resensi buku oleh: Oir Nikonian
Sejak
pertanyaan “mengapa kita ada” mengusik manusia berpuluh abad silam,
ikhtiar untuk mencari jawabannya tak pernah berhenti. Banyak orang
berpaling ke berbagai kekuatan besar di luar manusia. Para filsuf sejak
Yunani klasik menyodorkan jawaban-jawaban spekulatif dengan mengandalkan
kekuatan logika. Merekalah yang mendominasi pikiran manusia.
Tapi filsafat kini mati, kata Stephen
Hawking. Filsafat tak sanggup mengimbangi perkembangan sains modern,
terutama fisika. Obor penerang bagi pencarian ilmu pengetahuan kini
dipikul para ilmuwan. Walaupun sains modern dianggap baru bermula pada
abad ke-17, sumbangannya luar biasa bagi kemajuan peradaban, meski
sayangnya juga bagi kerusakan.
Bagi Hawking, untuk memahami semesta pada
tingkat terdalam, kita perlu beranjak dari sekadar menjawab pertanyaan
bernada “bagaimana” menuju “mengapa”. “Bagaimana” adalah pertanyaan
praktis yang lazim diajukan ilmuwan. Dengan kemajuan sains, kinilah
saatnya kita mengajukan pertanyaan seperti: Mengapa sesuatu ada dan
bukan tak ada? Mengapa kita ada? Mengapa hukum tertentu berlaku, dan
bukan yang lain? Inilah pertanyaan pamungkas tentang kehidupan dan alam
semesta yang secara “tradisional” beredar di ranah filsafat. Hawking,
bersama Leonard Mlodinow, berusaha menjawabnya dalam karya mereka yang
baru terbit, The Grand Design.
Pada masa yang lama, filsuf adalah juga
ilmuwan (minus eksperimentasi). Aristoteles berbicara mengenai logika,
etika, dan retorika, sebagaimana ia memikirkan mekanika dan semesta
(kosmos). Jika kita memahami apa yang menyebabkan gerak, menurut
Aristoteles, kita akan memahami sebab adanya dunia. Isaac Newton membaca
Nicomachean Ethics, yang ditulis Aristoteles berabad-abad sebelumnya.
Ia membuat catatan-catatan di bukunya mengenai filsuf Yunani ini. Ia
mengajukan “beberapa pertanyaan filosofis”. Newton bertanya: “Dapatkah
kita mengetahui, melalui kekuatan logika, apakah materi bersifat kontinu
dan bisa dipecah-pecah secara tak terhingga, ataukah diskontinu dan
individual?”
Newton, dalam pandangan Hawking, lebih
ilmiah dalam memahami gerak. Dia diterima luas berkat hukum gerak dan
gravitasinya, yang mampu menjelaskan orbit bumi, bulan, dan planet,
bahkan fenomena naik-turunnya permukaan laut. Persamaan gravitasi yang
memakai namanya masih diajarkan hingga kini. Newton, bersama barisan
ilmuwan seperti Nicolas Copernicus, Johannes Kepler, Francis Bacon, Rene
Descartes, dan Galileo Galilei, berupaya menemukan hukum-hukum yang
mengatur alam. Mereka berusaha menjawab pertanyaan bagaimana alam ini
bekerja.
Lewat perumusan dalam bahasa matematika
(Newton, Philosophiae Naturalis Principia Mathematica, 1687), para
ilmuwan itu ingin menjawab pertanyaan dengan cara yang melampaui
spekulasi. Mereka meninggalkan pandangan sebelumnya, yang mencari tujuan
di balik berbagai fenomena, dan menganggap pertanyaan berkaitan dengan
Tuhan, roh manusia, dan etika mempunyai signifikansi tertinggi. Toh, itu
bukanlah jalan yang serta-merta menafikan konsekuensi yang lebih luas:
filosofis, teologis, maupun praktis. Pandangan heliosentris Copernicus
dan Galileo mematahkan pandangan geosentris Ptolemeus yang diikuti
Gereja, dan serangan pada keyakinan religius ini telah menimbulkan
masalah serius bagi kedua ilmuwan. Bagi Gereja, pandangan heliosentris
adalah bidah, meski Descartes mengatakan hukum alam adalah takdir Tuhan
dan Newton meyakini sistem tata surya tidak muncul dari kekacauan
semata-mata dikarenakan hukum alam. Keteraturan di semesta, kata Newton,
“diciptakan oleh Tuhan pada mulanya dan dipelihara olehnya hingga hari
ini dalam keadaan dan kondisi yang sama”.
