Tuesday, May 8, 2012

Waktu Kehidupan Kita

Oleh: Karen Wright

(Sumber: Special Edition Scientific American – A Matter of Time, 2006, hal. 26-33) 


Entah menghitung menit, bulan, atau tahun, jam biologis membantu menjaga otak dan tubuh kita berjalan sesuai jadwal

Biopsikolog John Gibbon menyebut waktu sebagai “konteks primordial”: fakta kehidupan yang telah dirasakan oleh semua organisme di setiap era. Bagi semarak pagi yang menebarkan dedaunannya di saat fajar, bagi angsa-angsa yang terbang ke selatan di musim gugur, bagi uir-uir yang berkerumun setiap 17 tahun, dan bahkan bagi jamur kotor menjijikkan yang berspora dalam siklus harian, waktu adalah segalanya. Dalam tubuh manusia, jam biologis mengawasi detik, menit, hari, bulan, dan tahun. Mereka mengatur gerakan sekejap serve tenis serta bertanggung jawab atas trauma jet lag (kelelahan yang dirasakan setelah penerbangan panjang melintasi zona waktu—penj), sentakan hormon menstruasi bulanan, dan perasaan depresi di musim dingin. Kronometer sel mungkin bahkan memutuskan kapan waktu Anda habis. Waktu berdetak, kemudian Anda mati.

Penstimulasi otot jantung sangat berbeda bagai stopwatch dan jam matahari. Yang satunya [jam matahari] akurat dan tidak bengkok, sementara yang lainnya [stopwatch] handal tapi tunduk pada kontrol disengaja. Yang satunya [jam matahari] disetel oleh siklus planet, yang lainnya [penstimulasi otot jantung] oleh siklus molekul. Mereka sangat esensial untuk tugas rumit yang dikerjakan oleh otak dan tubuh. Dan mekanisme pewaktuan menyodorkan pemahaman mengenai penuaan dan penyakit. Kanker, penyakit Parkinson, depresi akibat musim, dan attention-deficit disorder (penyakit kurang fokus) semuanya bertalian dengan cacat pada jam biologis.

Fisiologi jam-jam ini tidak dipahami sama sekali. Tapi neurolog dan periset jam lainnya telah mulai menjawab beberapa pertanyaan paling mendesak yang diangkat oleh pengalaman manusia di dimensi keempat tersebut. Mengapa, misalnya, panci yang diawasi tak pernah mendidih. Mengapa waktu cepat berlalu saat Anda sedang bersenang-senang. Mengapa begadang bisa membuat Anda mengalami gangguan pencernaan, dan mengapa manusia hidup lebih lama daripada hamster. Hanya soal waktu sebelum studi-studi jam memecahkan kebingungan yang lebih dalam lagi mengenai eksistensi waktu.
                                                        
                                               Overview
§   Di otak, “stopwatch” dapat mengawasi detik, menit, dan jam.
§   Jam lainnya di otak, lebih sebagai jam daripada stopwatch, mensinkronisasikan banyak fungsi tubuh dengan siang dan malam. Jam ini juga mungkin bertanggung jawab atas seasonal affective disorder.
§   Jam pasir molekuler yang mengatur jumlah pembelahan sel mungkin menempatkan batas pada umur panjang.
Stopwatch Psikoaktif

Jika artikel ini membangkitkan rasa ingin tahu Anda, waktu yang Anda habiskan untuk membacanya akan cepat berlalu. [Waktu] akan berjalan lambat jika Anda bosan. Kebiasaan khusus “stopwatch” dalam otaklah—disebut interval timer (pewaktu interval)—yang menandai jangka waktu detik hingga jam. Pewaktu interval membantu Anda memperhitungkan seberapa cepat Anda harus berlari untuk menangkap bola baseball. Ia memberitahu Anda kapan untuk bertepuk tangan pada lagu favorit Anda. Ia mengizinkan Anda mengindera seberapa lama Anda boleh bermalas-malasan di ranjang setelah alarm berbunyi.

Pewaktuan interval memperoleh kemampuan kognitif tinggi dari korteks otak besar, pusat otak yang mengatur daya tanggap, ingatan, dan pikiran sadar. Saat Anda berkendara mendekati lampu kuning lalu lintas, contohnya, Anda mengukur sudah berapa lama lampu kuning menyala dan membandingkan itu dengan ingatan mengenai seberapa lama lampu kuning biasanya berlangsung. “Kemudian Anda harus membuat pertimbangan apakah akan menginjak rem atau terus mengemudi,” kata Stephen M. Rao dari Medical College of Wisconsin.

