Oleh: Nirwan Ahmad Arsuka
Sawerigading dalam epik Bugis ‘karya’ I La Galigo dan Odiseus dalam epik Yunani ‘karya’ Homerus — kedua tokoh ini tidak sekedar meniti ombak menyusur dunia. Mereka berdua membangun semesta, yang ditata pada skala pemahaman manusia.
Tersusun dari sekitar 300.000 larik sajak dalam bahasa tinggi arkaik dengan berbagai cerita berangkai, Sureq (serat) Galigo adalah salah satu karya sastra terbesar dunia. Dan yang pasti, bersama epik besar Kyrgizstan yang berusia seribu tahun, Manas; dan novel terbesar Cina berjumlah 120 jilid, Impian Kamar Merah (Hung
Lou Meng) ‘karya’ Cao Xueqin dan Gao E yang ditulis di Era Dinasti
Manchu di pertengahan abad 18, Sureq Galigo termasuk naskah klasik
terpanjang yang dihasilkan manusia.
Dari segi jumlah larik
sajak saja, Sureq Galigo sudah melampaui epos terbesar Anak Benua India
yang kerap dianggap terpanjang di dunia: Mahabharata. Tapi
panjang larik sajak, kecuali mungkin memamerkan stamina penyusunnya, tak
dengan sendirinya mencerminkan kekuatan sebuah karya.
Sebuah
puisi epik, merujuk Ian Johnston, berbeda dari sajak naratif panjang
lainnya karena cakrawalanya yang istimewa. Epik merujuk pada kualitas
yang diciptakan oleh puisi berupa penjelajahan dan perayaan atas sesuatu
yang jauh lebih besar ketimbang karakter-karakter atau tempat-tempat
istimewa yang diuraikannya. Kepada pembaca yang menghidupi dan
dihidupinya, epik mempersembahkan sebuah pandangan dunia, sebentuk rasa
keparipurnaan budaya, a sense of cultural completeness.
Ian Johnston betul ketika ia mengulas epik Dante La Divina Commedia dan berkata, pembacaan larik-larik puisi epik membuahkan pengalaman eksplorasi sejumlah pertanyaan-pertanyaan besar tentang arah hidup individual dan sosial, tentang sebuah sistem keyakinan, tentang tradisi-tradisi masa silam dan kemungkinan-kemungkinan hari depan — tentang hal-hal besar yang dengannya kita mendefinisikan kebudayaan.
Alkisah,
Sawerigading, putera mahkota kerajaan Luwu, tengah menjambangi makam
neneknya di negeri Tompoq Tikkaq (Matahari Terbit). Di sana ia
diberitahu rahasia terbesar kerajaan. Di bagian terlarang istana,
hiduplah seorang gadis kelewat cantik yang berjalan dengan pakaian
serampangan dan menghabiskan waktu dengan mabuk mandi dan bercakap
dengan segala jenis burung: seorang makhluk langit yang dititipkan ke
dunia.
Dengan berbagai
cara, Sawerigading mencari jalan menerobos larangan istana. Begitu
melihat gadis tersebut, sukmanya terbang. Ia jatuh cinta pada gadis yang
ternyata adik kembarnya, We Tenriabeng, makhluk paling cendekia dalam
seluruh kosmologi Bugis. Pangeran muda itu sesungguhnya sudah punya
sejumlah isteri. Selain penjudi agung yang gemar menyabung ayam, ia
adalah pemburu perempuan yang bersedia mengembara ke neraka untuk
mendapatkannya. Pernah ia jatuh hati pada seorang puteri yang telah
meninggal. Seluruh armadanya ia kumpulkan lalu dengan brutal ia
menyerang alam arwah yang terlarang dan mengacak-acaknya untuk merebut
kekasihnya dari tangan dewa.
Mengetahui bahwa
tak boleh ia menikahi adiknya, Sawerigading bertolak dari Luwu. Untuk
menjinakkan ingatannya pada si adik, pangeran tampan dan romantis itu
berniat menjarah seluruh lautan. Armadanya mulai membelah samudera
ketika sebuah pesan tiba dari orang tuanya yang kangen. Di depan ayah
bundanya kembali ia memohon ijin mempersunting puteri yang satu tembuni
dengannya. Orang tua yang mati akal dan bahkan pernah dibentak dengan
muncratan ludah itu hanya bisa bilang bahwa insest itu tabu, pemali.
Negeri akan berantakan, padi jadi lalang dan sagu lumpur.
Batara Lattuq Sang Raja lalu mendatangkan seorang nenek tua bangka yang seusia manusia pertama, untuk menegaskan akibat perkawinan sedarah: kehancuran dunia dan kelaparan yang membentang di cakrawala. Mungkin karena usianya yang uzur, mungkin karena tabuhan Sawerigading pada tubuh tua itu terlalu boros, nenek itu terkapar. Seakan ingin memutuskan sejarah yang menabukan insest, Sawerigading memenggalnya.
Batara Lattuq Sang Raja lalu mendatangkan seorang nenek tua bangka yang seusia manusia pertama, untuk menegaskan akibat perkawinan sedarah: kehancuran dunia dan kelaparan yang membentang di cakrawala. Mungkin karena usianya yang uzur, mungkin karena tabuhan Sawerigading pada tubuh tua itu terlalu boros, nenek itu terkapar. Seakan ingin memutuskan sejarah yang menabukan insest, Sawerigading memenggalnya.
Sejumlah
kesintingan, seperti memanggang berhari-hari semua anak Luwu di bawah
matahari dengan harapan agar mereka juga menderita sebagaimana dirinya,
masih dilakukan Sawerigading sebelum akhirnya adik kembarnya datang
menemui. Bissu belia yang bahkan lebih cerdas dari dewa-dewa ini
berupaya keras menghadapi kakaknya yang lebih mencemaskan bahkan
ketimbang setan. Segala macam penjelasan kosmis pemali insest dan kabar
adanya putri Cina lebih cantik dari si adik, tak dapat masuk ke benak
pangeran kepala batu yang terus mendesaknya menikah. Setengah putus asa,
We Tenriabeng yang hampir luluh melihat cinta tak berbatas itu,
memperlihatkan bayangan I We Cudaiq di kuku jarinya. Lalu dimintanya si
kakak berbaring dan ditiupkannya sebentuk mimpi.
