Oleh: Afthonul Afif
Di Universitas Duke, seorang mahasiswa serius membaca Lao Tzu. Ia unggul dalam sport dan pandai bergaul sehingga ia terpilih sebagai ketua dewan mahasiswa untuk dua universitas yang berlainan. Pada waktu yang sama, ia juga menonjol dalam bidang akademik. Kelak, ia menulis buku yang menceritakan masa studinya: “Gairahku yang sebenarnya, semangat terdalamku, ditujukan pada sains. Aku merealisasikan diri yang ditegakkan diatas logika, dibangun dengan fisika, dan digerakkan oleh kimia.” Tetapi, Lao Tzu kemudian membawanya pada tradisi spiritual Timur dan Barat. Ken Wilber seorang eksponen gerakan psikologi transpersonal.
Dilahirkan pada tahun 1949 di Oklahoma Amerika Serikat. Ia menyelesaikan pendidikan menengahnya di Lincoln, Nebraska, dan sempat belajar Kedokteran di Universitas Duke sebelum akhirnya “drop out” dan kembali ke rumah orang tuanya di Nebraska. Ia mengambil studi pascasarjana pada biokimia dan biofisika di Universitas Nebraska dan di luar ruang kuliah ia masih sempat menenggelamkan diri pada buku-buku filsafat, psikologi, dan spiritual. Pada musim dingin 1973, dalam usia yang masih muda, 24 tahun, ia menerbitkan buku pertamanya The Spectrum of Consciousness. Buku ini berusaha mengawinkan sains dan tradisi-tradisi spiritual, sebuah perpaduan yang dicari oleh para “pemberontak budaya” pada era 1970-an. Psikologi, psikoterapi, filsafat, dan tradisi spiritual tidak perlu bersaing dan saling meniadakan. Kita harus melihatnya dalam spektrum kesadaran yang lebih utuh. Buku ini, ditolak lebih dari dua puluh penerbit selama lebih dari tiga tahun—tetapi telah mengantarkan penulisnya, Ken Wilber sebagai salah satu tokoh perintis psikologi transpersonal. Berkat kegeniusan dan keluasan cakrawala pemikirannya dalam mengintegrasikan tradisi-tradisi yang berlainan, Wilber dijuluki kolega-koleganya sebagai “The Einstein of Consciousness”.
Sampai tahun 1983, Wilber sangat produktif menulis buku-buku yang meletakkan dasar-dasar pemikiran integratif dari psikologi transpersonal. Pada tahun 1983, ia menikah dengan Terry Killam. Tetapi sepuluh hari setelah pernikahannya, istrinya di diagnosis menderita kanker payudara sampai akhirnya meninggal pada tahun 1989. Wilber menuturkan kisah cintanya yang mengharukan ketika merawat istrinya dalam Grace and grit (1991).
Kurang lebih sembilan belas buku telah di tulisnya: Spectrum of Consciousness (1977), No Boundary (1979), The Atman Project (1980), Up from Eden (1981), Holographic Paradigm (1982), A Sociable God (1982), Eye to Eye (1983), Quantum Question (1984), Spiritual Choices (1986), Transformation of Consciousness (1987), Grace and Grit (1991), Sex, Ecology, Spirituality (1995), A Brief History Everything (1996), The Eye to Spirit (1997), Marriage of Sense and Soul (1998), One Taste (1999), Integral Psychology (2000), A Theory of Everything (2000), dan Boomeritis (2002). Tetapi sayangnya, dari karya-karya besar ini, tidak satupun yang sudah di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Wilber dalam khazanah psikologi di Indonesia memang belum sepopuler Freud, Jung, Maslow, Pavlov, Skinner dan tokoh-tokoh besar psikologi lainnya. Namun buah pemikirannya teramat penting untuk dicermati dan dikaji. Wilber mengkritik Freud yang terlalu melihat manusia sebagai mahkluk pesakitan yang kehilangan kebebasannya karena dikuasai oleh impuls-impuls bawah sadarnya. Dia juga mengkritik Pavlov, dan Skinner, pendiri behaviorisme, yang telah menjatuhkan martabat manusia karena disamakan dengan binatang yang hanya bereaksi ketika stimulus diberikan.
Tradisi-tradisi psikologi sebelum Wilber hanya mengungkap parsialitas aspek dari keseluruhan aspek-aspek yang terdapat pada manusia. Psikoanalisis terlalu menonjolkan interioritas, behaviorisme menonjolkan eksterioritas, dan psikologi humanistik terlalu mengagungkan manusia sebagai entitas yang memiliki kebebasan penuh.
