Tuesday, May 8, 2012

Aliran Misterius Itu

Oleh: Paul Davies

(Sumber: Special Edition Scientific American – A Matter of Time, 2006, hal. 6-11)


Dari masa lalu yang sudah tetap sampai masa kini yang nyata dan masa depan yang belum pasti, seolah-olah waktu mengalir tanpa bisa ditawar. Tapi itu ilusi.

“Berkumpullah kalian wahai kuntum mawar, selagi kalian bisa / Waktu Lama masih berjalan.” Demikian tulis penyair Inggris abad 17, Robert Herrick, menangkap klise universal bahwa waktu berjalan. Dan siapa bisa meragukan hal tersebut? Perlaluan waktu barangkali merupakan aspek terdasar persepsi manusia, sebab kita merasa waktu berlalu di diri terdalam kita dengan suatu cara yang lebih mendalam dibanding pengalaman kita akan, katakanlah, ruang atau massa. Perlaluan waktu disamakan dengan terbangnya anak panah dan dengan arus air yang terus berombak, membawa kita dari masa lalu menuju masa depan tanpa bisa ditawar. Shakespeare menulis “pusaran waktu”, sedangkan rekan senegaranya, Andrew Marvell, menulis “kereta perang bersayap milik Waktu yang bergegas mendekat”.

Meski mungkin membangkitkan kenangan, gambaran ini berbenturan dengan paradoks mendalam dan merusak. Tak ada dalam fisika yang dapat disamakan dengan perlaluan waktu. Betul, fisikawan bersikeras bahwa waktu tidak mengalir sama sekali; memang demikian. Beberapa filsuf berargumen bahwagagasan perlaluan waktu adalah sesuatu yang tak masuk akal dan bahwa pembicaraan tentang sungai atau fluks waktu didasarkan pada miskonsepsi. Bagaimana mungkin sesuatu yang begitu mendasar dalam pengalaman dunia fisik kita ternyata merupakan kesalahan identifikasi? Ataukah ada sifat kunci waktu yang belum diidentifikasi oleh sains?

Overview
  • Persepsi kita memberitahu bahwa waktu mengalir: yakni, bahwa masa lalu sudah tetap, masa depan tidak bisa dipastikan, dan realitas hidup di masa kini. Tapi, berbagai argumen fisika dan filsafat menyiratkan sebaliknya. 
  • Perlaluan waktu barangkali adalah ilusi. Kesadaran mungkin melibatkan termodinamika atau proses quantum yang memberi kesan momen demi momen yang hidup.

Waktu Bukan Faktor Esensia

Dalam kehidupan sehari-hari, kita membagi waktu ke dalam tiga bagian: masa lalu, masa kini, dan masa depan. Struktur tata bahasa berkisar pada pembedaan fundamental ini. Realitas diasosiasikan dengan momen masa kini. Masa lalu kita anggap telah lenyap berlalu, sedangkan masa depan lebih samar lagi, detailnya masih belum terbentuk. Dalam gambaran sederhana ini, kesadaran “sekarang” kita terus meluncur maju, mengubah peristiwa-peristiwa yang sebelumnya berada di masa depan yang belum terbentuk menjadi realitas masa kini yang konkret namun singkat, dan kemudian mengasingkannya ke masa lalu yang tetap.



Sejujurnya, ilmuwan ataupun filsuf tidak betul-betul tahu apa itu waktu atau mengapa ia eksis. Hal terbaik yang bisa mereka katakan adalah bahwa waktu merupakan satu dimensi tambahan yang serupa (tapi tak identik) dengan ruang. Contoh, orbit dua-dimensi bulan di luar angkasa bisa dianggap seperti kotrek (pembuka tutup botol) tiga-dimensi di ruangwaktu.

Meski uraian logis ini mudah dimengerti, ini berselisih serius dengan fisika modern. Albert Einstein mengungkapkan poin ini dengan sangat baik ketika dia menulis kepada seorang teman, “Masa lalu, masa kini, dan masa depan hanyalah ilusi, sekalipun ilusi yang keras.” Kesimpulan mengejutkan Einstein berasal langsung dari teori relativitas khususnya, yang menolak makna mutlak universal pada momen masa kini. Menurut teori tersebut, keserentakan adalah relatif. Dua peristiwa yang terjadi pada momen yang sama jika diamati dari satu kerangka referensi, bisa terjadi pada momen berbeda jika dipandang dari kerangka referensi lainnya.