Studi Rao mengenai functional magnetic resonance imaging (fMRI) telah menunjukkan bagian-bagian otak yang terlibat dalam setiap tahap tersebut. Dalam mesin fMRI, subjek mendengarkan dua pasang nada dan memutuskan apakah interval di antara pasangan kedua lebih pendek atau lebih panjang daripada interval di antara pasangan pertama. Bangunan-bangunan otak yang terlibat dalam tugas tersebut mengkonsumsi lebih banyak oksigen daripada bangunan yang tak terlibat, dan rekaman pindai fMRI aliran darah dan oksigenasi berubah setiap 250 milidetik. “Saat kita melakukan ini, bangunan paling pertama yang diaktifkan adalah ganglia dasar,” kata Rao.

Lama diasosiasikan dengan pergerakan, kumpulan kawasan otak ini juga telah menjadi tersangka utama dalam penyelidikan mekanisme pewaktuan interval. Satu area ganglia dasar, striatum, mewadahi sepopulasi sel-sel syaraf yang terhubung dengan baik yang menerima sinyal dari bagian lain otak. Lengan panjang sel-sel striatum ini dilapisi dengan 10.000 sampai 30.000 duri, yang masing-masingnya mengumpulkan informasi dari syaraf berbeda di lokal lain. Jika otak bertindak seperti jaringan, maka syaraf striatum berduri adalah node krusial. “Ini merupakan salah satu dari sedikit tempat di otak di mana Anda bisa melihat ribuan syaraf bertemu di satu syaraf,” kata Warren H. Meck dari Universitas Duke.

Syaraf striatum berduri adalah sentral teori pewaktuan interval yang dikembangkan oleh Meck lebih dari satu dekade silam bersama Gibbon, yang bekerja di Universitas Columbia sampai hari kematiannya di tahun 2001. Teori tersebut mempostulatkan sekumpulan osilator syaraf di korteks otak besar: sel-sel syaraf meletus dengan laju berlainan, tanpa menghiraukan tempo tetangganya. Faktanya, banyak sel korteks diketahui meletus dengan laju antara 10 sampai 40 putaran per detik tanpa rangsangan eksternal. “Semua syaraf ini berosilasi sesuai jadwal mereka masing-masing,” kata Meck, “seperti orang yang berbicara di kerumunan. Tak ada yang sinkron.”

Osilator korteks terhubung dengan striatum lewat jutaan lengan pengangkut sinyal, sehingga syaraf striatum berduri dapat menguping semua “percakapan” secara acak. Kemudian sesuatu—misalnya lampu kuning lalu lintas—mendapat perhatian dari sel-sel korteks itu. Stimulasi mendorong semua syaraf di korteks untuk meletus secara serempak, menimbulkan output listrik berupa paku khas sekitar 300 militedik kemudian. Paku yang menarik perhatian ini bertindak seperti tembakan permulaan, yang sesudahnya sel-sel korteks melanjutkan kembali osilasi kacau mereka.

Tapi karena mereka memulai secara serempak, putarannya kini menghasilkan pola aktivasi syaraf yang berulang dan berbeda dari waktu ke waktu. Syaraf-syaraf berduri memonitor pola-pola itu, yang membantu mereka “menghitung” waktu yang telah lewat. Di akhir interval tertentu—ketika, misalnya, lampu lalu lintas berubah merah—bagian dari ganglia dasar yang disebut substantia nigra mengirim ledakan neurotransmitter dopamine ke striatum. Pada saat itu juga ledakan dopamine tersebut merangsang syaraf-syaraf berduri merekam pola osilasi korteks yang mereka terima, seperti bola lampu potret (flashbulb) yang memapar tanda tangan korteks interval pada film syaraf berduri. “Terdapat stempel waktu unik untuk setiap interval yang bisa Anda bayangkan,” kata Meck.

Sekali sebuah syaraf berduri mengetahui stempel waktu interval untuk peristiwa tertentu, kejadian peristiwa yang berikutnya mendorong “peletusan” tembakan permulaan korteks dan ledakan dopamine di awal interval [lihat ilustrasi di bawah]. Ledakan dopamine kemudian memberitahu syaraf berduri untuk mulai melacak pola impuls korteks yang menyusul sesudahnya. Saat syaraf berduri mengenali stempel waktu yang menandai akhir interval, mereka mengirim denyut/sinyal listrik dari striatum ke pusat otak lainnya yang disebut thalamus. Thalamus, pada gilirannya, berkomunikasi dengan korteks, lalu fungsi-fungsi kognitif lebih tinggi—seperti ingatan dan pengambilan keputusan—mengambil alih. Oleh sebab itu, mekanisme pewaktuan melingkar dari korteks ke striatum ke thalamus dan kembali ke korteks lagi.

