Tuesday, May 8, 2012

Nol – Sejarah Singkat tentang ”Nihil” (Nothing)

(Sumber: History Magazine, Februari/Maret 2008, hal. 32-34)
 
Dalam sebuah artikel tentang “nihil” (nothing), Ed Haag menjelaskan mengapa nol demikian penting.

Hari ini boleh saja 4 kurang 4 sama dengan nol, tapi di masa Yunani dan Romawi kuno jawabannya tidak sesederhana itu. Ini karena nol bukanlah konsep yang termasuk dalam sistem perhitungan Yunani atau Romawi. Bahkan pada Abad Pertengahan, nol belum mendapat tempat dalam sistem perhitungan Eropa. Mengapa? Sebab nol mempunyai sejarah yang tak biasa. Dan perlu berabad-abad sebelum nol akhirnya menegakkan diri dengan nyaman dalam kerangka masyarakat Eropa.

Nol di Masyarakat Kuno

Nol ditemukan secara terpisah sekurangnya 3 kali. Ketika ditemukan, kegunaan satu-satunya adalah sebagai pengisi kedudukan (place holder) dalam sistem perhitungan nilai kedudukan. Catatan tertulis Babilonia kuno (Irak masa kini) dari sekitar 300 SM mengenai penggunaan nol untuk keperluan ini merupakan [keterangan] yang pertama kali diketahui.

Semula, bangsa Babilonia tidak memiliki simbol untuk nol karena ruang kosong antara bilangan-bilangan dianggap cukup sebagai pembatas pengisi kedudukan. Tapi karena ruang kosong bisa dengan mudah terabaikan atau disalahtafsirkan, metode itu terbukti tidak handal. Bangsa Babilonia merespon dengan membuat simbol dikenal pertama untuk nol, dua simbol berbeda, walaupun mereka jarang menggunakannya.

Bentuk baji nol Babilonia sedikit menyerupai nol masa kini, tapi ia berhasil memenuhi kegunaannya sebagai pengisi kedudukan dan sebagai penanda antara dua bilangan untuk mengindikasikan suatu posisi kosong. Tapi begitu waktu berlalu, dan peradaban Babilonia mundur, nol pun mengalaminya. Dan dalam perjalanan tersebut, dimulailah pola hibernasi dan kemunculan dalam masyarakat manusia yang akan terbukti sebagai trademark nol selama masa panjang berikutnya.

Bangsa Yunani kuno memiliki sistem bilangan yang lebih rumit dibanding bangsa Babilonia, dan kemajuan pengetahuan mereka belum pernah ada sebelumnya. Meskipun demikian, Bangsa Yunani tidak punya simbol untuk nol dalam sistem bilangan mereka. Justru, nol cenderung menimbulkan masalah bagi bangsa Yunani dengan proporsi sungguh luas.



Simbol Babilonia untuk nol

Pythagoras (duduk) adalah filsuf abad ke-6 SM, yang sering dijuluki sebagai “bapak bilangan”.

Bilangan sangat penting bagi bangsa Yunani. Tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa bangsa Yunani menyembah bilangan. Kecerdasan koletif mereka baik dalam geometri maupun dalam filsafat bisa ditelusuri dari hasrat mereka terhadap bilangan dan hubungannya. Musik, astronomi, dan masyarakat, semuanya bisa dijelaskan secara masuk akal kepada bangsa Yunani dengan memakai bilangan dan hubungan bilangan. Bilangan merupakan batu landasan seluruh bidang Yunani. Seorang pemikir Yunani, Pythagoras, bahkan mulai menyusun cult (sekte pemujaan-penj) seputar penyembahan bilangan-bilangan. Ada satu masalah – bangsa Yunani hanya memakai bilangan rasional (bilangan yang dapat ditulis dalam bentuk a/b, seperti ½, di mana a adalah integer dan b adalah integer selain nol). Mereka pasti belajar berdasarkan pengalaman bahwa bilangan, sebagaimana manusia yang membuatnya, tidak selalu rasional. Orang-orang seperti Hippasus dari Metapontum, menurut legenda, mati sebelum bangsa Yunani mengenali celah dalam bidang bilangan rasional sempurna mereka. Hippasus dieksekusi oleh anggota cult Pythagoras karena mengungkap kebenaran tersembunyi mengenai bilangan irasional (bilangan yang tidak dapat dinyatakan dalam pecahan, seperti pi).

Walaupun kemunculan nol berikutnya, di manapun setelah Babilonia, memerlukan waktu, waktu tersebut pasti datang. Itu menjadi kenyataan berabad-abad kemudian, setengah menyeberangi dunia, di mana nol mengulangi perannya sebagai pengisi kedudukan – dalam sistem kalender rumit peradaban Maya di Amerika Tengah, di mana ia bertahan selama ratusan tahun. Tapi sayangnya, begitu peradaban Maya ambruk, lagi-lagi demikian pula halnya dengan nol.

