Argumen ini akan saya gunakan untuk membuktikan bahwa tuhan tidak ada. Saya akan membunuh tuhan. Pendekatan yang saya gunakan adalah pendekatan logika. Bukan pendekatan iman, bukan pula pendekatan agama.
Argumen ini adalah tantangan dan serangan. Argumen ini tidak ambil posisi netral. Silahkan ditanggapi, dihajar, diserang balik.
Argumen ini saya bagi menjadi beberapa runtutan logika. Yang mesti dibaca satu persatu dari atas ke bawah untuk dipahami. Argumen ini tersusun dalam tiga bagian yang saya sebut major argument. Dua bagian awal akan menunjukkan kepada Anda bahwa tuhan tidak mungkin ada. Dan argumen penutup akan menutup celah logika yang tertinggal pada dua argumen sebelumnya. Tiga major arguments ini mesti dibaca berurutan dan dipahami sebagai satu kesatuan menuju kesimpulan penutup: BAHWASANYA MENURUT LOGIKA DAN AKAL SEHAT, TUHAN TIDAK MUNGKIN ADA DAN JELAS TIDAK ADA.
Pertama kita akan berangkat dari asumsi kaum teis tradisional bahwa tuhan adalah pencipta berpribadi dan berkehendak. Tuhan yang dalam eksistensinya adalah berinisiatif dan aktif dalam relasi dengan manusia dan semesta alam. Yang akan kita bedah dengan pisau logika menuju major argument pertama.
Major Argument #1 To Kill The Personal God
TUHAN, JIKA DIA MEMANG ADA, ADALAH TUHAN YANG PASIF DAN INAKTIF.
Argumen ini bertujuan untuk menolak konsep Personal God. Tuhan yang melibatkan diri secara terus menerus dalam kehidupan manusia. Berinisiatif, berpikir dan berkendak. Berfirman dan bermukjizat. Tuhan para kreasionis yang aktif menciptakan, mengadakan, menjaga, dan memelihara alam sekehendaknya. Tuhan agama-agama Semitik, Dewa-Dewi Hindu, Romawi, dan Yunani. Ada dua minor arguments yang disusun untuk mendukung major argument ini.
Problematika A
TUHAN PRIMA CAUSA
Konsep pertama yang saya sorot adalah konsep Prima Causa. Kenapa? Karena konsep inilah yang seringkali menjadi argumen yang menjelaskan keberadaan tuhan. Tidak, bukan berarti Prima Causa tidak dapat digunakan membuktikan keberadaan tuhan. Namun Prima Causa memiliki kelemahan yang dapat kita sorot. Pertanyaan utamanya, tuhan mana dulu yang ingin dibuktikan oleh argumen Prima Causa?
Sebelumnya, mari kita pahami apa itu argumen Prima Causa. Mengutip seorang teman:
Aristoteles mencoba membuktikan keberadaan Tuhan (yakni sekadar membuktikan bahwa Tuhan itu ada, bukan bermaksud mendefinisikan Tuhan itu apa, Dzat-Nya terbuat dari apa dsb…) dengan argumen sebagai berikut…
Menurut Aristoteles, dengan asas berpikir prinsip “kausalitas”, yakni bahwa setiap akibat pasti memerlukan sebab, maka dapat kita lihat bahwa setiap sesuatu yang kita ketahui itu memerlukan sesuatu yang lain supaya dirinya bisa terwujud. Dari sini kita peroleh 2 hal;
1. Realitas yang bergantung pada sesuatu yang lain (disebut akibat),
2. Realitas yang digantungi oleh sesuatu yang lain (disebut sebab).
Bila ternyata realitas sebab itu memerlukan sesuatu yang lain juga, maka dapat dikatakan dia juga sebagai akibat bagi sesuatu yang digantungi itu… dst.
Maka, kausalitas atau sebab-akibat ini pun membentuk suatu rantai sebab-akibat.
Nah, rantai sebab-akibat ini memiliki beberapa kemungkinan sbb:
1.Tidak berujung ( A disebabkan B, B disebabkan C, C disebabkan D, D disebabkan E, dst.— tak berujung)
2. Berujung pada sebab yang tidak lagi disebabkan (A disebabkan B, B disebabkan C, C disebabkan D, D disebabkan X, X tidak lagi disebabkan oleh apapun — berujung pada X sebagai sebab awal)
3. Berputar atau daur.(A disebabkan B, B disebabkan C, C disebabkan A.)
Nah, kemungkinan ke-3 adalah mustahil. Mengapa? Karena berdasarkan kaidah “Setiap Sebab tentu lebih sempurna daripada Akibatnya”, maka kemungkinan ketiga adalah mustahil adanya. Yakni mustahil C disebabkan oleh A, padahal A tidak lebih sempurna daripada C, sehingga tidaklah mungkin mengakibatkan C.