MEKANISME
Jam di Otak
Para ilmuwan mengungkap cara kerja dua jam syaraf: pewaktu interval [atas], yang mengukur interval yang berlangung hingga berjam-jam, dan jam circadian [bawah], yang menyebabkan proses-proses tubuh tertentu memuncak dan menyurut dengan siklus 24 jam.



Menurut satu model, dimulainya sebuah peristiwa yang berlangsung dalam durasi familiar (seperti menyalanya lampu kuning lalu lintas selama empat detik) mengaktifkan “tombol start” pewaktu interval dengan membangkitkan dua respon otak. Itu merangsang subset tertentu sel syaraf korteks yang meletus dengan laju berlainan (a) bertindak secara bersama-sama untuk sesaat (b dan panah hijau pada otak), dan itu mendorong syaraf-syaraf substantia nigra melepaskan ledakan sinyal dopamine (panah ungu). Kedua sinyal menimpa sel berduri striatum (c), yang kemudian memonitor pola keseluruhan impuls yang datang dari sel korteks setelah syaraf-syaraf itu kembali ke laju letusan mereka yang beragam. Karena sel-sel korteks beraksi secara sinkron di awal interval, pola berikutnya terjadi dalam sekuens yang sama setiap waktu dan mengambil bentuk unik saat akhir interval familiar tercapai (d). Pada poin tersebut, striatum mengirim sinyal “waktu habis” (panah merah) melewati bagian lain otak menuju korteks pembuat keputusan.



Siklus terang dan gelap harian memerintah ketika banyak proses fisiologis yang beroperasi dalam siklus 24 jam mencapai aktif tertinggi dan terendah. Otak mengawasi fluktuasi cahaya dengan bantuan sel-sel ganglion di retina mata. Pigmen di beberapa sel—melanopsin—barangkali mendeteksi cahaya, menyebabkan sel ganglion retina mengirim informasi mengenai kecerlangan dan durasinya ke nukleus suprachiasmatic (SCN) otak. Lalu SCN mengirim informasi tersebut ke bagian-bagian otak dan tubuh yang mengendalikan proses circadian. Para periset memahami dengan baik peristiwa yang menyebabkan kelenjar kerucut mensekresikan melatonin, kadang disebut hormon tidur (diagram). Sebagai respon terhadap cahaya siang, SCN memancarkan sinyal (panah merah) yang menghentikan kawasan lain otak—nukleus paraventricular—dari memproduksi pesan yang akan mengakibatkan pelepasan melatonin. Namun, setelah gelap, SCN melepas rem tersebut, mengizinkan nukleus paraventricular me-relay sinyal “sekret melatonin” (panah hijau) melewati syaraf-syaraf di duri atas dan leher menuju kelenjar kerucut.

Jika Meck benar dan ledakan dopamine memainkan peranan penting dalam penyusunan interval waktu, maka penyakit dan obat yang mempengaruhi level dopamine pasti mengganggu lingkaran tersebut pula. Sejauh ini itulah yang ditemukan oleh Meck dan yang lainnya. Pasien berpenyakit Parkinson yang tak diobati, contohnya, lebih sedikit melepaskan dopamine ke striatum, dan jam mereka berjalan pelan. Dalam percobaan, pasien-pasien ini terus-menerus menaksir durasi interval waktu terlalu rendah. Mariyuana juga memperendah ketersediaan dopamine dan memperlambat waktu. Stimulan menyenangkan seperti kokain dan methampetamine meningkatkan ketersediaan dopamine dan membuat jam interval mencepat, sehingga waktu terasa memuai. Adrenalin dan hormon stres lainnya juga membuat jam mencepat, yang mungkin menjadi penyebab mengapa satu detik bisa terasa seperti satu jam dalam situasi yang tak menyenangkan. Kondisi konsentrasi tinggi atau emosi ekstrim dapat membanjiri sistem atau melangkauinya sama sekali; dalam kasus demikian, waktu bisa terasa terhenti atau tidak eksis sama sekali. Karena paku penarik perhatian menginisiasi proses pewaktuan, Meck berpikir orang-orang yang mengidap penyakit hiperaktif dan kurang fokus (attention-deficit hyperactivity disorder) mungkin juga mempunyai masalah dalam mengukur panjang sejati intervalnya.

Jam interval bisa juga dilatih hingga presisi lebih tinggi. Musisi dan atlet tahu bahwa latihan dapat meningkatkan pewaktuan mereka; orang biasa bisa mengandalkan trik-trik seperti penghitungan kronometrik (“satu seribu”) untuk menutupi defisit mekanisme. Rao melarang subjeknya berhitung saat eksperimen sebab dapat mengaktifkan pusat otak yang terkait dengan bahasa dan juga pewaktuan. Tapi menghitung bekerja, kata Rao, cukup baik untuk menyingkap para penipu. “Efeknya begitu dramatis sehingga kita bisa mengatakan apakah mereka sedang mengukur waktu atau menghitung cukup berdasarkan akurasi respon mereka saja.”

