Silang pendapat seputar keabsahan penggunaan teleconference (TC) dalam kasus Ustad Abu Bakar Ba’asyir yang didakwa melakukan makar tampaknya belum mereda dan menyisakan sejumlah problem hukum di masa depan. Kesaksian melalui media digital di negeri kita memang bukan yang pertama. Persidangan jarak jauh melalui TC pertama digelar dalam kasus korupsi dengan saksi mantan Presiden BJ Habibie. Dengan bantuan televisi swasta SCTV, Ketua Majelis Hakim Lalu Mariyun mengambil langkah terobosan dengan menggelar sidang TC untuk pertama kalinya di Indonesia. Persidangan TC berikutnya dilangsungkan dalam persidangan Pengadilan HAM Adhoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur.
Namun dalam kasus Ba’asyir ini gema kontroversinya berlangsung seru. Mengapa? Pertama, kasus ini sangat kental nuansa politisnya, menyangkut tokoh yang sudah kadung terkena stigma muslim “radikal” yang diduga berada di belakang aksi-aksi terorisme (pengeboman) dan makar di tanah air. Kedua, pengadilan ini berlangsung ketika dunia internasional tengah melototi secara tajam kinerja pemerintahan Megawati dalam memerangi terorisme. Lebih dari itu, dunia internasional kini juga tengah sibuk memberantas aksi-aksi terorisme dan memburu pihak-pihak yang diduga terlibat dalam tindakan terorisme ini.
Ketiga, TC dilaksanakan di luar wilayah kedaulatan NKRI. Para saksi tersebut (Faiz Abu Bakar Bafana, Hasyim bin Abbas, dan Ja’afar bin Mistooki, ketiganya warga negara Singapura dan statusnya sebagai tahanan pemerintah Singapura) memberikan kesaksiannya di bekas kantor kementerian dalam negeri Singapura, bukan di KBRI seperti dilakukan Habibie. Apalagi Habibie tidak berstatus tahanan, melainkan orang merdeka dan kesaksiannya pun dilakukan di KBRI di Jerman.
Keempat, di kalangan praktisi hukum sendiri belum ada kata sepakat soal penggunaan TC. Hal ini karena TC tidak diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Karena itu membolehkan pemakaian TC sama halnya melegalkan dan melegitimasi proses hukum yang menyimpang. Bukankah penggunaan TC juga bertentangan dengan prinsip persidangan murah, dan sederhana yang juga dianut di sini?
Begitulah kontroversi terus bergulir. Lalu bagaimana kita memandang kasus ini? Tidak bisa tidak kita harus merujuk pada hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam konteks ini acuan kita dalam menilai absah-tidaknya penggunaan TC adalah KUHAP. Apakah KUHAP mengenal TC? Baik implisit ataupun eksplisit, KUHAP kita tidak mengenal TC. Sebaliknya Pasal 160 Ayat 1 (a) KUHAP menyebutkan, saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum. Kemudian, dalam Pasal 167 (1) disebutkan, setelah saksi memberikan keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya.
Itu berarti, seorang yang akan menyampaikan kesaksian harus hadir di tengah persidangan dan mengangkat sumpah yang dipimpin ketua majelis hakim. “Hadir” di sini tentu saja hadir secara fisik, bukan virtual. Kehadiran seorang saksi juga memudahkan untuk melakukan konfrontasi dengan terdakwa atau saksi lain. Pendeknya, dengan hadir secara fisik di persidangan, seorang saksi juga dituntut untuk memberi keterangan secara apa adanya, dan mencegah saksi memberi keterangan palsu atau berbohong. Apalagi Pasal 185 KUHAP mewajibkan hakim untuk memperhatikan cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang dapat mempengaruhi keterangan saksi. Dan itu hanya bisa dilakukan jika saksi hadir secara fisik di ruang persidangan. Lebih dari itu, karena ketiganya warga negara lain, dan berada di wilayah hukum negara lain pula, maka jika melakukan kebohongan, ketiganya tidak bisa dijerat dengan tuduhan sumpah palsu.
Dari perspektif demikian, penggunaan TC sudah tentu menyalahi KUHAP. Langkah yang diambil penasihat hukum terdakwa (Ba’asyir) dengan meninggalkan ruang sidang (walk out) dapat dibenarkan. Argumen majelis hakim bahwa pemeriksaan melalui media TC ini mirip dengan acara pemeriksaan biasa di persidangan yang dilakukan secara langsung dan transparan sulit diterima. Jika ini bertujuan untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil—seperti diklaim majelis hakim, maka tidak bisa dilakukan dengan melanggar aturan main/asas legalitas yang berlaku.
Di luar semua itu, kasus unik yang menimpa Ba’asyir ini sesungguhnya menyadarkan semua pihak betapa KUHAP kita amat ketinggalan zaman dan harus direvisi. Saat KUHAP disusun 22 tahun silam, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi belum sedahsyat sekarang. Kini zaman telah berubah jauh, dan mau tak mau KUHAP kita pun harus disesuaikan dengan perkembangan massif tersebut. Kadar kontroversi mungkin bisa dikendorkan jika MA—sebelum KUHAP direvisi—sudah menentukan sikap (fatwa) yang bisa dijadikan patokan dalam persidangan. Kelambatan pemerintah dalam merespons ini hanya akan membuat kontroversi makin tidak menentu dan menunjukkan betapa pemerintah gagap menangkap dinamika dan problem hukum yang berkembang di negeri kita. Pembiaran ini juga menegaskan sekali lagi bahwa kepastian hukum memang tidak ada dan pihak-pihak yang berwenang dengan persoalan ini tidak mencari cara untuk melenyapkan ketidakpastian itu
.