Mimpi erotis tersebut — di dalamnya Sawerigading sempat dengan ganas baku cumbu dengan Sang Dewi Cina dalam satu sarung — rupanya bekerja, meski tak cukup ampuh. We Tenriabeng pun berjanji, jika I We Cudaiq tak lebih elok dari dirinya, Sawerigading boleh balik ke Luwuq. Si Adik kembar akan menerima suntingan kakaknya, dan “… kita runtuhkan langit, kita ubah hukum dewata, kita kubur rembulan, melangkahi pemali, duduk bersanding bersaudara”.
Mimpi erotis tersebut — di dalamnya Sawerigading sempat dengan ganas baku cumbu dengan Sang Dewi Cina dalam satu sarung — rupanya bekerja, meski tak cukup ampuh. We Tenriabeng pun berjanji, jika I We Cudaiq tak lebih elok dari dirinya, Sawerigading boleh balik ke Luwuq. Si Adik kembar akan menerima suntingan kakaknya, dan “… kita runtuhkan langit, kita ubah hukum dewata, kita kubur rembulan, melangkahi pemali, duduk bersanding bersaudara”.
Raja Ithaka
Maka diadakanlah
persiapan keberangkatan Sawerigading menuju daratan Cina, sebuah
petualangan samudera yang memiliki persamaan moral-eksistensial dengan
perjalanan pulang Raja Ithaka Odiseus dari Perang Troya yang dahsyat.
Armada Bugis itu memang tak menemu orang-orang Lotopaga yang doyan
teratai, raksasa buas Polifemus bermata satu, Raja Angin Eolus, penyihir
cantik Sirse yang mengubah manusia jadi babi, atau Sirine yang
menjerumuskan dengan nyanyian mautnya. Imajinasi tentang hantu dan
monster laut yang demikian lama mempengaruhi kesadaran Barat dan masih
menyisakan jejak pada peta-peta dunia yang disusun seratusan tahun sejak
Columbus mencapai Amerika, bukanlah imajinasi yang mudah ditemui dalam
kesadaran Bugis.
Dalam Sureq Galigo
yang disusun dari pengalaman maritim ribuan tahun dan mulai diaksarakan
sekitar dua abad sebelum komunitas pertama Eropa terbentuk di Nusantara,
tak ada hantu dan monster mengerikan yang biasanya lahir dari campuran
antara imajinasi agung dan prasangka purba.
Yang ditemui armada Sawerigading di hamparan gelombang menuju Cina adalah hadangan lawan-lawan yang betul-betul manusia, yang dibereskan dalam tujuh pertempuran laut besar-besaran. Lawan pertama ditemuinya setelah tujuh hari bertolak dari pantai Luwuq tempat ia bersumpah takkan kembali ke tanah kelahirannya dan menganggap kepergiannya sebagai sebentuk pembuangan diri menebus sepak terjangnya mengharu biru kerajaan ayah bundanya.
Yang ditemui armada Sawerigading di hamparan gelombang menuju Cina adalah hadangan lawan-lawan yang betul-betul manusia, yang dibereskan dalam tujuh pertempuran laut besar-besaran. Lawan pertama ditemuinya setelah tujuh hari bertolak dari pantai Luwuq tempat ia bersumpah takkan kembali ke tanah kelahirannya dan menganggap kepergiannya sebagai sebentuk pembuangan diri menebus sepak terjangnya mengharu biru kerajaan ayah bundanya.
Armada Mancapaiq
(Majapahit) yang dipimpin oleh Banynyaq Paguling awalnya melawan sengit.
Penumpasannya diakhiri dengan diceraikannya tubuh dan kepala Paguling.
Pertempuran-pertempuran selanjutnya yang tak kalah sengit datang dari
armada pimpinan La Tuppu Soloq, La Tuppu Gellang, La Togeng Tana dan La
Tenripulang. Sedemikian beratnya pertempuran keenam melawan armada La
Tenrinyiwiq, Sawerigading terpaksa meminta bantuan adik kembarnya.
Seperti Remedios the Beauty dalam One Hundred Years of Solitude, We
Tenriabeng saat itu sudah terangkat naik ke langit, melewati guntur dan
halilintar. Pertempuran ketujuh menghadapi armada Settia Bonga Lompeng
ri Jawa Olioqe, yang sudah tiga tahun bertunangan dengan I We Cudaiq
yang hendak disunting Sawerigading. Bersama para pengawalnya, Settia
Bonga ditangkapi dan dipulangkan ke negeri asalnya.
Ketika pagi rekah,
di istananya, Ratu Cina melihat sebuah matahari bergerak di depan
matahari yang sedang naik di horison. Matahari itu adalah I La
Welenreng, perahu induk Sawerigading yang tengah mendekati pantai Cina.
Ketika akhirnya Odiseus terdampar sebagai gelandangan di negerinya, ia
masih harus melewati sejumlah ujian dan rintangan berliku untuk bisa
kembali menduduki tahtanya dan memenangkan hati Penelope, permaisurinya
yang setia. Sawerigading pun harus menempuh jalan berliku dan perang
penghancuran hanya untuk menggiring I We Cudaiq ke pelaminan.
Bahkan setelah
pesta pernikahan itu, Sawerigading masih harus menyelusuri labirin untuk
merebut hati I We Cudaiq. Selama tujuh hari di pusat labirinnya, Putri
Cina itu mengenakan celana panjang yang dijahit rapat kedua ujungnya,
mirip kiat Ursula Iguaran mencegah pemerkosaan Jose Arcadio Buendia.