Jam Matahari Somatis

Salah satu sifat baik stopwatch pewaktu interval adalah fleksibiltasnya. Anda dapat memulai dan menghentikannya semaunya atau mengabaikannya sama sekali. Ia dapat bekerja secara subliminal (bawah sadar) atau tunduk pada kendali sadar. Tapi ia tidak bagus dalam akurasi. Presisi pewaktu interval diketemukan berkisar antara 5 sampai 60 persen. Mereka tidak bekerja terlalu baik jika Anda sedang kacau pikiran atau tegang. Dan semakin panjang intervalnya, semakin buruk error pewaktuannya. “Karenanya instrumen kita kenakan di pergelangan tangan kita,” catat Rao.

Untungnya, sebuah jam yang lebih akurat berpadu pada interval 24 jam. Jam circadian—dari bahasa Latin, circa (“sekitar”) dan diem (“sehari”)—menyesuaikan tubuh kita dengan siklus siang dan malam yang disebabkan oleh rotasi bumi. Ia membantu memprogram kebiasaan harian tidur di malam hari dan bangun di pagi hari. Tapi pengaruhnya meluas lebih jauh. Suhu tubuh secara teratur memuncak di akhir sore atau awal malam dan mencapai titik terendah beberapa jam sebelum kita bangun di pagi hari. Tekanan darah tipikalnya mulai menghentak antara pukul 6.00 sampai 7.00 pagi. Sekresi hormon stres cortisol adalah 10 sampai 20 kali lebih tinggi pada pagi hari dibanding malam hari. Buang air kecil dan air besar umumnya tertekan di malam hari dan meningkat lagi di pagi hari.

Jam circadian lebih mirip jam daripada stopwatch karena ia berjalan tanpa membutuhkan stimulus dari lingkungan eksternal. Studi terhadap relawan penghuni gua dan manusia percobaan lainnya telah mendemonstrasikan bahwa pola-pola circadian tetap bertahan sekalipun tanpa ada cahaya siang, tuntutan pekerjaan, dan kafein. Dan pola tersebut diekspresikan di setiap sel tubuh. Dibatasi pada petri dish di bawah pencahayaan konstan, sel manusia masih mengikuti siklus 24 jam aktivitas gen, sekresi hormon, dan produksi energi. Siklus-siklus tersebut terhubung erat, dan berubah-ubah sekecil 1 persen: beberapa menit saja sehari.

Tapi meskipun tidak diperlukan untuk membentuk jam circadian, cahaya diperlukan untuk mensinkronisasikan fase jam yang terhubung erat tersebut dengan siklus siang dan malam alam. Seperti jam biasa yang berjalan beberapa menit lebih lambat atau lebih cepat setiap hari, jam circadian perlu terus-menerus disetel ulang untuk tetap akurat. Neurolog telah membuat kemajuan besar dalam memahami bagaimana cahaya siang menyetel jam tersebut. Dua kluster 10.000 sel syaraf di hipothalamus otak sudah lama dianggap sebagai lokus jam. Studi binatang selama berdekade-dekade telah mendemonstrasikan bahwa pusat-pusat ini, masing-masing disebut suprachiasmatic nucleus (SCN), mengendalikan fluktuasi harian tekanan darah, suhu tubuh, tingkat aktivitas, dan kesiagaan. SCN juga memberitahu kelenjar kerucut otak kapan harus melepas melatonin, yang mendorong tidur pada manusia dan hanya disekresikan di malam hari.

Pada 2002, tim-tim riset terpisah membuktikan bahwa sel-sel khusus (dedicated cell) di retina mata mentransmisikan informasi mengenai level cahaya ke SCN. Sel-sel ini—subset dari sel ganglion—beroperasi secara independen sama sekali dari tangkai dan kerucut yang memediasi penglihatan, dan mereka jauh kurang responsif terhadap perubahan mendadak cahaya. Kelambanan tersebut cocok dengan sistem circadian. Tidak bagus jika menyaksikan kembang api atau menonton pertunjukan film menjegal mekanisme tersebut.

Tapi peran SCN dalam ritme circadian sedang dievaluasi ulang mengingat adanya temuan-temuan lain. Para ilmuwan berasumsi bahwa SCN mengkoordinasi semua masing-masing jam sel dalam organ dan jaringan tubuh. Waktu itu, pertengahan 1990-an, periset menemukan empat gen krusial yang mengatur siklus circadian pada lalat, tikus, dan manusia. Gen-gen ini tak hanya hadir di SCN tapi juga di mana-mana. “Gen-gen jam ini terekspresi di seluruh tubuh, di setiap jaringan,” kata Joseph Takahashi dari Universitas Northwestern. “Kita tidak menduganya.”