Asmar Oemar Saleh, Advokat/Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM Kantor Meneg HAM RI
Namun dalam kasus Ba’asyir ini gema kontroversinya berlangsung seru. Mengapa? Pertama, kasus ini sangat kental nuansa politisnya, menyangkut tokoh yang sudah kadung terkena stigma muslim “radikal” yang diduga berada di belakang aksi-aksi terorisme (pengeboman) dan makar di tanah air. Kedua, pengadilan ini berlangsung ketika dunia internasional tengah melototi secara tajam kinerja pemerintahan Megawati dalam memerangi terorisme. Lebih dari itu, dunia internasional kini juga tengah sibuk memberantas aksi-aksi terorisme dan memburu pihak-pihak yang diduga terlibat dalam tindakan terorisme ini.
Ketiga, TC dilaksanakan di luar wilayah kedaulatan NKRI. Para saksi tersebut (Faiz Abu Bakar Bafana, Hasyim bin Abbas, dan Ja’afar bin Mistooki, ketiganya warga negara Singapura dan statusnya sebagai tahanan pemerintah Singapura) memberikan kesaksiannya di bekas kantor kementerian dalam negeri Singapura, bukan di KBRI seperti dilakukan Habibie. Apalagi Habibie tidak berstatus tahanan, melainkan orang merdeka dan kesaksiannya pun dilakukan di KBRI di Jerman.
Keempat, di kalangan praktisi hukum sendiri belum ada kata sepakat soal penggunaan TC. Hal ini karena TC tidak diatur di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Karena itu membolehkan pemakaian TC sama halnya melegalkan dan melegitimasi proses hukum yang menyimpang. Bukankah penggunaan TC juga bertentangan dengan prinsip persidangan murah, dan sederhana yang juga dianut di sini?
Begitulah kontroversi terus bergulir. Lalu bagaimana kita memandang kasus ini? Tidak bisa tidak kita harus merujuk pada hukum positif yang berlaku di Indonesia. Dalam konteks ini acuan kita dalam menilai absah-tidaknya penggunaan TC adalah KUHAP. Apakah KUHAP mengenal TC? Baik implisit ataupun eksplisit, KUHAP kita tidak mengenal TC. Sebaliknya Pasal 160 Ayat 1 (a) KUHAP menyebutkan, saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum. Kemudian, dalam Pasal 167 (1) disebutkan, setelah saksi memberikan keterangan, ia tetap hadir di sidang kecuali hakim ketua sidang memberi izin untuk meninggalkannya.
Itu berarti, seorang yang akan menyampaikan kesaksian harus hadir di tengah persidangan dan mengangkat sumpah yang dipimpin ketua majelis hakim. “Hadir” di sini tentu saja hadir secara fisik, bukan virtual. Kehadiran seorang saksi juga memudahkan untuk melakukan konfrontasi dengan terdakwa atau saksi lain. Pendeknya, dengan hadir secara fisik di persidangan, seorang saksi juga dituntut untuk memberi keterangan secara apa adanya, dan mencegah saksi memberi keterangan palsu atau berbohong. Apalagi Pasal 185 KUHAP mewajibkan hakim untuk memperhatikan cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang dapat mempengaruhi keterangan saksi. Dan itu hanya bisa dilakukan jika saksi hadir secara fisik di ruang persidangan. Lebih dari itu, karena ketiganya warga negara lain, dan berada di wilayah hukum negara lain pula, maka jika melakukan kebohongan, ketiganya tidak bisa dijerat dengan tuduhan sumpah palsu.
Dari perspektif demikian, penggunaan TC sudah tentu menyalahi KUHAP. Langkah yang diambil penasihat hukum terdakwa (Ba’asyir) dengan meninggalkan ruang sidang (walk out) dapat dibenarkan. Argumen majelis hakim bahwa pemeriksaan melalui media TC ini mirip dengan acara pemeriksaan biasa di persidangan yang dilakukan secara langsung dan transparan sulit diterima. Jika ini bertujuan untuk mencari dan menemukan kebenaran materiil—seperti diklaim majelis hakim, maka tidak bisa dilakukan dengan melanggar aturan main/asas legalitas yang berlaku.
Di luar semua itu, kasus unik yang menimpa Ba’asyir ini sesungguhnya menyadarkan semua pihak betapa KUHAP kita amat ketinggalan zaman dan harus direvisi. Saat KUHAP disusun 22 tahun silam, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi belum sedahsyat sekarang. Kini zaman telah berubah jauh, dan mau tak mau KUHAP kita pun harus disesuaikan dengan perkembangan massif tersebut. Kadar kontroversi mungkin bisa dikendorkan jika MA—sebelum KUHAP direvisi—sudah menentukan sikap (fatwa) yang bisa dijadikan patokan dalam persidangan. Kelambatan pemerintah dalam merespons ini hanya akan membuat kontroversi makin tidak menentu dan menunjukkan betapa pemerintah gagap menangkap dinamika dan problem hukum yang berkembang di negeri kita. Pembiaran ini juga menegaskan sekali lagi bahwa kepastian hukum memang tidak ada dan pihak-pihak yang berwenang dengan persoalan ini tidak mencari cara untuk melenyapkan ketidakpastian itu
.
Asmar Oemar Saleh, Advokat/Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM Kantor Meneg HAM RI
No comments:
Post a Comment