Fisika klasik dari generasi Newton juga
mempengaruhi pandangan dunia, menembus wilayah di luar fisika. Selama
abad ke-19 para ilmuwan terus mengembangkan model mekanistis alam dalam
fisika, kimia, biologi, yang kemudian merambah area ilmu sosial dan
psikologi. Fisikawan nuklir Fritjof Capra (The Turning Point)
menunjukkan betapa pandangan mekanistis Cartesian-Newtonian mempengaruhi
cara manusia memperlakukan alam, bukan untuk memperoleh kearifan,
melainkan menguasainya. Alam dipahami dengan cara direduksi jadi
bagian-bagiannya.
Dasar-dasar yang dibangun barisan raksasa
itulah, seperti matematika dan metode penalaran oleh Descartes
(Discourse on Method) dan metode ilmiah oleh Francis Bacon, yang
memberikan keyakinan kuat kepada para ilmuwan hingga kini perihal
kepastian pengetahuan ilmiah. Sebuah kepastian yang melampaui spekulasi
filosofis. Sebuah keyakinan yang kemudian diwarisi Hawking, yang
mengagungkan determinisme ilmiah. Pengaruh Newton dalam fisika,
khususnya, mulai terusik ketika Michael Faraday melakukan eksperimen dan
James Clerk Maxwell berhasil menggabungkan gaya listrik dan magnet
menjadi elektromagnetik. Maxwell pula yang menemukan bahwa cahaya adalah
gelombang elektromagnetik. Inilah masa peralihan menuju fisika modern
yang ditandai lahirnya pemikiran revolusioner Albert Einstein tentang
relativitas. Di usianya yang baru 26 tahun (1905), Einstein
mempublikasikan makalahnya tentang relativitas khusus.
Selama 11 tahun kemudian, Einstein
mengembangkan teori baru mengenai gravitasi, yang ia sebut relativitas
umum (November 1915). Ia mengajukan pemikiran revolusioner bahwa
ruang-waktu tidak datar, sebagaimana diasumsikan sebelumnya, tapi
berbentuk kurva dan ini terjadi karena distorsi oleh massa dan energi di
dalamnya. Ini perombakan besar atas pemikiran Newtonian mengenai ruang
dan meletakkan waktu sebagai dimensi yang sama penting di samping tiga
dimensi ruang.
Dua tahun sesudah itu, Einstein
menerbitkan tulisan berjudul Cosmological Considerations (Tinjauan
Kosmologis). Ia menerapkan teori barunya untuk mengkaji alam semesta.
Maka dimulailah era kosmologi modern. Sekali lagi Einstein
memperlihatkan kepionirannya. Kosmologi mempelajari alam semesta yang
sebagian besar telaahnya berdasarkan sejumlah hipotesis, dan gravitasi
Einsteinian merupakan konsep terpenting dalam kosmologi. Semula
kosmologi dipandang sebagai pseudo-sains, tapi dua perkembangan penting
menjadikannya tak bisa diremehkan lagi. Pertama, terobosan dalam
pengamatan astronomi, yang mampu mendeteksi galaksi-galaksi terjauh,
membuat semesta menjadi laboratorium untuk menguji model-model
kosmologi. Kedua, teori relativitas umum Einstein telah teruji sebagai
teori gravitasi yang andal dan akurat yang berlaku di seluruh alam
semesta.
Namun fisika klasik Newton dan fisika
Einstein kesulitan ketika harus menjelaskan fenomena di dunia atomik dan
subatomik. Pada 1920-an, kemampuan para fisikawan dalam memahami alam
semesta dihadapkan pada tantangan yang serius. Setiap kali mereka
bertanya kepada alam tentang suatu masalah dalam eksperimen atom yang
mereka lakukan, alam menjawabnya dengan paradoks, hingga fisikawan
Werner Heisenberg berulang kali bertanya pada diri sendiri: “Mungkinkah
alam itu absurd sebagaimana yang tampak pada kita dalam
eksperimen-eksperimen atom ini?” (Capra, The Tao of Physics, 1975).
Kegagapan menghadapi jagat subatomik
itulah yang mendorong para ilmuwan semasa Einstein, seperti Heisenberg,
Neils Bohr, Max Planck, Erwin Schrodinger, Paul Dirac, Louis deBroglie,
dan Wolfgang Pauli, merumuskan kerangka konseptual bagi fisika baru.
Materi subatom merupakan entitas sangat abstrak yang beraspek ganda,
tergantung bagaimana kita memandangnya: sebagai partikel dan sebagai
gelombang. Penemuan ini melumpuhkan pengertian klasik tentang obyek
padat.
Dualitas partikel/gelombang itu dipahami
Bohr sebagai komplementaritas, dan fisikawan Denmark ini kerap
mengatakan pengertian ini mungkin juga bermanfaat dalam ilmu di luar
fisika. Fisikawan Fritjof Capra termasuk perintis penafsiran yang meluas
hingga wilayah spiritualitas. Karyanya yang masyhur, The Tao of Physics
(1975), melihat kesejajaran dualitas ini dengan mistisisme Timur.