Meskipun ia melakukan koreksi terhadap tradisi–tradisi sebelumnya, tidak lantas ia antipati dan meninggalkannya. Melalui kepiawaiannya, Wilber mampu meramu secara sinergis tradisi-taradisi psikologi sebelumnya. Psikoanalisis, behaviorisme, dan psikologi humanistik didialogkan dengan tradisi spiritual Timur yang kaya nuansa spiritualnya menjadi sebuah bangunan pemikiran yang integral. Psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali ke dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Dus, psikologi spektrum lahir sebagai genre baru dalam gerakan psikologi transpersonal.
Dalam buku-buku yang telah ditulisnya, Wilber tetap konsisten mengusung paradigma baru dalam mempelajari kesadaran manusia. Psikologi spektrum menjadi icon setiap karyanya. Psikologi spektrum tersebut mempersatukan berbagai macam pendekatan, baik Barat maupun Timur ke dalam suatu spektrum model dan teori psikologi yang mencerminkan spektrum kesadaran manusia. Setiap tingkat, atau berkas dari spektrum ini di tandai oleh suatu rasa identitas yang berbeda, yang mencakup sejak dari identitas kesadaran kosmik yang agung hingga identitas ego yang sangat sempit. Sebagaimana halnya dalam setiap spektrum, berbagai berkas memperlihatkan adanya bayangan dan gradasi yang tak terhingga, yang lambat-laun satu sama lainnya menyatu. Namun demikian, beberapa tingkat kesadaran yang dikaitkan dengan tingkat-tingkat psikoterapi yang sesuai, tingkat ego, biososial, eksistensial, dan tingkat transpersonal.
Pada tingkat ego orang tidak dapat melihat organisme sebagai sistem yang utuh karena hanya mencerminkan perwujudan mental organisme, yang dikenal dengan citra diri ego. Kesadaran biososial sebagai tingkat kesadaran kedua melihat individu manusia sebagai bagian dari lingkungan sosialnya—hubungan keluarga, tradisi budaya, dan kepercayaan—yang dipetakan pada organisme biologis dan secara kuat mempengaruhi persepsi dan perilaku manusia. Tingkat eksistensial adalah tingkat organisme yang utuh, ditandai oleh rasa identitas yang melibatkan kesadaran seluruh sistem jiwa-tubuh sebagai suatu keseluruhan yang mengatur dirinya sendiri dan terintegrasi. Akhirnya, setelah tahap kesadaran eksitensial sudah mampu dihayati secara penuh, kesadaran akan melakukan lompatan menuju pengalaman-pengalaman transpersonal yang melibatkan suatu perluasan kesadaran di luar batas-batas konvensional organisme dan sesuai dengan rasa identitas yang lebih besar. Pada akhir spektrum kesadaran, berkas-berkas transpersonal itu masuk ke dalam tingkat Jiwa, menurut istilah Wilber. Tingkat ini merupakan tingkat kesadaran kosmik dimana orang menenggelamkan diri, menyatu dengan alam semesta. Orang mungkin menghayati realitas ultima pada semua tingkat transpersonal, tetapi ia menjadi realitas ini hanya pada tingkat jiwa.
Dalam menyempurnakan gagasan psikologi spektrum, Wilber menyusun hirarki ontologis yang mendasari tingkatan-tingkatan spektrum kesadaran manusia. Ada enam tataran ontologis kesadaran yang disebut Wilber berikut ini: Physical Unconsciousness—Biological—Psychological—Causal—Subtle—Ultime Consciousness. Wilber mengidentifikasi keenam tataran ontologis kesadarannya dengan tataran ontologis Hindhuisme Vedanta dan Budhisme Mahayana. Physical Unconsciousness setara dengan Annamayakosha (Hindhu), Biological setara dengan Pranamayakosha (Hindhu) dan Nijvana (Budha), Psychological setara dengan Manomayakosha (Hindhu) dan Manavijnama (Budha), Subtle setara dengan Vijnanamayakosha (Hindhu) dan Manas (Budha), Causal setara dengan Anandamayakosha (hindhu) dan alayavijnama (Budha), dan Ultime Consciousness setara dengan Atman (Hindhu) dan Cittamatra (Budha).
