Nima Arkani-Hamed tengah memperjuangkan kampanye pembangunan
pembentur partikel (particle collider) terbesar di dunia seraya mengejar
visi hukum alam yang baru.
Nima Arkani-Hamed. (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Ajaklah Nima Arkani-Hamed berbincang tentang alam semesta—tidak
sulit—maka dia akan bicara bermenit-menit atau berjam-jam dan membawa
Anda ke batas pemahaman manusia, kemudian dia akan lewati batas
tersebut, melampaui Einstein, melampaui ruang-waktu
dan mekanika quantum dan semua tropus penat fisika abad 20, menuju visi
baru nan spektakuler tentang bagaimana segala sesuatu bekerja. Rasanya
begitu sederhana, begitu jelas. Dia akan mengingatkan Anda bahwa, di
tahun 2015, ini masih spekulatif. Tapi dia yakin, suatu hari kelak visi
ini akan jadi kenyataan.
Dia memenangkan Fundamental Physics Prize perdana senilai $3 juta
pada 2012 atas “pendekatan orisinil terhadap permasalahan menonjol dalam
fisika partikel, meliputi proposal dimensi tambahan besar, teori-teori
baru untuk boson Higgs, realisasi baru supersimetri, teori-teori dark matter,
dan eksplorasi struktur matematis baru dalam amplitudo hamburan teori
tolok”. Atas dasar arus ide yang dihasilkannya selama 20 tahun ini, Arkani-Hamed,
43 tahun, profesor di Institute for Advanced Study (IAS), Princeton,
New Jersey, diakui luas sebagai salah satu fisikawan teoritis terbaik
hari ini. Para kolega menunjuk kejeniusannya atas penyederhanaan
soal-soal kompleks, juga kemampuan matematika luar biasa, kreativitas,
naluri, dan wawasan fisika yang luas. “Nima mengagumkan dalam setiap
komponen ruang bakat,” ujar Savas Dimopoulos, fisikawan partikel teoritis di Universitas Stanford.
Tapi sementara banyak fisikawan papan atas menjauh dari panggung,
Arkani-Hamed, kata koleganya, berfungsi sebagai “mesias”, “Pied Piper”,
“impresario”. Lengan bergerak dan rambut terjurai ke pundak, dia
menjalin kalkulasi, eksperimen pikiran, dan preseden sejarah ke dalam
narasi, menguraikan bab-bab yang akan datang dengan percaya diri.
Pendengarnya berasal dari kalangan mahasiswa pascasarjana hingga
pemenang Hadiah Nobel. “Dia terus memenuhi harapan, dan bujukannya
berdaya hipnotis,” kata Raman Sundrum, fisikawan teoritis di Universitas Maryland, College Park, “jadi banyak orang mengikuti panduannya.”
Misi Arkani-Hamed—mudah dikatakan, tapi menyita segalanya sampai-sampai dia nyaris tidak tidur—adalah memahami alam semesta.
“Saya merasa tak ada waktu untuk bermalas-malasan,” tuturnya musim
panas ini di Princeton. Obsesi ini membawanya ke beberapa arah, tapi
pada tahun-tahun belakangan ada satu persoalan alam semesta yang menyita
pikirannya, di samping bidang [fisika] secara keseluruhan. Fisikawan
partikel berusaha mencaritahu apakah atribut-atribut alam semesta
bersifat niscaya, terprediksi, “alami”, seperti kata mereka, saling
mengunci membentuk pola pantas, ataukah alam semesta teramat tidak
alami, sebuah permutasi ganjil di antara tak terhitung kemungkinan lain
yang lebih monoton, diamati hanya karena kondisi istimewanya
memungkinkan timbulnya kehidupan. Alam semesta alami, secara prinsip,
adalah alam semesta yang dapat diketahui. Tapi jika alam semesta tidak
alami dan disetel halus untuk kehidupan (hasil mujur dari roda rolet
kosmik), maka sudah sewajarnya “multiverse” alam-alam semesta
yang berlimpah dan beragam eksis di luar jangkauan kita—produk-produk
tak berkehidupan dari putaran [rolet] yang kurang beruntung. Multiverse
ini menjadikan alam semesta kita mustahil dipahami penuh berdasarkan
persyaratannya sendiri.
Kenyataannya, partikel-partikel unsur yang dikenal, terkodifikasi
dalam seperangkat persamaan berumur 40 tahun bernama “Standard Model”,
tidak memiliki pola pantas dan herannya seolah disetel halus untuk
kehidupan. Arkani-Hamed dan fisikawan partikel lain, dibimbing oleh
keyakinan mereka akan kealamian, telah menghabiskan waktu
berdekade-dekade guna merancang cara cerdik untuk mencocokkan Standard
Model ke dalam pola alami dan lebih besar. Tapi berulangkali pembentur
partikel yang kian canggih gagal menemukan bukti proposal mereka dalam
wujud partikel atau fenomena baru, malah semakin menunjukkan prospek
suram dan radikal bahwa kealamian telah mati.