Dan pada 2002 periset di Universitas Harvard melaporkan bahwa ekspresi lebih dari 1.000 gen di jaringan jantung dan jaringan liver tikus berubah-ubah rutin dalam periode 24 jam. Tapi gen itu menunjukkan siklus circadian ini berbeda di kedua jaringan, dan ekspresi mereka memuncak di jantung pada jam-jam berlainan dibanding di liver. “Mereka semuanya ada di atas peta,” kata Michael Menaker dari Universitas Virginia. “Beberapa memuncak di malam hari, beberapa di pagi hari, dan beberapa di waktu siang.”

Menaker telah menunjukkan bahwa jadwal pemberian makan tertentu bisa menggeser fase jam circadian liver, menginterupsi ritme terang-gelap yang diikuti oleh SCN. Ketika tikus lab yang biasanya makan semaunya diberi makan sekali saja dalam sehari, misalnya, ekspresi puncak gen jam di lever bergeser sebanyak 12 jam, sedangkan gen jam yang sama di SCN tetap sinkron dengan jadwal cahaya. Adalah masuk akal bahwa ritme harian pemberian makan akan mempengaruhi liver, mengingat peranannya dalam pencernaan. Para periset berpikir jam-jam circadian di organ dan jaringan lain mungkin merespon isyarat eksternal lain—meliputi stres, aktivitas fisik, dan perubahan suhu—yang terjadi secara rutin setiap 24 jam. Belum ada yang siap menurunkan tahta SCN: otoritasnya atas suhu tubuh, tekanan darah, dan ritme inti lainnya masih aman. Tapi pusat otak ini tak lagi dianggap mengatur jam periferal (jam sekeliling) dengan tangan besi. “Kita mempunyai osilator di organ kita yang bisa berfungsi secara independen dari osilator di otak kita,” kata Takahashi.

Otonomi jam periferal membuat fenomena seperti jet lag jauh lebih dapat dimengerti. Sementara pewaktu interval, seperti stopwatch, dapat disetel ulang secara seketika, ritme circadian membutuhkan berhari-hari dan terkadang berminggu-minggu untuk menyesuaikan diri dengan pergeseran mendadak durasi siang atau zona waktu. Jadwal baru cahaya akan secara perlahan menyetel ulang jam SCN. Tapi jam lain mungkin tidak mengikutinya. Tubuh tak hanya mengalami lag; ia mengalami lag pada selusin kecepatan berlainan.

Jet lag tidak terjadi, kemungkinan karena semua penabuh berlainan itu akhirnya sanggup bersinkron lagi. Tapi pekerja shift, binatang pesta, mahasiswa, dan burung malam lainnya menghadapi kronodilema (dilema kronologi—penj) yang lebih buruk. Mereka bisa menjalani semacam kehidupan fisiologis ganda. Sekalipun mereka tidur sepanjang siang, ritme inti mereka tetap diatur oleh SCN—karenanya, fungsi-fungsi inti terus “tidur” di malam hari. “Anda boleh menghendaki tidur lebih awal atau lebih larut,” kata Alfred J. Lewy dari Oregon Health & Science University. “Tapi Anda tidak dapat menghendaki level melatonin Anda lebih awal atau lebih larut, atau level cortisol Anda, atau suhu tubuh Anda.”

Selain itu, jadwal mereka untuk makan dan aktivitas fisik bisa menyetel jam periferal mereka dengan fase yang sama sekali berbeda dari siklus tidur-bangun atau siklus terang-gelap. Dengan tubuh hidup dalam begitu banyak zona waktu sekaligus, tak heran para pekerja shift mengalami peningkatan insiden penyakit jantung, keluhan usus perut (gastrointestinal), dan tentu saja penyakit tidur.

                              SIKLUS PERISTIWA


Jam untuk Semua Musim 

Jet lag dan pekerja shift merupakan kondisi pengecualian di mana jam circadian lahiriah terlepas secara kasar dari kesefasean dengan siklus terang-gelap atau siklus tidur-bangun. Tapi hal yang sama bisa terjadi setiap tahun, walaupun kurang kasar, saat musim berganti. Riset menunjukkan bahwa walaupun waktu tidur bisa bervariasi, orang cenderung bangun pada saat yang hampir sama di pagi hari sepanjang tahun—biasanya karena anjing mereka, anak, orangtua, atau karir menuntutnya demikian. Musim dingin, di garis lintang utara, memiliki arti bahwa banyak orang bangun dua sampai tiga jam sebelum fajar. Siklus tidur-bangun mereka adalah beberapa zona waktu jauhnya dari isyarat yang mereka dapatkan dari cahaya siang.