Yin/yang dalam masyarakat Cina, misalnya. Namun penemuan berikutnya
membikin Einstein tak habis pikir. Heisenberg menemukan prinsip
ketidakpastian (1926), yang menyatakan kita memiliki keterbatasan dalam
mengukur secara serentak posisi dan kecepatan suatu partikel. Partikel
subatom tak bisa dipahami sebagai entitas yang mandiri, tapi mesti
dilihat dari interaksinya dengan partikel lain. Tercium aroma posmo,
memang. Dan inilah dimulainya babak baru bagi peran penting fisika
kuantum.
Apa dampak relativitas Einstein dan
fisika kuantum? Bom atom yang menjadi kekuatan ampuh untuk menghentikan
Perang Dunia II dan kemudian memacu perlombaan senjata antara Uni Soviet
dan Amerika Serikat beranjak dari teori relativitas khusus. Teori
kuantum memberi landasan kuat bagi pengembangan teknologi informatika,
dan kita sehari-hari memanfaatkannya: Internet. Tak kalah dahsyat dari
itu ialah implikasinya atas pemikiran filosofis manusia mengenai diri
dan alamnya. Teori relativitas berujung pada gambaran bahwa alam semesta
terbatas dalam ruang dan berkembang meluas tak terhindarkan, bermula
pada satu peristiwa besar ketika jagat raya lahir dalam suatu Dentuman
Besar di awal semesta. Dan Einsteinlah yang membuka jalan bagi kosmologi
modern.
Teori kuantum berujung pada gambaran
bahwa pada skala terkecil benda-benda, termasuk jagat raya di awal
hidupnya (bukan di masa sekarang), peristiwa-peristiwa fisik yang
terjadi saat itu merupakan kebetulan tanpa sebab. Karena ukuran alam
semesta amat-sangat kecil pada saat awal, menurut para penafsir teori
kuantum, prinsip ketidakpastian Heisenberg dalam teori kuantum juga
berlaku pada alam itu.
Teori relativitas berujung pada
kepastian, sedangkan teori kuantum berujung pada ketidakpastian. Inilah
yang membuat Einstein geleng-geleng kepala: “(Rasanya) Tuhan tidak
bermain dadu.” Di tengah kegalauannya, Einstein berusaha keras
menyatukan gaya-gaya elektromagnetik (yang dipersatukan Maxwell), gaya
nuklir lemah, gaya nuklir kuat, dan gaya gravitasi (yang mengatur alam
semesta) dalam satu rumusan tunggal dan final, yang oleh sebagian orang
disebut Theory of Everything (Teori Segala Hal). Einstein gagal.
Di antara perdebatan yang kelak kerap
diceritakan ulang oleh sejarawan sains itu, Edwin Hubble mempublikasikan
hasil observasinya bahwa alam semesta mengembang (1929), tiga belas
tahun sebelum Stephen Hawking lahir. Hawking memasuki dunia akademis
ketika riset kosmologi berbasis relativitas umum Einstein tengah
mekar-mekarnya. Barangkali zaman memang menunggu kehadirannya untuk
memberikan kontribusi.
Pada awal 1970-an, teori lubang hitam
sedang naik daun. Lubang hitam (black hole) adalah istilah yang
ditemukan kosmolog AS, John Wheeler (1969), untuk “bintang-bintang yang
mengalami keruntuhan gravitasi sempurna”. Di Moskow, Pasadena,
Princeton, dan Cambridge, istilah ini pun segera populer. Hawking, yang
batal melakukan riset doktoralnya di bawah Fred Hoyle, penemu istilah
Big Bang (Dentuman Besar) pada 1949, mulai bekerja di bawah arahan
Dennis Sciama. Sebagai bukan matematikawan murni, Hawking menerapkan
teknik matematika yang diperkenalkan Roger Penrose untuk mempelajari
lubang hitam. Penrose sendiri kemudian berusaha mencari jawaban atas
pertanyaan “bagaimana kita berpikir” dan “apa yang menjadikan kita
manusia” (dua kitabnya: The Emperor’s New Mind dan Shadows of the Mind).
Menjelang kelumpuhannya, Hawking mulai
menonjol dalam kosmologi, khususnya lubang hitam. Alih-alih memakai
tangan untuk menulis dan menggambarkan gagasannya, Hawking mulai
beradaptasi untuk menggunakan gambaran mentalnya. Ia berusaha menyatukan
teori relativitas tentang gravitasi dan fenomena skala besar dengan
teori kuantum mengenai partikel subatom.
