Oleh: Natalie Wolchover
16 Desember 2015
(Sumber: www.quantamagazine.com) Teori string, multiverse, dan gagasan fisika modern lainnya
berpotensi tak dapat diuji. Dalam sebuah pertemuan bersejarah di Munich,
para ilmuwan dan filsuf bertanya: haruskah kita tetap mempercayainya?
Fisikawan George Ellis (tengah) dan Joe Silk (kanan) di Ludwig Maximilian University, Munich, 7 Desember 2015. (Laetitia Vancon untuk Quanta Magazine)
Umumnya fisikawan merasa “membutuhkan filsuf dan sejarawan sains
layaknya burung membutuhkan ahli perburungan,” ujar peraih Nobel David Gross pekan lalu kepada para filsuf, sejarawan, dan fisikawan di sebuah ruangan di Munich, Jerman, mengutip Richard Feynman.
Tapi masa genting menuntut tindakan genting. Fisika fundamental sedang menghadapi masalah, jelas Gross—masalah
yang cukup buruk untuk menuntut perspektif orang luar. “Saya yakin kita
saling membutuhkan di saat seperti ini,” ungkapnya.
Itu merupakan sesi pembukaan lokakarya tiga hari, diselenggarakan di
sebuah ruang kuliah bergaya Romanesque di Ludwig Maximilian University
(LMU Munich) setahun setelah George Ellis dan Joe Silk,
dua fisikawan beruban yang kini duduk di barisan depan, menyerukan
konferensi semacam ini dalam sebuah artikel opini provokatif di Nature.
Seratus hadirin singgah ke tanah yang mempunyai tradisi fisika dan
filsafat sains untuk memaklumatkan apa yang Ellis dan Silk sebut “perang
demi jantung dan jiwa fisika”.
Krisisnya, sebagaimana istilah Ellis dan Silk, adalah sifat
spekulatif liar teori-teori fisika modern, yang menurut mereka
mencerminkan penyimpangan berbahaya dari metode ilmiah. Banyak ilmuwan
hari ini—terutama para pendukung teori string dan hipotesis
multiverse—tampak yakin akan gagasan mereka, dengan alasan itu indah
atau logis, terlepas dari kemustahilan untuk mengujinya. Ellis dan Silk
menuduh para teoris ini sedang “menggeser tiang gawang” sains dan
mengaburkan garis antara fisika dan sains semu. “Restu sains semestinya
dianugerahkan kepada teori yang dapat diuji saja,” tulis Ellis dan Silk,
dengan begitu mendiskualifikasi mayoritas teori utama selama 40 tahun terakhir. “Barulah kita mampu mempertahankan sains dari serangan.”
Mereka bereaksi, sampai taraf tertentu, terhadap gagasan kontroversial Richard Dawid. Dalam bukunya, String Theory and Scientific Method
(2013), filsuf Austria ini mengidentifikasi tiga jenis bukti
“non-empiris” yang menurutnya dapat turut membangun kepercayaan pada
teori-teori ilmiah tak berdata empiris. Dawid, peneliti di LMU Munich,
menjawab seruan perang Ellis dan Silk dan mengumpulkan cendekiawan dari
segala penjuru yang menjangkarkan semua sisi argumen untuk acara tingkat
tinggi pekan lalu.
Gross, pendukung teori string yang memenangkan Hadiah Nobel fisika
2004 atas penelitiannya tentang gaya perekat atom-atom, membuka
lokakarya dengan menegaskan: masalahnya bukan terletak pada fisikawan
tapi pada “fakta alam”—fakta yang telah kita jumpai selama empat abad.
David Gross, fisikawan teoritis di Universitas California, Santa Barbara. (Laetitia Vancon untuk Quanta Magazine)
Perburuan teori fundamental yang mengatur semua gaya alam
mengharuskan fisikawan menginspeksi alam semesta semakin dalam—contohnya
memeriksa atom di dalam materi, proton dan neutron di dalam atom, dan
quark di dalam proton dan neutron. Tapi pembesaran (zooming)
ini menuntut semakin banyak energi, dan kesulitan dan ongkos pembangunan
mesin baru bertambah secara eksponensial terkait persyaratan energi,
ujar Gross. “Ini belum jadi masalah besar selama 400 tahun terakhir, di
mana kita sudah beranjak dari [satuan] centimeter ke sepersejuta juta
juta centimeter”—daya resolving aktual Large Hadron Collider
(LHC) di Swiss, ungkapnya. “Kita sudah sangat jauh, tapi pengkuadratan
energi ini sedang menghabisi kita.”