Meskipun Wilber menghendaki terjalinnya tingkatan-tingkatan spektrum kesadaran beserta basis ontologisnya, tetapi ia tidak serta merta berikhtiar melakukan spekulasi untuk menyatukan tataran-tataran ontologis tersebut dalam satu basis ontologis yang kukuh—seperti yang dilakukan Capra dan pengikut-pengikutnya. Wilber mengkritik Capra yang dengan sembrono menafsirkan fisika kuantum dapat memberikan penjelasan bahwa antara materi dan pikiran (spirit) bersatu dalam realitas kuantum. Wilber berpendapat bahwa fisika kuantum tak lain hanyalah kesatuan dalam tataran material semata, tidak dapat disamakan dengan kesatuan dalam tataran spiritual. Antara spiritualitas mutlak di tataran puncak dan materialitas di tataran terbawah, terdapat jenjang-jenjang realitas seperti yang diajarkan oleh setiap aspek esoteris semua agama, baik yang monotheis maupun non-theis.
Ken Wilber yang kemudian memberikan predikat atas pemikirannya sebagai integralisme universal kemudian menyatakan pendapatnya secara sinis tentang Capraisme yang menyamakan esensi kesadaran mistik dengan struktur dissipatif yang ditemukan ahli kimia, Ilya Prigogine, sebagai berikut: “To actually identify the essence of the higher level as simply being a dissipative structure is like saying the Mona Lisa is simply a concentration of paint.”(Ken Wilber: Eye to Eye, 1993). Inti kritik Wilber menunjukkan bahwa dunia manusia syarat makna, tidak dapat di reduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisis se-fundamental apapun, apalagi dunia keagamaan dengan spiritualitas transendental-nya.
Wilber telah mengembangkan psikologi transpersonal dan memberinya landasan filosofis yang kuat. Jack Krintenden dalam pengantar buku The Eye of Spirit (1997) memuji Wilber sebagai ilmuwan yang mempunyai perhatian keilmuan yang sangat luas dan luar biasa. Dia berkomentar: “He (Wilber) has provided a coherent and consistent vision that seamlessly weaves together truth claims from such fields as physics and biology; the ecoscience; chaos theory and the systems sciences; medicine, neurophysiology, biochemistry; art, poetry, and aesthetics in general; developmental psychology and spectrum of psychoterapeutic endeavor, from Freud to Jung to Piaget; the great chain theorists from Plato and Plotinus in the West to Shankara and Nagarjuna in the East; the modernists from Descartes and Locke to Kant; the idealists from Schelling to Hegel; the postmodernists from Foucault and Derrida to Taylor and Habermas; the major hermeneutic tradition, Dilthey to Heidegger to Gadamer; the social systems theorists from Comte and Marx to Parsons and Luhmann; the contemplative and mystical schools of great meditative traditions, East and West, in the world’s major religious tradition.”
Tetapi, sebagai pendiri psikologi transpersonal, kita harus menyebut Anthony Sutich, pendiri The Journal of Humanistic Psychology. Ia mengumpulkan orang-orang yang mempunyai paham yang sama di rumahnya di California (waktu itu pusat gerakan “kontra budaya’). Mereka membahas secara informal topik-topik yang tidak diperhatikan oleh psikologi Humanistik dan gerakan potensi manusia waktu itu. Pertemuan itu dihadiri oleh Abraham Maslow (psikolog humanistik yang berbicara tentang peak experience (pengalaman puncak), Stanislav Grof, dan Victor Frankl, yang kemudian dari diskusi ini menghasilkan istilah transpersonal untuk gerakan psikologi yang mereka rintis. Diskusi ini di pimpin langsung oleh Sutich meskipun harus menggunakan cermin di atas kepalanya karena ia terbaring lumpuh oleh penyakit kronis. Dalam diskusi ini Wilber belum hadir karena pada waktu itu ia masih menjadi pemuda gelisah yang juga mengalami ketidakpuasan terhadap sains dan psikologi modern.
Sebagai generasi kedua gerakan psikologi transpersonal, Wilber telah melakukan banyak hal untuk menyempurnakan ide-ide para pendahulunya. Wilber memberi landasan yang kuat bagi proyek psikologi transpersonal dengan melibatkan disiplin-disiplin keilmuan lainnya. Psikologi transpersonal merupakan kajian inter-disipliner dalam diskursus keilmuan dewasa ini.