Dari coretan-coretan di benaknya saja,
Hawking melahirkan Hukum Pertambahan Luas pada permukaan lubang hitam.
Bunyinya: “Luas permukaan suatu lubang hitam hanya dapat tetap sama atau
bertambah, tetapi tidak pernah berkurang.” Ilham tentang ide ini muncul
tiba-tiba. “Begitu hebat pengaruh ini sehingga saya terjaga hampir
semalaman,” tutur Hawking. Pernyataan “tidak pernah berkurang” dalam
rumusan Hawking itu mengingatkan pada besaran entropi dalam Hukum
Termodinamika II. Entropi (ketidakteraturan) suatu sistem hanya dapat
tetap sama atau meningkat, tetapi tidak pernah berkurang (jika sistem
itu terisolasi dan dibiarkan mencapai kesetimbangan).
Ludwig Boltzmann,
fisikawan Austria, pada 1878 menyebutkan definisi entropi sebagai
banyaknya kemungkinan dalam melakukan penyusunan molekul. Misalnya, jika
suatu keadaan mempunyai banyak cara yang berbeda untuk menyusun
molekul-molekulnya, sistem itu mempunyai entropi yang besar.
Ketika benda mencapai kesetimbangan
termal, benda itu mempunyai suhu tertentu dan karenanya memancarkan
radiasi serta mengalami pertukaran energi dengan lingkungannya. Tapi
ketika itu umum orang berpendapat, lubang hitam tidak mungkin
memancarkan apa pun. Segala sesuatu bisa jatuh ke dalam lubang hitam,
tak ada yang bisa keluar darinya. Cahaya sekalipun. Namun Jacob
Bekenstein, mahasiswa pascasarjana yang dibimbing John Wheeler,
berpendapat bahwa lubang hitam mempunyai entropi dan ini mungkin
berkaitan dengan hukum pertambahan luas permukaan lubang hitam yang
ditunjukkan Hawking. Bekenstein lalu menulis makalah singkat yang
mengidentifikasi luas permukaan lubang hitam sebagai entropi lubang
hitam.
Hawking menganggap mahasiswa itu telah
menyalahgunakan teorinya. Namun pikirannya mulai terusik setelah bersama
James Bardeen dan Brandon Carter di Pegunungan Alpen, Prancis,
menemukan hukum yang mengatur evolusi lubang hitam berdasarkan
relativitas Einstein. Hukum mekanika lubang hitam ini mirip dengan hukum
termodinamika. Namun mereka ketika itu menganggapnya kebetulan belaka.
Lain halnya bagi Bekenstein. Ia menganggap penemuan itu memperkuat
pendapatnya bahwa luas permukaan lubang hitam adalah entropinya.
Kekukuhan pendapat Bekenstein mulai
menggoyahkan Hawking. Ia lalu menelaah apa yang bisa terjadi di
permukaan lubang hitam dengan memakai prinsip ketidakpastian Heisenberg,
yang meramalkan energi muncul dan lenyap bergantian dalam skala waktu
yang ditentukan oleh skala Planck (10-33). Dengan persamaan Einstein,
E=mc2, energi ini diubah menjadi partikel dan antipartikel yang silih
berganti muncul dan lenyap. Dalam telaah itulah, Hawking menggabungkan
mekanika kuantum dan relativitas umum dalam rumusan tunggal untuk
pertama kalinya (1974). Dari sini ia berkesimpulan bahwa lubang hitam
tidak sepenuhnya hitam, tapi memancarkan radiasi-Bekenstein benar,
rupanya. Jadi, lubang hitam tidak hanya mempunyai entropi, tapi juga
suhu, dan mematuhi hukum termodinamika klasik yang ditemukan Boltzmann
pada akhir abad ke-19.
Temuan itu diakui amat penting. Hanya
beberapa pekan setelah tulisan tentang radiasi lubang hitam diterbitkan,
Hawking menerima gelar kehormatan akademik tertinggi Inggris. Di usia
32 tahun, ia diangkat menjadi anggota Fellow of the Royal Society. Ia
diundang untuk melakukan riset di Caltech, Pasadena, AS. Ketika itulah
Hawking menerima surat pemberitahuan dari Vatikan bahwa ia dipilih oleh
Akademi Sains Vatikan untuk menerima medali Paus Paulus XI. Penghargaan
ini mulai menggeser riset Hawking dari lubang hitam ke permulaan alam
semesta, dengan Dentuman Besar sebagai tesis yang diminati Gereja
Katolik Roma.