Seiring mendekati batas praktis kemampuan kita untuk menyelidiki
prinsip-prinsip pokok alam, benak para teoris mengembara jauh melewati
jarak amatan terkecil dan besaran energi tertinggi. Petunjuk kuat
mengindikasikan konstituen fundamental alam semesta terdapat pada skala
jarak 10 juta kali lebih kecil daripada daya resolving LHC. Ini adalah domain alam yang coba dilukiskan oleh teori string, kandidat “theory of everything”. Tapi tak ada yang tahu sedikitpun bagaimana mengakses domain ini.
Masalah juga menghambat upaya fisikawan untuk memahami alam semesta
pada skala kosmik. Teleskop takkan pernah berhasil mengintai ke balik
horison kosmik alam semesta kita dan melirik alam-alam semesta lain yang
dikemukakan oleh hipotesis multiverse. Padahal teori-teori kosmologi
modern secara logis mengarah pada kemungkinan bahwa alam semesta kita hanyalah salah satu dari banyak [alam semesta].
Tamatnya Bukti. (Tynan DeBold untuk Quanta Magazine, gambar ikon dari Freepik)
Entah kesalahannya terletak pada teoris yang terhanyut [oleh
suasana], atau pada alam yang memendam rahasia terbaiknya, kesimpulannya
tetaplah sama: teori telah melepaskan diri dari eksperimen. Objek-objek
spekulasi teoritis kini terlalu jauh, terlalu kecil, terlalu energetik,
atau terlalu lampau untuk dijangkau atau dikesampingkan dengan
instrumen sederhana kita. Lantas, harus berbuat apa? Sebagaimana ditulis
Ellis dan Silk, “Fisikawan, filsuf, dan ilmuwan lain semestinya menempa
narasi baru untuk metode ilmiah yang mampu mengurus cakupan fisika
modern.”
“Isu dalam menghadapi langkah selanjutnya,” kata Gross, “bukanlah isu
ideologi melainkan strategi. Apa cara paling berfaedah dalam
mengerjakan sains?”
Selama tiga hari musim dingin yang ringan, para cendekiawan berjibaku dengan pengertian teori, konfirmasi, dan fakta;
bagaimana sains bekerja; dan apakah, di zaman ini, filsafat mesti
membimbing riset fisika atau sebaliknya. Dalam diskusi mendesak tapi tak
lekang oleh waktu ini, terbentuk semacam konsensus.
Aturan Main
Sepanjang sejarah, aturan sains ditulis sambil jalan, hanya untuk
direvisi agar sesuai dengan keadaan yang berkembang. Bangsa-bangsa kuno
percaya mereka dapat menalar jalan menuju kebenaran ilmiah. Lalu, di
abad 17, Isaac Newton menyulut sains modern dengan berpisah dari
filsafat “rasionalis” ini, justru menganut pandangan “empiris” bahwa
pengetahuan ilmiah hanya berasal dari pengamatan empiris. Dengan kata
lain, sebuah teori harus dibuktikan secara eksperimen untuk memasuki
buku pengetahuan.
Tapi syarat apa yang harus dipenuhi oleh teori tak teruji agar
dianggap ilmiah? Para teoris memandu usaha sains dengan mencari-cari ide
untuk diuji lalu menafsirkan hasil eksperimennya; apa yang menjaga
teoris tetap dalam batasan sains?
Hari ini mayoritas fisikawan menilai kelogisan teori dengan memakai rule of thumb-nya filsuf Austria-Inggris Karl Popper (rule of thumb
artinya aturan berdasarkan pengalaman atau praktek ketimbang
teori—penj). Pada 1930-an, Popper menarik garis [pemisah] antara sains
dan non-sains dalam membandingkan karya Albert Einstein dan karya
Sigmund Freud. Teori relativitas umum Einstein, yang menetapkan gaya
gravitasi sebagai lengkungan di ruang dan waktu, membuat
prediksi-prediksi yang riskan—prediksi yang, seandainya tidak sukses
sehebat itu, akan gagal dengan pilu, sehingga memfalsifikasi teori. Tapi
psikoanalisa Freudian licin: apapun kekurangan ibu Anda dapat
diselipkan ke dalam analisa Anda. Teori ini tidak dapat difalsifikasi,
jadi Popper putuskan itu bukan sains.
