
Bayangkan sebuah teori akhir—sebuah kerangka tunggal yang mampu menyatukan seluruh kekuatan alam semesta, dari tarian partikel subatom terkecil hingga gerak kosmik galaksi yang mengembang. Tujuannya adalah merumuskan sebuah persamaan elegan yang mencakup seluruh fisika, sekaligus menjelaskan seluruh realitas fisik dalam satu formula.
Beberapa fisikawan paling cemerlang di dunia telah mengabdikan diri pada pencarian ini. Bahkan Stephen Hawking pernah menyampaikan kuliah berjudul penuh harap, "Is the End in Sight for Theoretical Physics?"—menggambarkan betapa penting dan mendalamnya pencarian ini.
Jika teori semacam itu berhasil ditemukan, ia akan menjadi mahkota tertinggi dalam sejarah sains—“cawan suci” fisika. Dengan satu rumus, secara prinsip, kita akan mampu menurunkan seluruh hukum fisika lainnya: dari detik pertama Big Bang hingga nasib akhir alam semesta. Ini akan menjadi klimaks dari dua milenium pencarian ilmiah sejak manusia pertama kali bertanya: “Apakah hakikat dari segala sesuatu?”
Sebuah visi yang sungguh menakjubkan.
Mimpi Einstein
Saya pertama kali diperkenalkan pada impian besar ini ketika masih berusia delapan tahun. Suatu hari, saya membaca di surat kabar bahwa seorang ilmuwan besar telah wafat. Di halaman utama, terpampang sebuah gambar yang begitu membekas: meja kerjanya yang masih tertata, dengan buku catatan terbuka yang belum sempat ia tutup.
Judul beritanya menyatakan bahwa ilmuwan terbesar di zaman kita telah meninggal sebelum sempat menyelesaikan pekerjaannya. Ilmuwan itu adalah Albert Einstein. Saya terkesima—apa gerangan persoalan ilmiah yang begitu rumit hingga bahkan Einstein pun tak berhasil memecahkannya? Ternyata ia sedang berusaha membangun sebuah teori yang disebutnya teori medan terpadu—sebuah persamaan tunggal, barangkali hanya sepanjang satu inci, yang akan memungkinkan kita, dalam kata-katanya sendiri, “membaca pikiran Tuhan.”
Saya belum sepenuhnya memahami kerumitan masalah itu, namun saat itu juga saya memutuskan untuk mengikuti jejak sang jenius, berharap suatu hari bisa memberikan kontribusi kecil bagi penyelesaian pencariannya.
Namun jalan yang ditempuh Einstein terbukti terjal. Seperti yang dikatakan Freeman Dyson dari Princeton, "jalan menuju teori medan terpadu dipenuhi dengan mayat intelektual dari upaya-upaya yang gagal." Banyak ilmuwan brilian telah mencoba, hanya untuk menemui jalan buntu.
Kini, untuk pertama kalinya dalam sejarah, banyak fisikawan percaya bahwa kita telah mendekati jawaban yang selama ini dicari. Kandidat terkuat—dan menurut saya, satu-satunya yang masuk akal—adalah teori string. Teori ini menyatakan bahwa alam semesta tidak tersusun atas partikel-partikel titik, tetapi dari getaran kecil mirip dawai atau string. Setiap getaran dari string ini melahirkan partikel subatomik berbeda, layaknya nada-nada dalam musik yang berbeda menghasilkan melodi yang berbeda.
Bila kita memiliki mikroskop sekuat imajinasi, kita akan melihat bahwa elektron, quark, dan neutrino sebenarnya hanyalah getaran dari loop mikroskopik yang menyerupai gelang karet. Dengan cara bergetar tertentu, string itu menciptakan seluruh katalog partikel yang dikenal dalam fisika. Artinya, seluruh hukum fisika dapat dipahami sebagai harmoni dari dawai-dawai ini. Kimia adalah musiknya. Dan alam semesta itu sendiri adalah simfoni agung. Dalam pandangan Einstein yang puitis, pikiran Tuhan tidak lain adalah musik kosmik yang bergema di seluruh ruang dan waktu.
Tapi ini bukan sekadar teka-teki ilmiah atau pertanyaan akademis. Sejarah menunjukkan bahwa setiap kali umat manusia memahami kekuatan fundamental alam, peradaban pun berubah. Ketika Newton menemukan hukum gerak dan gravitasi, ia meletakkan dasar bagi Revolusi Industri. Ketika Faraday dan Maxwell menemukan hukum elektromagnetik, dunia kita diterangi dan komunikasi menjadi instan. Ketika Einstein memformulasikan , kita memahami energi bintang dan membuka gerbang bagi teknologi nuklir. Ketika Schrödinger dan Heisenberg membuka dunia mekanika kuantum, mereka memicu ledakan teknologi informasi: komputer, laser, internet—semua lahir dari pemahaman mendalam atas dunia subatomik.
Kini, kita mungkin sedang berdiri di ambang revolusi terbesar berikutnya: penyatuan keempat gaya fundamental alam—gravitasi, elektromagnetisme, gaya nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah—ke dalam satu teori tunggal. Dan jika kita berhasil, kita mungkin mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan terdalam yang pernah diajukan sains:
-
Apa yang sebenarnya terjadi sebelum Big Bang?