Namun sejarah kemudian mencatat Hawking
bergerak menjauhi harapan Vatikan. Penafsiran Richard Feynman, jenius
fisika dari AS, atas teori kuantum melahirkan apa yang disebut sebagai
“sum over histories”. Model kuantum menyebutkan partikel dikatakan tidak
memiliki posisi yang pasti sepanjang waktu antara titik awal dan titik
akhir dalam suatu eksperimen. Dalam tafsiran Feynman, partikel justru
mengambil setiap jalur yang mungkin yang menghubungkan kedua titik
itu. Kesimpulan Feynman: suatu sistem bukan hanya memiliki satu sejarah,
melainkan setiap sejarah yang mungkin. Ini gagasan radikal, bahkan bagi
banyak fisikawan. Dalam teori Newtonian, masa lalu diasumsikan ada
sebagai serangkaian peristiwa yang pasti. Menurut fisika kuantum, alam
semesta memiliki bukan hanya satu masa lalu, melainkan banyak. Semesta
bukan hanya memiliki eksistensi tunggal, tetapi setiap versi yang
mungkin dari semesta ada secara simultan dalam apa yang disebut quantum
superposition.
Penafsiran Feynman inilah yang
membangkitkan semangat Hawking untuk memperbaiki teorinya. Dalam sejarah
sains, kita telah menemukan serangkaian teori atau model yang lebih
baik dan lebih baik, sejak Plato hingga teori klasik Newton sampai
teori-teori kuantum modern. “Akankah rangkaian ini akhirnya mencapai
suatu titik akhir, teori pamungkas tentang semesta, yang akan mencakup
seluruh gaya dan memprediksi setiap observasi yang kita lakukan, ataukah
kita akan terus selamanya menemukan teori yang lebih baik, tetapi tidak
pernah menemukan satu teori yang tak bisa diperbaiki lagi?” tulis
Hawking dalam The Grand Design.
“Kita belum memperoleh jawaban definitif
atas pertanyaan ini,” tulis Hawking, “tapi kita sekarang memiliki calon
bagi teori pamungkas tentang segala Hal, jika memang ada, yang disebut
Teori-M.”
Bagi Hawking, Teori-M adalah satu-satunya model yang mengandung seluruh sifat yang harus dimiliki teori yang final. Dan ini melibatkan 10 dimensi ruang dan satu dimensi waktu. Berpijak pada penafsiran Feynman, Hawking mengatakan, menurut Teori-M, semesta kita tidaklah tunggal. Gagasan seperti ini di masa lampau pernah dilontarkan Fakhr al-Din al-Razi (1149-1209), yang menolak konsep geosentris Ptolemeus-yang berarti mendahului Copernicus maupun Kepler dan Galileo. Al-Razi juga menyebutkan alam semesta ini tidak tunggal dan sangat banyak.
Bagi Hawking, Teori-M adalah satu-satunya model yang mengandung seluruh sifat yang harus dimiliki teori yang final. Dan ini melibatkan 10 dimensi ruang dan satu dimensi waktu. Berpijak pada penafsiran Feynman, Hawking mengatakan, menurut Teori-M, semesta kita tidaklah tunggal. Gagasan seperti ini di masa lampau pernah dilontarkan Fakhr al-Din al-Razi (1149-1209), yang menolak konsep geosentris Ptolemeus-yang berarti mendahului Copernicus maupun Kepler dan Galileo. Al-Razi juga menyebutkan alam semesta ini tidak tunggal dan sangat banyak.
Namun, berbeda dengan Al-Razi yang
berpaling kepada adanya pencipta, Hawking berujung di kesimpulan bahwa
penciptaan alam semesta tidak memerlukan intervensi sesuatu yang
supernatural atau Tuhan. Semesta yang banyak ini muncul alamiah dari
hukum fisika. “Masing-masing semesta memiliki banyak sejarah yang
mungkin dan banyak keadaan yang mungkin pada masa-masa yang kemudian,
misalnya pada masa seperti sekarang, jauh sesudah terciptanya mereka.
Semesta adalah prediksi sains.” Sebuah klaim yang lebih deterministik
dibanding pernyataannya 22 tahun lalu dalam A Brief History of Time.
“Apabila semesta ada titik awalnya, kita dapat mengira ada penciptanya.
Namun, seandainya semesta benar-benar mandiri, tidak memiliki batas atau
titik ujung, semesta tidak memiliki awal maupun akhir: semesta hanyalah
ada. Kalau begitu, di mana tempat bagi Sang Pencipta?”
Scientific determinism, yang beberapa
kali ditegaskan Hawking, tidak memberi tempat bagi Tuhan. Dalam sejarah
perdebatan sains-agama, ini bukan hal baru. Charles Darwin telah
memulainya, dan kini diwarisi dengan penuh keyakinan oleh ilmuwan
Richard Dawkins (The Selfish Gen dan A Devil’s Chaplain). Dawkins
menggusur peran Tuhan dalam penciptaan. Steven Weinber, fisikawan yang
meraih Nobel bersama Abdus Salam, dalam Dreams of a Final Theory,
menyebutkan semakin sains menukik ke dalam hakikat segala sesuatu, alam
semesta ini tampaknya semakin tidak memberi tanda-tanda bahwa ia
merupakan jejak Tuhan yang “menaruh perhatian kepadanya”.