Paul Teller (dekat jendela), filsuf dan profesor emeritus di Universitas California, Davis. (Laetitia Vancon untuk Quanta Magazine)
Para pengkritik menuding teoi string dan hipotesis multiverse, serta inflasi kosmik
(teori utama tentang bagaimana alam semesta berawal), berada di sisi
garis demarkasi Popper yang salah. Meminjam judul buku teori string
tahun 2006 karangan fisikawan Universitas Columbia Peter Woit, ide-ide
ini “keliru saja tidak”, kata para pengkritik. Dalam editorial mereka,
Ellis dan Silk memanggil roh Popper: “Sebuah teori harus dapat
difalsifikasi agar bisa dikatakan ilmiah.”
Tapi, sebagaimana baru diketahui oleh banyak peserta di Munich, falsifikasionisme bukan lagi filsafat sains yang berkuasa. Massimo Pigliucci,
filsuf di Graduate Center of the City University of New York,
menguraikan bahwa falsifiabilitas sangat tidak memadai sebagai pemisah
sains dan non-sains, sebagaimana diakui oleh Popper sendiri. Astrologi,
contohnya, dapat difalsifikasi—bahkan ia telah difalsifikasi sampai
muak—tapi tetap ia bukan sains. Keasyikan para fisikawan dengan [aturan]
Popper “harus berhenti”, kata Pigliucci. “Kita perlu membicarakan
filsafat sains yang beredar sekarang. Kita jangan membicarakan sesuatu
yang beredar 50 tahun lampau.”
Dewasa ini, sebagaimana dikatakan oleh beberapa filsuf di acara
lokakarya, falsifikasionisme Popperian telah digantikan oleh teori
konfirmasi Bayesian, atau Bayesianisme, sebuah kerangka modern
berlandaskan teori probabilitas abad 18 milik ahli statistik dan pendeta
Inggris Thomas Bayes. Bayesianisme memperkenankan fakta bahwa
teori-teori ilmiah modern umumnya membuat klaim jauh melebihi apa yang
dapat diamati secara langsung—tak seorangpun pernah melihat
atom—sehingga teori-teori zaman sekarang kerap melawan dikotomi
terfalsifikasi & tak terfalsifikasi. Malah, kepercayaan pada sebuah
teori seringkali berada di suatu tempat sepanjang kesatuan, tergelincir
naik atau turun antara 0 s/d 100 persen seiring diperolehnya informasi
baru. “Kerangka Bayesian jauh lebih fleksibel” ketimbang teori Popper,
kata Stephan Hartmann, filsuf Bayesian di LMU. “Ia juga bersambung rapi dengan psikologi penalaran.”
Gross setuju, menyatakan bahwa, usai mendengar teori konfirmasi
Bayesian dari buku Dawid, dirinya merasa “seperti tokoh Molière yang
berkata, ‘Ya Tuhan, selama ini aku berprosa!”
Manfaat Bayesianisme lainnya adalah, ungkap Hartmann, ia memungkinkan
filsuf semacam Dawid untuk mencaritahu “bagaimana bukti non-empiris ini
pas, atau bisa pas”.
Bukti Jenis Lain
Dawid, 49 tahun, berwatak lembut dan murah senyum, berambut cokelat
terkulai, mengawali karirnya sebagai fisikawan teoritis. Di akhir
1990-an, pada saat tugas di Universitas California, Berkeley, sebuah
pusat penelitian teori string, Dawid jadi terpukau oleh keyakinan banyak
teoris string bahwa mereka berada di jalur yang benar, terlepas dari
kurang lengkapnya dukungan empiris teori tersebut. “Mengapa mereka
percaya teori ini?” kenangnya heran. “Apa cara mereka memikirkannya
berbeda dari pemahaman resmi?”
