Memperingati hari hak asasi manusia (HAM) sedunia 10 Desember lalu, kita patut mengevaluasi situasi penegakan HAM di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir. Sebagaimana diketahui, salah satu tonggak penting era Reformasi adalah disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Namun, menginjak satu dasawarsa usia kedua UU tersebut, berbagai persoalan penting terkait penegakan HAM masih membentang di hadapan kita. Setidaknya terdapat isu krusial yang patut dicermati di sini. Pertama, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kedua, penegakan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Yang pertama terkait dengan janji pemerintah untuk melaksanakan amanat salah satu agenda Reformasi yakni menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Sementara yang kedua berkaitan dengan konteks yang lebih luas, tentang cita-cita bernegara dan substansi HAM itu sendiri. Yaitu, bahwa setiap warga negara berhak untuk terpenuhi hak-hak dasar hidupnya, seperti penghidupan layak, dan negara harus menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut.
Penyelesaian kasus HAM berat
Di kawasan Asia, Indonesia tergolong terdepan dalam mengakui instrumen hukum HAM internasional. Setidaknya, tujuh konvensi dan kovenan HAM internasional telah diratifikasi. Dua di antaranya Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Sementara UU Pengadilan HAM yang kita miliki, secara jelas mengacu pada Statuta Roma.
Namun, prestasi di bidang regulasi tak sebanding dengan kiprah nyata beberapa rezim pemerintahan setelah Orde Baru dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Ini sungguh paradoks, mengingat pemerintahan era reformasi hadir dengan mandat untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang hingga kini statusnya masih mengambang. Di antaranya adalah kasus 1965-1966, DOM Aceh, penembakan misterius 1980-an, Abepura-Wamena Papua, penghilangan paksa aktivis 1997-1998, tragedi 27 Juli, Talangsari-Lampung 7 Februari 1989, kerusuhan Mei 1998, dan tragedi Trisakti dan Semanggi 1-II.
Sejauh ini baru dua kasus pelanggaran HAM berat yang diajukan ke Pengadilan HAM ad hoc, yaitu kasus Timor-Timur tahun 1999 dan peristiwa Tanjung Priok 1984. Dalam kasus Timor-Timur, dari 18 orang yang diadili, hanya 2 orang yang dinyatakan bersalah, tapi kemudian dibebaskan setelah permohonan peninjauan kembali mereka dikabulkan Mahkamah Agung (MA). Dalam kasus Tanjung Priok, para terdakwa yang semula dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri dibebaskan di tingkat kasasi.
Sedangkan terkait kasus Trisakti dan Semanggi I-II, DPR menilai tidak ada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut. Pada April 2008 lalu Kejaksaan Agung bahkan mengembalikan empat berkas hasil penyelidikan Komnas HAM tentang kerusuhan Mei 1998, Wamena, penghilangan paksa aktivis 1997-1998, serta tragedi Trisakti dan Semanggi I-II. Keempat kasus tersebut dianggap selesai dengan diadilinya para pelaku di peradilan militer.
Komnas HAM kemudian kembali membentuk tim ad hoc penyelidikan kasus 1965-1966 dan penembakan misterius tahun 1980-an. Namun tiadanya political will eksekutif, legislatif, dan lembaga penegak hukum membuat berbagai upaya mengungkap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dari para aktivis pembela HAM menemui jalan buntu. Akhirnya, banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menguap seiring berlalunya waktu.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa elemen-elemen negara—eksekutif, legislatif, dan lembaga penegak hukum—belum memiliki komitmen kuat untuk menyelesaikan berbagai kasus HAM berat masa lalu. Justru, seolah terjadi upaya “cuci tangan” terhadap amanat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Pemenuhan hak-hak warga negara
HAM tidak hanya terkait masa lalu. Terjaminnya kehidupan warga, terpenuhinya hak-hak dasar sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, bebasnya warga dari kemisikinan, diskirimasi, penyiksaan, penghilangan paksa, adalah bentuk-bentuk hak asasi setiap warga negara. Kesemua hak tersebut harus dipenuhi oleh pemerintah, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, UU 39/1999, serta dua Kovenan internasional yang telah diratifikasi di atas.