Sebagian ilmuwan enggan menarik Tuhan ke
dalam arena sains, seperti diwakili Peter Woit, fisikawan dari
Universitas Columbia, AS, ketika menanggapi The Grand Design: “Saya
lebih suka pada naturalisme dan tidak melibatkan Tuhan dalam fisika.”
Fisikawan seperti Paul Davies memilih posisi yang berseberangan dengan
Hawking (The Mind of God dan God and the New Physics). Ada banyak posisi
dalam menanggapi perkembangan sains (fisika, biologi), dan posisi
Hawking adalah salah satunya. Barangkali tepat belaka pandangan Keith
Ward dalam God, Chance and Necessity (1996) bahwa ini adalah perkara
interpretasi. Dan Hawking memilih interpretasi materialistik.
Ilmuwan Paling Populer
Produser seri animasi terkenal The
Simpsons rupanya jatuh cinta pada Stephen Hawking. Setidaknya sudah
empat kali ilmuwan Inggris ini muncul dan bergaul dengan keluarga Pak
Homer Simpson. Padahal tokoh dunia yang diparodikan dalam seri itu
biasanya bintang film, sutradara, atau penyanyi. Sesekali muncul tokoh
lain seperti pengarang Harry Potter, J.K. Rowling, serta negarawan top
Bill Clinton dan Tony Blair. Sangat jarang ilmuwan seperti Hawking.
Mungkin ia dianggap memiliki “karakter
kuat”, gampang diingat penampilannya, karena tak mampu menggerakkan
anggota badan dan jika berbicara mesti dengan suara komputer yang
dipasang di kursi rodanya. Tidak banyak ilmuwan yang wajah atau
penampilannya gampang diingat. Mungkin hanya Albert Einstein yang bisa
menyainginya. “Saya pikir, mungkin saya cocok dengan stereotipe ilmuwan
sinting atau jenius cacat,” kata Hawking suatu ketika. Bisa jadi pula
produser The Simpsons tertarik karena prestasi akademisnya. Hawking
memang menghasilkan penelitian yang spektakuler, terutama yang berkaitan
dengan lubang hitam, dan sering membuat pernyataan kontroversial yang
menjadi pembicaraan bahkan di kalangan awam. Media massa juga senang
karena ia pintar mengungkapkan ide dengan ungkapan yang sedap ditulis.
Dalam buku mutakhir yang dia tulis
bersama ilmuwan Leonard Mlodinow, The Grand Design, misalnya, Hawking
menyatakan bahwa penciptaan alam semesta tidak harus melibatkan Tuhan.
Dua dekade silam, dalam bukunya yang sangat terkenal, A Brief History of
Time, ia menyatakan bahwa begitu Teori Penyatuan Agung dapat disusun,
ia akan menjadi puncak temuan manusia. “Saat itu, kita bisa mengetahui
pikiran Tuhan,” ujarnya. Kemampuan Hawking secara akademis serta
kepandaiannya membuat pernyataan kontroversial itu kemungkinan besar
terpengaruh penyakit Lou Gehrig. Penyakit yang disebut pula dengan
amyotrophic lateral sclerosis ini membuatnya lumpuh dan bahkan akhirnya
tidak bisa berbicara.
Kelumpuhan itu membuatnya bekerja dengan
unik. “Saya menghindari persoalan dengan banyak persamaan-saya
mengubahnya menjadi pertanyaan geometri,” kata Hawking. “Dengan itu,
saya bisa menggambarkan di otak saya.” Hawking akan membayangkan
teori-teori fisika yang njelimet dalam bentuk geometris di dalam otak.
Hal ini yang membuat ide dan pikirannya kadang meloncat dibanding para
ilmuwan lain. “Saya pikir mungkin benar ia menghasilkan banyak
penelitian karena kekurangannya itu,” kata Kip Thorne, ahli fisika
teoretis dari Caltech, yang mengenal Hawking sejak awal 1960-an.
Karena sulit berbicara, Hawking terlatih
berhemat kata dan membuat ungkapan dramatis. “Ia mesti membuat
kalimatnya sepadat mungkin,” kata Bernard Carr, mahasiswa pertama yang
bisa tinggal gratis serumah dengan Hawking dan keluarganya pada 1974
sekaligus mendapat bimbingan intens-sebagai ganti, Carr mesti membantu
Hawking yang mulai lumpuh parah. “Pembicaraan 15 menit dengan Stephen
seperti berbicara dengan orang lain selama beberapa jam.”