Teori string menyatakan partikel-partikel unsur memiliki
dimensionalitas bila dilihat dari dekat, tampak sebagai simpal (atau
“string”) bergeliat-geliut dan membran pada tingkat zoom
tertinggi. Menurut teori ini, dimensi-dimensi tambahan juga mewujud di
struktur ruang itu sendiri. Beraneka mode vibrasi string di ruang
dimensi tinggi ini melahirkan deretan partikel yang menyusun dunia
teramati. Rincinya, salah satu mode vibrasi cocok dengan profil
“graviton”—partikel hipotetis yang dikaitkan dengan gaya gravitasi.
Dengan begitu, teori string menyatukan gravitasi, yang kini dideskripsikan oleh teori relativitas umum, dengan seluruh fisika partikel.
Video: Richard Dawid, fisikawan yang beralih menjadi filsuf, di Ludwig Maximilian University, Munich. (Laetitia Vancon untuk Quanta Magazine)
Namun, teori string, yang akar ide-idenya dikembangkan di akhir
1960-an, belum membuat prediksi yang dapat diuji mengenai alam semesta
teramati. Demi mencaritahu kenapa begitu banyak periset tetap
mempercayainya, Dawid mendaftar pada beberapa kelas filsafat sains.
Setelah tahu betapa sedikitnya studi yang dicurahkan pada fenomena
tersebut, dia pun beralih bidang.
Di awal 2000-an, dia mengidentifikasi tiga argumen non-empiris yang
membangkitkan kepercayaan terhadap teori string di kalangan para
penganjurnya. Pertama, kelihatannya cuma ada satu versi teori string
yang mampu menggapai unifikasi secara konsisten (meski mengandung banyak
wakilan matematis berlainan); lebih jauh, belum ditemukan “theory of everything” lain yang mampu menyatukan semua gaya fundamental, kendati sudah ada upaya besar-besaran. (Sebuah pendekatan pesaing bernama loop quantum gravity
mendeskripsikan gravitasi pada skala quantum, tapi tak berusaha
menyatukannya dengan gaya-gaya lain.) Argumen “tiada alternatif” ini,
sehari-hari dikenal sebagai “teori string adalah satu-satunya permainan di kota”,
menggenjot keyakinan para teoris bahwa sedikit sekali atau tak ada
pendekatan lain untuk unifikasi keempat gaya fundamental, jadi
kemungkinan besar teori string adalah pendekatan yang tepat.
Kedua, teori string tumbuh dari Standard Model—teori terakui dan
tervalidasi secara empiris yang menggabungkan semua partikel dan gaya
fundamental (kecuali gravitasi) dalam satu struktur matematis—dan
Standard Model juga tak punya alternatif selama tahun-tahun
pembentukannya. Argumen “meta-induktif” ini, demikian sebut Dawid,
menunjang argumen “tiada alternatif” dengan membuktikan diri telah
berfungsi sebelumnya dalam konteks serupa, mengantisipasi kemungkinan
bahwa fisikawan sebetulnya tidak cukup cerdik untuk menemukan
alternatif-alternatif yang ada.
Argumen non-empiris ketiga adalah teori string tanpa diduga memberi
penjelasan untuk beberapa persoalan teoritis selain persoalan unifikasi
yang hendak diatasinya. Joe Polchinski
dari Universitas California, Santa Barbara, seorang teoris string yang
kukuh, menyajikan beberapa contoh “interkoneksi penjelasan tak terduga
ini”, menurut istilah Dawid, dalam sebuah makalah yang dibacakan di Munich di tengah ketidakhadirannya. Teori string menjelaskan entropi black hole dan, dalam penemuan mengagetkan yang telah memicu gelora penelitian selama 15 tahun terakhir, dapat diterjemahkan secara matematis menjadi sebuah teori partikel, misalnya teori yang mendeskripsikan nukleus atom.
Polchinski berkesimpulan, mengingat betapa jauhnya kita dari butiran
halus skala jarak fundamental alam, harusnya kita merasa beruntung:
“Teori string eksis, dan kita sudah menemukannya.” (Polchinski juga
memakai argumen non-empiris Dawid untuk mengkalkulasi peluang Bayesian
sebesar 94% untuk eksistensi multiverse—sebuah angka yang dicemooh oleh oleh para pengkritik vokal multiverse di Internet.)