Ada banyak kasus yang menunjukkan terabaikannya hak-hak dasar warga negara. Namun, beberapa yang pokok dapat diutarakan di sini. Pertama, hak atas kesejahteraan, yakni bahwa setiap orang berhak mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, pekerjaan, kehidupan yang layak, dan berhak memperjuangkan kehidupannya. Kita masih menyaksikan kemiskinan, pengangguran, bahkan gizi buruk di beberapa daerah masih menjadi masalah sosial yang belum terselesaikan.
Kedua, hak memperoleh keadilan, yaitu bahwa setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan, diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, obyektif, dan jujur. Faktanya, kriminalisasi masih terjadi terutama kepada masyarakat kecil yang buta hukum. Praktek-praktek manipulasi hukum dan salah tangkap masih kerap terjadi, dan itu disertai dengan lemahnya mekanisme sanksi yang diterapkan kepada oknum polisi yang melakukan tindak pelanggaran hukum tersebut.
Ketiga, pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan intoleransi yang mengancam kebebasan beragama. Polisi justru tampak lemah dalam menghadapi aksi-aksi kekerasan kelompok tertentu.
Terakhir, masih adanya ancaman terhadap para pekerja HAM dan demokrasi. Kekerasan terhadap aktivis HAM dan demokrasi masih terus terjadi sepanjang 2010, di antaranya kepada jurnalis, aktivis anti-korupsi, dan para aktivis lingkungan. Sementara itu, pengadilan tidak dapat mengungkap aktor intelektual di balik kasus Munir.
Ukuran keberhasilan penegakan HAM bukan hanya pada tataran pembuatan regulasi, tetapi yang tak kalah penting adalah penegakan substansi HAM itu sendiri. Yaitu, implementasi konkret baik dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, maupun pemenuhan hak-hak dasar warga negara. Bukti keseriusan pemerintah dalam menegakkan HAM harus dibuktikan bukan hanya melalui visi dan regulasi, tapi juga adanya strategi jitu dan agenda prioritas dalam penegakan HAM di Indonesia.
Asmar Oemar Saleh,
Advokat, Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran Ham, MenegHAM RI
Namun, menginjak satu dasawarsa usia kedua UU tersebut, berbagai persoalan penting terkait penegakan HAM masih membentang di hadapan kita. Setidaknya terdapat isu krusial yang patut dicermati di sini. Pertama, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Kedua, penegakan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Yang pertama terkait dengan janji pemerintah untuk melaksanakan amanat salah satu agenda Reformasi yakni menyelesaikan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Sementara yang kedua berkaitan dengan konteks yang lebih luas, tentang cita-cita bernegara dan substansi HAM itu sendiri. Yaitu, bahwa setiap warga negara berhak untuk terpenuhi hak-hak dasar hidupnya, seperti penghidupan layak, dan negara harus menjamin terpenuhinya hak-hak tersebut.
Penyelesaian kasus HAM berat
Di kawasan Asia, Indonesia tergolong terdepan dalam mengakui instrumen hukum HAM internasional. Setidaknya, tujuh konvensi dan kovenan HAM internasional telah diratifikasi. Dua di antaranya Kovenan Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Sementara UU Pengadilan HAM yang kita miliki, secara jelas mengacu pada Statuta Roma.
Namun, prestasi di bidang regulasi tak sebanding dengan kiprah nyata beberapa rezim pemerintahan setelah Orde Baru dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Ini sungguh paradoks, mengingat pemerintahan era reformasi hadir dengan mandat untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat.
Banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang hingga kini statusnya masih mengambang. Di antaranya adalah kasus 1965-1966, DOM Aceh, penembakan misterius 1980-an, Abepura-Wamena Papua, penghilangan paksa aktivis 1997-1998, tragedi 27 Juli, Talangsari-Lampung 7 Februari 1989, kerusuhan Mei 1998, dan tragedi Trisakti dan Semanggi 1-II.
Sejauh ini baru dua kasus pelanggaran HAM berat yang diajukan ke Pengadilan HAM ad hoc, yaitu kasus Timor-Timur tahun 1999 dan peristiwa Tanjung Priok 1984. Dalam kasus Timor-Timur, dari 18 orang yang diadili, hanya 2 orang yang dinyatakan bersalah, tapi kemudian dibebaskan setelah permohonan peninjauan kembali mereka dikabulkan Mahkamah Agung (MA). Dalam kasus Tanjung Priok, para terdakwa yang semula dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri dibebaskan di tingkat kasasi.