Kelumpuhan Hawking tidak datang dalam
sekejap. Ia mendapat diagnosis penyakit Lou Gehrig ketika masih 21
tahun. Meski tak termasuk anak yang pintar bermain sepak bola, atau
tulisan tangannya seperti cakar ayam, Hawking, lahir 8 Januari 1942, tak
merasa sebagai anak yang memiliki koordinasi buruk. Malah, saat mulai
kuliah di Oxford pada usia 17 tahun, ia bergabung dengan tim dayung dan
sering mewakili fakultasnya bertanding. Pada tahun ketiga kuliah itulah
Hawking mulai mengalami gejala lumpuh. Kadang ia terjatuh tanpa sebab.
Ayahnya membawa dia ke dokter. Setelah mendapat pemeriksaan dua pekan,
dia mendapat diagnosis penyakit yang melumpuhkan sebagian anggota badan.
Masih ada tambahan pada diagnosis itu: dia akan meninggal dalam
beberapa tahun.
Dokter yang merawat tak tahu apa yang
mesti dilakukan dan berapa cepat kelumpuhan itu akan menjadi akut-dan
mengakhiri segalanya. Jadi, mereka menyuruh Hawking kembali ke kampus
dan kembali meneliti fisika teori tentang relativitas dan kosmologi.
“Meski saat itu saya tidak banyak mendapat kemajuan karena tidak
memiliki banyak latar belakang matematika,” tuturnya dalam satu tulisan.
Hawking sempat stres. Ia mencoba
melupakan penyakitnya dengan mendengarkan musik karya komposer Jerman,
Wilhelm Richard Wagner. Sebelum diagnosis itu pun Hawking sudah
cenderung bosan dengan kehidupannya. Setelah divonis usianya tinggal
beberapa tahun, ia merasa hidup begitu berharga. “Biarpun ada awan
mendung di atas masa depan, saya temukan, dan ini mengejutkan, bahwa
saya menikmati hidup saat itu daripada sebelumnya,” katanya.
Hawking mulai mendapat kemajuan dalam
risetnya. Ia kemudian berkenalan, bertunangan, dan menikah dengan Jane
Wilde. Hubungan ini memaksanya mendapat pekerjaan sehingga ia melamar ke
Cambridge. Mereka memiliki tiga anak, Robert (lahir 1967), Lucy (1970),
dan Timothy (1979). Karier akademis Hawking setelah divonis bakal
berumur pendek terus moncer. Bersama Roger Penrose, Hawking menemukan
bahwa teori relativitas Einstein menyatakan alam semesta dimulai dari
Big Bang (Dentuman Besar) dan berakhir dalam lubang hitam. Hawking
kemudian juga memunculkan teori bahwa lubang hitam tak sepenuhnya
berwarna hitam. Masih ada cahaya di sana dan disebut Radiasi
Hawking. Hawking juga pintar membuat terobosan ilmiah dari pemikiran
orang lain. “Sangat sedikit yang memiliki pemahaman dan pandangan, atau
kemampuan, untuk menanyakan hal yang tepat sehingga bisa menyelesaikan
masalah dengan cara yang mungkin tidak pernah terpikirkan sebelumnya,”
kata Thorne.
Masalah dengan penyakit tak berhenti di
kelumpuhan itu saja. Pada 1985, Hawking kesulitan bernapas. Agar oksigen
lebih lancar mengalir, ia dibedah. Akibat lain muncul. Kemampuan
bicaranya, yang sebelum bedah saja sudah lemah, setelah bedah menjadi
hilang sama sekali alias tak bisa berbicara. Untung saja seorang ahli
komputer dari Amerika Serikat, Walt Woltosz, mengirim program komputer
bernama Equalizer.
Program itu semula dipasang di komputer
meja tapi kemudian dipindah ke komputer yang berada di kursi berjalan.
Hawking bisa berbicara 15 kata per menit. Hawking cukup puas dengan
sistem komputer yang membuat suaranya seperti suara robot dalam film
fiksi ilmiah itu. Hanya satu keluhannya. “Ini membuat saya memiliki
dialek Amerika,” kata orang Inggris yang sudah mendapat gelar “Sir” dari
Ratu Elizabeth itu.
Nama Hawking menjadi populer setelah
menulis buku yang menjelaskan teori-teori penciptaan semesta dengan
bahasa sederhana, A Brief History of Time, pada akhir 1980-an. Buku ini
di luar dugaan sangat laris. Pernyataannya tentang Tuhan menjadi
kontroversial. Selain itu, penampilannya sebagai ilmuwan “aneh”, lumpuh
total dan hanya bisa berbicara dengan komputer, menjadikannya sangat
terkenal. Dan penampilan itulah yang membuatnya sering muncul bersama
Pak Homer Simpson. (Nur Khoiri)
Semesta dalam Fisika
Sekitar 2.600 tahun silam, Thales
mengubah pandangan mitologis mengenai semesta dan kehidupan manusia.