Versi lain menyebutkan bahwa I We Cudaiq membungkus dirinya bagai
kepompong kupu-kupu raksasa dengan tujuh belas lapis kain sutra dewa.
Hati I We Cudaiq akhirnya terbuka bukan oleh keperkasaan dan
benda-benda, tapi oleh kata benda dan kata kerja: fiksi – rangkaian
prosa dan puisi yang dicipta Sawerigading dari kedahsyatan imajinasi dan
keajaiban petualangannya menjelajah segala jenis gelombang dunia.
Mengomentari Dialektika Pencerahan
Theodor Adorno dan Max Horkheimer yang melacak akar modernitas Barat
dan mengangkat Odiseus sebagai protagonisnya, Jurgen Habermas menulis,
episode-episode dalam Odisei berkisah tentang bahaya, tipu muslihat dan
pelarian diri, yang dengan semua itu, ego — yang belajar mengatasi
bahaya — menemukan jati dirinya sendiri dan mengenyam kebahagiaan
karena persatuan asali dengan alam dalam dan alam luar. Hal yang serupa
bisa juga dikatakan tentang episode-episode Sawerigading meninggalkan
Luwu memasuki jantung istana raja Cina. Apa yang segera tampil dari alur
kisah ini adalah perjuangan gigih suatu subyektivitas untuk membebaskan
diri dari pesona daya-daya mitis dalam kasus Odiseus; dan daya-daya
penakluk keganasan samudera, armada-armada lawan dan keperkasaan
material dirinya sendiri dalam kasus Sawerigading: “sejarah” para sang
tokoh.
Dunia mitis Odiseus
dan dunia non-mitis Sawerigading adalah labirin berkelak-kelok yang
harus ditelusuri sebelum sang tokoh menemukan jati dirinya,
subyektivitasnya. Penelusuran itu bisa berangkat dari motif yang
berbeda, bahkan bertentangan. Seperti terpapar di buku kelima, di Pulau
Calipso, Odiseus merindukan rumah – yang lebih ia cintai ketimbang
kekekalan dan kehidupan bersama seorang dewi di suatu tempat surgawi.
Hal seperti ini nyaris tidak masuk akal bagi Sawerigading. Demi seorang
dewi, bukan saja ia bersedia meninggalkan tanah kelahirannya: ia bahkan
tak begitu keberatan jika tanah airnya berantakan dan seluruh
penduduknya punah tertimpa kutuk.
Sedemikian
pentingnya pembentukan subyektivitas itu sehingga kisah Odiseus dan
Sawerigading tak diakhiri dengan ketenteraman, apalagi kasunyatan.
Setelah mendapatkan kembali Ithaka dan Penelope, Odiseus diserang rasa
bosan yang membakarnya untuk mengembara lagi. Hampir dua enam abad
setelah Homerus konon menyusun Iliad dan Odisei, Alfred Lord Tennyson
menghidupkan kembali gelora Odiseus, berpetualang demi petualangan itu
sendiri, dalam sebuah sajak panjang Ulysses (1842).
……
Come, my friends,
‘Tis not too late to seek a newer world.
Push off, and sitting well in order smite
The sounding furrows; for my purpose holds
To sail beyond the sunset, and the baths
Of all the western stars, until I die.
It may be that the gulfs will wash us down:
It may be we shall touch the Happy Isles,
And see the great Achilles, whom we knew.
Tho’ much is taken, much abides; and tho’
We are not now that strength which in the old days
Moved earth and heaven; that which we are, we are;
One equal-temper of heroic hearts,
Made weak by time and fate, but strong in will
To strive, to seek, to find, and not to yield.
***
Sawerigading tak butuh
waktu lama untuk akhirnya meninggalkan Cina. Lagipula I We Cudaiq
menolak anak yang lahir dari rahimnya sendiri, dan Sawerigading kembali
menjelajah samudera dengan sebuah tahapan baru dalam hidupnya: mengawal
dan mengantar anak keturunannya tumbuh dan bertualang sendiri membentuk
subyektivitas masing-masing.
Dalam Sureq Galigo,
subyektivitas menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pembentukan
keluarga besar: masyarakat. Kuatnya tabu insest dalam keseluruhan epik
ini hanyalah salah satu hal yang mengindikasikan itu. Tabu insest, kita
tahu adalah tapis, penyaring, yang mengarahkan dan mendistribusikan arus
keturunan generasi ke generasi. Seperti ditunjuk Octavio Paz dalam
komentarnya atas karya-karya Claude Levi-Strauss, tabu insest
menjalankan fungsi pembeda dan penengah – yakni menyelenggarakan
diferensiasi, seleksi dan kombinasi sehingga hubungan seksual terubah
menjadi sebuah sistem arti. Ia adalah skema, “yang olehnya dan di
dalamnya terlaksana transisi dari natur ke kultur”, makna yang
tereproduksi dalam transformasi dari seksualitas hewani ke sistem
perkawinan manusia. Seperti halnya bahasa, tabu insest menetapkan dan
mengukuhkan masyarakat. Di balik tabu universal itu, adalah kerja bawah
sadar dari nalar dan budi manusia yang dalam dirinya mungkin tak punya
dasar, tapi berkat kerja bawah sadar itu maka jadilah: manusia ialah
manusia.
Tema insest
menyatukan Sureq Galigo dengan novel terbesar Amerika Latin yang oleh
Pablo Neruda disebut sebagai revelasi terbesar dalam Bahasa Spanyol
setelah Don Quixote: One Hundred Years of Solitude. Epik
tentang para leluhur pertama manusia Bugis itu, diceritakan sedikitnya
lewat tujuh generasi, di mana Sawerigading ada di lapis generasi ke
empat. Gabriel Garcia Marquez bercerita persis tentang enam generasi
trah Buendia, diawali dari sebuah desa di Amerika Latin, sepetak surga
tanpa sejarah di mana kematian belum pernah datang bertamu. Adalah Jose
Arcadio Buendia yang memimpin sekumpulan keluarga membangun pemukiman
baru surgawi itu, yang ia namakan Macondo, sebuah nama yang tak pernah
ia dengar sebelumnya, yang tak punya arti sama sekali, sebuah gema
adikodrati dari mimpinya.