Nima Arkani-Hamed. (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Tetap saja banyak fisikawan, terutama Arkani-Hamed, mencari jawaban
yang lebih pasti. Dan saat ini, usaha untuk menjawab persoalan kealamian
membawanya ke China. Dua tahun silam, dia setuju menjadi direktur
perdana Center for Future High Energy Physics yang baru di Beijing.
Sejak saat itu dia mengunjungi China 18 kali, mengkampanyekan
pembangunan mesin berskala tiada tara: sebuah particle collider
bundar dengan keliling hingga 60 mil, atau nyaris empat kali lebih
besar daripada Large Hadron Collider (LHC)-nya Eropa. Dijuluki “Great
Collider”, dan ditaksir memakan biaya kurang-lebih $10 miliar dalam 30
tahun, ia akan menggantikan LHC sebagai pusat baru semesta fisika.
Menurut Arkani-Hamed dan orang-orang yang sependapat dengannya,
pembentur 100 triliun elektron volt (TeV) ini akan menghantamkan
partikel-partikel subatom cukup keras untuk menemukan partikel-partikel
yang tak mampu dihimpun oleh LHC atau justru mengesampingkannya,
menyelamatkan atau menghabisi prinsip kealamian dan mendorong fisikawan
kepada salah satu dari dua gambaran yang bertolak belakang: alam semesta
yang dapat diketahui, atau multiverse yang tak dapat diketahui.
Kampanye pembentur China mendapat dukungan dan keterlibatan banyak peneliti terkemuka selain Arkani-Hamed, termasuk Yifang Wang, peraih Hadiah Nobel David Gross, dan peraih medali Fields S.T. Yau,
serta sepasukan pelaku eksperimen dan insinyur yang bekerja di balik
layar, walau proyek ini kontroversial. Para pakar berselisih: apa yang
akan diraih mesin ini. Mereka juga bertanya-tanya apakah China siap
mengambil kepemimpinan dalam fisika partikel, apakah komunitas fisika
partikelnya yang kecil mampu tumbuh cukup cepat dalam dua dekade ke
depan untuk menjalankan proyek sebesar dan serumit ini, sekalipun dengan
bantuan ribuan fisikawan Eropa dan AS. Sebagaimana diungkapkan oleh Tao Han,
salah satu fisikawan partikel yang mendukung kampanye tersebut, perihal
kerisauan sebagian kolega China-nya, “Apa kita sedang melompat terlalu
jauh dan jatuh keras?”
Sekarang adalah waktu pengambilan keputusan. Pemerintah China akan
melansir rencana anggaran lima tahun menjelang akhir tahun. Itu akan
menyingkap apakah mereka berencana berinvestasi dalam penelitian dan
pengembangan proyek pembentur.
“Program 100 TeV China ini brilian, sangat menantang, sangat riskan.
Dan itu sebabnya hal semacam ini, saya pikir, takkan punya daya tarik
tanpa Nima,” kata Sundrum, yang berkunjung ke Beijing untuk membantu
kampanye. “Dia telah melakukan persuasi besar-besaran untuk
mengangkatnya dari fantasi belaka, fantasi kekalahan, menjadi sesuatu
yang memiliki peluang tempur.”
Parkir dan Pergi
Bagi Arkani-Hamed, kampanye pembentur China terasa seperti membuka
sebuah pintu. “Kalau dipikir lebih dalam, ini sempurna sekali,”
ungkapnya, menyeruput Coke Zero di sofa kantornya. “Ini akan bagus untuk
fisika, ini akan bagus untuk China. Mereka sedang mencari sesuatu di
mana mereka bisa menjadi yang terbaik di dunia.” Dia menyambung, “Ada
segelintir hal dalam hidup ini di mana apa yang ingin Anda kerjakan
untuk alasan idealistis dan apa yang ingin orang kerjakan untuk alasan
Machiavelis adalah identik. Dan saat itu terjadi, kerjakan saja.
Kerjakan saja!”
Cahaya mentari Juni menerpa papan tulis hitam bernoda kapur dan meja
antik megah. Arkani-Hamed duduk di bawah foto macan tutul jantan, yang
dijepret oleh mitranya, seorang biolog, sewaktu mereka bersafari di
Afrika Selatan dua tahun silam. Mengenakan kaos hitam sehari-hari,
celana pendek kargo, dan sandal, dengan lengan penuh luka cakaran
kucing—bukti cinta keras dari seekor kucing betina pujaan—dia melompat
bangkit untuk menghapus sepetak bercak kapur dan menulis argumen
matematika baru, dan kemudian loncat lagi untuk merangkul seorang visiting researcher
yang mengintip sopan dari koridor. Pada waktu makan siang, dikelilingi
oleh anak didik, dia mencorat-coretkan teori pada serbet, mempertahankan
sebagian, menerangkan sebagian lain, dan meneguk Coke Zero lagi.