Beralih kepada kemungkinan ke-1, itupun mustahil. Mengapa? karena bila rantai sebab-akibat ini tidak berujung, artinya semua yang ada ialah akibat. Bila semuanya adalah akibat, bagaimana mungkin ia bisa terwujud?
(Ibaratnya katakanlah ada 15 orang pelari yang tidak akan mulai berlari sebelum salah satu di antara mereka ada yang berlari terlebih dahulu. Maka, agar mereka sungguh-sungguh mulai berlari, harus ada setidaknya salah satu diantara mereka yang mau berlari tanpa syarat.)
Nah, bila kenyataannya kini akibat itu memang ada (dalam analogi tadi 15 orang pelari itu memang berlari) itu berarti memang ada Sebab awal yang tidak memerlukan sebab lain bagi keberadaannya (Alias Sebab Primer/ prima causa, dalam analogi tadi adalah pelari yang berlari tanpa syarat).
Maka, kemungkinan ke-2 lah yang benar.
Nah dengan demikian, keberadaan Sebab awal yang tidak lagi disebabkan itu terbukti kebenarannya.
Dan, dengan kaidah, setiap sebab pasti lebih sempurna daripada akibatnya, maka sebab awal ini pastilah yang paling sempurna dari segala yang ada, yang karenanya, dikatakanlah bahwa itulah yang disebut dengan “Tuhan”.
Demikian argumen Aristoteles…
Pada dasarnya argumen ini berangkat dari pemahaman bahwa:
1. Segala sesuatu yang terjadi disebabkan oleh sesuatu yang lain… selayaknya B menyebabkan C dan B disebabkan oleh A.
2. Mereka bergerak dalam rangkaian sebab akibat dalam artian bahwa tanpa B tidak akan ada C dan tanpa A tidak akan ada B
3. Rangkaian sebab akibat itu bukanlah tanpa titik, sebaliknya, rantai itu memiliki titik awal dimana segalanya diawali, titik penyebab itulah yang kita sebut Prima Causa (T), The First Mover.
Kalo ingin digambarkan, kira-kira seperti ini:
(T)==>A==>B==>C==>Dst…
Atau ilustrasi sederhananya:
Saya mengambil batu > saya melempar batu ke kaca > kaca pecah
Argumen inilah yang menjadi religious stance kebanyakan Teis…
Tapi PROBLEMNYA, argumen ini TIDAK MEMBERI RUANG BAGI TUHAN YANG BERPRIBADI, BERINISIATIF DAN BERKEHENDAK. Tuhan hanya akan jadi The FIRST MOVER, detonator, pemicu pertama… TUHAN YANG INAKTIF DAN PASIF.
Logikanya, dia hanya berkuasa atas SEBAB PERTAMA, tapi dia tidak berkuasa atas SEBAB KEDUA dan SETERUSNYA.
Pertanyaan saya:
Apakah Tuhan bisa mengubah B menjadi Y secara langsung? Jika saya melempar batu ke arah kaca, dapatkah lemparan itu menyebabkan pintu di sebelah ruang terbuka? TIDAK BISA! Inilah konsekuensi dunia dalam kausalitas, di mana sebab akibat bekerja. Tidak ada ruang buat Tuhan yang Berpribadi dan Berinisiatif. Mau tidak mau Tuhan harus mengubah A untuk mengubah B. Hingga satu-satunya cara yang mungkin adalah menjadi seperti ini:
(T)==>(A=)X==>Y==>Z
Coba lihat, di sini berlaku hukum bahwa A menghasilkan B dan B sebagai turunan dari A menghasilkan C. Apakah Tuhan mampu memanipulasi ini?
Tidak bisa! Jawabnya, untuk mengubah B jadi Y kita tidak bisa main sulap dalam jagad kausalitas. Sebab dengan sendirinya keteraturan akan runtuh. Jika mendadak setelah A muncul Y maka otomatis C tidak dapat muncul. Dan A sendiri kehilangan keterlanjutannya. Satu-satunya konsekuensi logis adalah untuk mengubah B jadi Y, kita harus mengubah A terlebih dahulu. Untuk membuka pintu, saya tidak perlu melempar batu tapi saya harus berjalan ke arah pintu dan membukanya.
