Sungguh mengesankan bahwa saya mengetahui teori evolusi  justru dari karangan yang mengkritik habis-habisan teori tersebut.  Mungkin sudah sepuluh tahun lebih Harun Yahya dan gerakan anti evolusi  menyebarkan pengaruhnya pada dunia pembaca sains awam di Indonesia.  Gerakan anti evolusi sebenarnya bisa dilacak hingga tahun 1974 di  Kanawha, Virginia Barat, Amerika Serikat. Saat itu terjadi penolakan  besar-besaran terhadap pengajaran teori evolusi dalam buku paket Biologi  oleh beberapa pihak yang mengatasnamakan agama.
Ann Page dan Donald Clelland tahun 1978 menyajikan sudut pandang sosiologis pada asal usul anti evolusi atau yang secara positif di istilahkan sebagai kreasionisme. Menurut kedua pakar sosiologi ini, konflik yang terjadi seperti di Kanawha merupakan konflik tingkat kelompok, bukannya individual. Konflik ini terjadi akibat perbedaan pandangan dunia dari tiap kelompok.
Ann Page dan Donald Clelland tahun 1978 menyajikan sudut pandang sosiologis pada asal usul anti evolusi atau yang secara positif di istilahkan sebagai kreasionisme. Menurut kedua pakar sosiologi ini, konflik yang terjadi seperti di Kanawha merupakan konflik tingkat kelompok, bukannya individual. Konflik ini terjadi akibat perbedaan pandangan dunia dari tiap kelompok.
Page dan Clelland  menyebut pihak anti evolusi dengan istilah “fundamentalis kultural.”  Raymond A. Eve menyebutnya “tradisionalis kultural.” Mereka adalah  sekelompok orang yang cenderung menafsirkan dengan literal apa yang  tertulis di kitab suci. Bagi tradisionalis kultural, apa yang baik atau  jahat itu bukanlah manusia yang memutuskan, tapi Tuhan lewat kitab suci  yang memutuskan. Tradisionalis kultural juga memandang tujuan hidup  manusia adalah melayani dan mengabdi kepada Tuhan, walaupun hal ini  berarti pengorbanan bagi individu tersebut. Kelompok kedua menurut Page  dan Clelland adalah “modernis kultural.” Kelompok ini merupakan turunan  langsung dari empirisme sekuler Ibnu Sina dan Zaman Pencerahan Eropa.  Modernis kultural percaya kalau jalan menuju kebenaran  diperoleh lewat pengumpulan data untuk menguji hipotesis dan membiarkan  hasil analisa menunjukkan apa yang benar dan apa yang salah.
Contoh  nyata konflik kedua kelompok ini ada pada pertanyaan “Apa yang harus  kita lakukan terhadap bencana alam yang sering terjadi di negara kita?”  Tradisionalis kultural seringkali melihat kalau bencana alam adalah  kehendak Tuhan. Misalnya untuk memberi peringatan, memberikan hukuman,  memberikan pelajaran ataupun menjemput orang-orang beriman. Bahkan bagi  yang paling liberal sekalipun, fundamentalisme kultural akan mengatakan  “bencilah dengan perbuatan dosa namun jangan membenci orangnya.” Dengan  kata lain, tradisionalis akan mengatakan kalau cara menghilangkan  bencana alam adalah dengan melakukan kebaikan, memperbaiki moralitas dan  menghindari perbuatan jahat sesuai dengan apa yang dikatakan dalam  kitab suci.
Bertentangan dengan hal ini, modernis kultural akan  berpendapat kalau bencana alam adalah akibat fenomena alam biasa dan  dapat terjadi di mana saja, dan bahkan tanpa memerlukan keberadaan  manusia. Penanggulangannya dapat dicegah dengan melakukan penelitian  mendalam, melakukan perencanaan tata kota, arsitektur maupun prosedur  tanggap bencana serta melakukan tindakan yang berbasis pada pengetahuan  atas gejala dan penyebab terjadinya bencana secara alami.
Terdapat  juga pihak ketiga dalam menanggapi hal ini yang kita sebut  posmodernisme. Secara sederhana, postmodernis adalah mereka yang bukan  tradisionalis dan juga bukan modernis. Sesederhana itu. Posmodernis  percaya kalau “narasi besar” tidaklah sah. Narasi besar yang dimaksud  disini adalah semua penunjang hidup manusia, yaitu kebenaran tunggal  yang ada di luar diri individu. Narasi besar itu bisa kitab suci dan  bisa juga sains, bisa juga marxisme, freudianisme atau Pancasila.  Intinya, bagi posmodernis, kebenaran, seandainya ia ada, bersifat  individual, subjektif, dan bersifat internal dalam tiap diri manusia.