(Asupan kafeinnya memuncak beberapa tahun lalu akibat 15 hingga 16 shot espresso per hari.)
Dermawan dalam urusan waktu, bahkan terhadap seorang pemuda yang
keluyuran di koridor, yang dengan setengah kelakar disebutnya sebagai
“penguntit”, Arkani-Hamed mengaku tak pernah menolak mahasiswa
pascasarjana yang ingin bekerjasama dengannya. Banyak dari kawanannya
sudah bergabung sebagai staf pengajar di universitas-universitas riset
terkemuka dan kini menjadi pemimpin dalam angkatan mereka. “Menjadi
mahasiswa Nima seperti memiliki Usain Bolt sebagai pelatih lari,” tukas Clifford Cheung dari California Institute of Technology di Pasadena, yang belajar di bawah bimbingan Arkani-Hamed di Universitas Harvard. Jesse Thaler
dari Massachusetts Institute of Technology melukiskan bagaimana dirinya
menghabiskan waktu nyaris setiap hari di kantor sibuk Arkani-Hamed di
Harvard, dalam obrolan remeh penuh gelak-tawa dan “interogasi
menegangkan yang terangsang kafein”. Thaler menambahkan, “Jika
mencermati momen-momen terbaik dalam karir fisika saya sejauh ini,
kebanyakan terjadi karena (sadar atau tidak) berusaha meneladani Nima:
mengejar ide-ide pribadi dengan antusiasme tak terkekang, santun
mencampakkan para penentang, dan mengatasi rintangan secara frontal. Dan
minum espresso.”
Nina
Arkani-Hamed bersama rekan kerjanya, Raffaele Tito D’Agnolo (kiri) dan
David Pinner (kanan), di Institute for Advanced Study, Princeton, New
Jersey. (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Arkani-Hamed telah menjadi kekuatan pengganggu sepanjang karirnya.
Dia mulai mengukir nama di pascasarjana Universitas California,
Berkeley, pertengahan 1990-an. Saat dia tunjukkan kekeliruan dalam
[makalah] pracetak karya Dimopoulos, seorang peneliti terkemuka yang dua
dekade lebih senior, penasehatnya menyebut bahwa Dimopoulos mungkin
ingin pulang dari cuti panjang di Eropa demi bekerjasama dengan
Arkani-Hamed, bakal peneliti pascadoktoral di SLAC National Accelerator
Laboratory, Universitas Stanford. “Sungguh timpang,” kenang Dimopoulos.
“Kenapa saya biarkan seorang pascadoktoral menentukan masa depan saya?”
Pada akhirnya, dia memang pulang, dan mereka menjadi teman akrab dan
rekan kerja. “Kami melewati waktu amat produktif dan mengasyikkan,” kata
Dimopoulos. “Dia salah satu teman terbaik dalam hidup saya.” Kolaborasi
terbesar mereka melengkapi Standard Model dengan efek-efek hipotetis dimensi ruang tambahan yang tergulung di setiap titik di realitas tiga-dimensi kita.
Sembari menelurkan bidang riset baru satu demi satu, Arkani-Hamed
menolak selingan dunia nyata, misalnya aturan parkir. Sebagai profesor
muda di Berkeley, dia bersikeras memarkir mobil di area kosong dekat
gedungnya ketimbang di tempat jauh yang sudah disediakan. Ini
menimbulkan perang epik dengan petugas parkir hingga wajahnya dipajang
di poster “Daftar Buruan” dan turut mendorongnya pindah dari Berkeley ke
Harvard. Di sana, masalah parkirnya agak berkurang (meski mobilnya
rutin diderek ke area dekat), dan karirnya berkembang. Dia “menghidupkan
seluruh tempat”, kata Melissa Franklin,
fisikawan Harvard. Pada 2008, sewaktu pindah ke IAS, demi meraih
“kemurnian tujuan” lembaga tersebut serta kebebasan dari tugas mengajar,
masalah parkirnya berakhir, tapi “kami menangis”, ungkap Franklin.
“Kami mencucurkan air mata.”
Kedamaian IAS, di mana pemikir besar macam Albert Einsten dan Kurt
Gödel menyelesaikan karir mereka, tak memperlambat ambisi Arkani-Hamed.
Kini, di puncak luapan ide-ide baru yang tiada putus, siang dan malamnya
dipenuhi penerbangan dan pertemuan demi mengejar pembentur impian.
Beberapa lama kemudian, di bulan Juni, usai meninggalkan reporter yang
kelelahan secara intelektual di stasiun kereta, Arkani-Hamed berkendara
ke Newark untuk mengejar penerbangan mata merah ke Hong Kong, di mana
dia akan berceramah di sebuah konferensi sebelum naik penerbangan lain
ke Beijing guna bertemu kolega Beijing dan membimbing riset untuk proyek
pembentur. “Saya tidur seperti singa makan,” jelasnya, “rentang
waktunya sempit sekali, disela oleh makan besar dan lezat.”