Pertanyaan tak berbahaya seperti, “Apa yang sedang berlangsung di Mars saat ini?”, tidak mempunyai jawaban pasti. Poin kuncinya adalah bahwa Bumi dan Mars terpisah jauh—sampai kira-kira 20 menit-cahaya. Karena informasi tidak dapat berjalan lebih cepat dari cahaya, pengamat di Bumi tak bisa mengetahui situasi di Mars pada jenak itu juga. Dia harus menyimpulkan jawaban seusai peristiwa, setelah cahaya mempunyai kesempatan melintas di antara kedua planet ini. Peristiwa masa lalu yang disimpulkan akan berbeda-beda tergantung pada kecepatan pengamat.

Contoh, selama suatu ekspedisi berawak ke Mars di zaman mendatang, para pengawas misi di Bumi berkata, “Saya penasaran apa yang sedang dilakukan Komandan Jones di Alpha Base saat ini?” Menatap ke jam mereka dan melihat bahwa waktu menunjukkan pukul 12.00 pm di Mars, jawaban mereka mungkin “Sedang makan siang”. Tapi seorang astronot yang membumbung jauh dari Bumi mendekati kecepatan cahaya boleh jadi pada momen itu juga mengatakan, sambil menatap jamnya, bahwa waktu di Mars lebih atau kurang dari 12.00 pm, tergantung arah gerakan dia. Jawaban si astronot terhadap pertanyaan mengenai aktivitas Komandan Jones tersebut akan berupa “Memasak makan siang” atau “Mencuci piring” [lihat boks]. Ketidakselarasan semacam itu menghasilkan cemoohan terhadap setiap upaya pemberian status khusus kepada momen masa kini, karena kita tidak tahu “sekarang”-nya siapa yang dimaksud dalam momen tersebut? Jika Anda dan saya sedang bergerak secara relatif, sebuah peristiwa yang saya nilai sebagai masa depan yang masih belum pasti, mungkin bagi Anda telah ada di masa lalu yang sudah tetap.

Keserentakan
Semuanya Relatif

Apa yang sedang berlangsung di Mars saat ini? Pertanyaan sesederhana ini merupakan pertanyaan yang demikian kompleks. Permasalahannya berasal dari frase “saat ini”. Orang-orang yang berbeda, bergerak pada kecepatan berbeda, mempunyai persepsi berbeda atas momen saat ini. Fakta ganjil ini dikenal sebagai relativitas keserentakan. Dalam skenario berikut, dua orang—satu orang Bumi yang duduk di Houston dan seorang awak roket yang menyeberangi tata surya pada 80% kecepatan cahaya—berusaha menjawab pertanyaan tentang apa yang sedang berlangsung di Mars saat ini. Seorang penduduk Mars telah sepakat untuk makan siang ketika jamnya menunjuk pukul 12.00 pm dan untuk mentransmisikan sinyal pada waktu itu juga.


Dilihat dari Bumi - Dari perspektif orang Bumi,
Bumi tak bergerak, Mars berjarak konstan
(20 menit-cahaya), dan kapal roket bergerak
pada 80% kecepatan cahaya. Situasinya terlihat
sama persis menurut orang Mars.


Dilihat dari Roket - Dari perspektif awak roket, roket
tak bergerak. Kedua planetlah yang meluncur di ruang
angkasa pada 80% kecepatan cahaya. Pengukuran dia
menunjukkan bahwa kedua planet terpisah 12 menit
-cahaya—jarak yang berbeda dari kesimpulan orang Bumi.
Selisih ini, efek teori Einstein yang sangat dikenal, disebut
kontraksi panjang. Efek terkait, dilasi waktu, menyebabkan
jam di kapal dan di kedua planet berjalan pada laju berlainan.
(Orang Bumi dan orang Mars berpikir jam kapal berjalan
lambat; awak roket berpikir jam kedua planetlah yang lambat.)
Sewaktu kapal melewati Bumi, itu mensinkronisasikan
jamnya dengan jam Bumi.

