Meski masih samar-samar, wacana bahwa Indonesia bisa dikategorikan sebagai negara gagal (failed state) makin kencang terdengar. Setidaknya, berbagai indikasi aktual di tanah air meneguhkan wacana tersebut
Sebuah studi kemiskinan Bank Dunia bertema Making The New Indonesia Work For The Poor menunjukkan bahwa di negara ini masih terdapat sekitar 39,1 juta orang atau sekitar 17,75 populasi masyarakat yang miskin. Artinya, angka kemiskinan di Indonesia sejak 1998 belum membaik. Jumlah orang miskin periode 1998-2006 berkisar antara 34-5O juta orang.
Tidak adanya kemajuan dalam program kemiskinan tersebut, menurut ekonom Institut for Develompment of Economic And Finance (INDEF), Iman Sugema, setidaknya bisa dilihat dari tiga sisi: income, beban hidup, dan ada tidaknya program antikemiskinan yang dibuat pemerintah.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 24 Mei lalu tentunya membuat jumlah angka kemiskinan makin dinamis. Sesumbar pemerintah bahwa Bantuan Langsung Tunai (BLT) mampu menurunkan jumlah orang miskin, diragukan oleh sejumlah ekonom jika ditinjau dari sisi empirik, efektivitas, dan metodologi. Sebaliknya, kenaikan harga BBM justru diperkirakan akan menaikkan angka kemiskinan.
Untuk angka pengangguran, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penganggur di Indonesia pada Februari 2008 tercatat 9,43 juta orang. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2008 mencapai 8,46% dari 200 juta lebih penduduk Indonesia.
Indikasi keamanan juga mengkhawatirkan. Kekerasan massa terhadap sesama warga negara bisa dengan mudah terjadi, seperti yang terjadi pada massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada 1 Juni lalu di Monas Jakarta.
Di sektor hukum, ditemukannya sejumlah uang (diduga sogokan) di kantor bea dan cukai oleh KPK, dan tertangkapnya jaksa yang diduga menerima suap yang kemudian menyeret para jaksa lainnya yang terindikasi terlibat praktik mafia peradilan, semakin meyakinkan masyarakat bahwa korupsi masih merajalela. Supremasi hukum masih jauh panggang dari api.Dengan berbagai amsal indikasi tersebut, apakah lantas Indonesia bisa disebut sebagai negara gagal?
Indikasi
Mengutip Stoddard (Ethnonationalism and the Failed State: Sources of Civil State Fragmentation in the International Political Economy Emerge, 2000), ia menyebut ada empat kategori negara bangsa: kuat, lemah (weak state), gagal (failed state), dan runtuh (collapsed state). Menurutnya, sebuah negara bangsa dianggap gagal jika tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan baik.
Rotberg (The Nature of Nation-State Failure, 2002) menyebut negara gagal dengan indikasi antara lain berupa keamanan rakyat tidak bisa dijaga, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara terus menipis, ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri.
Salah satu penilaian tentang negara gagal ini pernah dilakukan majalah Foreign Policy, Amerika Serikat, yang menerbitkan Indeks Negara Gagal 2007. Dari 60 negara yang paling gagal, Indonesia di urutan 55 dengan skor 84,4 (skala 81,4-113,7). Indonesia salah satu dari empat negara gagal ASEAN, selain Myanmar, Laos, dan Filipina. Indonesia masih ”kurang gagal” dibandingkan Myanmar (skor 97), Laos (87,2), dan Kamboja (85,7). Filipina (83,2) cuma setingkat lebih baik dari Indonesia, yakni di urutan ke-56. Indeks ini menggunakan 12 indikator instabilitas politik, ekonomi, militer, dan sosial sebagai alat ukurnya.
Saya ingin menunjukkan kegagalan negara ini dari parameter yang paling konkret dan dekat, yaitu dengan melihat tujuan bangsa ini bernegara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945: “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...,”
Dari UUD 1945 di atas, parameter negara gagal bisa disimpulkan dalam empat pokok: keamanan, kesejahteraan, pendidikan, dan politik (baik dalam negeri maupun luar negeri). Maka, jika menilik pada ketidakmampuan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya dan memberikan rasa aman dari aksi premanisme, merajalelanya korupsi yang tak juga teratasi, dan masih tingginya angka anak putus sekolah (dalam catatan Organisasi Buruh Dunia [ILO] mencapai 5 juta anak), yang di antaranya karena biaya sekolah yang tinggi, bisa dikatakan Indonesia tengah memasuki gerbang negara gagal.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Pertama, jika memang jalan-ekonomi yang kini diterapkan menjadi penyebab negara gagal, patut dipikir ulang mengenai jalan alternatif lain yang mungkin ditempuh. Jika kebijakan ekonomi neo-liberal yang, agaknya, menjadi kecenderungan kebijakan ekonomi pemerintahan sekarang, yang naga-naganya makin menjauhkan rakyat dari kemakmuran, maka jalan negara kesejahteraan layak dipertimbangkan. Negara kesejahteraan adalah negara yang secara aktif mengupayakan kesejahteraan rakyat melalui jaminan sosial, kesehatan, ketenagakerjaan, dan pendidikan.
Kedua, memperkuat elemen-elemen fundamental pemerintah. Negara kuat bukan berarti negara harus otoriter, melainkan negara yang menjalankan undang-undang dan menegakkan hukum secara konsisten, tegas, tanpa kompromi dan diskriminasi. Karena dengan jalan inilah, korupsi, premanisme, dan berbagai upaya menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara serta upaya membajak kepentingan umum menjadi kepentingan kelompok dan golongan tertentu dapat dihindari.