Kabur ke Bintang
Ibunda Arkani-Hamed, Hamideh Alasti, yakin bahwa motivasi sang putera
untuk memahami dunia pernah menyelamatkan nyawanya sendiri. Dia lahir di
Houston, di mana ayahnya, Jafar, bekerja untuk program Apollo yang
menganalisa atribut fisik bulan. (Ibunda Arkani-Hamed dan adiknya, Sanaz
“Sunny” Jensen, juga fisikawan.) Selagi keluarganya meloncat-loncat
antara pekerjaan akademis di Iran dan AS, Nima muda menyerap buku-buku
semacam Tell Me Why karangan Arkady Leokun, dan menikmati
penyelidikan ilmiah praktis seperti menangkap dan membesarkan katak,
ular, salamander, dan mempelajari perilaku mereka. “Dia betul-betul tak
peduli dengan kehidupan bendawi,” ungkap Alasti. “Jika disuruh
mengenakan kemeja bagus, dia menolak.” Sang ayah menambahkan, “Saya
biasa ajak Nima berjalan kaki hampir setiap akhir pekan di Teheran. Dia
sangat keras kepala. Saya ingat, suatu kali dia berjalan-jalan sekitar
11 jam di usia 4 tahun. Saya hendak menggendongnya tapi dia menolak.”
Nima Arkani-Hamed. (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Pada 1979, tatkala Shah Iran digulingkan, keluarganya lagi-lagi
pulang ke tanah air dari AS, menuju janji kebebasan berpendapat dan
segala prospeknya. Nima ikut mendengarkan diskusi politik antara
orangtuanya dan teman-teman mereka yang berpendidikan barat, dan dia
ingat pernah membaca The Communist Manifesto sebagai buku komik
berbahasa Farsi. Tapi dalam setahun, Ayatullah Khomeini mulai menutup
universitas-universitas. Jafar, kala itu bekerja di Universitas Sharif,
Teheran, menulis sebuah surat bersama 14 kolega yang isinya mengecam
penutupan tersebut. Para penandatangannya dimasukkan ke dalam daftar
hitam; mereka yang terendus dipenjara atau digantung, tutur Jafar. Dia
pun bersembunyi, dan akhirnya membayar $50.000—tabungan seumur
hidupnya—kepada para penyelundup agar mengeluarkannya beserta keluarga
dari negeri tersebut di atas kuda. Manakala salah satu penyelundup dalam
rantai pemindahtanganan tidak menerima bayaran penuh, orang itu
meninggalkan Nima, orangtuanya, dan adik bayinya di pegunungan antara
Iran dan Turki.
Satu pekan dalam perjalanan yang harusnya memakan waktu dua hari,
Nima usia 10 tahun terserang demam 107 derajat dan terlalu lemah untuk
berjalan. Jafar meninggalkan isteri dan anak-anaknya berimpitan di
sebuah lembah, terus lari mencari pertolongan. Tiga jam kemudian dia
menemukan sekelompok Kurdi nomaden, dan seorang pemimpin oposisi Kurdi
terhadap Khomeini ada di antara mereka. Menjadi pahlawan banyak lagak
dalam ingatan Nima, pria ini mengirim kuda-kuda untuk menyelamatkan
keluarganya. Sang bocah, nyaris sekarat, duduk merosot di atas punggung
kuda ibunya selagi mereka dituntun keluar Iran dalam lindungan
senjakala. “Kondisinya parah sekali,” kata Alasti. Guna menyemangati,
dia arahkan perhatiannya pada pita bintang-bintang terang yang
menghampar di langit—galaksi Bima Sakti—dan berjanji bahwa begitu mereka
sampai ke tempat aman, dia akan memberinya teleskop. “Itu membuatnya
tetap sibuk,” ujarnya, “bahkan sampai membuatnya tetap hidup.” Setelah
melintasi perbatasan dengan aman, keluarga ini menempuh perjalanan ke
Toronto.
Kehidupan di Kanada berjalan lancar; hanya satu hal yang menggemuruh.
Waktu itu, “ada batas pada tingkat keluasan dan ambisi orang-orang
dalam memikirkan sesuatu,” pungkas Arkani-Hamed. Dia terutama terkesan
oleh betapa bangganya banyak warga Kanada atas pembangunan lengan robot
pesawat ulang-alik milik NASA. Selama liputan berita peluncuran,
kenangnya, “akan ada sorotan pada lengan, pada [label] ‘Kanada’ di
lengan, maka saya pun berpikir pesawat antariksa ini urusan besar!” Di
sekolah, dia menolak menjalani kesibukan dan mendapat nilai sedang,
kecuali dalam matematika (yang semuanya berupa ujian) dan bahasa Inggris
(karena dia suka guru-gurunya, dan suka membaca dan menulis), meski
memperoleh angka tertinggi se-Kanada dalam ujian fisika nasional.