Satu keprihatinan terkait penyertaan argumen non-empiris dalam teori
konfirmasi Bayesian, sebagaimana diakui Dawid dalam ceramahnya, adalah
“itu membuka gerbang pelepasan semua prinsip ilmiah”. Kita dapat
mengajukan segala jenis kebajikan non-empiris manakala menyukai sebuah
gagasan kesayangan. “Jelas ada resiko, dan jelas kita harus hati-hati
dengan penalaran jenis ini,” ujar Dawid. “Tapi pengakuan bahwa
konfirmasi non-empiris adalah bagian dari sains, dan sudah cukup lama
menjadi bagian dari sains, memberi landasan lebih baik untuk
mendiskusikannya daripada berpura-pura itu tak ada, dan cuma memakainya
secara implisit, lalu berkata saya tidak melakukannya. Sekali itu
terbuka, kita dapat mendiskusikan pro dan kontra argumen-argumen
tersebut dalam konteks terperinci.”
Perdebatan Munich
Tumpukan sampah sejarah diseraki teori-teori indah. Sejarawan kosmologi asal Denmark, Helge Kragh, yang mengurai sejumlah kegagalan ini dalam bukunya, Higher Speculations (2011), berceramah di Munich perihal teori vorteks atom abad 19. “Theory of everything
Victorian” ini, dikembangkan oleh Scots Peter Tait dan Lord Kelvin,
berpostulat bahwa atom adalah vorteks mikroskopis pada eter, medium cair
yang waktu itu diyakini memenuhi ruang. Hidrogen, oksigen, dan semua
atom lain pada dasarnya hanyalah tipe-tipe simpul vorteks. Mulanya teori
ini “terasa sangat menjanjikan”, tutur Kragh. “Orang-orang terpukau
oleh kekayaan matematikanya, yang dapat membuat sibuk matematikawan
selama berabad-abad, sebagaimana dikatakan di zaman itu.” Celakanya atom
bukanlah vorteks, eter tidaklah eksis, dan keindahan teoritis tidak
selalu berarti kebenaran.
Lokakarya Fisikawan di Munich, Desember 2015. (Laetitia Vancon untuk Quanta Magazine)
Kecuali sesekali. Rasionalisme menuntun Einstein menuju teori
relativitas-nya, yang dia yakini sepenuh hati atas dasar rasional
sebelum betul-betul diuji. “Saya rasa benar bahwa pemikiran murni dapat
mencerna realitas, sebagaimana diimpikan oleh bangsa-bangsa kuno,” kata
Einstein pada 1933, bertahun-tahun setelah teorinya dikonfirmasi melalui
observasi cahaya bintang yang tekuk di sekitar matahari.
Bagi filsuf, pertanyaannya adalah: tanpa eksperimen, adakah suatu
cara untuk membedakan antara kebajikan non-empiris teori vorteks dan
teori Einstein? Bisakah kita mempercayai sebuah teori atas dasar
non-empiris?
Dalam diskusi di siang ketiga, filsuf LMU Radin Dardashti menegaskan
bahwa filsafat Dawid rincinya bertujuan menunjuk argumen non-empiris
mana saja yang harus memikul beban, memungkinkan ilmuwan untuk “membuat
penaksiran yang tidak berdasarkan kesederhanaan, yang tidak berdasarkan
keindahan.” Penaksiran Dawidian dimaksudkan lebih objektif dibanding
ukuran-ukuran ini, jelas Dardashti—dan lebih menyingkap janji sejati
sebuah teori.
Menurut Gross, Dawid telah “melukiskan secara indah” siasat-siasat
yang dipakai fisikawan untuk “memperoleh keyakinan terhadap sebuah
spekulasi, ide baru, teori baru.”
“Maksud Anda, keyakinan bahwa itu benar?” tanya Peter Achinstein, filsuf dan sejarawan berumur 80 tahun dari Universitas Johns Hopkins. “Keyakinan bahwa itu berguna? Keyakinan bahwa…”
“Mari tetapkan definisi operasional keyakinan: yaitu saya akan terus mengerjakannya,” jawab Gross.
“Rendah sekali,” timpal Achinstein.
“Tidak untuk sains,” balas Gross. “Itu berarti.”
