kimia yang kini menjadi cat dan kanvas. Namun demikian, deskripsi fisika atau biologi semata tidak mampu menggambarkan getirnya ilusi dan keagungan yang dirasakan pembaca Don Quixote. Inilah keindahan dan batas narasi: setiap kisah menyentuh satu sisi kenyataan, dan hanya dalam penggabungan kisah-kisah itu kita bisa mendekati pemahaman yang lebih utuh.
Suatu hari, mungkin, kita akan menjahit semua cerita ini menjadi satu jaringan yang utuh. Mungkin kita akan mampu mengaitkan teori partikel dengan resonansi emosional sebuah patung karya Rodin. Mungkin kita akan menjelaskan bagaimana cahaya yang memantul dari piring bisa menggugah intuisi Richard Feynman dan mengubah dasar pemahaman kita tentang fisika. Mungkin kita akan menyatukan kesadaran dan kosmos, dan memahami bagaimana semesta melahirkan pikiran, dan pikiran memahami semesta. Tapi bahkan sebelum hari itu tiba, kita telah cukup banyak belajar dari narasi-narasi yang telah tersusun—baik yang ilmiah maupun yang imajinatif. Kita bisa menelusuri asal-usulnya, meneliti percabangannya, dan mengakui bahwa dari sana muncullah dua kekuatan utama yang terus menjadi pusat dari setiap cerita: entropi dan evolusi.
Bab berikutnya membawa kita pada pertemuan pertama dengan entropi—gagasan tentang ketidakteraturan yang perlahan meningkat. Namun, jauh dari sekadar kekacauan, entropi memberi kemungkinan bagi struktur dan dinamika. Dalam arus entropik inilah materi mengorganisasi diri menjadi bintang dan galaksi, dan akhirnya menjadi kehidupan. Dan di sinilah kekuatan kedua muncul: evolusi. Evolusi adalah kisah perubahan yang menyaring kemungkinan berdasarkan kesesuaian terhadap lingkungan. Dan yang mengejutkan, seleksi ini mungkin telah dimulai bahkan sebelum makhluk hidup pertama ada—di dunia molekul yang saling bersaing, di mana keberlanjutan dan efisiensi menjadi "fitur" awal sebelum organisme pertama terbentuk.
Selama miliaran tahun, dua kekuatan ini—entropi dan evolusi—membentuk panggung bagi kemunculan makhluk sadar. Kehidupan bukan hanya mampu merespons lingkungan, tetapi juga merefleksikan keberadaannya. Beberapa dari makhluk ini, seperti kita, tidak hanya sadar, tapi juga sadar bahwa ia sadar. Kesadaran diri muncul, dan bersamanya datang pertanyaan mendalam: Apa itu pikiran? Bagaimana kesadaran muncul dari materi? Beberapa peneliti meyakini bahwa pengetahuan mendalam tentang otak suatu hari akan menjawab pertanyaan ini. Yang lain merasa bahwa kita berhadapan dengan misteri terdalam yang menantang batas pemahaman kita tentang realitas itu sendiri.
Namun, apa pun jawabannya, kecanggihan kognitif ini membawa kita pada ledakan cerita yang tak tertandingi. Di antara kelompok pemburu dan peramu, kita mulai menciptakan narasi, membangun budaya, mengembangkan bahasa, merumuskan agama, dan menciptakan seni. Ini menjadi babak baru dari evolusi—bukan sekadar evolusi biologis, tapi evolusi budaya. Cerita menjadi alat bertahan hidup: mereka menyatukan kelompok, mengajarkan nilai, dan meramalkan masa depan. Dalam bab-bab selanjutnya, kita akan menjelajahi bagaimana bahasa berkembang, bagaimana agama muncul sebagai narasi kosmik dan moral, dan bagaimana seni menjadi cermin batin manusia.
Di sepanjang jalan ini, kita akan kembali pada dua cahaya penuntun: evolusi yang membentuk otak kita, dan kesadaran yang membentuk batin kita. Kecenderungan biologis memang memengaruhi cara kita bertindak, tapi bukan berarti kita robot biologis. Pikiran kita tidak hanya mengikuti naluri, tapi juga bisa menimbang, menunda, dan membayangkan.
Dan di sinilah letak puncaknya. Kapasitas untuk membentuk cerita memungkinkan kita melampaui batas waktu. Kita mampu memandang ke masa lalu dan membayangkan masa depan. Kita adalah satu-satunya spesies yang menyadari kefanaan. Dari “aku berpikir, maka aku ada,” kita melangkah ke pemahaman yang lebih pahit: "Aku ada, maka aku akan tiada."
Tapi justru dari pemahaman itulah kita menemukan makna. Dan mungkin, pada akhirnya, cerita-cerita kitalah yang akan tetap hidup.
Deskripsi
No comments:
Post a Comment