
“Setiap manusia pada dasarnya ingin tahu.”
— Aristoteles, Metafisika
Setiap pekan, berita utama mengabarkan terobosan baru: teknologi yang mengubah cara hidup kita, kemajuan medis yang memperpanjang usia, hingga pemahaman baru tentang alam semesta. Ilmu pengetahuan telah membuka tabir atas pertanyaan-pertanyaan mendasar yang selama ribuan tahun membingungkan umat manusia: Dari mana kita berasal? Apa tujuan kosmos? Apa yang membentuk realitas fisik? Bagaimana kesadaran muncul dari jaringan sel?
Dalam satu dekade terakhir, kita telah mendaratkan wahana di komet, menciptakan robot yang membentuk bahasa sendiri, menggunakan sel punca untuk memperbaiki organ tubuh, menggerakkan lengan robot hanya dengan pikiran, dan bahkan mengurutkan DNA manusia purba berusia 50.000 tahun. Dunia laboratorium terus memproduksi pengetahuan baru dengan laju yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Ilmu pengetahuan adalah alat utama manusia untuk melawan keterbatasan nasib. Kita tidak lagi tunduk pasrah pada penyakit atau bencana, melainkan melawannya dengan vaksin dan teknologi prediktif. Saat populasi dunia melonjak, sains memberi solusi pangan untuk miliaran jiwa, memperingatkan kita soal perubahan iklim, dan bahkan menjadi tameng terhadap bahaya dari luar angkasa. Dalam perjuangan abadi manusia melawan kefanaan, sains adalah sekutu terkuat kita.
Namun, peran sains melampaui sekadar bertahan hidup—ia memperkaya hidup kita. Dari komunikasi instan lintas benua hingga simulasi dunia virtual dan rekreasi konser musik legendaris di ruang keluarga, sains menghadirkan keajaiban sehari-hari.
Dorongan untuk mengetahui adalah naluri dasar manusia. Leluhur kita yang terdorong oleh rasa ingin tahu adalah mereka yang bertahan dan membentuk peradaban. Evolusi memilih pikiran yang tak puas oleh ketidaktahuan. Seperti kata Aristoteles, memahami dunia adalah kebutuhan mendasar manusia.
Saya sendiri jatuh cinta pada sains sejak di bangku sekolah. Cerita-cerita dari guru sains saya lebih memesona daripada fiksi manapun. Saya membaca New Scientist, Scientific American, dan menonton Cosmos karya Carl Sagan, serta The Ascent of Man dari Jacob Bronowski. Setiap Natal, ceramah Royal Institution menjadi bagian dari perayaan keluarga kami. Buku-buku George Gamow dan Richard Feynman memenuhi kaus kaki hadiah saya.
Namun lebih dari pengetahuan yang telah ditemukan, saya tertarik pada misteri yang belum terpecahkan. Saya ketagihan pada teka-teki Martin Gardner—pemecahannya memberi ledakan euforia penemuan. Teka-teki itulah yang mengasah otak saya menghadapi pertanyaan yang belum punya jawaban. Pertanyaan-pertanyaan inilah yang kemudian menjadi bahan bakar hidup saya sebagai ilmuwan.
Dalam hidup saya, begitu banyak telah berubah. Teleskop kini dapat mengintip planet mirip Bumi, bahkan memperlihatkan bahwa perluasan alam semesta mempercepat. Penumbuk partikel seperti LHC membuka rahasia terdalam materi. Pemindai fMRI menembus aktivitas otak yang dahulu hanya didekati oleh filsafat. Kita kini tahu bagaimana gen disusun dan bagaimana karbon membentuk struktur eksotis seperti grafena.
Matematika, bidang yang saya tekuni, telah menyaksikan terpecahkannya misteri abadi seperti Teorema Terakhir Fermat dan dugaan Poincaré. Namun semakin banyak yang diketahui, semakin sulit rasanya untuk menguasai segalanya. Pengetahuan tumbuh terlalu cepat, dan otak manusia punya batas.
Sebagai Profesor untuk Pemahaman Publik tentang Sains di Oxford, orang-orang berharap saya bisa menjawab segalanya. Suatu hari, saat Nobel Kedokteran diumumkan untuk riset tentang telomer, saya buru-buru membuka Wikipedia untuk memahami topiknya. Teknologi membuat informasi tampak seolah-olah selalu bisa dijangkau. Tetapi mengetahui berbeda dari sekadar mengakses.
Apakah mungkin bagi satu orang untuk memahami semuanya? Dari persamaan Schrödinger, geometri relativitas Einstein, hingga rahasia koneksi neuron yang melahirkan pikiran—ini bukan daftar fakta, melainkan misteri kompleks yang sering melampaui kapasitas individu. Mungkin, ilmuwan terakhir yang tahu segala hal adalah Newton dan Galileo.
Dulu saya percaya bahwa dengan cukup waktu saya bisa memahami segalanya. Namun kini, saya lebih sadar akan batas diri. Matematika yang saya teliti saja sering terasa berada di luar jangkauan nalar saya. Teka-teki yang telah saya kerjakan selama satu dekade masih belum terpecahkan.
Peran saya membawa saya melangkah keluar dari dunia matematika ke ranah biologi, filsafat, dan fisika spekulatif—semuanya menantang cara berpikir saya yang biasa mengandalkan kepastian. Saya terus mendengarkan ceramah, membaca jurnal, dan berdiskusi dengan ilmuwan lain, mencoba menyusun pemahaman dari fragmen-fragmen yang tersedia.
Namun, kita juga harus rendah hati. Fakta ilmiah hari ini bisa runtuh oleh penemuan besok. Bahkan dalam matematika, saya kadang mengandalkan bukti orang lain yang belum saya periksa sepenuhnya. Dunia sains menuntut kita untuk terus berlari hanya agar tidak tertinggal.
Tantangan sejati bukanlah bermain aman di wilayah yang telah diketahui, tetapi menjelajahi kawasan liar dari apa yang belum kita pahami. Di situlah letak inti pencarian ini.
Deskripsi
No comments:
Post a Comment