Kesimpulan paling sederhananya adalah bahwa masa lalu maupun masa depan sudah tetap. Untuk alasan ini, fisikawan lebih suka menganggap waktu sebagai sesuatu yang terhampar secara keseluruhannya—timescape, serupa dengan landscape—dengan semua peristiwa masa lalu dan masa depan yang bertempat di sana bersama-sama. Gagasan ini terkadang disebut sebagai block time. Yang sama sekali absen dalam uraian alam ini adalah segala hal yang memilih/menetapkan suatu momen istimewa sebagai masa kini atau segala proses yang secara sistematis akan mengubah peristiwa masa depan menjadi peristiwa masa kini, kemudian masa lalu. Pendek kata, waktu menurut fisikawan tidak berlalu atau mengalir.

Bagaimana Caranya Waktu Tidak Berjalan

Setelah bertahun-tahun, sejumlah filsuf telah sampai pada kesimpulan yang sama dengan menyelidiki apa yang biasa kita maksud sebagai perlaluan waktu. Mereka berargumen bahwa gagasan tersebut inkonsisten secara internal. Konsep fluks, bagaimanapun juga, merujuk pada gerakan. Membicarakan pergerakan suatu objek fisik, seperti anak panah menembus ruang, dengan mengukur bagaimana lokasinya berubah-ubah seiring waktu adalah masuk akal. Tapi makna apa yang bisa disematkan pada pergerakan waktu itu sendiri? Terhadap apa ia bergerak relatif? Sementara tipe gerakan lain menghubungkan satu proses fisikal dengan proses lainnya, aliran waktu menghubungkan waktu dengan dirinya sendiri. Pertanyaan sederhana seperti “Seberapa cepat waktu berlalu?”, akan menyingkap keabsurdan ide dasar. Jawaban sepele berupa “Satu detik per detik”, tidak memberitahu kita apa-apa sama sekali.

Tak Ada yang Betul-betul Tahu…
Lantas, Apa itu Waktu?

Santo Augustine dari Hippo, teolog terkenal abad ke-5, mengemukakan bahwa dirinya tahu baik apa itu waktu—sampai seseorang bertanya. Lalu dia kehilangan kata-kata. Karena kita mempersepsikan waktu secara psikologis, definisi waktu berdasarkan fisika terasa kering dan tidak cukup. Bagi fisikawan, waktu adalah apa yang diukur oleh jam [akurat]. Secara matematis, ia adalah ruang satu-dimensi, biasanya diasumsikan berketerusan/berkesinambungan, walaupun bisa diquantisasikan menjadi “chronon-chronon” tersendiri, seperti frame-frame sebuah film.

Fakta bahwa waktu dapat diperlakukan sebagai dimensi keempat tidak berarti bahwa ia identik dengan tiga dimensi ruang. Waktu dan ruang masuk ke dalam pengalaman keseharian dan teori fisika dengan cara berbeda. Contohnya, rumus untuk mengkalkulasi jarak ruangwaktu tidak sama dengan rumus untuk mengkalkulasi jarak ruang. Pembedaan antara ruang dan waktu menopang gagasan kunci kausalitas, mencegah sebab dan akibat bercampur-aduk. Di sisi lain, banyak fisikawan percaya bahwa pada level ukuran dan durasi terkecil, ruang dan waktu dapat kehilangan identitas mereka masing-masing.

Walaupun kita merasa nyaman menyebut perlaluan waktu dalam urusan sehari-hari, gagasan tersebut tidak mengutarakan informasi baru, yang tak bisa tersampaikan tanpanya. Pikirkan skenario berikut: Alice mengharapkan Natal bersalju, tapi saat harinya tiba, dia kecewa karena yang turun hanya hujan; namun dia bahagia lantaran keesokan harinya salju turun. Walaupun deskripsi ini penuh dengan tensis dan referensi perlaluan waktu, informasi yang persis sama disampaikan dengan cukup mengkorelasikan kondisi mental Alice dengan tanggal, dengan mengabaikan semua referensi perlaluan waktu atau perubahan dunia. Dengan demikian, daftar fakta membosankan dan tidak praktis berikut sudah mencukupi:

24 Desember: Alice mengharapkan Natal bersalju.
25 Desember: Hujan turun. Alice kecewa.
26 Desember: Salju turun. Alice bahagia.

Dalam deskripsi ini, tidak ada yang terjadi atau berubah. Yang ada hanya kondisi dunia pada tanggal berbeda dan kondisi mental Alice.