Ketidakselarasan antara durasi siang dan kehidupan harian bisa menjelaskan sindrom yang dikenal sebagai seasonal affective disorder, atau SAD. Di AS, SAD menimpa sebanyak satu dari sepuluh orang dewasa dengan gejala-gejala depresi seperti kenaikan berat badan, lesu, dan lelah antara bulan Oktober sampai Maret. Kondisi ini sepuluh kali lebih umum di utara daripada di selatan. Walaupun SAD terjadi secara musiman, beberapa pakar menduga itu sebetulnya merupakan persoalan circadian. Penelitian Lewy mengindikasikan bahwa pasien SAD akan keluar dari depresinya jika dapat bangun pada waktu fajar ketika musim dingin. Dalam pandangannya, SAD bukanlah bukti ritme adaptif musiman dalam siklus tidur-bangun.

“Jika kita menyesuaikan jadwal harian kita menurut musim, kita tidak akan mengalami depresi musiman,” kata Lewy. “Kita mendapat masalah ketika kita tidak pergi tidur di waktu petang dan bangun di waktu fajar.”

Bila peradaban modern tidak menghormati ritme musiman, itu sebagian karena manusia merupakan salah satu makhluk yang paling kurang sensitif terhadap musim. SAD tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan siklus tahunan yang dijalani oleh binatang: hibernasi, migrasi, berganti bulu/kulit, dan terutama kawin, pengukur utama yang dengannya semua siklus musiman mengikuti irama. Mungkin saja siklus musiman ini juga diatur oleh jam circadian, yang diperlengkapi untuk mengawasi durasi siang dan malam. Kegelapan, saat dideteksi oleh SCN dan kelenjar kerucut, memperpanjang sinyal melatonin di malam panjang musim dingin dan menguranginya di musim panas. “Hamster dapat memberitahu perbedaan antara siang [berdurasi] 12 jam, ketika testis mereka tidak tumbuh, dan siang [berdurasi] 12 jam 15 menit,” kata Menaker [lihat boks di bawah].

Jika ritme musiman begitu kuat pada binatang lain, dan jika manusia mempunyai peralatan untuk mengekspresikannya, maka bagaimana kita merasa kehilangannya? “Apa yang membuat Anda berpikir pernah mengalaminya?” kata Menaker. “Kita berkembang di daerah tropis.” Maksud Menaker adalah bahwa banyak binatang tropis tidak memperagakan pola perilaku tahunan yang dramatis. Mereka tidak membutuhkannya, sebab musim sendiri berubah-ubah begitu sedikit. Kebanyakan binatang tropis berkawin tanpa menghiraukan musim karena tidak ada “waktu terbaik” untuk melahirkan. Nafsu seks manusia, juga, senantiasa meluap-luap. Saat leluhur kita memperoleh kendali yang semakin besar atas lingkungan mereka setelah bermilenium-milenium, musim mungkin menjadi kekuatan evolusi yang kurang signifikan.

Tapi aspek kesuburan manusia bersifat siklus: wanita dan primata betina lainnya memproduksi sel telur sekali saja dalam sebulan. Jam yang mengatur ovulasi dan menstruasi merupakan lingkaran umpan-balik kimiawi yang terbukti dapat dimanipulasi oleh pengobatan hormon, aktivitas fisik, dan bahkan kehadiran wanita bermenstruasi lainnya. Tapi penyebab atas durasi tertentu siklus menstruasi belum diketahui. Fakta bahwa durasinya sama dengan siklus bulan merupakan kebetulan yang telah dengan susah payah diselidiki oleh segelintir ilmuwan, apalagi dijelaskan. Belum ditemukan pertalian meyakinkan antara cahaya bulan atau energi gravitasi dengan hormon reproduksi wanita. Dalam hal itu, jam menstruasi bulanan tetap merupakan misteri—barangkali hanya terkalahkan oleh teka-teki tertinggi, kematian.




Berputar, Berputar. Sebagian besar binatang mengalami siklus musiman yang dramatis: mereka bermigrasi, berhibernasi, kawin, dan berganti bulu/kulit pada waktu-waktu tertentu setiap tahun (empat foto atas). Testis hamster, misalnya, membesar empat kali lipat saat musim kawin mendekat. Siklus ini terhubung erat: tupai tanah yang ditawan terus berhibernasi secara musiman meski ditaruh dalam suhu konstan dengan periode terang dan gelap yang tidak berubah. Demikian pula, burung dalam kondisi laboratorium stabil mengalami kegelisahan pada saat migrasi dan terus berganti bulu dan menggemuk dalam siklus tahunan. Satu-satunya tanda kemusiman pada manusia mungkin adalah seasonal affective disorder, umum disebut sebagai SAD, perasaan depresi tahunan yang menimpa beberapa individu di musim dingin dan dapat disembuhkan dengan terapi cahaya (foto paling bawah)—atau cukup dengan tidur sampai matahari muncul.

