
Oleh: Nirwan Ahmad Arsuka
Sawerigading dalam epik Bugis ‘karya’ I La Galigo dan Odiseus dalam epik Yunani ‘karya’ Homerus — kedua tokoh ini tidak sekedar meniti ombak menyusur dunia. Mereka berdua membangun semesta, yang ditata pada skala pemahaman manusia.
Tersusun dari sekitar 300.000 larik sajak dalam bahasa tinggi arkaik dengan berbagai cerita berangkai, Sureq (serat) Galigo adalah salah satu karya sastra terbesar dunia. Dan yang pasti, bersama  epik besar Kyrgizstan yang berusia seribu tahun, Manas; dan novel terbesar Cina berjumlah 120 jilid, Impian Kamar Merah (Hung
 Lou Meng) ‘karya’ Cao Xueqin dan Gao E yang ditulis di Era Dinasti 
Manchu di pertengahan abad 18, Sureq Galigo termasuk naskah klasik 
terpanjang yang dihasilkan manusia.
Dari segi jumlah larik 
sajak saja, Sureq Galigo sudah melampaui epos  terbesar Anak Benua India
 yang kerap dianggap terpanjang di dunia: Mahabharata. Tapi 
panjang larik sajak, kecuali mungkin memamerkan stamina penyusunnya, tak
 dengan sendirinya mencerminkan kekuatan sebuah karya.
Sebuah
 puisi epik, merujuk Ian Johnston, berbeda dari sajak naratif panjang 
lainnya karena cakrawalanya yang istimewa. Epik merujuk pada kualitas 
yang diciptakan oleh puisi berupa penjelajahan dan perayaan atas sesuatu
 yang jauh lebih besar ketimbang karakter-karakter atau tempat-tempat 
istimewa yang diuraikannya. Kepada pembaca yang menghidupi dan 
dihidupinya, epik mempersembahkan sebuah pandangan dunia, sebentuk rasa 
keparipurnaan budaya, a sense of cultural completeness.
 
 
 