Argumen serupa dinyatakan oleh filsuf-filsuf Yunani kuno seperti Parmenides dan Zeno. Filsuf Inggris satu abad lalu, John McTaggart, berusaha menarik perbedaan jelas antara deskripsi dunia dari segi peristiwa-peristiwa yang terjadi, yang dia sebut rangkaian A, dan deskripsi dari segi tanggal yang berkorelasi dengan kondisi-kondisi dunia, rangkaian B. Masing-masing terlihat seperti deskripsi sejati realitas, tapi kedua sudut pandang tersebut rupanya berkontradiksi. Contoh, peristiwa “Alice kecewa” sebelumnya ada di masa depan, kemudian di masa kini, sesudah itu di masa lalu. Tapi masa lalu, masa kini, dan masa depan merupakan kategori eksklusif/terpisah, lantas bagaimana bisa satu peristiwa mempunyai karakter milik ketiganya? McTaggart memakai benturan antara rangkaian A dan B ini untuk mengusulkan ketidakrealitasan waktu, mungkin sebuah kesimpulan yang cukup keras. Kebanyakan fisikawan akan mengatakannya secara kurang dramatis: aliran waktu adalah tidak riil, tapi waktu sendiri seriil ruang.

Tepat Pada Waktunya

Sumber kebingungan hebat dalam pembahasan perlaluan waktu berasal dari hubungannya dengan apa yang disebut arrow of time (anak panah waktu). Mengingkari bahwa waktu mengalir tidaklah untuk menyatakan bahwa penunjukan “masa lalu” dan “masa depan” tak mempunyai basis fisikal. Peristiwa-peristiwa di dunia tak bisa disangkal membentuk urutan searah. Sebagai contoh, sebutir telur yang jatuh ke lantai akan hancur berkeping-keping, sedangkan proses terbalik—telur pecah yang secara spontan merangkai dirinya menjadi telur utuh—tak pernah tersaksikan. Ini adalah contoh hukum termodinamika kedua, yang menyatakan bahwa entropi suatu sistem tertutup—secara kasar didefinisikan mempunyai ketidakteraturan hebat—akan cenderung bertambah seiring waktu. Telur utuh mempunyai entropi yang lebih rendah dibanding telur pecah.

Semua Waktu Seperti Masa Kini


Pandangan konvensional: hanya masa kini yang riil. Menurut kearifan konvensional, momen masa kini memiliki signifikansi istimewa. Ia adalah sesuatu yang riil. Selagi jam berdetak, momen berlalu dan muncul momen lainnya—sebuah proses yang kita sebut aliran waktu. Bulan, misalnya, berlokasi di satu posisi saja di orbitnya di sekeliling Bumi. Seiring waktu, ia berhenti eksis di posisi tersebut dan justru ditemukan di posisi baru.


Alam semesta blok: semua waktu sama riilnya. Namun, periset yang memikirkan hal semacam itu pada umumnya berargumen bahwa kita tidak mungkin memilih momen masa kini sebagai momen istimewa sedangkan setiap momen menganggap dirinya istimewa. Secara objektif, masa lalu, masa kini, dan masa depan harus sama riilnya. Keabadian terhampar di blok empat-dimensi yang terdiri dari waktu dan tiga dimensi ruang. (Diagram ini memperlihatkan dua dimensi ruang saja.)

Karena alam penuh dengan proses fisikal yang tak dapat dibalik, hukum termodinamika kedua memainkan peranan kunci dalam menandai dunia dengan keasimetrian mencolok antara arah masa lalu dan masa depan di sepanjang sumbu waktu. Menurut ketentuan, anak panah waktu menunjuk ke arah masa depan. Bagamanapun ini tidak mengisyaratkan bahwa anak panah bergerak ke masa depan, namun jarum kompas yang menunjuk ke utara mengindikasikan bahwa kompas sedang berjalan ke utara. Kedua anak panah melambangkan keasimetrian, bukan pergerakan. Anak panah waktu menandakan keasimetrian dunia dalam waktu, bukan keasimetrian atau fluks waktu. Label “masa lalu” dan “masa depan” bisa secara sah diterapkan pada arah waktu, seperti “atas” dan “bawah” yang diterapkan pada arah ruang, tapi pembicaraan tentang masa lalu atau masa depan sama tak berartinya dengan penunjukan atas atau bawah.