Secara kasar
Solitude dapat dibagi ke dalam empat bagian besar: harmoni sosial dan
kemurnian utopia, heroisme militer dan perjuangan demi otonomi,
kemakmuran ekonomi dan kemunduran spiritual, dekadensi pungkas dan
kehancuran besar. Meski pola kasarnya sangat sederhana: eden yang
menjadi armagedon, novel ini penuh dengan peristiwa ajaib dan karakter
yang tak terbayangkan yang sedemikian luar biasa hingga linieritas dan
kesederhanaan terasa sebagai atribut asing baginya.
Sureq Galigo
bermula ketika Patotoqe (Sang Penentu Nasib) yang maha kuasa di puncak
langit, uring-uringan. Ribuan ayam aduannya terlantar. Rupanya para
penggembala ayamnya sedang melanglang ke dunia, dan ketika balik ke
khayangan mengusulkan agar dunia diisi kehidupan.
Dengan laporan itu, berangkatlah puisi epik ini membingkai sebuah semesta kognitif yang seakan sebuah perahu raksasa tempat dunia Bugis hidup mengarungi lautan waktu.
Dengan laporan itu, berangkatlah puisi epik ini membingkai sebuah semesta kognitif yang seakan sebuah perahu raksasa tempat dunia Bugis hidup mengarungi lautan waktu.
Putera sulung
Patotoqe, La Togeq Langiq yang juga bernama Batara Guru, dikirim ke
dunia dan jadilah ia Manusia Pertama. Sambil berjalan di Bumi mencari
cinta dan pasangan hidupnya, ia menciptakan gunung-gunung, hutan,
lautan, berbagai jenis unggas, hewan dan tanam-tanaman. Ia masih harus
menjalani berbagai cobaan agar dapat dinilai sungguh-sungguh telah
menjadi penduduk dunia, sebelum akhirnya We Nyiliq Timoq hadir di Bumi.
Calon isterinya ini, yang adalah puteri sulung penguasa Dunia Bawah
(Peretiwi), datang dan tercipta lewat buih gelombang Laut Timur, sebuah
imaji yang gampang mengingatkan orang pada lukisan terkenal Sandro
Botticelli tentang kelahiran Venus.
Dari perkawinan
yang didahului adu kesaktian antara Batara Guru dan We Nyiliq Timoq,
dari pertautan Dunia Atas dan Dunia Bawah, lahir Batara Lattuq. Seorang
saudara perempuan lain ibu Batara Lattuq yang bernama We Oddang Riuq,
meninggal tujuh hari setelah dilahirkan, menghujamkan perih yang
beberapa hari kelak menjadi kangen tak tertahankan di hati ayah
bundanya. Mirip imaji Goenawan Mohamad tentang seorang anak sekarat yang
minta ditiupkan sajak ke dalam paru-parunya, dari kubur We Oddang Riuq
tumbuh tanaman yang sedang menguning dalam lima nuansa warna yang
menyebar ke seluruh bukit dan lembah. Tubuh puteri itu terurai menjadi
padi yang akan menghidupi manusia beribu tahun.
Paling tidak sejak
generasi Batara Lattuq, wacana insest kuat menjelujur. Patriark Luwu ini
mengambil peran mirip Ursula Iguaran, matriark Macondo yang
menghabiskan hidupnya seabad lebih untuk memastikan bahwa insest tak
terjadi dalam seluruh cabang trah Buendia.
Insest memang tidak
menyebabkan hancurnya dunia, demikian pemahaman leluhur Buendia, tapi
lahirnya anak-anak dengan ekor babi. Tapi, lelaki Buendia yang juga tak
kalah nekatnya dari Sawerigading, tak peduli jika insest melahirkan
iguana, armadillo atau anak berekor babi, asalkan mereka masih bisa
bicara. Dari orang tua istimewa seperti ini, lahirlah antara lain anak
manis yang sedemikian penurutnya hingga kelak bersedia memimpin 32
pertempuran tanpa pernah memenangkannya, tapi yang menjadikan namanya
identik dengan pemberontakan besar dan pahlawan dongeng. Seorang
prajurit Kolonel Aureliano Buendia menegaskan tujuan perang panjang
pembebasan itu, “kita kobarkan perang ini, melawan para pendeta, agar seseorang bisa menikahi ibu kandungnya sendiri.”
Persamaan
Ketakpedulian pada
akibat insest dan kegototan membendung kemungkinannya hanyalah persamaan
yang bersifat permukaan antara Sureq Galigo dan Solitude. Persamaan
yang lebih mendalam adalah berjalinnya waktu historis-kronologis yang
bersifat linier, dengan waktu kehidupan yang non-linier, yakni rajutan
halus antara waktu siklis yang berulang tanpa henti dengan waktu
imajiner di mana masa silam, masa kini dan hari depan hadir serempak.
Dalam fisika, ini kita temui dalam pergulatan antara waktu
thermodinamik-entropik yang mentakdirkan kehancuran semesta, dengan
waktu evolusi-negentropik yang justeru memungkinkan tumbuhnya struktur
kompleks kehidupan dan kecerdasan yang kian merumit. (Dalam Kalimat
Carlos Fuentes di Pengantarnya: the chronological history runs simultaneously as a mythic historicity.)
Struktur inti Sureq
Galigo adalah perkawinan agung yang melahirkan anak kembar emas di mana
yang putri akhirnya terangkat ke khayangan dan menjadi poros antara
dunia dan langit. Sedangkan putranya, ditakdirkan menjelajah ke seluruh
kolong bintang membentangkan semesta baru yang lebih luas, dan melakukan
perkawinan agung untuk kemudian melahirkan lagi kembar emas.