Menjelang tahun senior di SMU, terlihat jelas dia akan menjadi fisikawan
teoritis yang sukses. “Kau akan jadi Einstein berikutnya,” goda guru
fisikanya, dan terus diingat olehnya dan kedua orangtua, “dan aku akan
jadi orang yang memberimu nilai B!”
Pekerjaan rumah tak lagi jadi masalah di Universitas Toronto; dia
menyapu ujian fisika pertamanya, dan di tahun senior dia membantu
mengajarkan teori medan quantum kepada mahasiswa pascasarjana.
Orang-orang tertarik oleh virus antusiasmenya akan matematika dan
fisika. “Kebanyakan orang mulai terbiasa dengan pemikiran bahwa sulit
sekali memahami bahan dan kita umumnya menyerah. Dia tidak demikian,”
ujar Hugh Thomas,
sahabat dan teman sekelas yang kini menjadi matematikawan. “Dia sangat,
sangat, sangat, sangat pintar, jadi dia coba pahami banyak hal.”
Energi Tertinggi
Kampanye Arkani-Hamed untuk [pembangunan] pembentur 100 TeV dimulai pada 30 Juli 2013 dalam sebuah diskusi panel
mengenai masa depan fisika partikel Amerika di Minneapolis, Minnesota.
Dengan jatah waktu cuma lima menit untuk berceramah di depan 1.000
fisikawan, padahal biasa berbicara selama yang dia suka, Arkani-Hamed
telah menyiapkan kata-katanya dengan cermat. “Semua sudah tahu, kita
sedang memulai era baru dalam fisika fundamental,” bukanya. Setelah
menyinggung krisis kealamian, dia berlanjut: “Taruhannya lebih tinggi
daripada di masa lalu. Kita bukan sedang menanyakan partikel ini atau
itu, tapi sesuatu yang jauh lebih struktural mengenai realitas fisik…
Sejauh ini, cara terbaik menjawab pertanyaan ini adalah menyerbu energi
tertinggi dan membangun pembentur 100 TeV.”
“Saya duduk di sebelahnya dan mengamati bagaimana dia membaca kata demi kata yang sudah dituliskan,” kata Kyle Cranmer
dari Universitas New York, sesama panelis yang mengaku merasa seperti
“anak kecil yang berbagi panggung hari itu… Ceramah Nima meniupkan
semangat kepada orang-orang yang jauh di lubuk hatinya merasakan bahwa
kita perlu pembentur lebih besar untuk membuat kemajuan nyata… Itu bukan
argumentasi tentang kepraktisan, itu ajakan blak-blakan, sebuah
peluncuran, dan pada dasarnya dia menyebut orang-orang yang tidak
memandangnya demikian sebagai pengecut dan orang-orang yang berpandangan
demikian sebagai pemberani.”
Nima Arkani-Hamed mengargumentasikan “gambaran besar”-nya untuk pembangunan pembentur partikel 100 TeV. (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Seruan tempurnya menggemparkan hadirin dan mendominasi sisa diskusi,
tapi itu tidak disukai oleh mayoritas sesama panelis. Salah seorang
menyebut Arkani sedang “bermimpi”. Banyak orang lebih suka konstruksi
eksperimen neutrino skala kecil di Fermilab, Illinois, sebagai proyek
besar AS berikutnya—rencana yang disertakan ke dalam laporan penentu kebijakan
komunitas fisika partikel Mei nanti. Arkani-Hamed sangat tidak setuju
dengan rencana ini. Fisika neutrino “memang menarik”, katanya baru-baru
ini, “tapi semestinya itu tidak dijadikan produk utama sebuah negara
besar.”
Menurut diagnosanya, fisikawan Amerika mengidap “gangguan stres
pasca trauma SSC”, suatu ketidakmampuan untuk pulih dari musibah
pembatalan Superconducting Super Collider, direncanakan tiga kali lebih
besar dari ukuran LHC, yang konstruksinya berjalan separuh pada 1993 di
Texas. Penelantaran SSC bukan cuma menghamburkan miliaran dolar, merusak
karir kawula muda, dan mencederai hubungan dengan lembaga-lembaga luar
negeri secara permanen, ungkapnya, itu juga “berakibat melemahkan cara
pikir bidang ini tentang dirinya sendiri, dan caranya menyajikan diri di
depan pemerintah, di depan khalayak.” Di AS, seperti kata Sundrum, ide
semacam pembentur 100 TeV $10 miliar “mati begitu tiba”.
Arkani-Hamed segera mendengar kabar dari Tao Han, yang memegang
jabatan di Universitas Pittsburgh dan Universitas Tsinghua di Beijing.
Han sudah mengkampanyekan pembangunan pembentur partikel energi tinggi
di China selama 10 tahun, tanpa hasil hingga belakangan ini, katanya.