Posisi Wilber sepadan dengan Habermas yang telah melakukan penyempurnaan filosofis teori kritis mazhab Frankfurt yang dirintis oleh Theodore W.Adorno, Mark Horkheimer, dan Herbert Marcuse, yang juga terlibat dalam gerakan “kontra budaya” tahun 1960-an.
Meskipun Wilber menyadari terdapat perbedaan (bukan perbedaan prinsipil, melainkan metodis) dengan para pendahulunya, misalnya dengan Stanislav Grof–Wilber melalui bukunya The Eye of Spirit (1997) mengkategorikan Grof sebagai ilmuwan yang masih terperangkap dalam monological consciousness (kesadaran masih berpusat pada subjek, jadi masih bersifat eksistensial, belum transpersonal), tetapi Wilber tetap menghargai dan menghormati para pendahulunya. Dia berterima kasih pada Grof atas rintisannya mengeksplorasi kesadaran manusia sampai pada taraf-taraf yang paling primitif. Sudah menjadi keniscayaan sejarah bahwa generasi yang datang belakangan mempunyai tugas untuk menyempurnakan pemikiran-pemikiran para pendahulunya.
Bagi para pendukung gerakan psikologi transpersonal, psikologi spektrum Wilber telah memberikan sumbangan berharga bagi pemahaman yang lebih utuh terhadap manusia. Untuk melakukan riset-riset mendalam mengenai psikologi transpersonal, Wilber didukung para pengikutnya mendirikan sebuah lembaga pada tahun 2000 yang bernama Integral Institute, sebuah lembaga yang menjadi think-thank studi-studi lanjut tentang isu-isu seputar psikologi, sains, dan masyarakat dalam cara pandang yang integral. Pemikir eksentrik yang sekarang tinggal di Denver, Colorado Amerika Serikat ini, berpendapat bahwa untuk membangun kembali peradaban yang telah rapuh ini, pertama-tama harus didahului merubah cara pandang keilmuan terhadap subjek manusia. Manusia merupakan bentuk mini dari makrokosmos yang hanya dapat dipahami melalui totalitas eksistensinya.[]
Sumber: tidak ada
Di Universitas Duke, seorang mahasiswa serius membaca Lao Tzu. Ia unggul dalam sport dan pandai bergaul sehingga ia terpilih sebagai ketua dewan mahasiswa untuk dua universitas yang berlainan. Pada waktu yang sama, ia juga menonjol dalam bidang akademik. Kelak, ia menulis buku yang menceritakan masa studinya: “Gairahku yang sebenarnya, semangat terdalamku, ditujukan pada sains. Aku merealisasikan diri yang ditegakkan diatas logika, dibangun dengan fisika, dan digerakkan oleh kimia.” Tetapi, Lao Tzu kemudian membawanya pada tradisi spiritual Timur dan Barat. Ken Wilber seorang eksponen gerakan psikologi transpersonal.
Dilahirkan pada tahun 1949 di Oklahoma Amerika Serikat. Ia menyelesaikan pendidikan menengahnya di Lincoln, Nebraska, dan sempat belajar Kedokteran di Universitas Duke sebelum akhirnya “drop out” dan kembali ke rumah orang tuanya di Nebraska. Ia mengambil studi pascasarjana pada biokimia dan biofisika di Universitas Nebraska dan di luar ruang kuliah ia masih sempat menenggelamkan diri pada buku-buku filsafat, psikologi, dan spiritual. Pada musim dingin 1973, dalam usia yang masih muda, 24 tahun, ia menerbitkan buku pertamanya The Spectrum of Consciousness. Buku ini berusaha mengawinkan sains dan tradisi-tradisi spiritual, sebuah perpaduan yang dicari oleh para “pemberontak budaya” pada era 1970-an. Psikologi, psikoterapi, filsafat, dan tradisi spiritual tidak perlu bersaing dan saling meniadakan. Kita harus melihatnya dalam spektrum kesadaran yang lebih utuh. Buku ini, ditolak lebih dari dua puluh penerbit selama lebih dari tiga tahun—tetapi telah mengantarkan penulisnya, Ken Wilber sebagai salah satu tokoh perintis psikologi transpersonal. Berkat kegeniusan dan keluasan cakrawala pemikirannya dalam mengintegrasikan tradisi-tradisi yang berlainan, Wilber dijuluki kolega-koleganya sebagai “The Einstein of Consciousness”.