Demikianlah, riwayat Sawerigading berulang kembali pada anaknya, I La
Galigo To Botoq (Sang Penjudi). Dalam keseluruhan cerita ia memang hanya
menduduki tempat yang tak terlalu penting, namun karakter dan
kenekatannya lebih berwarna-warni dan lebih mencemaskan.
Solitude sangat
kuat diwarnai oleh kehadiran cinta, kesunyian, perselingkuhan dan maut,
yang terus-menerus muncul dan muncul lagi. Watak dan takdir pun tampil
berulang-ulang pada karakter lain, generasi lain, yang memang terus
menyandang nama dari generasi sebelumnya. Seperti dikatakan sendiri oleh
Sang Matriark, jika para Aureliano cenderung menarik diri namun punya
pikiran jernih, para Jose Arcadio impulsif dan giat tapi dicirikan oleh
tanda-tanda tragis. Sejarah betul bisa memiuh takdir dasar tersebut,
tapi tak jauh. Sejarahlah yang memaksa Kolonel Aureliano Buendia menjadi
anarkis besar yang mengharu biru seluruh negeri, tapi itu tak cukup
kuat untuk mencegahnya kembali tenggelam dalam kesendirian patologis di
usia senjanya. Anarkisme yang memuncak ketika ia ke manapun membawa
pleton pengawal dan kapur untuk menarik garis antara dirinya dengan
segenap kemanusiaan, termasuk dengan Ursula Iguaran sendiri, dengan kuat
memancarkan kesunyiannya.
Takdir dasar itu
kembali muncul pada Aureliano Babilonia Buendia. Lahir dari seorang ayah
yang tak bisa menahan mulutnya dan senantiasa diikuti kupu-kupu ke
manapun berjalan, Aureliano Babilonia adalah makhluk paling
berpengetahuan di Macondo. Jika ia membaca buku, itu dilakukannya melulu
untuk mengkonfirmasi pengetahuannya, bukan mencari pengetahuan baru.
Segala hal sudah diketahui, kata “kanibal” penyabar yang tak tahu
apa-apa tentang dunia di luar pintu rumah, namun memiliki segala
pengetahuan ajaib Abad Pertengahan, tentang segala hal di luar dirinya
sendiri: sejarahnya. Cinta kelak menaklukkan pengetahuannya yang tanpa
batas. Dan kesunyian meledakkan keliarannya sampai ia menggunakan
kontolnya yang tak kalah dahsyat dari otaknya untuk berlari keliling
ruangan menyeimbangkan botol bir.
Pada diri Aureliano
Babilonia-lah insest kelak terjadi. Peristiwa itu mendekatkannya pada
sosok legendaris yang dengan tragis melakukan hubungan seks haram dengan
bundanya, penyelamat kota Thebes yang diberkahi pikiran tajam dan
mendalam hingga sanggup memecahkan teka-teki besar Sphinx: Oedipus. Dan
ketika lahir seorang anak dengan ekor babi, seperti yang sudah
diramalkan rinci oleh perkamen Melquiades, seluruh semut merah yang ada
di dunia menggotong pergi anak tersebut. Sebuah badai yang sarat dengan
suara-suara masa silam menghancurleburkan Macondo, melenyapkan tuntas
Kota Bayangan itu dari ingatan ummat manusia. Bangsa yang dikutuk dengan
seratus tahun kesunyian, tak punya kesempatan kedua untuk hadir kembali
di muka Bumi.
Sepintas lalu,
Solitude adalah afirmasi pada fatalisme. Dengan cara ganjil satu persatu
tokoh-tokohnya, jika tidak melenyap, akan mati setelah melalui semacam
keruntuhan mental. Tapi kemampuan bercerita Marquez justeru menghidupkan
Macondo di imajinasi pembaca. Sejarah Macondo mungkin keras seperti
bongkahan padas. Tapi, keajaiban karakter dan sepak terjang
tokoh-tokohnya, membuat padas itu seperi bongkahan yang ditaklukkan oleh
lumut aneka warna: kehidupan; Planet Bumi dalam keluasan antariksa.
Macondo memang
metafor sejarah 500 tahun Amerika Latin: sejarah yang dikuak ketika
Antonio Pigafetta mencatat dengan takjub sebuah benua surgawi yang
bahkan berada di luar impian paling liar Eropa. Firdaus yang tak dihuni
dewa ini kemudian menyaksikan serbuan berdarah para penakluk dan
kolonialisme ratusan tahun, yang mengubahnya jadi neraka. Lalu datang
cabikan perang sipil berkepanjangan serta terjangan kapitalisme dan gaya
hidup Eropa modern. Sejarah yang koyak moyak oleh penindasan dan
penaklukan adalah sejarah yang pada akhirnya memang harus menghancurkan
dirinya sendiri untuk kemudian, bagai burung phoenix, bangkit lagi dari
abu reruntuhannya.
Adapun Sureq Galigo
adalah metafor sejarah ribuan tahun pembentukan, yakni pembentukan
kehidupan dan masyarakat yang mencoba menjauh dari sebuah benua besar di
Utara dan mungkin juga di Timur, menata hidup di atas gelombang,
belajar membangun akar di pulau-pulau dan yang akhirnya tahu bahwa
samudera yang tak berbatas dengan badainya yang tak berbelas adalah
medan realisasi diri yang sejati. Daratan memang hanyalah persinggahan
bagi para pemula dan kaum uzur untuk memberi kesempatan pada keperkasaan
badai samudera menuntaskan hak-haknya dalam siklus musiman yang
teratur. Sejarah yang dimulai ribuan tahun yang silam itu, yang selama
puluhan abad mengendap dan baru meledak tumbuh ketika kerajaan-kerajaan
pantai cukup kuat untuk menopangnya, masih menunjukkan degupnya ketika
Antonio Pigafetta menumpang Victoria yang dikapteni Sebastian de Elcano
peninggalan Magellan memasuki Nusantara dan membawa pulang ke Eropa
barang-barang paling menakjubkan di dunia.