Lihat dilemanya?
Sekarang, kalau kita definisikan Maha Kuasa sebagai Playing Above The Rules, bukan Playing By The Rules, adakah Tuhan Yang Maha Kuasa ketika kekuasaan Tuhan dibatasi oleh hukum ciptaannya sendiri?
Oke, sedikit tambahan untuk lebih jelas. Saya ambil satu contoh. MUKJIZAT!
Mukjizat adalah salah satu ciri khas dalam kisah keagamaan. Mukjizat adalah tema sentral yang menunjukkan Tuhan yang aktif. Turut ambil bagian dan berperan serta dalam pergulatan hidup hambanya. Tapi Argumen Prima Causa tidak memberi ruang bagi Tuhan yang bermukjizat. Kenapa?
Urutan logikanya seperti ini:
1. bahwa tuhan maha berkehendak
2. bahwa tuhan mahakuasa
3. maka tuhan bermukjizat
4. bahwa semesta adalah ada
5. terdapat pola di mana semesta bekerja secara teratur dalam suatu kausalitas
6. maka semesta didasarkan pada hukum dan keteraturan alam
Anggaplah kalau kita berandai-andai bahwa tuhan membuat salah satu rasulnya terbang seperti Superman, wussss...
Maka kita akan masuk ke dalam alur logika kenapa mukjizat itu adalah tidak logis, karena:
1. TUHAN, kalau memang ada, tidak hanya menciptakan eksistensi ALAM SEMESTA, tapi juga MEKANISME yang menjalankannya
2. Mekanisme itu terdiri atas hukum alam (misal: gravitasi, orbit planet, manusia bernafas dengan oksigen, dll.)
3. Mekanisme itu membentuk satu rangkaian dari hukum-hukum alam yang saling bergantung dengan teratur satu sama lain dengan keseimbangan yang sempurna.
4. Mukjizat dapat kita maknai sebagai pelanggaran terhadap mekanisme. (mukjizat terbang berarti melanggar hukum gravitasi)
5. Pelanggaran terhadap hukum alam ini, sekecil apapun, dapat merusak keseluruhan mekanisme alam yang telah seimbang dan dapat menimbulkan efek tak terbayangkan (gaya gravitasi berpengaruh kuat terhadap peredaran orbit planet, jika gaya gravitasi diutak atik seenaknya hanya agar ada MUKJIZAT biar MANUSIA percaya, maka akan menimbulkan masalah besar).
6. Therefore, dari sudut logika, mukjizat itu TIDAK ADA.
7. Kalau kita masih pingin berandai-andai untuk melakukan itu, maka tuhan harus memberi manusia sayap atau mengubah hukum alam itu sendiri, misalkan mengubah gravitasi jadi 0. Ingat, untuk mengubah B jadi Y, maka kita harus mengubah A terlebih dahulu.
Sekarang alur logika ini akan membawa kita ke misteri-misteri yang membingungkan:
Dari sudut motif dan tujuan, apa yang ingin Tuhan buktikan lewat mukjizat dan intervensi ilahinya? Agar manusia percaya?
Sungguh bodohkah Tuhan melanggar mekanismenya sendiri dan membahayakan keseluruhan keseimbangan semesta hanya agar manusia percaya?
Jadi akhirnya, kira-kira bandingkan saja seperti ini, TUHAN yang berusaha membuktikan dirinya TUHAN kepada manusia sama bodohnya dengan gw yang berusaha membuktikan kalo gw MANUSIA kepada ANJING gw sendiri.
Inti dari seluruh problematika ini sederhana:
Tuhan Prima Causa dalam jagat kausalitas adalah Tuhan yang pasif dan inaktif, bukan Tuhan yang personal, berpribadi, berinisiatif dan berkehendak.
Problematika B
ANTARA BAIK DAN JAHAT
Urutan logikanya seperti ini:
1. Bahwa tuhan adalah mahabaik
2. Bahwa tuhan adalah mahakuasa
3. Bahwa dunia terdapat derita dan sengsara
Bahwa tuhan mahabaik dan mahakuasa tidak perlu saya jelaskan. Sebab kalau tidak mahabaik dan mahakuasa tentu bukan tuhan. Sama seperti yang tidak berpikir dan bernafas tentu bukan manusia.
Tapi pertanyaannya, apa itu sengsara dan derita?