Sampai tahun 1983, Wilber sangat produktif menulis buku-buku yang meletakkan dasar-dasar pemikiran integratif dari psikologi transpersonal. Pada tahun 1983, ia menikah dengan Terry Killam. Tetapi sepuluh hari setelah pernikahannya, istrinya di diagnosis menderita kanker payudara sampai akhirnya meninggal pada tahun 1989. Wilber menuturkan kisah cintanya yang mengharukan ketika merawat istrinya dalam Grace and grit (1991).
Kurang lebih sembilan belas buku telah di tulisnya: Spectrum of Consciousness (1977), No Boundary (1979), The Atman Project (1980), Up from Eden (1981), Holographic Paradigm (1982), A Sociable God (1982), Eye to Eye (1983), Quantum Question (1984), Spiritual Choices (1986), Transformation of Consciousness (1987), Grace and Grit (1991), Sex, Ecology, Spirituality (1995), A Brief History Everything (1996), The Eye to Spirit (1997), Marriage of Sense and Soul (1998), One Taste (1999), Integral Psychology (2000), A Theory of Everything (2000), dan Boomeritis (2002). Tetapi sayangnya, dari karya-karya besar ini, tidak satupun yang sudah di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Wilber dalam khazanah psikologi di Indonesia memang belum sepopuler Freud, Jung, Maslow, Pavlov, Skinner dan tokoh-tokoh besar psikologi lainnya. Namun buah pemikirannya teramat penting untuk dicermati dan dikaji. Wilber mengkritik Freud yang terlalu melihat manusia sebagai mahkluk pesakitan yang kehilangan kebebasannya karena dikuasai oleh impuls-impuls bawah sadarnya. Dia juga mengkritik Pavlov, dan Skinner, pendiri behaviorisme, yang telah menjatuhkan martabat manusia karena disamakan dengan binatang yang hanya bereaksi ketika stimulus diberikan.
Tradisi-tradisi psikologi sebelum Wilber hanya mengungkap parsialitas aspek dari keseluruhan aspek-aspek yang terdapat pada manusia. Psikoanalisis terlalu menonjolkan interioritas, behaviorisme menonjolkan eksterioritas, dan psikologi humanistik terlalu mengagungkan manusia sebagai entitas yang memiliki kebebasan penuh.
Meskipun ia melakukan koreksi terhadap tradisi–tradisi sebelumnya, tidak lantas ia antipati dan meninggalkannya. Melalui kepiawaiannya, Wilber mampu meramu secara sinergis tradisi-taradisi psikologi sebelumnya. Psikoanalisis, behaviorisme, dan psikologi humanistik didialogkan dengan tradisi spiritual Timur yang kaya nuansa spiritualnya menjadi sebuah bangunan pemikiran yang integral. Psikologi belum sempurna sebelum difokuskan kembali ke dalam pandangan spiritual dan transpersonal. Dus, psikologi spektrum lahir sebagai genre baru dalam gerakan psikologi transpersonal.
Dalam buku-buku yang telah ditulisnya, Wilber tetap konsisten mengusung paradigma baru dalam mempelajari kesadaran manusia. Psikologi spektrum menjadi icon setiap karyanya. Psikologi spektrum tersebut mempersatukan berbagai macam pendekatan, baik Barat maupun Timur ke dalam suatu spektrum model dan teori psikologi yang mencerminkan spektrum kesadaran manusia. Setiap tingkat, atau berkas dari spektrum ini di tandai oleh suatu rasa identitas yang berbeda, yang mencakup sejak dari identitas kesadaran kosmik yang agung hingga identitas ego yang sangat sempit. Sebagaimana halnya dalam setiap spektrum, berbagai berkas memperlihatkan adanya bayangan dan gradasi yang tak terhingga, yang lambat-laun satu sama lainnya menyatu. Namun demikian, beberapa tingkat kesadaran yang dikaitkan dengan tingkat-tingkat psikoterapi yang sesuai, tingkat ego, biososial, eksistensial, dan tingkat transpersonal.