Sedangkan terkait kasus Trisakti dan Semanggi I-II, DPR menilai tidak ada pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut. Pada April 2008 lalu Kejaksaan Agung bahkan mengembalikan empat berkas hasil penyelidikan Komnas HAM tentang kerusuhan Mei 1998, Wamena, penghilangan paksa aktivis 1997-1998, serta tragedi Trisakti dan Semanggi I-II. Keempat kasus tersebut dianggap selesai dengan diadilinya para pelaku di peradilan militer.
Komnas HAM kemudian kembali membentuk tim ad hoc penyelidikan kasus 1965-1966 dan penembakan misterius tahun 1980-an. Namun tiadanya political will eksekutif, legislatif, dan lembaga penegak hukum membuat berbagai upaya mengungkap kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dari para aktivis pembela HAM menemui jalan buntu. Akhirnya, banyak kasus pelanggaran HAM berat masa lalu menguap seiring berlalunya waktu.
Fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa elemen-elemen negara—eksekutif, legislatif, dan lembaga penegak hukum—belum memiliki komitmen kuat untuk menyelesaikan berbagai kasus HAM berat masa lalu. Justru, seolah terjadi upaya “cuci tangan” terhadap amanat penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Pemenuhan hak-hak warga negara
HAM tidak hanya terkait masa lalu. Terjaminnya kehidupan warga, terpenuhinya hak-hak dasar sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, bebasnya warga dari kemisikinan, diskirimasi, penyiksaan, penghilangan paksa, adalah bentuk-bentuk hak asasi setiap warga negara. Kesemua hak tersebut harus dipenuhi oleh pemerintah, sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, UU 39/1999, serta dua Kovenan internasional yang telah diratifikasi di atas.
Ada banyak kasus yang menunjukkan terabaikannya hak-hak dasar warga negara. Namun, beberapa yang pokok dapat diutarakan di sini. Pertama, hak atas kesejahteraan, yakni bahwa setiap orang berhak mendapatkan jaminan sosial yang dibutuhkan, pekerjaan, kehidupan yang layak, dan berhak memperjuangkan kehidupannya. Kita masih menyaksikan kemiskinan, pengangguran, bahkan gizi buruk di beberapa daerah masih menjadi masalah sosial yang belum terselesaikan.
Kedua, hak memperoleh keadilan, yaitu bahwa setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan, diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, obyektif, dan jujur. Faktanya, kriminalisasi masih terjadi terutama kepada masyarakat kecil yang buta hukum. Praktek-praktek manipulasi hukum dan salah tangkap masih kerap terjadi, dan itu disertai dengan lemahnya mekanisme sanksi yang diterapkan kepada oknum polisi yang melakukan tindak pelanggaran hukum tersebut.
Ketiga, pembiaran terhadap kasus-kasus kekerasan intoleransi yang mengancam kebebasan beragama. Polisi justru tampak lemah dalam menghadapi aksi-aksi kekerasan kelompok tertentu.
Terakhir, masih adanya ancaman terhadap para pekerja HAM dan demokrasi. Kekerasan terhadap aktivis HAM dan demokrasi masih terus terjadi sepanjang 2010, di antaranya kepada jurnalis, aktivis anti-korupsi, dan para aktivis lingkungan. Sementara itu, pengadilan tidak dapat mengungkap aktor intelektual di balik kasus Munir.
Ukuran keberhasilan penegakan HAM bukan hanya pada tataran pembuatan regulasi, tetapi yang tak kalah penting adalah penegakan substansi HAM itu sendiri. Yaitu, implementasi konkret baik dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, maupun pemenuhan hak-hak dasar warga negara. Bukti keseriusan pemerintah dalam menegakkan HAM harus dibuktikan bukan hanya melalui visi dan regulasi, tapi juga adanya strategi jitu dan agenda prioritas dalam penegakan HAM di Indonesia.
Asmar Oemar Saleh,
Advokat, Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran Ham, MenegHAM RI
No comments:
Post a Comment