Kragh menguraikan bahwa Popper pun melihat kegunaan dalam jenis
pemikiran yang memotivasi teoris string hari ini. Popper menjuluki
spekulasi yang tidak menghasilkan prediksi yang dapat diuji sebagai
“metafisika”, tapi dia anggap aktivitas tersebut bermanfaat, karena
boleh jadi kelak dapat diuji. Ini ciri teori atom dahulu, yang oleh
banyak fisikawan abad 19 dikhawatirkan takkan pernah terkonfirmasi
secara empiris. “Popper bukan seorang Popperian lugu,” ujar Kragh. “Jika
sebuah teori tak dapat difalsifikasi,” kata Kragh, menyalurkan Popper,
“itu tak boleh dibuang. Kita harus tunggu.”
Tapi beberapa peserta lokakarya mengemukakan rasa cemas terhadap teori konfirmasi Bayesian, khususnya argumen non-empiris Dawid.
Carlo Rovelli, pendukung loop quantum gravity
(saingan teori string) yang bermarkas di Aix-Marseille University,
Prancis, merasa keberatan karena teori konfirmasi Bayesian tidak
memperkenankan pembedaan penting dalam sains antara teori yang diyakini
ilmuwan dan teori yang masih diuji. “Konfirmasi” Bayesian atas
eksistensi atom pada dasarnya adalah 100%, buah dari tak terhitung
banyaknya eksperimen. Tapi, kata Rovelli, derajat konfirmasi teori atom
tidak boleh diukur dalam satuan teori string. Teori string belum sampai,
katakanlah, 10% terkonfirmasi seperti teori atom; status keduanya
berbeda jauh. “Permasalahan ‘konfirmasi non-empiris’ Dawid adalah ia
mencampuradukkan poin ini,” kata Rovelli. “Dan tentu saja sebagian
teoris string bahagia mencampuradukkannya seperti itu, sebab dengan
begitu mereka bisa bilang teori string ‘sudah terkonfirmasi’, berdalih.”
Fisikawan Jerman Sabine Hossenfelder dalam ceramahnya berargumen
bahwa kemajuan fisika fundamental sering sekali lahir dari penyingkiran
prasangka umum (contohnya, asumsi bahwa gaya-gaya alam harus
dipersatukan). Menggaungkan poin ini, Rovelli menyebut “gagasan
konfirmasi non-empiris Dawid menjadi rintangan bagi potensi kemajuan
ini, sebab ia mendasarkan kepercayaan kita pada kepercayaan terdahulu.”
Itu merenggut salah satu alat—mungkin jiwa—pemikiran ilmiah,”
sambungnya, “yakni ‘jangan percayai pemikiran Anda sendiri’.”
Laporan rapat Munich akan disusun dan dipublikasikan, mungkin sebagai
buku, pada 2017. Perihal apa yang diraih, menurut Ellis satu hasil
penting adalah pengakuan dari peserta teoris string bahwa teori ini
belum “terkonfirmasi” dalam pengertian terverifikasi. “David Gross
menjelaskan posisinya: kriteria Dawid bagus untuk menjustifikasi
pengerjaan teori ini, bukan untuk menyatakan teori ini tervalidasi
secara non-empiris,” tulis Ellis dalam sebuah surel. “Menurut saya itu
posisi yang bagus—dan secara eksplisit saya menyebutnya kemajuan.”
Dalam menimbang bagaimana sebaiknya para teoris terus bekerja, banyak
hadirin mengungkapkan pandangan bahwa pengerjaan teori string dan
ide-ide belum teruji lainnya harus berlanjut. “Teruslah berspekulasi,”
tulis Achinstein dalam surel usai lokakarya, tapi “sampaikan motif
spekulasi Anda, sampaikan penjelasan, tapi akuilah bahwa mereka cuma
penjelasan potensial.”
“Mungkin suatu hari nanti keadaan akan berubah,” imbuh Achinstein,
“dan spekulasi tersebut akan dapat diuji; atau mungkin tidak, mungkin
takkan pernah.” Kita takkan pernah tahu pasti cara alam semesta bekerja
pada semua [skala] jarak dan waktu, “tapi barangkali Anda bisa persempit
kemungkinan yang ada menjadi beberapa saja,” katanya. “Saya kira itu
akan jadi sebuah kemajuan.”
No comments:
Post a Comment