Sunday, May 20, 2018

PUISI RUMI

Ada puisi terkenal dari Jalaluddin Rumi; Aku setuju dengannya sampai titik tertentu dan kemudian ketidaksepakatanku dimulai. Pada poin yang sangat penting aku tidak dapat setuju dengannya. Perasaanku mengatakan dia pasti telah menulis puisi itu sebelum dia telah tercerahkan. Dia adalah seorang yang telah tercerahkan, tapi puisi itu menentukan - pasti ditulis sebelum dia menjadi tercerahkan. Puisi itu indah, karena terkadang penyair mengatakan hal-hal seperti yang melihat, tapi ingat mereka hampir seperti yang melihat. Pasti ada beberapa kelemahan, itu tidak bisa sempurna. Engkau mungkin tidak dapat menemukan kekurangannya.

Dengarkan kisah puisi itu.
Jalaluddin mengatakan:
Seorang pecinta datang ke rumah kekasihnya, mengetuk pintu.
Sang kekasih bertanya, "Siapa di sana?"
Dan pecinta berkata, "Aku - kekasihmu."

Sang kekasih mengatakan, "Rumah cinta itu sangat kecil, tidak bisa menampung yang dua, jadi tolong pergilah. Bila engkau sudah tidak ada lagi, maka datanglah lagi. Rumah cinta tidak bisa berisi yang dua, itu hanya bisa berisi yang satu."

Sejauh ini bagus!

Sang kekasih pergi ke hutan, ia menjadi seorang pertapa. Dia bermeditasi, dia berdoa kepada Tuhan. Doanya hanya satu: “Larutkanlah/lenyapkanlah aku!" Begitu banyak bulan dan tahun berlalu, dan suatu hari dia kembali. Dia mengetuk lagi di pintu, dan kekasihnya mengajukan pertanyaan yang sama: "Siapa di sana?"

Dan dia berkata, "Sekarang aku tidak ada lagi, hanya ada dirimu.”
Dan Rumi mengatakan:
Pintu terbuka dan pecinta diterima di rumah cinta.

Di sini aku tidak setuju - ini terlalu dini! Lalu siapakah orang yang mengatakan “Aku tidak ada lagi?" Bahkan untuk mengatakan bahwa “Aku tidak ada lagi," dirimu/adanya dirimu dibutuhkan. Ini sama bodohnya seperti jika engkau pergi dan mengetuk rumah seseorang dan dia membungkuk ke luar jendela dan berkata, "Aku tidak ada di rumah." Itu bertentangan dengan pernyataannya sendiri; Engkau tidak bisa mengatakan itu. Mengatakannya adalah untuk membuktikan bahwa dirimu sebenarnya ada.

Jalaluddin pasti telah menulis puisi ini sebelum dia menjadi tercerahkan. Seharusnya dia memperbaikinya. Tapi orang-orang tercerahkan ini adalah orang-orang gila. Dia mungkin sudah melupakan semua tentang puisi itu, tapi itu perlu dikoreksi. Aku bisa melakukan koreksi itu. Aku ingin mengatakan bahwa sang kekasih mengatakan, "Kembalilah lagi karena engkau masih ada di sana. Pertama engkau secara positif ada di sana, sekarang engkau berada di sana secara negatif, tapi itu tidak membuat perbedaan.“

Si pecinta pergi lagi. Sekarang tidak ada gunanya berdoa karena doa tidak membantu. Sebenarnya, doa tidak dapat membantu: dalam doa dualitas tetap ada. Engkau berdoa kepada seseorang; Tuhan menjadi “Engkau.” Tuhan tidak dapat membantu. Sekarang dia menjadi biksu Zen - bukan lagi seorang pemuja tapi seorang meditator sejati. Dia hanya masuk jauh ke dalam dirinya sendiri, mencari dan mencari. "Di manakah ‘aku’ ini?" Dia mencoba untuk mencari tahu di mana tempatnya. Dan siapa pun yang masuk ke dalam pasti tidak akan menemukannya karena itu tidak ada; itu tidak nyata, itu hanya sebuah kepercayaan. Jadi dia mencari dan mencari dan tidak menemukannya di mana-mana.