Pertama saya tidak memaknai sengsara dan derita sebagai ketiadaan dari bahagia dan sejahtera. Mungkin ada yang akan berkata: Bung, darimana Anda tahu Anda bahagia kalau Anda tak pernah menderita, darimana Anda tahu Anda susah kalau Anda tak pernah senang. Kita tidak perlu menjebak diri dalam dualitas itu.
Pertama, tentu ketika kita ngomong soal definisi kebahagiaan sebagai rush of emotions, kita bakal terjebak dalam konsep “kebahagiaan” dan “penderitaan” sebagai KONSEP YANG ABSTRAK. Kenapa? Karena pada hakikatnya manusia adalah mahluk berhasrat. Dari titik ini kita dapat maknai bahwa kebahagiaan adalah ketika hasrat manusia terpenuhi dan penderitaan adalah ketika hasrat manusia tidak terpenuhi.
HASILNYA TENTULAH SUBYEKTIF SEKALI! Karena pada dasarnya hasrat semua orang berbeda. Hasilnya apa yang kita maknai “kebahagiaan” dan “penderitaan” bakal menjadi sesuatu yang semu dan sangat personal. Kalo sudah begini bagaimana kita bisa membawa diskusi kita?
Dalam pemahaman saya (dan dalam argumen saya), “penderitaan” dan “kebahagiaan” adalah sesuatu yang obyektif. Bagaimana bisa? Karena saya TIDAK MENGANGGAP “kebahagiaan” dan “penderitaan” HANYA SEKADAR rush of emotions. Saya melihat “kebahagiaan” dan “penderitaan” sebagai “WELLNESS OF BEING”. Dalam artian “kebahagiaan” ada ketika terpenuhinya hakikat seseorang sebagai manusia, hakikat kemanusiaannya, secara obyektif, baik dalam artian fisik maupun mental, dan ketidak bahagiaan adalah ketika WELLNESS OF BEING itu tak terpenuhi.
Saya persingkat dengan analogi seperti ini: buat saya “Hidup susah dan tidak makan kenyang berhari-hari” itu BUKAN PENDERITAAN!
PENDERITAAN ADALAH ketika seorang janin di aborsi sebelum dia sempat lahir. Hingga dia tidak pernah menjadi manusia. Bukan karena dia tidak punya kesempatan, tapi karena tidak diberi kesempatan. Sama seperti balita kecil di Darfur yang mengais-ngais bak sampah dan berebut makanan dengan segerombolan anjing hanya untuk hidup. Itulah PENDERITAAN. PENDERITAAN terjadi ketika seorang terjebak dalam keadaan di mana seluruh eksistensinya sebagai manusia turun hingga dia gagal menjadi manusia yang utuh.
Keadaan yang tidak manusiawi dan mengingkari hakikatnya sebagai manusia.
Di titik ini kita akan masuk dalam dua kontradiksi:
Kontradiksi #1 tuhan adalah mahakuasa tapi dia tidak mahabaik, sebab dia tahu bahwa ada sengsara dan derita namun dia tak melakukan apapun untuk meniadakannya. Hingga derita dan sengsara tetap ada di dunia.
Kontradiksi #2 tuhan adalah mahabaik tapi dia tidak mahakuasa, sebab dia tahu bahwa ada derita dan sengsara dan berkehendak menghentikannya sebab dia mahabaik, namun dia tak mampu melakukan apa-apa sebab dia tidak mahakuasa. Hingga derita dan sengsara tetap ada di dunia.
Dua paradoks ini akan membawa kita pada satu paradoks puncak:
Bagaimana mungkin tuhan yang maha sempurna mengadakan dunia yang tak sempurna? Bagaimana mungkin sesuatu yang sempurna mengadakan sesuatu yang cela? Bukankah mengadakan sesuatu yang cela itu melanggar hakikat kesempurnaannya sendiri dan memperlihatkan bahwa walau dengan atribut kemaha-sempurnaannya sebenarnya dia tak sempurna?
Selamat, sampai di titik ini kita baru saja membunuh tuhan yang berpribadi dan berkehendak. Sebab hakikat tuhan berpribadi dan berkehendak gagal dipertanggungjawabkan di depan logika dan akal sehat. Sekarang kita akan masuk ke kemungkinan kedua yang tidak dapat kita tiadakan, yaitu tuhan kaum deis. Tuhan yang hidup dalam watchmaker theory, tuhan intelligence design. Tuhan yang hanya merancang dan mendesain. Tapi tidak bertindak dan berinisiatif dan bergulat dengan rancangannya. Sama seperti pembuat jam yang hanya membuat jam dan lalu membiarkan jam itu berjalan sendiri lepas dari campur tangannya. Bukan tuhan yang aktif dan berinisiatif, sebab dia sudah kita bunuh. Tapi tuhan yang pasif dan inaktif.