Pembedaan antara kemasalaluan atau kemasadepanan dan “hal” masa lalu atau “hal” masa depan diilustrasikan secara jelas dengan membayangkan sebuah rekaman/film telur yang sedang jatuh ke lantai dan pecah. Jika film diputar mundur/terbalik melalui proyektor, setiap orang akan melihat bahwa urutannya tidak riil. Nah, bayangkan jika strip film dipotong-potong menjadi frame-frame dan frame-frame ini disusun secara acak. Adalah tugas mudah bagi seseorang untuk menyusun ulang tumpukan frame menjadi sekuens yang terurut secara benar, dengan [frame] telur pecah di puncak tumpukan dan telur utuh di dasar tumpukan. Tumpukan vertikal ini memelihara keasimetrian yang diisyaratkan oleh anak panah waktu karena ia membentuk sekuens terurut di ruang vertikal, membuktikan bahwa keasimetrian waktu sebetulnya merupakan atribut kondisi dunia, bukan atribut waktu. Kita tak perlu betul-betul memutar strip film sebagai film utuh untuk bisa melihat anak panah waktu.

Karena analisis paling filosofis dan fisikal atas waktu tersebut gagal mengungkap tanda aliran waktu, kita menghadapi suatu misteri. Kepada apa kita semestinya mengatributkan kesan kuat dan universal bahwa dunia ada dalam kondisi fluks terus-menerus? Beberapa periset, khususnya peraih Nobel baru-baru ini, kimiawan Ilya Prigogine, beranggapan bahwa fisika misterius proses-proses irreversible (tak dapat dibalik) membuat aliran waktu menjadi aspek objektif dunia. Tapi saya dan yang lainnya berargumen bahwa ia adalah semacam ilusi.

Bagaimanapun juga, kita tidak betul-betul mengamati perlaluan waktu. Yang kita amati sebetulnya adalah bahwa kondisi terakhir dunia berbeda dari kondisi awal yang masih kita ingat. Fakta bahwa kita mengingat masa lalu, daripada masa depan, merupakan pengamatan atas keasimetrian waktu, bukan perlaluan waktu. Tak ada, selain pengamat sadar, yang mencatat aliran waktu. Sebuah jam mengukur durasi antara peristiwa-peristiwa seperti pita pengukur mengukur jarak antara tempat-tempat; ia tidak mengukur “kecepatan” satu momen menggantikan momen lainnya. Oleh karena itu, kelihatannya aliran waktu adalah subjektif, bukan objektif.

Hidup di Masa Kini

Ilusi ini menuntut penjelasan, dan penjelasan tersebut dicari dalam psikologi, neuropsikologi, dan mungkin linguistik atau budaya. Sains modern baru mulai mempertimbangkan pertanyaan bagaimana kita mempersepsikan perlaluan waktu; kita hanya dapat berspekulasi mengenai jawabannya. Mungkin ada kaitannya dengan fungsi otak. Jika Anda berputar beberapa kali dan tiba-tiba berhenti, Anda akan merasa pusing. Secara subjektif, dunia seolah-olah sedang berotasi relatif terhadap Anda, tapi bukti dari penglihatan Anda cukup jelas: tidak. Pergerakan nyata lingkungan sekitar Anda adalah ilusi yang diciptakan oleh rotasi cairan di telinga dalam. Barangkali fluks waktu serupa halnya.

Ada dua aspek pada keasimetrian waktu yang mungkin menciptakan kesan palsu bahwa waktu mengalir. Yang pertama adalah pembedaan termodinamika antara masa lalu dan masa depan. Sebagaimana telah disadari fisikawan dalam beberapa dekade terakhir, konsep entropi terkait erat dengan kandungan informasi sebuah sistem. Untuk alasan ini, pembentukan ingatan adalah proses searah—ingatan-ingatan baru menambah informasi dan meningkatkan entropi otak. Kita mungkin mempersepsikan kesearahan ini sebagai aliran waktu.

Kemungkinan kedua adalah bahwa persepsi kita akan aliran waktu terhubung, dalam suatu cara, dengan mekanika quantum. Sejak hari-hari pertama perumusan mekanika quantum disadari bahwa waktu masuk ke dalam teori tersebut dengan cara yang unik, tak seperti ruang. Peranan istimewa waktu merupakan satu alasan yang membuktikan begitu sulitnya menggabungkan mekanika quantum dengan relativitas umum. Prinsip ketidakpastian Heisenberg, yang menurutnya alam bersifat indeterministis (tidak pasti), mengimplikasikan masa depan yang terbuka (dan, oleh sebab ini juga, masa lalu yang terbuka). Indeterminisme ini termanifestasi pada, yang paling mencolok, skala ukuran atom dan mendikte bahwa atribut teramati yang mencirikan suatu sistem fisikal umumnya belum pasti dari satu momen ke momen berikutnya.

