Sunday, April 1, 2012

Menyederhanakan Sistem Kepartaian

Demokrasi akan berhasil jika dibangun di atas pilar politik kepartaian yang efektif dan efisien. Terlalu banyak partai hanya akan melahirkan pemerintahan koalisi yang rentan dan transaksional. Pemerintahan mudah digoyang, sementara kebijakan publik yang radikal sulit diharapkan.

Revisi paket Undang Undang (UU) Politik adalah upaya penting bagi terciptanya politik kepartaian yang sederhana dan efektif. Peningkatan persentase ambang batas parlemen (parliamentary threshold), salah satu isi revisi itu, adalah strategi penguatan demokrasi melalui jalur konstitusional.

Bagi partai politik, besaran ambang batas parlemen menjadi penentu lolos tidaknya sebuah partai politik untuk masuk dalam Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Karenanya, bagi partai kecil dan menengah, kenaikan ambang batas parlemen menjadi momok menakutkan yang dapat menghentikan langkah mereka ke parlemen, jika suara yang mereka peroleh dalam pemilu di bawah ambang batas yang diharuskan.

Tapi dalam konteks yang lebih luas, peningkatan ambang batas parlemen berdampak pada penyederhanaan jumlah partai politik. Seperti yang kita alami, sistem multipartai selama ini hanya melahirkan pemerintah yang lebih berkonsentrasi pada mengamankan kursi pemerintahan ketimbang bekerja penuh buat rakyat. Stabilitas politik memang tercipta, tapi pemerintahan yang kuat dan efektif tak kunjung terwujud.

Perlunya penyederhanaan
Eforia demokrasi pada awal 1998 dengan runtuhnya Orde Baru telah mengantarkan Indonesia memasuki ”pasar bebas” partai politik. Lebih dari 100 partai politik lahir menjelang pemilu 1999, pemilu demokratis pertama sejak 1955. Namun, hanya 48 partai di antaranya yang berhasil lolos mengikuti pemilu.

Penyederhanaan sistem kepartaian juga telah mengurangi jumlah partai peserta pemilu 2004 menjadi tinggal 24 partai. Akan tetapi, karena tidak jelasnya komitmen di antara para elite pemerintah dan partai politik, jumlah partai politik peserta pemilu 2009 bukannya berkurang tapi justru meningkat menjadi 38 partai. Dari jumlah itu, hanya 9 partai yang memenuhi ambang batas perolehan suara 2,5 persen. Sementara 29 partai lainnya tersingkir.

Karena tidak adanya partai pemenang mayoritas, presiden terpilih harus membangun pemerintahan berbasis koalisi sejumlah partai. Meski anomali dalam sistem multipartai, pemerintahan koalisi menjadi karakter pemerintahan presidensial pasca-Orde Baru. Sejak pemilu 1999, setiap presiden yang terpilih dipaksa untuk berkompromi dengan para politisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) demi terciptanya stabilitas politik.

Pemerintahan yang dibangun di atas tumpuan koalisi terpenjara oleh pragmatisme politik keseharian, seperti menjaga stabilitas pemerintahan. Sementara kabinet pelangi yang dibentuk presiden tidak bisa bekerja maksimal. Mereka tersandera oleh komitmen ganda: menjalankan program pemerintah tapi pada saat yang tetap harus menjaga kepentingan dan loyalitas kepada partai asalnya.

Akibatnya, ongkos konsolidasi demokrasi tidak sebanding dengan harapan masyarakat. Tawar-menawar politik dalam berbagai kebijakan pemerintah, seperti dalam penegakan hukum, membuat kemajuan yang dicapai pemerintah sangat lamban. Maka, untuk membangun pemerintahan yang efektif, jumlah partai di parlemen memang tidak boleh terlalu banyak. Melalui penyederhanaan sistem kepartaian, diharapkan terdapat partai mayoritas di parlemen yang membuat posisi eksekutif menjadi kuat.

Ambang batas 10 persen
Hingga kini besaran ambang batas parlemen belum disepakati. Partai-partai besar, seperti Partai Golkar dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengusulkan jumlah ambang batas parlemen sebesar 5 persen. Dengan persentase sebesar itu, mereka berpendapat akan tercapai sistem kepartaian yang sederhana dengan jumlah partai lebih sedikit dibanding sekarang.

Partai Demokrat (PD) memilih kenaikan ambang batas parlemen yang tidak terlalu tinggi, yaitu sebesar 4 persen. PD agaknya mencoba bersikap moderat dan memberi jalan tengah bagi dua arus besar antara 5 persen dari partai-partai besar dan 3 persen dari partai-partai menengah.

Partai menengah, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) memang lebih memilih ambang batas parlemen 3 persen. Argumen mereka adalah bahwa ambang batas yang terlalu tinggi justru akan merusak sistem multipartai. Dan pastinya, dapat menjegal langkah mereka sendiri ke parlemen jika mereka tidak berhasil memenuhi ambang batas yang diwajibkan.

Sementara dua partai kecil, Partai Gerindra dan Partai Hanura memilih tetap mempertahankan ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen yang dipakai dalam pemilu 2009 lalu. Tentu saja, angka 2,5 persen adalah pertimbangan yang paling rasional bagi kedua partai ini yang dalam pemilu 2009 lalu memang berada di urutan paling bawah dari 9 partai yang berhasil lolos masuk parlemen.

Berapakah jumlah ambang batas parlemen yang ideal? Jika memang para elite politik berkomitmen pada penyederhanaan sistem kepartaian, maka ambang batas 10 persen patut diusulkan. Dengan besaran seperti itu, jumlah partai yang berhasil masuk parlemen akan berkisar antara 3 sampai 4 partai saja.

Dari 9 partai yang saat ini duduk di parlemen, hanya Demokrat (20,85%), Golkar         (14,45%), dan PDI P (14,03%) yang berpeluang besar lolos ambang batas 10 persen. Itu artinya 6 partai lain— PKS (7,88%), PAN (6,01%), PPP (5,32%), PKB (4,94%), Gerindra (4,46%), dan Hanura (3,77 %)—harus tersisih. Apakah itu artinya senjakala buat partai-partai menengah—partai Islam dan berbasis muslim—dan partai-partai kecil?

Dalam konteks inilah, ambang batas parlemen 10 persen akan mendorong terjadinya fusi alami partai-partai menengah dan kecil. Konsekuensi dari sulitnya memenuhi ambang batas 10 persen akan menggiring partai-partai politik menengah dan kecil untuk menyatu menurut garis ideologi, basis massa, dan kultur politik.

PKS dan PPP yang sama-sama berideologi Islam mau tidak mau akan menjadi satu. PKB dan PAN, yang berbasis muslim, paling mungkin akan melebur ke Demokrat yang lebih dekat sebagai partai nasionalis religius. Gerindra berpeluang besar melebur ke PDIP yang sama-sama memiliki ideologi kerakyatan. Sementara Hanura akan ”dipaksa” kembali ke induknya di Partai Golkar.

Dengan demikian, ke depan akan ada 4 partai besar: Demokrat mewakili nasionalis religius, Golkar wakil dari nasionalis sekular, PDIP mewakili nasionalis kerakyatan, serta fusi PKS dan PPP merepresentasikan partai berideologi Islam. Dengan 4 partai ini, parlemen dan eksekutif akan semakin efektif dan efisien, yang berakibat jauh pada terkonsolidasinya demokrasi kita. Semoga.

Asmar Oemar Saleh
Advokat, Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM, Meneg-HAM RI

No comments:

Post a Comment