Waktu, Sang Penuntut Balas

Orang cenderung menyamakan penuaan dengan penyakit-penyakit penuaan—di antaranya kanker, penyakit jantung, osteoporosis, radang sendi, dan Alzheimer—seolah-olah ketiadaan penyakit akan cukup untuk memberi kehidupan abadi. Biologi menyiratkan sebaliknya. Manusia modern di negara-negara maju mempunyai angka harapan hidup lebih dari 70 tahun. Angka harapan hidup rata-rata mayfly (sejenis serangga yang hidup singkat di musim semi—penj), kontrasnya, adalah sehari. Para biolog baru mulai menggali mengapa spesies berbeda mempunyai harapan hidup berbeda. Jika hidup Anda sudah tak lama lagi, apa gunanya menghitung?

Dalam pertemuan tahun 2002 yang diselenggarakan oleh National Institue on Aging, para peserta menentang banyak asumsi lumrah mengenai faktor yang menentukan rentang hidup alami. Jawabannya bukan terletak pada genetik spesies semata: lebah madu pekerja, misalnya, berlangsung hidup selama beberapa bulan, sedangkan lebah ratu hidup bertahun-tahun. Tapi genetik penting: mutasi satu gen saja pada tikus dapat menghasilkan strain yang hidup sampai 50 persen lebih lama daripada biasanya. Laju metabolisme tinggi dapat memperpendek rentang hidup, tapi banyak spesies burung, yang mempunyai metabolisme cepat, hidup lebih lama daripada mamalia berukuran tubuh sebanding. Dan binatang besar bermetabolisme lambat tidak pasti hidup lebih lama daripada binatang kecil [bermetabolisme lambat]. Harapan hidup burung kakak tua hampir sama dengan manusia. Di antara spesies anjing, [anjing] keturunan kecil tipikalnya hidup lebih lama daripada keturunan besar.

Para ilmuwan yang menyelidiki batas rentang hidup manusia biasanya mempelajari subjek tersebut dari level sel ketimbang memikirkan organisme secara keseluruhan. Sejauh ini hal paling seksama yang mereka miliki berkenaan dengan jam penghabisan adalah mitotic clock (jam mitosis). Jam tersebut mengawasi pembelahan sel, atau mitosis, yaitu proses pembelahan satu sel menjadi dua. Jam mitosis adalah seperti jam pasir di mana tiap-tiap butiran pasir melambangkan satu episode pembelahan sel. Sebagaimana terdapat butiran terbatas dalam jam pasir, kelihatannya terdapat batas tertinggi pada seberapa kali lipat sel normal tubuh manusia bisa membelah. Dalam pembiakan, mereka akan mengalami 60 sampai 100 pembelahan mitosis, kemudian berhenti. “Tahu-tahu mereka berhenti tumbuh begitu saja,” kata John Sedivy dari Universitas Brown. “Mereka berespirasi, mereka bermetabolisme, mereka bergerak, tapi mereka takkan pernah lagi membelah.”

Sel-sel biakan biasanya mencapai kondisi lanjut usia ini dalam beberapa bulan. Untungnya, sebagian besar sel di tubuh membelah jauh lebih lambat daripada sel biakan. Tapi pada akhirnya—barangkali setelah 70 tahun atau lebih—mereka juga bisa menua dan mati. “Yang dihitung oleh sel bukanlah waktu kronologis,” kata Sedivy. “Melainkan jumlah pembelahan sel.”

Di akhir 1990-an, Sedivy melaporkan bahwa dirinya dapat memeras 20 sampai 30 siklus lagi dari fibroblast manusia dengan memutasi satu gen. Gen ini meng-encode protein bernama p21, yang merespon perubahan pada bangunan bernama telomere yang menutupi ujung kromosom. Telomere terbuat dari bahan yang sama dengan penyusun gen: DNA. Mereka terdiri dari ribuan repetisi sekuens DNA 6-basis yang tidak menyandi untuk protein dikenal manapun. Setiap kali sebuah sel membelah, gumpalan telomere menghilang. Embrio muda manusia mempunyai telomere sepanjang antara 18.000 sampai 20.000 basis. Pada waktu lanjut-usia, telomere hanya berpanjang 6.000 sampai 8.000 basis.