Pada tingkat ego orang tidak dapat melihat organisme sebagai sistem yang utuh karena hanya mencerminkan perwujudan mental organisme, yang dikenal dengan citra diri ego. Kesadaran biososial sebagai tingkat kesadaran kedua melihat individu manusia sebagai bagian dari lingkungan sosialnya—hubungan keluarga, tradisi budaya, dan kepercayaan—yang dipetakan pada organisme biologis dan secara kuat mempengaruhi persepsi dan perilaku manusia. Tingkat eksistensial adalah tingkat organisme yang utuh, ditandai oleh rasa identitas yang melibatkan kesadaran seluruh sistem jiwa-tubuh sebagai suatu keseluruhan yang mengatur dirinya sendiri dan terintegrasi. Akhirnya, setelah tahap kesadaran eksitensial sudah mampu dihayati secara penuh, kesadaran akan melakukan lompatan menuju pengalaman-pengalaman transpersonal yang melibatkan suatu perluasan kesadaran di luar batas-batas konvensional organisme dan sesuai dengan rasa identitas yang lebih besar. Pada akhir spektrum kesadaran, berkas-berkas transpersonal itu masuk ke dalam tingkat Jiwa, menurut istilah Wilber. Tingkat ini merupakan tingkat kesadaran kosmik dimana orang menenggelamkan diri, menyatu dengan alam semesta. Orang mungkin menghayati realitas ultima pada semua tingkat transpersonal, tetapi ia menjadi realitas ini hanya pada tingkat jiwa.
Dalam menyempurnakan gagasan psikologi spektrum, Wilber menyusun hirarki ontologis yang mendasari tingkatan-tingkatan spektrum kesadaran manusia. Ada enam tataran ontologis kesadaran yang disebut Wilber berikut ini: Physical Unconsciousness—Biological—Psychological—Causal—Subtle—Ultime Consciousness. Wilber mengidentifikasi keenam tataran ontologis kesadarannya dengan tataran ontologis Hindhuisme Vedanta dan Budhisme Mahayana. Physical Unconsciousness setara dengan Annamayakosha (Hindhu), Biological setara dengan Pranamayakosha (Hindhu) dan Nijvana (Budha), Psychological setara dengan Manomayakosha (Hindhu) dan Manavijnama (Budha), Subtle setara dengan Vijnanamayakosha (Hindhu) dan Manas (Budha), Causal setara dengan Anandamayakosha (hindhu) dan alayavijnama (Budha), dan Ultime Consciousness setara dengan Atman (Hindhu) dan Cittamatra (Budha).
Meskipun Wilber menghendaki terjalinnya tingkatan-tingkatan spektrum kesadaran beserta basis ontologisnya, tetapi ia tidak serta merta berikhtiar melakukan spekulasi untuk menyatukan tataran-tataran ontologis tersebut dalam satu basis ontologis yang kukuh—seperti yang dilakukan Capra dan pengikut-pengikutnya. Wilber mengkritik Capra yang dengan sembrono menafsirkan fisika kuantum dapat memberikan penjelasan bahwa antara materi dan pikiran (spirit) bersatu dalam realitas kuantum. Wilber berpendapat bahwa fisika kuantum tak lain hanyalah kesatuan dalam tataran material semata, tidak dapat disamakan dengan kesatuan dalam tataran spiritual. Antara spiritualitas mutlak di tataran puncak dan materialitas di tataran terbawah, terdapat jenjang-jenjang realitas seperti yang diajarkan oleh setiap aspek esoteris semua agama, baik yang monotheis maupun non-theis.
Ken Wilber yang kemudian memberikan predikat atas pemikirannya sebagai integralisme universal kemudian menyatakan pendapatnya secara sinis tentang Capraisme yang menyamakan esensi kesadaran mistik dengan struktur dissipatif yang ditemukan ahli kimia, Ilya Prigogine, sebagai berikut: “To actually identify the essence of the higher level as simply being a dissipative structure is like saying the Mona Lisa is simply a concentration of paint.”(Ken Wilber: Eye to Eye, 1993). Inti kritik Wilber menunjukkan bahwa dunia manusia syarat makna, tidak dapat di reduksi menjadi peristiwa-peristiwa fisis se-fundamental apapun, apalagi dunia keagamaan dengan spiritualitas transendental-nya.