Wicca  mungkin sebuah kelompok menarik. Wicca merupakan salah satu dari  sedikit kelompok yang mengedepankan feminitas ke puncak hirarki. Di satu  sisi, mereka mengatakan kalau narasi besar yang ada selama ini terlalu  bersifat laki-laki, baik itu agama maupun filsafat. Ambil contoh kenapa  wanita tidak boleh memegang Quran saat haid? Di sisi lain, mereka juga  mengatakan memiliki akar jauh sebelum agama besar seperti  yahudi-kristen-islam. Akibatnya, mereka bukan tradisionalis, dan juga  bukan modernis. Jadi mungkinkah mereka posmodernis?
Tapi  Wicca mengakui kalau diri mereka adalah sebuah basis religius. Mereka  melakukan praktek ilmu putih untuk membantu individu dan masyarakat, dan  mendasarkan ritual mereka pada siklus musim.
Bagi  posmodernis, praktek ilmu putih atau kekuatan psikis, proyeksi astral,  komunikasi dengan roh, astrologi, primbon dan semua yang dipandang  pseudosains bagi modernis, merupakan “teknologi” yang bermanfaat dan  karenanya berguna sebagai pemberdayaan. Karenanya, Wicca dapat dipandang  sebagai salah satu aliran pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Lebih  jauh lagi, Wicca ternyata memiliki pandangan yang sama dengan  posmodernis, yaitu “baik sains maupun agama, telah gagal memberi kita  jawaban pertanyaan-pertanyaan penting yang kita hadapi sekarang.”
Dengan  adanya wicca, kita semestinya menolak gagasan kalau keyakinan pada  sesuatu yang tidak masuk akal seperti paranormal, UFO dan astrologi,  bukan semata disebabkan oleh kebodohan atau masalah kejiwaan. Wicca  menunjukkan kalau keyakinan semacam ini muncul dalam dinamika kelompok  normal yang tak terelakkan akibat semakin rumitnya dunia tempat tinggal  kita sekarang. Gagasan ini sudah dilontarkan oleh Singer dan Benassi  dari dulu. Mereka percaya kalau keyakinan paranormal berasal dari banyak  sekali sumber. Sebagai contoh, kesalahan penalaran manusia, pendidikan  sains yang kurang, pemberitaan media yang terlalu sensasional, dan  faktor sosial budaya.
Jadi saat anda,  sebagai seorang yang ilmiah, bertemu dengan orang yang percaya kalau  manusia diciptakan seketika tanpa sebab oleh Tuhan, atau orang yang  percaya adanya Atlantis dan Segitiga Bermuda, astrologi, proyeksi  astral, dsb, jangan terburu mengklaim kalau mereka bodoh atau kurang  berpendidikan. Mereka bisa saja sangat berpendidikan sehingga merasa  sains dan agama tidak cukup mampu memberikan penjelasan dan mencoba  menggali sendiri kebenaran dari dalam dirinya. Mereka bisa saja sangat  pintar sehingga mampu menemukan apa yang tersembunyi dibalik aliran  informasi yang mendera kita dari segala arah yang kadang bertentangan  satu sama lain.
Tapi memang ada,  mungkin bahkan mayoritas, orang yang percaya hal-hal aneh tersebut  memang kurang pendidikan. Sebagai contoh, orang percaya kalau ilmu  putih, ilmu hitam, penyembuhan oleh kristal dan penyembuhan oleh doa  memang benar ada karena mereka percaya kalau ada sebuah medan energi  psikis, kejiwaan, magnet, kuantum atau inframerah, yang bisa digerakkan  oleh jiwa. Ini murni karena kurangnya pendidikan atau setidaknya  pemahaman mengenai fisika dasar yang seharusnya diajarkan dengan efektif  saat Sekolah Menengah Atas. Apa artinya belajar Medan Elektromagnet  dengan setumpuk rumus teknis kalau masih percaya kalau medan energi  kejiwaan ada dan lebih hebat dari ini? Kita perlu mengajarkan berpikir kritis  dan sains sejak awal bagi siswa untuk membedakan mana keyakinan  paranormal yang bertopang pada kurangnya pendidikan dan yang bertopang  pada sebuah pemikiran mendalam mengenai masalah besar dunia sekarang.
Referensi
- Eve, R. A.. 2010. Wiccans v. Creationists : An Empirical Study of How Two Systems of Belief Differ Skeptics August 2010.
 - Singer, B., Benassi, V. 1981. Occult beliefs. American Scientist, 69:49–55.
 
Sumber: FaktaIlmia.com 
No comments:
Post a Comment