-
Mengapa alam semesta meledak di awal waktu?
-
Apa yang tersembunyi di balik cakrawala lubang hitam?
-
Mungkinkah perjalanan waktu?
-
Apakah ada lubang cacing yang menghubungkan alam semesta paralel?
-
Apakah ruang memiliki lebih dari tiga dimensi?
-
Dan apakah kita hidup di dalam multiverse?
Buku ini adalah catatan perjalanan menuju teori akhir itu—kisah tentang revolusi fisika terdahulu yang membentuk dunia modern, dari hukum Newton hingga relativitas, dari teori kuantum hingga teori string. Ini adalah kisah tentang upaya manusia untuk memahami ruang dan waktu pada level terdalamnya, dan mungkin, akhirnya, membaca simfoni kosmik itu sendiri.
Sebuah Kritik
Namun, meskipun mimpi besar itu menggugah imajinasi, rintangan fundamental masih membayangi. Teori string, untuk semua keanggunan matematis dan keindahan konseptualnya, belum berhasil melewati ujian yang paling penting dalam sains: pembuktian empiris. Para kritikus, yang sebelumnya terdiam oleh semangat dan harapan besar yang mengiringi teori ini, kini mulai bersuara lantang, mempertanyakan sejauh mana kemajuan nyata telah dicapai setelah puluhan tahun penelitian.
Salah satu masalah paling mencolok adalah ketiadaan bukti eksperimental yang kuat. Meski teori string telah digambarkan sebagai kandidat paling menjanjikan untuk menyatukan semua hukum fisika, hingga kini belum ada eksperimen yang secara langsung mendukungnya. Harapan besar sempat digantungkan pada Large Hadron Collider (LHC), akselerator partikel terbesar dan terkuat di dunia yang terletak di luar Jenewa, Swiss. Mesin raksasa ini memang berhasil menemukan Higgs boson—disebut juga "partikel Tuhan"—tetapi itu hanyalah bagian kecil dari teka-teki yang jauh lebih besar. Tidak satu pun dari partikel baru yang diharapkan muncul dari teori string berhasil terdeteksi.
Bahkan dengan usulan ambisius untuk membangun akselerator generasi berikutnya yang lebih kuat, tidak ada kepastian bahwa eksperimen di masa depan akan mengungkap jejak partikel-partikel string. Kita tidak tahu pada tingkat energi berapa, atau dalam kondisi seperti apa, bukti itu mungkin muncul—jika memang ada. Ini membuat banyak orang bertanya-tanya: sampai kapan kita bisa menunggu tanpa kepastian?
Tapi kritik yang paling mendalam justru menyentuh inti dari daya prediksi teori ini. Salah satu konsekuensi teori string yang paling mencengangkan adalah kemunculan gagasan multiverse—ide bahwa alam semesta kita hanyalah satu dari banyak kemungkinan realitas lain yang semuanya sah secara matematis. Ini disebut masalah lanskap: jika teori string memiliki jumlah solusi yang hampir tak terbatas, maka alam semesta kita hanya satu titik di antara hamparan kemungkinan yang luas. Pertanyaannya kemudian menjadi: mengapa alam semesta kita memiliki hukum seperti ini, dan bukan yang lain? Apa yang membuatnya istimewa? Apakah teori string menjelaskan segalanya, atau justru memungkinkan segala kemungkinan tanpa batas, hingga kehilangan kekuatan prediktifnya?
Einstein pernah bertanya, “Apakah Tuhan memiliki pilihan saat menciptakan alam semesta?” Harapannya adalah bahwa hukum-hukum alam bersifat unik, tak terelakkan. Namun jika teori string membiarkan begitu banyak solusi, maka pertanyaan ini masih terbuka.
Saya sendiri terlibat dalam perjalanan panjang ini. Saya mulai meneliti teori string sejak tahun 1968, saat teori ini muncul secara tak terduga, hampir sebagai kecelakaan ilmiah. Saya telah menyaksikan transformasinya dari formula matematis sederhana menjadi bidang riset yang luas, lengkap dengan ribuan makalah, simposium, dan pusat-pusat riset khusus di seluruh dunia. Hari ini, teori string bukan sekadar spekulasi—ia adalah fondasi bagi sebagian besar penelitian teoretis di bidang fisika partikel dan kosmologi.
Buku ini bertujuan untuk menyajikan pandangan yang seimbang: membahas potensi luar biasa dari teori string, namun juga secara jujur mengeksplorasi keterbatasannya. Ini adalah kisah tentang sains yang hidup, yang masih bertumbuh dan berkembang—penuh gairah, perdebatan, dan keraguan.
Di balik setiap kontroversi, ada pertaruhan yang lebih besar: masa depan pemahaman kita tentang alam semesta. Mengapa fisikawan terbesar di dunia begitu tergila-gila pada teori ini? Apa yang membuat mereka berselisih pandang, bahkan hingga pemenang Hadiah Nobel berseberangan dalam menyikapi teori ini?
No comments:
Post a Comment