Menurut dia, alam konsisten mengikuti prinsip yang bisa dipahami.
Pandangan Thales dilanjutkan para pengikutnya, yang lalu menjadi tumpuan
proses panjang penggantian ide tentang dewa-dewa dengan konsep semesta
yang diatur hukum alam dan diciptakan menurut cetak biru yang suatu saat
bisa dipelajari. Tapi proses ini baru benar-benar dimulai setelah 20
abad kemudian.
Elektromagnetisme
Medan elektromagnetik terdapat di balik
hampir semua fenomena kehidupan sehari-hari, kecuali gravitasi.
Temuan-temuan tentang hal yang mengidentifikasi hubungan erat antara
gaya listrik dan magnet ini dimulai dari Hans Christian Orsted (1820).
Michael Faraday dan James Clerk Maxwell, antara lain, yang
menyempurnakannya. Implikasi teoretis dari temuan tentang
elektromagnetik merupakan fondasi dari Teori Relativitas Khusus yang
dirumuskan Albert Einstein.
Fisika Kuantum
Teori fisika dari masa Newton merupakan
cermin pengalaman sehari-hari, dengan obyek material yang memang eksis,
bisa ditentukan lokasinya, mengikuti jalur tertentu, dan seterusnya.
Fisika kuantum, yang dikembangkan sejak abad ke-20, merupakan cara
memahami alam pada skala atom dan subatom. Model kuantum menyebutkan
partikel tak memiliki posisi pasti sepanjang waktu antara titik awal dan
titik akhir dalam suatu eksperimen. Tapi Richard Feynman belakangan
menafsirkan bahwa partikel mengambil setiap jalur yang mungkin yang
menghubungkan dua titik secara bersamaan.
Hukum Alam
Konsep modern tentang hukum alam muncul
pada abad ke-17. Johannes Kepler adalah ilmuwan pertama yang memahaminya
dalam pengertian sains modern. Sesudahnya, antara lain, ada Galileo
Galilei dan Rene Descartes. Tapi baru Isaac Newton-lah yang diterima
luas, berkat hukum gerak dan gravitasinya. Tiga pertanyaan pokok yang
timbul setelah hukum yang mengatur alam diakui adalah (1) dari mana
asal-usul hukum itu; (2) apa ada perkecualian, misalnya keajaiban; dan
(3) apa hanya ada satu kemungkinan dari hukum itu.
Teori Relativitas
Inilah teori yang memperkaya fisika dan
astronomi sepanjang abad ke-20. Melalui empat makalah pada 1905, yang
merupakan fondasi Teori Relativitas Khusus, Einstein mengubah persepsi
yang dipengaruhi teori mekanika Newton. Tapi orang lebih mengingat teori
ini dalam kaitannya dengan bom nuklir. Einstein menerbitkan Teori
Relativitas Umum pada 1915, yang menegaskan ruang-waktu tidak datar,
sebagaimana diasumsikan sebelumnya, tapi berbentuk kurva karena adanya
distorsi oleh massa dan energi di dalamnya.
Teori M
“M” di sini bisa berarti “master”,
“miracle” (keajaiban), atau “misteri”. Atau malah ketiga-tiganya.
Pencetusnya, Edward Witten, mengatakan penafsiran atas “M” bergantung
pada selera penggunanya. Sebagai perluasan teori dawai (string theory),
yang merupakan ikhtiar menggabungkan fisika kuantum dan teori
relativitas umum, inilah teori yang digadang-gadang sebagai teori
segalanya, yang menyatukan keempat gaya fisika; Hawking bahkan yakin
inilah satu-satunya kandidat teori paripurna tentang semesta. Tapi
observasilah yang masih harus membuktikannya.
Realitas
Kebanyakan ilmuwan berpendapat hukum alam
merupakan ekspresi matematis dari realitas eksternal, lepas dari siapa
pun pengamat yang menyaksikannya. Tapi telaah mengenai bagaimana kita
mengamati dan merumuskan konsep tentang alam telah memunculkan
pertanyaan apakah realitas obyektif memang ada. Timbul kubu realis dan
antirealis. Realisme tergantung-model mempertemukan keduanya pada titik
apakah suatu model sesuai dengan pengamatan atau tidak. Maka bisa
dikatakan tidak ada model matematika atau teori tunggal yang bisa
mendeskripsikan setiap aspek alam semesta.
Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com
Sumber: https://tolakbigot.wordpress.com
No comments:
Post a Comment