Di antara kelompok
utama etnolinguistik di dunia, keluarga besar Nusantara menempati
teritori geografis terluas di dunia sebelum era modern. Keluarga besar
yang juga dikenal sebagai Melayu-Polinesia dan Austronesia oleh para
peneliti Barat, mencakup sekitar 60 % keliling Planet Bumi, membentang
dari Madagaskar ke Rapa-Nui (Pulau Paska), pulau paling
terpencil di dunia yang dipenuhi patung-patung batu megalithik. Konon,
leluhur pertama Rapa-Nui disebut Hotu Matu’a, artinya Orang Tua Agung.
Dalam Bahasa Bugis, arti itu ditandai oleh kata To Matoa. Dari Utara ke
Selatan, keluarga Nusantara meliput Taiwan, Kepulauan Hawaii (dari
“Hava-iki”, atau “Jawa Kecil”) dan terus ke Selandia Baru. Di luar
teritori inti ini, kawasan lain sering juga dikunjungi, termasuk
sebagian besar Samudera Indonesia hingga ke pantai-pantai Afrika Timur,
dan Samudera Pasifik sampai ke Amerika Selatan. Sampai kini, seperti
dikatakan oleh antropolog Belanda Wjin Sargent, komunikasi masih dapat
berlangsung antara pelaut Bajo Indonesia dengan pelaut Bajo yang
mencapai Chile dan Argentina.
Penjelajahan
maritim tokoh-tokoh Sureq Galigo memang tidak terlalu jauh ke Timur,
mencapai Colombia atau Chile misalnya. Kawasan penjelajahan mereka
meliput geografi Asia Tenggara. Sejumlah nama dalam epik yang
dimeriahkan oleh ratusan protagonis ini, seperti dipungut lewat
penjelajahan maritim yang menerobos jauh ke Barat: ke Anak Benua India
dan Jazirah Arab. Di masa ketika Sureq Galigo mulai ditulis, di abad ke
14, Nusantara dikelilingi oleh Dinasti Ming yang baru bangkit dari
reruntuhan Dinasti Yuan di Utara, Kesultanan Mogul yang hidup di tengah
warisan Dinasti Gupta dan ajaran Hindu Budha di anak benua India, dan
imperium Usmani yang bangun dari puing kekhalifahan Abbasiah di sekitar
Arabia. Kebudayaan-kebudayaan besar berbasis benua ini, adalah Sang Lain
bagi Nusantara yang berbasis lautan.
Bersama Majapahit
yang agraris di Selatan, dinasti-dinasti benua ini, adalah lawan
sekaligus sumber inspirasi bagi Bugis. Bagai sebuah spon raksasa, Bugis
menyerap semua yang bisa diambilnya dari luar, menetapkan keberadaan
entitas-entitas itu dengan perkawinan dan perang laut, atau perjudian
yang tak lain adalah matafor untuk ujian bagi nyali dan intelegensi.
Perahu-perahu Bugis yang menjelajah hampir sepertiga keliling Bumi, tak
hanya membawa barang dagang atau bajak laut, tapi juga memuat pulang
ide-ide, imaji-imaji, metafora-metafora yang kesemuanya dipakai dan
dicerna untuk membentuk semesta simbolik.
Bugis sedang dalam
puncak-puncak pertumbuhannya saat itu, dan belum melihat jalan turun.
Kebudayaan yang baru mekar dan penuh semangat hidup ini, memberi tempat terhormat pada petualangan-petualangan untuk menyebar luas bagai diaspora di atas pantai-pantai yang seakan baru diciptakan. Ia belum terlalu tua untuk mulai memberi tempat yang seimbang pada kematian, untuk merenunginya dan menjelajahi sudut-sudutnya. Kematian memang muncul dalam Sureq Galigo, hanya untuk kemudian ditampik, atau dijadikan pupuk bagi kehidupan baru: kematian We Oddang Riuq, perang-perang brutal yang dilakukan seperti pesta pora dalam menumpas penghuni langit, ritual pengorbanan para bissu demi lahirnya anak-anak penyambung generasi penguasa dunia.
Segenap bissu dan prajurit yang mati ini, juga prajurit lawan, kelak dihidupkan lagi. Yang jadi arwahpun masih bisa dikunjungi, kadang-kadang didatangi untuk perang, seakan-akan mereka cuma pindah pulau ke seberang cakrawala yang bau mentah pantainya masih tercium.
Kebudayaan yang baru mekar dan penuh semangat hidup ini, memberi tempat terhormat pada petualangan-petualangan untuk menyebar luas bagai diaspora di atas pantai-pantai yang seakan baru diciptakan. Ia belum terlalu tua untuk mulai memberi tempat yang seimbang pada kematian, untuk merenunginya dan menjelajahi sudut-sudutnya. Kematian memang muncul dalam Sureq Galigo, hanya untuk kemudian ditampik, atau dijadikan pupuk bagi kehidupan baru: kematian We Oddang Riuq, perang-perang brutal yang dilakukan seperti pesta pora dalam menumpas penghuni langit, ritual pengorbanan para bissu demi lahirnya anak-anak penyambung generasi penguasa dunia.
Segenap bissu dan prajurit yang mati ini, juga prajurit lawan, kelak dihidupkan lagi. Yang jadi arwahpun masih bisa dikunjungi, kadang-kadang didatangi untuk perang, seakan-akan mereka cuma pindah pulau ke seberang cakrawala yang bau mentah pantainya masih tercium.
