Sunday, April 1, 2012

Menyambut Lahirnya Kongres Advokat Indonesia

Advokat Indonesia telah mencatatkan diri dalam sejarah melalui Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang baru saja digelar (30 Mei). Momentum 100 Tahun Kebangkitan Nasional (1908-2008) dan 10 Tahun Reformasi yang baru saja diperingati (1998-2008), selayaknya menjadi mercusuar yang menerangi jalan organisasi advokat Indonesia yang baru saja terbentuk: terpenuhinya harapan para advokat akan hadirnya wadah tunggal advokat Indonesia yang demokratis, transparan, legitimate, dan akuntabel.

Terbentuknya wadah tunggal advokat tersebut sekaligus akan menerbitkan  harapan baru bagi seluruh rakyat Indonesia: berperannya advokat Indonesia dalam mendorong perubahan di tanah air dan tegaknya supremasi hukum dan HAM.

Landasannya jelas: idealisme yang melekat dalam profesi advokat. Sejak profesi ini dikenal secara universal sekitar 2000 tahun lalu, ia sudah dijuluki sebagai officium nobile, profesi yang mulia dan terhormat. Profesi advokat itu mulia, karena ia mengabdikan dirinya kepada kepentingan masyarakat dan bukan kepada dirinya sendiri, serta berkewajiban untuk turut menegakkan hak-hak asasi manusia.

Kilas balik sejarah advokat Indonesia

Advokat bukanlah produk genuine dari kultur hukum masyarakat Indonesia (Binziad Kadafi). Keberadaannya telah mengalami persinggungan panjang dengan era kolonialisme yang mendera Indonesia. Pada tahun 1900-an, semua advokat dan notaris di Indonesia (Hindia Belanda) adalah orang Belanda.

Baru pada tahun 1909, pemerintah kolonial mendirikan Rechtsschool di Batavia, serta membuka kesempatan pendidikan hukum bagi orang pribumi. Dibukanya sekolah hukum ini menjadi tonggak awal dimulainya partisipasi masyarakat pribumi dalam menjalankan profesi advokat, meski partisipasi pribumi tersebut baru terbatas pada kaum priyayi.

Pada tahun 1928, Rechtsschool telah meluluskan hampir 150 orang rechtskundigen (sarjana hukum). Namun, lulusan-lulusan Rechtsschool ini hanya menjadi panitera, jaksa, dan hakim: tidak sebagai notaris dan advokat. Menjelang tahun 1940, sudah terdapat hampir tiga ratus orang Indonesia asli menjadi ahli hukum.

Akan tetapi, dengan ditransplantasinya sistem hukum dan peradilan oleh kolonial Belanda tidak otomatis memasukkan fungsi advokat. Karena pemerintah Belanda memberlakukan Herziene Indonesisch Reglement (HIR) sebagai hukum acara bagi kalangan pribumi, di mana tidak dikenal fungsi advokat.

Setelah kemerdekaan, peluang untuk mengubah hukum yang diskriminatif dan memberi pengakuan terhadap hak-hak masyarakat memang terbuka. Sayangnya, minimnya sumber daya manusia di bidang hukum (tidak memadai untuk mengisi pos-pos peradilan), justru melanggengkan penggunaan produk-produk hukum masa kolonial Belanda sebagai kendaraan menuju kodifikasi dan unifikasi hukum, yang kemudian dikenal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Peran strategis advokat Indonesia dalam perubahan sosial-politik di tanah air mula-mula terlihat dari keterlibatan advokat dalam berbagai organisasi pergerakan di awal abad ke-20, seiring dengan tumbuhnya semangat nasionalisme para advokat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan.

Namun, tinta emas advokat Indonesia ditorehkan ketika berdiri Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) pada tahun 1964. Kala itu, para advokat dengan berani memprotes keberadaan Kopkamtib, mengkritik Keppres dan Inpres yang bertentangan dengan konstitusi, membela anggota PKI yang didiskriminasikan, hingga memprotes kebijakan penembakan misterius (petrus) di tahun 1980-an yang dianggap melanggar HAM. Karena keberaniannya itu, Peradin sering berhadap-hadapan dengan pemerintah dan menjadi organisasi yang dicurigai Kopkamtib. Tidak mengherankan jika muncul kehendak pemerintah agar Peradin pecah.

Maka, sekitar tahun 1978, terbentuk organisasi advokat tandingan Peradi, yaitu Pusat Bantuan dan Pengabdi Hukum Indonesia (Pusbadi). Ketuanya adalah RO Tambunan. Sejak itu, advokat pun terbelah dua: Peradin dan Pusbadi. Ketua Mahkamah Agung saat itu, Ali Said, mencoba menyatukan kedua organisasi advokat itu. Namun, sampai masa jabatan Ali habis, advokat belum juga bersatu. Baru di era kepemimpinan Menteri Kehakiman Ismail Saleh usaha itu dilakukan kembali. Tahun 1985, untuk pertama kali digelar kongres yang diikuti seluruh advokat dari beragam organisasi. Maka terbentuklah Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), dengan Harjono terpilih sebagai ketua. Kubu Peradin dan Pusbadi saling berebut posisi ketua Ikadin.

Lalu tahun 1990, Ikadin menyelenggarakan Munas yang kedua. Persaingan sesama advokat memuncak. Dua kubu langsung terbentuk: kelompok Harjono dan kubu Gani Djemat. Kelompok Djemat walk out. Mereka kemudian membentuk organisasi advokat baru saingan Ikadin, yakni Asosiasi Advokat Indonesia (AAI).