Terlepas dari reputasi China akan keunggulan dalam pendidikan sains, ia
tertinggal jauh di belakang AS dan Eropa dalam penelitian dasar. Selama
berdekade-dekade, para fisikawan partikel terbaik negeri tersebut
bermigrasi ke AS dan Eropa, ketimbang mengembangbiakkan tradisi di sana.
Ini mulai berubah dengan suksesnya pembangunan Beijing
Electron-Positron Collider II (BEPCII), sebuah cincin berkeliling 240
meter yang rampung pada 2008. Han mencium perubahan lebih besar lagi
pada 2012, sewaktu China melaksanakan eksperimen neutrino penting di
Daya Bay, lepas pantai Laut China Selatan. Hasil temuannya, dipublikasikan April itu,
melengkapi gambaran bagaimana partikel-partikel ringan licin mampu
berubah dari satu tipe ke tipe lain, sebuah fenomena yang dikenal
sebagai “osilasi neutrino”. Ilmuwan Barat memandang Daya Bay sebagai
buah fisika partikel terpenting yang pernah lahir dari China.
Tenaga pendorong di balik BEPCII dan Daya Bay adalah Yifang Wang,
fisikawan giat di Beijing yang menghabiskan karir awalnya di Eropa dan
AS. Pada 2011, sebagian berkat keberhasilan eksperimen tersebut, Wang
ditunjuk menjadi direktur Institute of High Energy Physics (IHEP)
Beijing. Dia segera mendesak eksperimen lebih besar lagi di China.
Karena pembangunan mesin terlalu mahal dan memakan waktu, Wang dan
kolega memutuskan mempersilakan teori memimpin jalan. Dua tahun silam,
mereka sepakat untuk membangun sebuah pusat penelitian teori di IHEP.
Itu akan butuh direktur pendiri (founding director), dan Han mengaku tahu orang yang tepat.
Setelah serangkaian pertemuan antara Arkani-Hamed, Wang, dan
lain-lain di Beijing, Center for Future High Energy Physics di IHEP
diluncurkan dalam upacara pengguntingan pita pada Desember 2013, di mana
Arkani-Hamed menjadi direkturnya. “Saya menghubungi 40 teman fisika
pembentur paling akrab,” katanya, dan memboyong mereka ke Princeton guna
menjadwalkan kunjungan ke pusat penelitiannya di China. Di sana, mereka
bekerjasama dengan orang-orang China untuk menyusun argumen fisika demi
membangun pembentur super yang baru. Mesin ini akan dibuka sebagai
“pabrik Higgs”, membenturkan partikel-partikel pada besaran energi
rendah untuk menghasilkan partikel bernama boson Higgs dan memeriksa
atributnya guna mencari tanda-tanda fisika baru secara tak langsung,
lalu menanjak ke besaran 70 sampai 100 TeV (tergantung pada teknologi
magnet yang tersedia) menjelang tahun 2042. Studi mereka membuahkan 50
makalah riset dan satu laporan komprehensif
yang menguraikan bagaimana eksperimen akan bekerja. Sementara itu,
Arkani-Hamed dan Gross, teoris di Universitas California, Santa Barbara,
membujuk sembilan fisikawan terkemuka dunia lainnya agar menandatangani
surat rekomendasi proyek. Salah satu dari mereka, Yau, matematikawan
dan teoris string Harvard yang masyhur di China, mengantarkan langsung
surat tersebut kepada wakil presiden China, Li Yuanchao. Menurut Yau,
daftar tandatangan terkenal menarik perhatian sang wapres. Atas
permintaannya, ungkap Yau, menteri sains dan teknologi mengadakan
sederet pertemuan untuk membahas kelayakan proyek. (Buku karangan Yau, From the Great Wall to the Great Collider, ditulis bersama Steve Nadis, akan terbit musim gugur ini.)
Tantangan besar masih tersisa. Dengan bantuan penting dari komunitas
internasional sekalipun, para pakar memperkirakan beberapa ribu
fisikawan partikel baru China harus dilatih selama 10 tahun ke depan.
Minat terhadap fisika partikel sudah tampak meningkat di kalangan
pelamar pascasarjana di sana, dan Arkani-Hamed seperti biasa sangat
optimistis, tapi sebagian peneliti khawatir angka peningkatan ini takkan
cukup. Terlebih, magnet-magnet yang diperlukan untuk mengakselerasi
proton hingga 100 TeV diproduksi di Fermilab, lab milik pemerintah AS,
dan pada saat ini mereka masih terlalu mahal; negara-negara harus
bekerjasama, dan ongkos magnet harus turun lumayan banyak dalam satu
dekade ke depan agar proyek ini tetap dalam batasan anggaran.