Major Argument #2 To Kill The Impersonal God
Apa bedanya tuhan yang pasif dan inaktif dengan tiada tuhan?
Argumen ini bertujuan untuk menolak konsep impersonal god. Tuhan yang menjauh dari eksistensi ciptaannya, serta hanya melihat saja dari jauh sana. Konsep tuhan sebagai si pembuat jam (the watchmaker theory). Tuhan yang mendesain dan menciptakan jam, lalu membiarkan jam bekerja dengan sendirinya tanpa campur tangan dia. Tuhan yang tidak menampakkan eksistensinya secara ajaib lewat wahyu, mukjizat dan intervensi ilahi. Tuhan di balik intelligence design. Tuhan yang bersembunyi di balik evolusi dan kerja fenomena alam. Tuhan kaum deis.
Saya akan memulai argumen ini dengan ilustrasi kecil:
Dua orang penjelajah bernama A dan B menelusuri rimba belantara Afrika menemukan taman yang indah di tengah belantara. Namun mereka tidak menemukan siapa pun di situ. Otomotis keduanya bertanya-tanya, lalu siapa yang membuat dan merawat taman ini? A mengeluarkan teori: oh, pastilah ada seorang tukang kebun yang bekerja di taman ini! B menyangkal dan berdebat bahwa hal itu tidak mungkin, sebab bila memang ada, maka siapa dan untuk apa membuat taman di tengah rimba belantara.
Maka keduanya memutuskan berkemah untuk memuaskan rasa penasaran. Sepanjang malam mereka berjaga dan mengamat-amati untuk menemukan si tukang kebun. Berhari-hari lamanya dan sang tukang kebun tak muncul-muncul-muncul juga. Akhirnya A berkata: oh pastilah si tukang kebun datang dan bekerja dengan bersembunyi-sembunyi! Maka keduanya memutuskan memasang pagar berduri mengelilingi taman itu. Hingga tidak ada satupun orang yang bisa masuk tanpa merusaknya. Kembali mereka menunggu, berjaga dan mengamat-amati berhari-hari lamanya. Namun tak ada satupun orang muncul dan tak ada pula tanda pagar dirusak.
A pun bingung. Lalu dia menyimpulkan: tidaklah mungkin bahwasanya taman seindah ini ada tanpa ada yang merawatnya, pastilah ada tukang kebun! Walau tak-terlihat, tak-terasa, tak-terdengar, tak-teraba, dan tak-terasa oleh panca indra kita! B yang lebih bingung lalu bertanya: kalau begitu apakah bedanya tukang kebun yang tak-terlihat, tak-terasa, tak-terdengar, tak-teraba dengan tukang kebun yang tak ada?
Sekarang kita akan membawa pertanyaan ini ke dalam ranah teologis.
1. Jika tuhan tak berpribadi dan berkehendak lalu bagaimana caranya dia mengadakan semesta alam? Sebab bukankah sebelum mencipta tuhan harus berencana, dan sebelum berencana tuhan harus berkehendak, serta untuk berkehendak tuhan harus berpribadi? Mohon pencerahannya!.
2. Apa bedanya tuhan tak berpribadi dan berkehendak dengan batu? Bukankah batu juga tak berkehendak dan berpribadi?
3. Jika tuhan tak berpribadi lalu bagaimana kita mempertanggung jawabkan pilihan pribadi kita? Adakah dosa dan pahala? Adakah surga dan neraka? Adakah keputusan ilahi yang mahaadil dan maha benar? Untuk apa kita bertanggung jawab pada sesuatu yang tidak ada sangkut paut dengan kita?
4. Maka apa bedanya tuhan yang pasif dan inaktif dengan tiada tuhan? Apa bedanya tuhan yang hanya melihat saja tanpa ada campur tangan dalam relasi dengan segala eksistensi ciptaannya dengan tuhan yang tak ada?
Saya akan membiarkan pertanyaan itu tak terjawab sebagai bentuk tantangan. Di titik ini kita telah membunuh tuhan yang impersonal dan personal. Kita telah membunuh tuhan, apapun jenis dan bentuknya. Kita telah menunjukkan bahwa tuhan tidak mungkin ada.