Asmar Oemar Saleh, Pendiri Reform Institute
Sebuah studi kemiskinan Bank Dunia bertema Making The New Indonesia Work For The Poor menunjukkan bahwa di negara ini masih terdapat sekitar 39,1 juta orang atau sekitar 17,75 populasi masyarakat yang miskin. Artinya, angka kemiskinan di Indonesia sejak 1998 belum membaik. Jumlah orang miskin periode 1998-2006 berkisar antara 34-5O juta orang.
Tidak adanya kemajuan dalam program kemiskinan tersebut, menurut ekonom Institut for Develompment of Economic And Finance (INDEF), Iman Sugema, setidaknya bisa dilihat dari tiga sisi: income, beban hidup, dan ada tidaknya program antikemiskinan yang dibuat pemerintah.
Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) pada 24 Mei lalu tentunya membuat jumlah angka kemiskinan makin dinamis. Sesumbar pemerintah bahwa Bantuan Langsung Tunai (BLT) mampu menurunkan jumlah orang miskin, diragukan oleh sejumlah ekonom jika ditinjau dari sisi empirik, efektivitas, dan metodologi. Sebaliknya, kenaikan harga BBM justru diperkirakan akan menaikkan angka kemiskinan.
Untuk angka pengangguran, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penganggur di Indonesia pada Februari 2008 tercatat 9,43 juta orang. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka di Indonesia pada Februari 2008 mencapai 8,46% dari 200 juta lebih penduduk Indonesia.
Indikasi keamanan juga mengkhawatirkan. Kekerasan massa terhadap sesama warga negara bisa dengan mudah terjadi, seperti yang terjadi pada massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) pada 1 Juni lalu di Monas Jakarta.
Di sektor hukum, ditemukannya sejumlah uang (diduga sogokan) di kantor bea dan cukai oleh KPK, dan tertangkapnya jaksa yang diduga menerima suap yang kemudian menyeret para jaksa lainnya yang terindikasi terlibat praktik mafia peradilan, semakin meyakinkan masyarakat bahwa korupsi masih merajalela. Supremasi hukum masih jauh panggang dari api.Dengan berbagai amsal indikasi tersebut, apakah lantas Indonesia bisa disebut sebagai negara gagal?
Indikasi
Mengutip Stoddard (Ethnonationalism and the Failed State: Sources of Civil State Fragmentation in the International Political Economy Emerge, 2000), ia menyebut ada empat kategori negara bangsa: kuat, lemah (weak state), gagal (failed state), dan runtuh (collapsed state). Menurutnya, sebuah negara bangsa dianggap gagal jika tidak bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan baik.
Rotberg (The Nature of Nation-State Failure, 2002) menyebut negara gagal dengan indikasi antara lain berupa keamanan rakyat tidak bisa dijaga, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara terus menipis, ketidakberdayaan pemerintah pusat dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan kerawanan terhadap tekanan luar negeri.
Salah satu penilaian tentang negara gagal ini pernah dilakukan majalah Foreign Policy, Amerika Serikat, yang menerbitkan Indeks Negara Gagal 2007. Dari 60 negara yang paling gagal, Indonesia di urutan 55 dengan skor 84,4 (skala 81,4-113,7). Indonesia salah satu dari empat negara gagal ASEAN, selain Myanmar, Laos, dan Filipina. Indonesia masih ”kurang gagal” dibandingkan Myanmar (skor 97), Laos (87,2), dan Kamboja (85,7). Filipina (83,2) cuma setingkat lebih baik dari Indonesia, yakni di urutan ke-56. Indeks ini menggunakan 12 indikator instabilitas politik, ekonomi, militer, dan sosial sebagai alat ukurnya.
Saya ingin menunjukkan kegagalan negara ini dari parameter yang paling konkret dan dekat, yaitu dengan melihat tujuan bangsa ini bernegara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945: “...melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...,”
Dari UUD 1945 di atas, parameter negara gagal bisa disimpulkan dalam empat pokok: keamanan, kesejahteraan, pendidikan, dan politik (baik dalam negeri maupun luar negeri). Maka, jika menilik pada ketidakmampuan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya dan memberikan rasa aman dari aksi premanisme, merajalelanya korupsi yang tak juga teratasi, dan masih tingginya angka anak putus sekolah (dalam catatan Organisasi Buruh Dunia [ILO] mencapai 5 juta anak), yang di antaranya karena biaya sekolah yang tinggi, bisa dikatakan Indonesia tengah memasuki gerbang negara gagal.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Pertama, jika memang jalan-ekonomi yang kini diterapkan menjadi penyebab negara gagal, patut dipikir ulang mengenai jalan alternatif lain yang mungkin ditempuh. Jika kebijakan ekonomi neo-liberal yang, agaknya, menjadi kecenderungan kebijakan ekonomi pemerintahan sekarang, yang naga-naganya makin menjauhkan rakyat dari kemakmuran, maka jalan negara kesejahteraan layak dipertimbangkan. Negara kesejahteraan adalah negara yang secara aktif mengupayakan kesejahteraan rakyat melalui jaminan sosial, kesehatan, ketenagakerjaan, dan pendidikan.
Kedua, memperkuat elemen-elemen fundamental pemerintah. Negara kuat bukan berarti negara harus otoriter, melainkan negara yang menjalankan undang-undang dan menegakkan hukum secara konsisten, tegas, tanpa kompromi dan diskriminasi. Karena dengan jalan inilah, korupsi, premanisme, dan berbagai upaya menghancurkan sendi-sendi kehidupan bernegara serta upaya membajak kepentingan umum menjadi kepentingan kelompok dan golongan tertentu dapat dihindari.
Asmar Oemar Saleh, Pendiri Reform Institute
No comments:
Post a Comment