Biolog menduga bahwa sel-sel menjadi lanjut usia ketika telomere menyusut melebihi suatu panjang spesifik. Titia de Lange dari Universitas Rockefeller telah mengajukan penjelasan baru atas pertalian ini. Di sel sehat, dia menunjukkan, ujung-ujung kromosom melingkar sendiri seperti tangan yang terselip dalam saku. “Tangan” tersebut adalah 100 sampai 200 basis terakhir telomere, yang berhelai tunggal, bukan berpasangan seperti yang lainnya. Dengan bantuan lebih dari selusin protein khusus, ujung berhelai tunggal tersisipkan ke dalam helai ganda sampai ke hulu untuk perlindungan.

Jika telomere dibolehkan menyusut cukup banyak, “mereka tak lagi bisa melakukan trik pelingkaran ini,” kata de Lange. Ujung telomere berhelai tunggal yang tak terselip bersifat rentan terhadap penggabungan dengan ujung berhelai tunggal lainnya. Penggabungan tersebut mendatangkan malapetaka pada sebuah sel dengan menguntai semua kromosom. Itu boleh jadi merupakan alasan mengapa sel p21 Sedivy yang bermutasi mati setelah sampai di putaran mitosis tambahan. Sel lain yang dibiakkan untuk mengabaikan telomere singkat berubah menjadi bersifat kanker. Tugas p21 normal dan telomere sendiri mungkin adalah menghentikan sel agar tidak membelah terlalu banyak hingga mati atau membahayakan. Kelanjut-usiaan sel boleh jadi sebetulnya memperpanjang hidup manusia ketimbang mendatangkan ajal. Itu mungkin merupakan pertahanan tak sempurna milik sel terhadap pertumbuhan membahayakan dan kematian tertentu.

“Harapan kita adalah memperoleh cukup informasi dari pendekatan reduksionis ini untuk membantu kita memahami apa yang berlangsung pada seseorang secara keseluruhan,” komentar de Lange.

Untuk saat ini, pertalian antara telomere singkat dan penuaan adalah lemah. Sebagian besar sel tidak harus terus membelah untuk melakukan tugas mereka—sel darah putih yang memerangi infeksi dan prekursor sperma adalah pengecualian nyata. Tapi banyak orang lanjut usia memang meninggal akibat infeksi sederhana yang bisa dilawan oleh tubuh muda. “Kelanjut-usiaan barangkali tak ada kaitannya dengan sistem syaraf,” kata Sedivy, karena sebagian besar sel syaraf tidak membelah. “Di sisi lain, itu mungkin sangat erat kaitannya dengan penuaan sistem imun.”

Dalam kasus manapun, kehilangan telomere merupakan salah satu saja dari banyak kerugian yang diderita oleh sel ketika membelah, kata Judith Campisi dari Lawrence Berkeley National Laboratory. DNA sering rusak ketika bereplikasi selama pembelahan sel, sehingga sel-sel yang telah membelah berkali-kali lebih mungkin untuk mengandung error genetik ketimbang sel muda. Gen yang terkait dengan penuaan pada binatang dan manusia menyandi untuk protein yang mencegah atau memperbaiki kesalahan tersebut. Dan dengan tiap-tiap episode mitosis, produk tambahan penyalinan DNA terbangun di nukleus sel, merumitkan replikasi berikutnya.

“Pembelahan sel merupakan urusan yang amat beresiko,” tinjau Campisi. Jadi barangkali tidaklah mengherankan jika tubuh menaruh tutup pada mitosis. Dan penjiplakan sel lanjut usia mungkin tidak akan menjamin kehidupan abadi. Sekali butiran pasir jatuh melewati jam pasir mitosis, tak ada gunanya membalikkannya lagi.

Penulis

Karen Wright adalah penulis sains yang berbasis di New Hampshire. Karyanya disertakan dalam The Best American Science and Nature Writing 2002 (Mariner Books).

Untuk Digali Lebih Jauh
  • The Body Clock Guide to Better Health. Michael Smolensky dan Lynne Lamberg. Henry Holt and Company, 2000.
  • Neuropsychological Mechanisms of Interval Timing Behavior. Matthew S. Matell dan Warren H. Meck dalam BioEssays, Vol. 22, No. 1, hal. 94–103; Januari 2000.
  • The Evolution of Brain Activation during Temporal Processing. Stephen M. Rao, Andrew R. Mayer, dan Deborah L. Harrington dalam Nature Neuroscience, Vol. 4, No. 3, hal. 317–323; Maret 2001.
  • The Living Clock. John D. Palmer. Oxford University Press, 2002.
Sumber: Sainstory - Sains Social History

No comments:

Post a Comment