Nol di India

Sementara barat mengalami kesulitan dengan nol, timur mengadaptasikan diri dengannya dengan akal yang hampir insting semata. Fakta bahwa Hinduisme India merupakan agama yang mengakui, bahkan menyembah, konsep “kehampaan”, kemungkinan besar tidak memainkan peranan kecil dalam penerimaan nol di sana. Oleh karenanya, tidaklah mengejutkan bahwa kemunculan nol pertama sebagai simbol dan bilangan yang kita ketahui hari ini ditemukan di India pada abad ke-9 M. Di sanalah sebuah lembaran ditulisi dengan arahan-arahan untuk menyuplai kalung bunga ke sebuah kuil lokal. Instruksi itu memasukkan bilangan “50” dan “270” dan ditulis hampir sama persis dengan penulisannya di masa kini.

Dari sejak kelahirannya, nol mulai menimbulkan masalah-masalah. Dan salah satu masalah terbesar bagi matematikawan India adalah bagaimana menghadapi konsep pembagian dengan nol. Berkenaan dengan ini, Bhaskara II, seorang matematikawan terkemuka India, menulis, “Pecahan ini diistilahkan sebagai infinite quantity (jumlah tak terhingga-penj)…tidak ada perubahan, meski banyak yang dapat disisipkan atau diekstrak; sebagaimana tak terjadi perubahan pada dewa yang kekal dan tak terhingga ketika dunia diciptakan atau dihancurkan, meski banyak golongan makhluk terhisap atau tertiup.” Itu bukan pertama kalinya entitas ketuhanan disebutkan dalam pembahasan nol. Juga bukan terakhir kalinya.

Nol menjadi populer

Saat India merosot, demikian pula dengan nol sekali lagi. Tapi kali ini tidak untuk waktu yang lama. Dari India, ia beralih ke China dan Arab dan peradaban Islam. Nyatanya, peradaban Islam-lah yang bertindak sebagai penghubung krusial antara India dan Eropa dalam soal penyebaran nol. Orang-orang seperti matematikawan dan astronom Muslim Al-Khwarizmi (yang dari namanya kata Inggris algorithm dan algebra berasal), terus menyebarkan gagasan nol dengan risalat matematis brilian yang mengelaborasi sistem bilangan Hindu India dan sifat-sifatnya. Terjemahan Latin atas karya Al-Khwarizmi, Algoritmi de numero Indorum (Concerning the Hindu Art of Reckoning), pada sekitar 1.200 M-lah yang, dibanding karya matematika manapun, membantu mengangkat Eropa dari racun rawa Abad Pertengahan.
 

Très Riches Heures dirancang untuk Duc de Berry di awal abad ke-15. January, diperlihatkan di sini, kekurangan perspektif lantaran bilangan-bilangan di latar depan dan di kejauhan tidak proporsional dalam hubungan dengan satu sama lain. Di samping itu, meja dan dinding di belakang Duc de Berry (duduk) tidak memiliki sudut dan perspektif yang benar.

Sungguh lucu, banyak dari alasan tidak populernya nol di barat terkait dengan filsafat dan agama, daripada matematika. Nol melambangkan nihil, kehampaan, chaos besar yang darinya semua ciptaan berasal. Ini konsep yang gelap dan menakutkan dalam teologi Gereja, sebagaimana sebelumnya dalam filsafat Yunani. Dan implikasinya begitu mengerikan bagi kaum intelektual kala itu sehingga pembahasannya menjadi hal tabu. Karena banyak filsafat dan kosmologi mereka berasal dari peradaban Yunani kuno, mentalitas tabu banyak pemikir pra-Renaissance serupa dengan mentalitas pendahulu Yunani-nya. Para matematikawan-filsuf (demikian mereka sering dijuluki lantaran filsafat dan matematika seringkali berjalinan di zaman itu, sebagaimana filsafat dan sains) kala itu tidak bisa, atau tidak mau, memahami implikasi eksistensi kenihilan atau kehampaan.

Leonardo Pisano dari Italia, juga dikenal sebagai Leonardo Fibonacci, merupakan orang Eropa pertama yang mengakui potensi nol, di abad ke-13. Dan seiring meningkatnya perdagangan dan perniagaan antara Eropa, Timur Tengah, dan negara-negara Islam dan Arab, demikian pula halnya dengan sistem bilangan Arab yang sangat mudah itu. Pengaruh besar bilangan nol dalam sistem Hindu-Arab membutuhkan waktu 2 abad untuk benar-benar menimbulkan kesan, tapi dalam perjalanan itu berimplikasi mendalam bagi masyarakat Eropa. Dan menjadi salah satu fondasi Renaissance.