Arkani-Hamed bersama Pinner (kiri) dan D’Agnolo (kanan). (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Yang lebih merepotkan, sebagian peneliti curiga Great Collider takkan
memberi jawaban pasti terhadap persoalan kealamian yang
digembar-gemborkan oleh Arkani-Hamed. Cranmer, contohnya, menyimpan
keraguan. “Saya sangat simpati dengan pemikiran bahwa ini merupakan
titik genting di bidang ini dan bahwa kealamian/penyetelan halus adalah
isu mendalam,” tulisnya dalam sebuah surel. “Namun, saya tidak yakin
jika kita membangun pembentur 100 TeV dan tak menjumpai apa-apa, itu
akan jadi bukti tegas bahwa alam disetel halus.” Tetap tersisa
kemungkinan bandel bahwa ada penyelesaian alami Standard Model yang tak
bisa diakses oleh pembentur. (Arkani-Hamed dan rekan kerjasamanya
mengusulkan satu skenario demikian musim panas ini, dijuluki
“Nnaturalness”, yang dapat diuji dengan cara lain.) Adam Falkowski,
fisikawan partikel di Paris yang membuat blog mengenai perkembangan di
bidang ini, berargumen bahwa jika tak ditemukan partikel baru pada
besaran 100 TeV, fisikawan akan mandek dalam pencarian teori alam yang
lebih lengkap—kehilangan petunjuk. “Sekarang ini tak ada indikasi bahwa
pembentur ini akan membantu kita memecahkan teka-teki manapun dalam
fisika partikel atau kosmologi,” ujarnya.
Penentang proyek pembentur yang paling menonjol adalah peraih Nobel C.N. Yang, fisikawan kenamaan berumur 93 tahun yang karyanya telah mempengaruhi fisika partikel secara signifikan, tapi menganggap fisika materi terkondensasi
(yang mengurusi perilaku material) jauh lebih bermanfaat bagi
masyarakat. Pandangan Yang tidak tampil secara terbuka dalam tulisan,
tapi bagi Han itu sudah dikenal luas dan menjadi hambatan kampanye.
Banyak fisikawan partikel mengidamkan pembentur generasi mendatang
lantaran itu akan menjamin ribuan pekerjaan dan masa depan bagi bidang
ini. Sedangkan Gross, yang menganggap kealamian sebagai konsep suram,
hanya mengidamkan pencarian final fisika baru. “Kita butuh lebih banyak
isyarat dari alam,” katanya. “Alam pasti memberitahu ke mana kita harus
pergi.”
Menurut Han, proses pertimbangan di China buram, tapi dia sudah
dengar tetesan kabar yang membesarkan semangat, dan para fisikawan
partikel China sedang meneruskan rencana mereka.
Jika China mundur, Arkani-Hamed akan mengerahkan seluruh tenaganya
pada kampanye serupa (atau lebih lambat) di laboratorium CERN Eropa,
yang menampung LHC. Michelangelo Mangano,
teoris partikel di CERN yang terlibat dalam penaksiran opsi-opsi di
sana, mengisyaratkan bahwa kedua proyek dapat lepas-landas dengan
sukses. “Bila China meneruskan cita-cita utama mereka [pabrik Higgs],
skenario potensial adalah CERN berproyeksi ke arah pembentur 100 TeV,
dan China memanfatkan pengalaman dengan proyek pertama mereka untuk
beranjak ke sesuatu yang lebih ambisius lagi daripada 100 TeV.”
Atau mungkin takkan ada pembentur generasi mendatang. “Saya terpukul keras pada titik tertentu,” ungkap Joe Incandela,
fisikawan partikel terkemuka di LHC yang mendukung kampanye pembentur
Eropa maupun China. Sekali dunia berhenti membangun pembentur, ujarnya,
kemitraan dan kepakaran kolektif yang diperlukan untuk membangunnya akan
lenyap dalam satu generasi. “Hasil yang kita peroleh akan harus
bertahan selama bermilenium-milenium, kira-kira… Dan buset, dengan
berhenti dan menyisakan pertanyaan-pertanyaan itu—Anda bisa bayangkan
tanggungjawab yang kita rasakan. Nima merasakan tanggungjawab ini. Kami
semua merasa ini tak boleh tamat. Kami harus membawanya paling tidak
selangkah lagi.”
Melampaui Ruang dan Waktu
Entah pembentur 100 TeV akan terwujud atau tidak, pusaka peninggalan
Arkani-Hamed mungkin terletak pada kampanye lain dan berpotensi lebih
penting. Bahkan selagi mengejar pertanyaan “apakah atribut alam semesta
bersifat alami”, dia juga berusaha mencari apa yang menimbulkan ruang
dan waktu pertama-tama. Betapapun kedengarannya radikal, banyak
fisikawan kini berpikir dimensi ruangwaktu tempat kita bergerak tidaklah
fundamental, melainkan timbul dari deskripsi realitas yang lebih dalam
dan lebih sejati. Pada 2013, sebuah temuan tak terduga oleh Arkani-Hamed dan mahasiswanya, Jaroslav Trnka, menyodorkan petunjuk potensial menuju hukum alam pokok.