Ternyata, sebelum AAI lahir, Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI) dan Serikat Pengacara Indonesia (SPI) telah mendeklarasikan diri sebagai organisasi advokat. IPHI kemudian terpecah: sebagian advokat yang sebelumnya tergabung di organisasi itu mendirikan Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), sementara para konsultan hukum juga mendeklarasikan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI). Ironisnya, AKHI yang baru berdiri terpecah pula: sebagian mendirikan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), sebagian lainnya mendirikan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).

Lalu lahirlah Undang-Undang (UU) Advokat Nomor 18 tahun 2003. Melalui UU ini, pergulatan panjang demi cita-cita kemandirian advokat selama lebih kurang 83 tahun akhirnya dapat diwujudkan. UU ini mengamanatkan agar advokat membentuk wadah tunggal.

Para pimpinan dari organisasi advokat yang ada, kemudian berkumpul. Mereka mendeklarasikan diri membentuk Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Lembaga inilah yang kemudian mengklaim sebagai wadah tunggal itu. Namun, protes muncul dan tak setuju dengan cara pembentukannya yang tidak dipilih oleh seluruh advokat secara demokratis. Akhirnya, pada 30 Mei lalu Kongres Advokat Indonesia dilaksanakan.

Jadi, sejak awal berdiri, organisasi advokat selalu terbelah. Dulu, organisasi advokat terbelah karena campur tangan pemerintah. Kini, terpecah karena konflik para advokat sendiri.

Rekonstruksi peran dan fungsi advokat

Di masa pemerintahan Orde Baru, campur tangan pemerintah dalam pembentukan dan perpecahan organisasi advokat telah menyebabkan tingkah laku dan sepak terjang para advokat menjadi tidak terkontrol. Organisasi profesi yang seharusnya memberlakukan kode etik profesi advokat dan mengawasi praktik profesi advokat pun tidak ada.

Setelah lahirnya UU Advokat, profesi advokat mendapat pengakuan, sehingga setara dengan penegak hukum lainnya. Namun dalam perkembangannya, semua harapan yang disandarkan pada profesi advokat dalam rangka mewujudkan cita-cita hukum “bak mengail di air keruh”. Suara, kepedulian, dan peran advokat Indonesia dalam reformasi hukum nyaris tidak terdengar. Baik terlibat dalam perdebatan sebuah RUU yang menyangkut hajat hidup orang banyak, ataupun berteriak ketika terjadi penyelewengan hukum oleh penguasa dan menjamurnya mafia peradilan.

Di tengah harapan yang begitu tinggi terhadap keberadaan profesi advokat tersebut, apa lantas sumbangan advokat Indonesia dalam perbaikan penegakan hukum di Indonesia?

Di Pakistan, pada bulan Agustus 2007 lalu, para advokat beramai-ramai melakukan protes terhadap Presiden Perves Musharaf yang telah memecat Ketua Mahkamah Agung yang terkenal bersih dan berani menindak para pejabat negara yang korup.

Tak lama berselang, terdengar aksi unjuk rasa 800 pengacara Malaysia yang menuntut perdana menteri Abdullah Ahmad Badawi untuk segera melakukan reformasi peradilan. Ini disulut oleh terbongkarnya skandal para hakim di pengadilan yang telah melakukan deal politik untuk melindungi para pejabat yang melanggar hukum.

Kondisi di atas bertolak belakang dengan keberadaan advokat Indonesia. Tuntutan reformasi hukum yang seharusnya menjadi ranah perjuangan para advokat justru menjadi tuntutan yang disuarakan oleh mahasiswa.

Maka, advokat Indonesia harus segera merekontruksi peran dan posisinya dalam dinamika kehidupan sosial dan kemasyarakatan. Organisasi advokat harus mengakhiri ketidakmampuannya untuk memposisikan diri sebagai wadah perjuangan yang memberikan kontribusi dalam perubahan kehidupan bangsa dan negara. Organisasi advokat selayaknya berhenti dari kesibukan yang hanya berkutat dengan persoalan internal organisasi masing-masing.

Dengan terbentuknya Kongres Advokat Indonesia, sudah sepantasnya bila advokat memberikan warna baru dalam dinamika pembaruan hukum, dengan mengedepankan “keadilan substansial” (substansial justice) dan moralitas profesi. Akumulasi dan kompleksitas masalah penegakan hukum menjadi agenda yang sangat signifikan demi memenuhi cita-cita keadilan dan kepastian hukum; bersamaan dengan itu juga memutus mata rantai mafia peradilan.

Pergeseran paradigma hukum menuju pencapaian keadilan substansial, yang bukan sekadar kesadaran hukum yang formalistis, harus terus digulirkan: agar hukum secara simultan dapat berjalan beriringan dengan tuntutan keadilan yang berkembang dalam masyarakat.

Untuk itu, tidak ada pilihan lain: Kongres Advokat Indonesia harus merumuskan ulang peran dan posisinya di tengah carut marutnya penegakan hukum yang terjadi saat ini. Sebuah pilihan “ideologi” keberpihakan kepada kebenaran dan keadilan menjadi mutlak guna memberikan panduan dalam menjalankan profesi advokat. Jika tidak, Kongres Advokat Indonesia yang baru dilaksanakan akan sia-sia belaka.

Asmar Oemar Saleh
Advokat, Mantan Deputi III Meneg HAM RI

No comments:

Post a Comment