Wilber telah mengembangkan psikologi transpersonal dan memberinya landasan filosofis yang kuat. Jack Krintenden dalam pengantar buku The Eye of Spirit (1997) memuji Wilber sebagai ilmuwan yang mempunyai perhatian keilmuan yang sangat luas dan luar biasa. Dia berkomentar: “He (Wilber) has provided a coherent and consistent vision that seamlessly weaves together truth claims from such fields as physics and biology; the ecoscience; chaos theory and the systems sciences; medicine, neurophysiology, biochemistry; art, poetry, and aesthetics in general; developmental psychology and spectrum of psychoterapeutic endeavor, from Freud to Jung to Piaget; the great chain theorists from Plato and Plotinus in the West to Shankara and Nagarjuna in the East; the modernists from Descartes and Locke to Kant; the idealists from Schelling to Hegel; the postmodernists from Foucault and Derrida to Taylor and Habermas; the major hermeneutic tradition, Dilthey to Heidegger to Gadamer; the social systems theorists from Comte and Marx to Parsons and Luhmann; the contemplative and mystical schools of great meditative traditions, East and West, in the world’s major religious tradition.”
Tetapi, sebagai pendiri psikologi transpersonal, kita harus menyebut Anthony Sutich, pendiri The Journal of Humanistic Psychology. Ia mengumpulkan orang-orang yang mempunyai paham yang sama di rumahnya di California (waktu itu pusat gerakan “kontra budaya’). Mereka membahas secara informal topik-topik yang tidak diperhatikan oleh psikologi Humanistik dan gerakan potensi manusia waktu itu. Pertemuan itu dihadiri oleh Abraham Maslow (psikolog humanistik yang berbicara tentang peak experience (pengalaman puncak), Stanislav Grof, dan Victor Frankl, yang kemudian dari diskusi ini menghasilkan istilah transpersonal untuk gerakan psikologi yang mereka rintis. Diskusi ini di pimpin langsung oleh Sutich meskipun harus menggunakan cermin di atas kepalanya karena ia terbaring lumpuh oleh penyakit kronis. Dalam diskusi ini Wilber belum hadir karena pada waktu itu ia masih menjadi pemuda gelisah yang juga mengalami ketidakpuasan terhadap sains dan psikologi modern.
Sebagai generasi kedua gerakan psikologi transpersonal, Wilber telah melakukan banyak hal untuk menyempurnakan ide-ide para pendahulunya. Wilber memberi landasan yang kuat bagi proyek psikologi transpersonal dengan melibatkan disiplin-disiplin keilmuan lainnya. Psikologi transpersonal merupakan kajian inter-disipliner dalam diskursus keilmuan dewasa ini.
Posisi Wilber sepadan dengan Habermas yang telah melakukan penyempurnaan filosofis teori kritis mazhab Frankfurt yang dirintis oleh Theodore W.Adorno, Mark Horkheimer, dan Herbert Marcuse, yang juga terlibat dalam gerakan “kontra budaya” tahun 1960-an.
Meskipun Wilber menyadari terdapat perbedaan (bukan perbedaan prinsipil, melainkan metodis) dengan para pendahulunya, misalnya dengan Stanislav Grof–Wilber melalui bukunya The Eye of Spirit (1997) mengkategorikan Grof sebagai ilmuwan yang masih terperangkap dalam monological consciousness (kesadaran masih berpusat pada subjek, jadi masih bersifat eksistensial, belum transpersonal), tetapi Wilber tetap menghargai dan menghormati para pendahulunya. Dia berterima kasih pada Grof atas rintisannya mengeksplorasi kesadaran manusia sampai pada taraf-taraf yang paling primitif. Sudah menjadi keniscayaan sejarah bahwa generasi yang datang belakangan mempunyai tugas untuk menyempurnakan pemikiran-pemikiran para pendahulunya.
Bagi para pendukung gerakan psikologi transpersonal, psikologi spektrum Wilber telah memberikan sumbangan berharga bagi pemahaman yang lebih utuh terhadap manusia. Untuk melakukan riset-riset mendalam mengenai psikologi transpersonal, Wilber didukung para pengikutnya mendirikan sebuah lembaga pada tahun 2000 yang bernama Integral Institute, sebuah lembaga yang menjadi think-thank studi-studi lanjut tentang isu-isu seputar psikologi, sains, dan masyarakat dalam cara pandang yang integral. Pemikir eksentrik yang sekarang tinggal di Denver, Colorado Amerika Serikat ini, berpendapat bahwa untuk membangun kembali peradaban yang telah rapuh ini, pertama-tama harus didahului merubah cara pandang keilmuan terhadap subjek manusia. Manusia merupakan bentuk mini dari makrokosmos yang hanya dapat dipahami melalui totalitas eksistensinya.[]
Sumber: tidak ada
A Theory of Everything sudah ada terjemahan Indonesianya beberapa tahun lalu n diterbitkan oleh Mizan.
ReplyDelete