Ringkasnya, Sureq
Galigo adalah selebrasi pada kehidupan. Perayaan dunia yang muda dengan
hamparan samuderanya yang tak pernah berdusta, yang selalu setia membuka
kesempatan menyesap keabadian detik-detik terakhir kesunyian sebelum
prahara; keluasan tanpa batas yang kadang diterawang dengan mata
berawan.
Paz pernah mencoba
menunjukkan betapa mitos-mitos berkomunikasi, peradaban-peradaban saling
berbicara, di luar kesadaran manusia-manusia yang membentuk dan
mengembangkannya.
Penentukan secara pasti sintaksis mitologis benua Amerika, untuk kelak dikaitkan dengan sistem-sistem lain dari bangsa-bangsa Indo-Eropa, Oceania, Afrika dan Mongol di Asia, dipakainya sebagai dasar menuju kesimpulan komunikasi antar mitos itu. Memastikan sintaksis mitologis Sureq Galigo, mengaitkannya dengan sintaksis Odisei dan Solitude, lalu menyimpulkan bahwa ketiga karya sastra besar ini berkomunikasi, memang agak kurang pas di sini. Tetapi jelas, ketiga karya tersebut menunjukkan adanya suatu universalitas. Dan itu bukan sekedar universitas nalar, yakni “nalar” dalam pengertian yang lebih besar dan luas dari sekedar nalar kritis: nalar yang bekerja dengan pluralitas metafora, semacam tata kerja universal spirit manusiawi, yang menyatakan hal yang sama belaka.
Penentukan secara pasti sintaksis mitologis benua Amerika, untuk kelak dikaitkan dengan sistem-sistem lain dari bangsa-bangsa Indo-Eropa, Oceania, Afrika dan Mongol di Asia, dipakainya sebagai dasar menuju kesimpulan komunikasi antar mitos itu. Memastikan sintaksis mitologis Sureq Galigo, mengaitkannya dengan sintaksis Odisei dan Solitude, lalu menyimpulkan bahwa ketiga karya sastra besar ini berkomunikasi, memang agak kurang pas di sini. Tetapi jelas, ketiga karya tersebut menunjukkan adanya suatu universalitas. Dan itu bukan sekedar universitas nalar, yakni “nalar” dalam pengertian yang lebih besar dan luas dari sekedar nalar kritis: nalar yang bekerja dengan pluralitas metafora, semacam tata kerja universal spirit manusiawi, yang menyatakan hal yang sama belaka.
Marquez punya istilah untuk universalitas tersebut: the persistent advantage of life over death.
Pada pidato penerimaan Nobel-nya, sambil mengutip Faulkner yang
menampik Kematian Manusia, Marquez bicara tentang universalitas itu, dan
tentang penciptaan sebuah utopia baru dan agung tentang Hidup, di mana
bangsa yang terkutuk dengan seratus tahun kesunyian, akan punya
kesempatan kedua di muka bumi.
Universalitas Nalar
dan Kehidupan membuat Sureq Galigo yang maha panjang itu adalah episode
awal Solitude, perjalanan Raja Ithaka adalah cuplikan bagian tengah
Sureq Galigo, sementara penghancuran Macondo dan Pidato Nobel Marques
tak lain dari ajakan petualangan baru Odiseus.
Dalam kepustakaan mutakhir Matematika Kompleksitas, struktur dalam struktur seperti itu dikenal sebagai subyek kajian geometri fraktal, dengan contoh terbaik Set Mandelbrot: superfraktal yang tampaknya merepresentasi sebagian watak dasar semesta dan kehidupan. Adapun Sureq Galigo, begitu kuat ia terdorong oleh angin musim pertumbuhan dan pembentukan masyarakat, sehingga ia melingkar-lingkar tertenun sedemikian panjang dan rinci, seakan jika suatu saat dunia Bugis lenyap dari permukaan Bumi, maka ia bisa diciptakan lagi melulu dari puisi epik ini.
Dalam kepustakaan mutakhir Matematika Kompleksitas, struktur dalam struktur seperti itu dikenal sebagai subyek kajian geometri fraktal, dengan contoh terbaik Set Mandelbrot: superfraktal yang tampaknya merepresentasi sebagian watak dasar semesta dan kehidupan. Adapun Sureq Galigo, begitu kuat ia terdorong oleh angin musim pertumbuhan dan pembentukan masyarakat, sehingga ia melingkar-lingkar tertenun sedemikian panjang dan rinci, seakan jika suatu saat dunia Bugis lenyap dari permukaan Bumi, maka ia bisa diciptakan lagi melulu dari puisi epik ini.
Daya Perempuan
R.A. Kern pernah
mencoba meringkas puisi ini. Hasilnya adalah sebuah (inti) novel raksasa
dalam bentuk sinopsis dan katalog sejumlah 1027 halaman. Christian
Pelras menyebut bahwa ringkasan Kern itu berjumlah 1356 halaman,
disuling dari 113 manuskrip yang jumlah seluruh halamannya sekitar
31500. Karya yang pertama kali diperkenalkan sekilas ke Barat oleh T. S.
Raffles lewat The History of Java (1817) ini tak pernah
dikisahkan tuntas dari awal sampai akhir: hanya bagian-bagian tertentu
saja yang pada kesempatan upacara khusus, dibacakan sambil dilagukan.
Ada upaya memang untuk menyalin serat ini dari ingatan bersama dan psike
Bugis ke dalam abjad-abjad lontar sejak enam abad silam. Hasilnya
adalah fragmen episode-episode, dengan versi masing-masing, yang
terkandung dalam ratusan kumpulan naskah yang tersebar di berbagai
perpustakan dalam dan luar negeri. Kumpulan terlengkap disusun oleh
perempuan ningrat Colliq Puji, Arung Pancana Toa dari Kerajaan Tanete
atas permintaan B.F. Matthes di pertengahan abad kesembilanbelas.
Terdiri dari 12 jilid, naskah ini diperkirakan baru merangkum sepertiga
dari keseluruhan cerita.