Nol dan Gereja

Awalnya Gereja menoleransi banyak gagasan Renaissance, tapi itu tidak lama sebelum mereka mulai memeranginya kembali. Semua pembicaraan tentang nol, ketakterhinggaan, dan kehampaan mengancam meruntuhkan seluruh bidang Gereja dan, yang lebih penting, mengancam meruntuhkan Tuhan itu sendiri, atau setidaknya Tuhan versi mereka. Gereja bereaksi dengan sejumlah tindakan yang dimaksudkan untuk menahan kenaikan gelombang yang melawan otoritas mereka. Inkuisisi Spanyol didorong, ordo Jesuit dilembagakan, Galileo diperintahkan untuk menghentikan penyelidikan ilmiahnya dan dikenai tahanan rumah, dan orang-orang berpandangan kontroversial, seperti Giordano Bruno, dibakar di tiang pembakaran.

Namun sebagaimana akhirnya disadari oleh Gereja sendiri, keberatannya terhadap gagasan-gagasan Renaissance sia-sia saja. Dan mereka harus belajar untuk merekonsiliasikan otoritasnya dengan revolusi pemikiran yang terjadi di sekelilingnya.

Nol dan Renaissance

Pengaruh nol terhadap Eropa sangat besar. Dan kontribusi nol secara langsung maupun tidak langsung terhadap Renaissance sangat banyak.

Contoh, pedagang-pedagang Eropa mulai mengakui nilai nihil ketika mulai memahami bisnis dan mencatat alur barang-barang.

Ada kemajuan lain yang dikenal sebagai vanishing point. Matematis secara konsep, ini terjadi saat para seniman menyadari bahwa sebuah titik 1-dimensi memiliki kekuatan kehampaan dan ketakterhinggaan di dalamnya, yang darinya boleh jadi segala sesuatu berasal. Pemakaian pertamanya dalam seni Eropa mentransformasikan medium seni, sebab memainkan teknik perspektif untuk pertama kalinya. Sebelum Renaissance, lukisan dan gambar bersifat flat dan 2-dimensi. Kini realismenya bisa memperdaya.


Fresko Giving of the Keys to St. Peter karya Perugino di Sistine Chapel memperlihatkan bahwa perspektif – sebuah konsep yang menggunakan nol – merevolusi karya seni. Dieksekusi kurang dari seabad setelah Très Riches Heures-nya Duc de Berry, kemajuan teknik jelas terlihat. Garis-garis diagonal batu di halaman bangunan, semuanya mengarah ke vanishing point di kejauhan, menghasilkan kedalaman dalam karya dua-dimensi tersebut.

Revolusi sains dalam Renaissance juga bisa ditelusuri dari [perjalanan bilangan] nol. Simbolisme ketakterhinggaan dan kehampaan nol benar-benar membuka pemikiran ilmiah menuju dunia yang sama sekali baru. Copernicus dengan teori heliosentrisnya, Pascal dengan karyanya mengenai vakum, dan penemuan kalkulus secara terpisah oleh Leibniz dan Newton, semuanya berhutang kepada nol, ketakterhinggaan, dan kehampaan.

Sebagaimana dikatakan matematikawan G.B. Halsted tentang nol, “Tak ada kreasi matematis yang lebih paten dalam hal kecerdasan dan kekuatan yang terus berlaku umum [selain nol].”


Harmonia Macrocosmica karya Andreas Cellarius yang berasal dari pertengahan abad 17. Harmonia Macrocosmica merupakan atlas bintang yang menunjukkan sistem heliosentris. Sistem heliosentris, vakum, dan pemahaman atas banyak dunia modern dimungkinkan dengan bilangan nol.

Petualangan nol hari ini

Nol sekali-sekali masih suka menimbulkan kehebohan. Kepanikan besar millenium cyber tahun 2000 adalah bukti yang cukup untuk itu. Ia juga masih punya kegemaran untuk mencampur-baurkan pemikiran matematis dan ilmiah terbesar sekalipun di masa kini sebagaimana satu milenium lalu. Meski satu hal yang pasti, setelah berabad-abad menghilang dan ditemukan, sepertinya kali ini nol ada untuk tinggal selamanya.

Bacaan lebih lanjut
• John D. Barrow. The Book of Nothing (London: Vintage Publishing, 2001).
• “History Topic: A History of Zero” oleh J.J. O’Connor and E.F. Robertson (www-groups.dcs.st-and.ac.uk/~history/PrintHT/Zero.html).
• Charles Seife. Zero: The Biography of A Dangerous Idea (New York: Penguin Books, 2000).

Sumber: Sainstory - Sains Social History

No comments:

Post a Comment