Sebagai contoh, sebuah elektron yang menghantam sebuah atom dapat melambung ke satu (dari sekian banyak) arah, dan biasanya mustahil untuk memprediksi sebelumnya hasil apa yang akan muncul. Indeterminisme quantum mengimplikasikan bahwa untuk kondisi/status quantum tertentu terdapat banyak (mungkin tak terhingga) masa depan alternatif atau realitas potensial. Mekanika quantum menyediakan probabilitas relatif untuk setiap hasil teramati, walaupun tidak menyebutkan masa depan potensial yang mana yang ditakdirkan untuk realitas.

Tapi ketika seorang pengamat manusia melakukan pengukuran, satu dan hanya satu hasil diperoleh; contoh, elektron yang memantul akan ditemukan bergerak ke arah tertentu. Dalam tindakan pengukuran, satu realitas spesifik menjadi tertonjolkan dari banyak deretan kemungkinan. Dalam pikiran pengamat, si kemungkinan melakukan transisi menuju kenyataan, masa depan terbuka menjadi masa lalu tetap—persis dengan apa yang kita maksud sebagai fluks waktu.

Tak ada kesepakatan di kalangan fisikawan tentang bagaimana transisi dari banyak realitas potensial menjadi kenyataan tunggal ini terjadi. Banyak fisikawan berargumen bahwa ini ada kaitannya dengan kesadaran pengamat, atas dasar bahwa tindakan pengamatanlah yang mendorong alam menyusun pikirannya. Segelintir periset, seperti Roger Penrose dari Universitas Oxford, berpendapat bahwa kesadaran—termasuk kesan fluks waktu—bisa dikaitkan dengan proses quantum dalam otak.

Walaupun para periset telah gagal menemukan bukti adanya satu “organ waktu” di otak, dengan gaya korteks visual misalnya, mungkin penelitian mendatang akan mengemukakan bukti proses-proses otak yang bertanggung jawab atas persepsi kita akan perlaluan waktu. Adalah mungkin untuk membayangkan obat yang dapat menunda kesan seorang subjek bahwa waktu berlalu. Sebetulnya, beberapa praktisi meditasi mengklaim mampu mencapai status mental semacam itu secara alami.

Dan bagaimana jika sains sanggup menerangkan bahwa aliran waktu tidaklah signifikan? Barangkali tak lama lagi kita akan rewel mengenai masa depan atau berdukacita atas masa lalu. Kekhawatiran tentang masa depan mungkin menjadi sama tak relevannya dengan kekhawatiran tentang kelahiran. Harapan dan nostalgia mungkin berhenti menjadi bagian kosakata manusia. Di atas semua itu, rasa urgensi yang melekat pada begitu banyak aktivitas manusia akan menguap. Kita tak akan lagi menjadi budak permintaan Henry Wadsworth Longfellow untuk “berbuat, berbuat di masa kini yang masih berjalan”, sebab masa lalu, masa kini, dan masa depan secara harfiah merupakan masa lalu.

Penulis

Paul Davies adalah fisikawan teoritis dan profesor filsafat alam di Macquarie University’s Australian Center for Astrobiology di Sydney. Dia merupakan salah satu penulis buku fisika populer paling subur. Perhatian riset ilmiahnya meliputi black hole, teori medan quantum, awal-mula alam semesta, sifat kesadaran, dan awal-mula kehidupan.

Untuk Digali Lebih Jauh
  • The Unreality of Time. John Ellis McTaggart dalam Mind, Vol. 17, hal. 456–473; 1908.
  • Can Time Go Backward?. Martin Gardner dalam Scientific American, Vol. 216, No. 1, hal. 98–108; Januari 1967.
  • What Is Time?. G. J. Whitrow. Thames & Hudson, 1972.
  • The Physics of Time Asymmetry. Paul Davies. University of California Press, 1974.
  • Time and Becoming. J.J.C. Smart dalam Time and Cause. Disunting oleh Peter van Inwagen. Reidel Publishing, 1980.
  • About Time: Einstein’s Unfinished Revolution. Paul Davies. Simon & Schuster, 1995.
Sumber: Sainstory - Sains Social History

No comments:

Post a Comment