Fakta bahwa makhluk
paling cerdas dalam kosmos Galigo dan penyusun naskah terlengkap puisi
panjang ini adalah perempuan, dan bahwa selain anggota istana, hanya
perempuanlah yang menguasai kunci ke naskah agung ini, membuat saya
pernah membayangkan bahwa penyusun utama wiracarita yang sangat kuat
nuansa maskulinnya ini bukanlah lelaki. Saya membayangkannya mirip Jorge
Luis Borges membayangkan Pierre Menard, pengarang Don Quixote. Andaipun
tak menduduki posisi sentral seperti Yesus dalam Agama Kristen,
barangkali perempuan mengambil posisi mirip Petrus, tokoh terpenting
kedua yang menginstitusikan inspirasi Kristus. Ini tak mustahil
mengingat alangkah tingginya posisi perempuan dalam semesta
Bugis-Makassar selama berabad-abad hingga mendaratnya monotheisme di
pantai-pantainya.
Puisi epik yang
konon adalah pencapaian tertinggi yang diaspirasikan penyair memang
hidup untuk menyimbolkan kesadaran sebuah jaman, mengikhtisarkan
nilai-nilai yang diyakini manusia. Dihiasi oleh tindakan-tindakan dan
karakter-karakter heroik yang dimuliakan oleh jaman yang dihidupkannya,
ia adalah sebentuk puisi yang dengan hati-hati memasukkan sejarah, tapi
yang kemudian mengatasi sejarah itu melalui imajinasi mitikal yang
niscaya berdimensi teologis. Dan sekedar bayangan bahwa di belakang
wiracarita Galigo ada semacam sosok Hypatia dari Perpustakaan dan Museum
Aleksandria, sudah membentangkan gambaran menakjubkan tentang bagaimana
sebentuk “feminisme purba” dengan cara yang sangat canggih melakukan
rekayasa kognitif yang bukan sekedar penciptaan sebuah dunia di mana
dimensi-dimensi fisis diimbuhi dengan ketertataan dalam pengertian moral
dan spiritual.
Ada kemungkinan
bahwa sampai akhir jaman versi pamungkas Sureq Galigo yang serba
koheren, semacam teks pertama “pra-Menara-Babel” yang utuh sebelum
terpecah-pecah dalam waktu, tak akan pernah terbentuk. Sinopsis Kern
memang menunjukkan, meminjam Sirtjo Koolhof, suatu inti naratif dasar
yang disari dari segugus episode yang relatif tegas. Tetapi, rincian
cerita dan kemungkinan-kemungkinannya yang dapat muncul antara pembukaan
dan penutup serat ini, sungguh tak terbatas. Ketakterbatasan itu adalah
samudera kosong yang menanti penjelajahan artistik besar-besaran di
mana sureq ini dibongkar, disalah-baca, diperkaya seluas dan sedalam
psike manusia dan keliaran imajinasinya.
Tentang psike dan
imajinasi, Bugis memang hanya bagian sangat kecil dari kenyataan besar
Kehidupan, yang sedemikian besar hingga tanpa Bugis pun, bahkan mungkin
tanpa homo sapiens, ia tetap akan tumbuh mengagungkan dirinya dan
mengatasinya. Bersama segenap karya agung imajinasi manusia, Sureq
Galigo — asal tak dibiarkan mati oleh pensakralan dan penyempitan
pembuluh akses — dan karya-karya sastra dunia yang lain adalah bahan
mentah penulisan puisi epik yang sedemikian agung sehingga jika kelak
dunia, bahkan alam semesta seisinya, tiba-tiba melenyap dalam ketiadaan,
ia mungkin saja diciptakan lagi antara lain dari puisi akbar itu.***
Rujukan:
- Fachruddin, A. E. 1983. Ritumpanna Wélenrénngé: Telaah Filologis Sebuah Episode Sastra Bugis Klasik Galigo. Ph.D. thesis. Jakarta: University of Indonesia.
- Garcia Marquez, Gabriel. 1970. One Hundred Years of Solitude. Translated from Spanish into English by Gregory Rabassa. England: Penguin Books. Introduction by Carlos Fuentes.
- Homer. 1997. The Odyssey. Translated by Robert Fagels; Introduction by Bernard Knox. USA: Penguin Books.
- Johnston, Ian at http://www.mala.bc.ca/~johnstoi/
- Kern, R.A. 1989. I La Galigo: Cerita Bugis Kuno. KITLV-LIPI Translation Series. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
- Koolhof, Sirtjo. 1999a. Diversity in Unity: The Language of Tradition in the La Galigo. Paper for the Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara “Tradisi Tulis Nusantara Menjelang Milenium III”. Jakarta, 12 – 13 October 1999.
- Koolhof, Sirtjo. 1999b. The La Galigo: A Bugis Encyclopedia and its Growth. Bijdragen. Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia and Oceania. Nederland: KITLV
- Pelras, Christian. 1996. The Bugis. Oxford / Cambridge, Massachusetts: Blacwell. [The Peoples of South-East Asia and The Pacific].
- Rahman, Nurhayati. 1998. Sompeqna Sawerigading Lao ri Tana Cina. (Episode Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina). Ph.D. thesis. Jakarta: University of Indonesia. [Sawerigading’s Odyssey to China Land].
- Salim, Muhammad, et al. (eds). 1995. I La Galigo Menurut Naskah NBG 188 Yang Disusun oleh Arung Pancana Toa. Introduction by Sirtjo Koolhof. Volume 1. Jakarta: Djambatan.
Versi yang
lebih ringkas tanpa catatan kaki dan rujukan, terbit di KOMPAS Edisi
Millenium 1 Januari 2000. Diterbitkan kembali dalam bungarampai “1000 Tahun Nusantara,” JB Kristanto (ed.), (Jakarta: KOMPAS, 2000)
No comments:
Post a Comment