Jadi dia kembali, mengetuk pintu. Sang kekasih mengajukan pertanyaan yang sama: 'Siapa di sana?' Dan tidak ada jawaban karena tidak ada yang bisa menjawabnya. Hanya keheningan. Dia bertanya lagi, "Siapa di sana?" Tapi kesunyian semakin dalam. Dia bertanya lagi, "Siapa di sana?" Tapi kesunyian itu mutlak. Dia membuka pintu. Sekarang si pecinta telah datang, tapi dia tidak ada lagi; tidak ada siapa pun disana yang menjawab. Dia harus dibawa ke dalam rumah, dibawa dengan tanganNya. Dia benar-benar telah kosong.

Inilah yang disebut orang-orang Zen sebagai "kekosongan seperti itu.”

~ OSHO, Walking in Zen, Sitting in Zen, #6. All Moons In The One Moon
-----
There is a famous poem of Jalaluddin Rumi; I agree with him up to a point and then my disagreement starts. On the really essential point I cannot agree with him. My feeling is he must have written that poem before he became enlightened. He was an enlightened man, but the poem is decisive – it must have been written before he became enlightened. The poem is beautiful, because sometimes poets say things almost like seers, but remember they are almost like seers. There is bound to be some flaw, it can’t be flawless. You may not be able to find the flaw.

Listen to the story of the poem.

Jalaluddin says:

A lover comes to his beloved’s home, knocks on the door.
The beloved asks, ”Who is there?”
And the lover says, ”I am – your lover.”
The beloved says, ”The house of love is so small, it cannot contain two, so please go back. When you are no more, then come again. The house of love cannot contain two, it can only contain one.”

So far so good!

The lover goes to the forest, he becomes an ascetic. He meditates, he prays to God. His prayer is only one: ”Dissolve me!” Many moons come and go, months pass, years pass, and one day he comes back. He knocks again on the door, and the beloved asks the same question: ”Who is there?”
And he says, ”Now I am no more, only you are.”
And Rumi says:
The doors open and the lover is received in the home of love.

There I don’t agree – it is too early! Then who is the person who is saying ”I am no more”? Even to say that ”I am no more,” you are needed. It is as foolish as if you went and knocked at somebody’s house and he leaned out of the window and said, ”I am not at home.” That is self-contradictory; you cannot say that. To say it is to prove that you are.

Jalaluddin must have written this poem before he became enlightened. He should have corrected it. But these enlightened people are crazy people. He may have forgotten all about the poem, but it needs correction. I can do the correction. I would like to say that the beloved says, ”Go back again because you are still there. First you were positively there, now you are negatively there, but it makes no difference.”

The lover goes back. Now there is no point in praying because prayer has not helped. In fact, prayer cannot help: in prayer the duality persists. You are praying to somebody; God becomes your ”thou.” God cannot help. Now he becomes a Zen monk – not a devotee but a real meditator. He simply goes deep within himself, searching and seeking. ”Where is this’I’?” He tries to find out where it is. And anybody who goes in is bound not to find it because it is not there; it is non-existential, it is only a belief. So he searches and searches and finds it nowhere.

So he comes back, knocks on the door. The beloved asks the same question:’Who is there?” And there is no answer because there is nobody to answer. Just silence. She asks again, ”Who is there?” but the silence deepens. She asks again, ”Who is there?” but the silence is absolute. She opens the door. Now the lover has come, but he is no more; there is nobody to answer. He has to be taken inside the home, taken by the hand. He is completely, utterly empty.

This is what Zen people call ”emptied suchness.”

~ OSHO
Walking in Zen, Sitting in Zen, #6. All Moons In The One Moon

Sumber: OSHO FB

2 comments:

  1. Mestinya ada lanjutannya karena bagaiman ada ketukan kalau tiada sesiapa yang mengetuk. Di dalam ketukan ada diri, karena bukan hanya bunyinya, juga enerji yang menghasilkan bunyi. maka Zen haru kembali lagi ke hutan dan tidak pernah kembali meskipun kembali hanya untuk mengetuk. Untuk apa, karena Zen juga sudah tiada. Mungkin namanya Zen as nothing.

    ReplyDelete
  2. Mestinya ada lanjutannya karena bagaimana ada ketukan kalau tiada sesiapa yang mengetuk. Di dalam ketukan ada diri, karena bukan hanya bunyinya, juga enerji yang menghasilkan bunyi. maka Zen haru kembali lagi ke hutan dan tidak pernah kembali meskipun kembali hanya untuk mengetuk. Untuk apa, karena Zen juga sudah tiada. Mungkin namanya Zen as nothing.

    ReplyDelete