Mereka menyingkap objek geometris multisegi yang volumenya
menyandikan hasil benturan partikel-partikel—bilangan jelek yang
dikalkulasi dengan metode tradisional. Temuan ini menyiratkan bahwa
gambaran standar partikel-partikel yang berinteraksi di ruang dan waktu
mengaburkan sesuatu yang jauh lebih sederhana: logika abadi garis-garis
dan bidang-bidang berpotongan. Kendati mulanya “amplituhedron” (demikian
Arkani-Hamed dan Trnka menamai objek mereka) melukiskan fisika partikel
versi sederhana, para peneliti sedang berusaha memperluas geometrinya
agar melukiskan interaksi partikel dan gaya-gaya yang lebih realistis,
termasuk gravitasi. “Kelihatannya kami akan mampu beranjak sangat jauh,”
tukas Zvi Bern,
pemimpin dalam disiplin riset ini di Universitas California, Los
Angeles. Riset Arkani-Hamed sendiri melaju cepat, dan dengan
terus-terang dia berspekulasi tentang ke mana arahnya.
Nima Arkani-Hamed. (Béatrice de Géa untuk Quanta Magazine)
Dia yakin bahwa kebertukaran (interchangeability) titik dan garis pada geometri amplituhedron merupakan sumber dualitas matematis misterius
antara partikel dan string, blok dasar penyusun alam dalam teori
string. Dan interaksi partikel hanyalah “versi bayinya”, ungkapnya.
Cita-cita tertingginya adalah mendeskripsikan keseluruhan sejarah
kosmologis alam semesta sebagai objek matematis. Dalam karya yang belum
diterbitkan, dia sudah mulai menemukan pola-pola pada korelasi
kosmologis—contohnya kemungkinan bahwa jika dua bintang merah terpisah
jarak 20 kiloparsec, ada satu bintang biru pada jarak 50 kiloparsec dari
mereka berdua. Pola-pola statistik ini menyandikan sejarah kosmos,
seperti tulang-belulang dinosaurus yang terkubur dalam pasir. Dan
sebagaimana benturan partikel, dia mendapati pola-pola ini dapat
dilambangkan sebagai volume geometris. Pada akhirnya, kata dia, 10
hingga 500 tahun dari sekarang, amplituhedron dan pola kosmologis ini
akan bergabung menjadi bagian dari struktur matematis spektakuler
tunggal yang mendeskripsikan masa lalu, masa kini, dan masa depan segala
sesuatu “secara otonom dan tak terpengaruh waktu”.
Baru-baru ini, dalam acara makan malam, diikuti oleh segolongan kecil
mahasiswa pascadoktoral, Arkani-Hamed menggambar sebuah pentagram pada
sehelai serbet. Pentagram tersebut, seperti halnya amplituhedron,
didefinisikan oleh himpunan terhingga garis-garis yang bersilangan di
titik-titik berjumlah terhingga. Arkani-Hamed mempergelap sembilan titik
dalam konfigurasi ini dan menjelaskan bahwa delapan titik pertama dapat
ditempatkan pada sebuah kisi. Tapi tak peduli seberapa halus kisinya,
titik kesembilan selalu berada di antara titik-titik kisi; ia terpaksa
disamakan dengan bilangan irasional. Ada bukti matematis, tinjau
Arkani-Hamed, bahwa semua bilangan aljabar dapat diperoleh dari
konfigurasi titik dan garis berpotongan yang berjumlah bulat terhingga.
Dan bersamaan dengan itu dia mengutarakan sebuah tebakan akhir, di
penghujung hari intelektual panjang, sebelum semua orang pulang untuk
tidur dan dia bertolak ke bandara: segala sesuatu—bilangan irasional,
serta interaksi partikel dan korelasi antarbintang—pada dasarnya timbul
dari susunan kombinatorial potensial bilangan bulat: 1, 2, 3, dan
seterusnya. Mereka eksis, katanya, dan begitupun semua yang lain harus
eksis.
Arkani-Hamed meninjau kecenderungannya untuk memikirkan kelemahan
pribadi. “Ini bukan kebersahajaan palsu, ini betul-betul kelemahan
pribadi, tapi ini sungguhan, jadi tak ada yang bisa saya perbuat,”
tandasnya. “Penting sekali bagi saya, selagi mengerjakan sesuatu, untuk
bersikap ideologis tentangnya. Dan kemudian, tentu saja, penting juga
setelah urusan selesai, untuk melupakan ideologi tersebut dan beralih ke
ideologi lain.” Mempertimbangkan persoalan kealamian, dan pencariannya
akan teori matematis alam, dia menyambung, “Tapi tentu dalam hal-hal di
mana kemajuannya tidak begitu dekat, penting sekali untuk meyakinkan
diri saya sendiri bahwa itu satu-satunya jalan sejati. Atau sekurangnya suatu jalan sejati.”
No comments:
Post a Comment