Sampai di titik ini Anda bukan lagi seorang teis atau deis, tapi seorang agnostik.
Namun serta merta mengatakan tuhan tidak ada tidak memecahkan masalah. Sebab jika kita berusaha obyektif dan mempertanggungjawabkan akal sehat kita, maka kita harus mampu menunjukkan bahwa tuhan harus benar-benar tidak ada. Bukan sekadar menunjukkan bahwa tuhan tidak mungkin ada. Tapi bagaimana caranya kita dapat membuktikan sesuatu yang tidak dapat kita buktikan keberadaannya adalah tidak ada?
Sekarang mari kita meloncat ke argumen ketiga, argumen penutup.
Major Argument #3 Presumption Of Atheism
Ada orang yang pernah ditanya kenapa dia percaya pada sesuatu yang tidak dapat dibuktikan? Kenapa dia percaya pada tuhan? Jawabnya sederhana: “Apa ruginya? Kalau dia beragama dan tuhan memang ada maka dia punya kesempatan masuk surga. Kalau dia beragama dan tuhan tak ada maka anggap saja dia sudah beramal demi sesama walau akhirnya binasa juga”. Mentalitas ini berprinsip kalau tidak percaya tuhan dan ternyata tuhan ada, maka binasa dan jika tak percaya tuhan dan ternyata tuhan tak ada maka juga binasa. Jadi kenapa tidak percaya tuhan kalo percaya tuhan ternyata lebih berguna?
Ini mentalitas konyol, mentalitas “kalo benar ya syukur”. Ini bukan mentalitas yang masuk akal dan logis. Sebab logika dan akal sehat selalu menuntut skeptisme dan meragukan. Bukan mentalitas untung-untungan macam ini.
Jadi skeptisme macam apa yang dapat kita rengkuh untuk menalar tuhan? Inilah inti dari major argument ketiga kita. Apa yang dapat kita adopsi dari asas dalam ilmu hukum: Praduga tak bersalah atau presumption of innocence. Asas ini menyatakan bahwa ketika belum dapat dibuktikan bahwa seseorang bersalah atau tidak bersalah maka satu-satunya posisi yang boleh kita ambil adalah bahwa si orang adalah tidak bersalah, hingga dia tidak boleh dihukum dan ditindak seakan dia bersalah.
Demikian pula dalam menalar tuhan:
Selama keberadaan tuhan tak dapat dibuktikan bahwa ada atau tidak ada maka satu-satunya posisi yang dapat kita ambil adalah praduga tiada (presumption of atheism) yaitu,
Selama tidak ada satupun yang dapat membuktikan bahwa tuhan tidak ada dan tidak pula ada satupun yang dapat membuktikan bahwa tuhan ada, maka satu-satunya posisi yang dapat kita ambil dan masuk akal adalah posisi bahwa tuhan tidak ada. Hingga dibuktikan sebaliknya.
Mengenai pembuktian keberadaan tuhan, kita akan bebankan sesuai asas hukum perdata yang dapat kita adopsi sekali lagi di sini, yang berbunyi DIA YANG MENDALILKAN DIA YANG MEMBUKTIKAN yaitu BAHWA DIA YANG MENDALILKAN BAHWA TUHAN ADA MAKA DIALAH YANG MEMBUKTIKAN TUHAN ADA. Sama seperti jaksa yang membuktikan bahwa tersangka BERSALAH dan PRADUGA TAK BERSALAH yang diatributkan pada tersangka adalah KELIRU.
Kesimpulan Akhir
Jadi menilik dari alur argumen di atas, yaitu bahwa:
(i) tuhan yang berpribadi tidak mungkin ada
(ii) tuhan yang tak berpribadi tidak dapat dapat dibedakan dengan tidak ada tuhan
kesimpulan dari 2 argumen pertama (i)+(ii) adalah kesimpulan minor yaitu TUHAN ADALAH TIDAK MUNGKIN ADA
berangkat dari kesimpulan minor tersebut maka kita meletakkan argumen (iii) yaitu:
(iii) ketika tuhan tidak mungkin ada (kesimpulan minor) maka satu-satunya asumsi paling logis dan masuk akal yang bisa kita tarik adalah tuhan tidak ada.
Hingga kita sampai pada KESIMPULAN PENUTUP yaitu:
BAHWASANYA MENURUT LOGIKA DAN AKAL SEHAT TUHAN TIDAK MUNGKIN ADA DAN JELAS TIDAK ADA.
Sumber: Free Thinker
No comments:
Post a Comment