Beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan penegakan hukum di bidang pemberantasan korupsi memperlihatkan kemajuan berarti. Di pengadilan umum, Indonesia Corruption Watch mencatat bahwa pada rentang 2005-2008 terdapat 1.421 terdakwa dalam kasus korupsi. Sedangkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, selama kurun 2008, menangani 31 perkara korupsi yang semua terdakwanya divonis bersalah. Selain Komisi Pemberantasan Korupsi, ujung tombak pemberantasan korupsi tersebut adalah kehadiran Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK), sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001.
Namun, meski telah memberikan kontribusi besar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, terdapat satu ganjalan yang membuat UU PTPK cacat dan terbuka bagi uji materiil. Cacat dimaksud adalah soal delik pegawai negeri atau penyelenggara negara penerima suap, yang diatur tiga kali: Pasal 5 ayat 2, Pasal 11, dan Pasal 12 huruf (a), dengan ancaman hukuman yang berbeda-beda.
Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 11 UU PTPK memiliki maksud yang sama dan ancaman pidana yang sama, yaitu paling singkat satu tahun penjara dan paling lama lima tahun penjara dan atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak dua ratus lima puluh juta rupiah, bagi penyelenggara negara yang menerima suap.
Lebih jelasnya, rumusan lengkap Pasal 11 berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.”
Akan tetapi, pada Pasal 12 huruf (a), delik tersebut dirumuskan lagi dengan pidana yang sangat jauh lebih berat. Hukumannya adalah penjara seumur hidup atau penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta dan paling banyak satu miliar rupiah, bagi: (a) “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.”
Tampak jelas sekali bagaimana Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 11 berbeda ancaman hukumannya dengan Pasal 12 huruf (a), padahal ketiganya mengatur delik pidana yang sama—yang unsur-unsurnya, sesungguhnya, secara substansial tidak ada perbedaan. Pertanyaannya, apa lantas implikasi pasal-pasal yang berbeda tersebut?
Contoh sederhana adalah jika ada dua orang pejabat negara menerima suap, sangat mungkin terjadi yang satu dikenai Pasal 12 huruf (a) dan yang satu lagi dikenai Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 yang lebih ringan. Maka, terjadilah penerapan hukum yang berbeda: dua terdakwa yang didakwa dengan tindak pidana yang sama dalam keadaan yang sama dikenai peraturan hukum yang berbeda. Penerapan ini melanggar hak asasi manusia tentang prinsip kepastian hukum serta perlakuan yang sama di depan hukum.
Sebagaimana diketahui, jaminan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum telah termaktub dalam bab hak asasi manusia UUD 1945 Pasal 28-D ayat 1: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Juga, diatur pula dalam Pasal 28-I ayat 2: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Implikasi lain, penerapan hukum yang berbeda tersebut juga menyulitkan terdakwa dalam mempersiapkan pembelaannya. Padahal, berdasarkan Pasal 51 huruf (b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdakwa berhak mengetahui dengan jelas apa yang didakwakan terhadapnya.
Selain penyelenggara negara, kekeliruan dalam UU PTPK juga terjadi dalam pasalpasal yang mengatur hakim yang menerima suap. Dalam undang-undang tersebut, hakim yang menerima suap diatur dua kali, yang satu dalam Pasal 6 ayat 2 dan yang lain dalam Pasal 12 huruf (c), dengan ancaman pidana berbeda. Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan: bagaimana jika ada dua hakim menerima suap, hakim A dituntut berdasarkan Pasal 6 ayat 2 yang lebih ringan pidananya, sedangkan hakim B dituntut berdasarkan Pasal 12 huruf (c) yang pidananya lebih berat? Lagi-lagi, prinsip semua orang sama di depan hukum dilanggar.
Lantas, dengan adanya keganjilan dalam UU PTPK tersebut, apa yang bisa dilakukan? Solusi konstitusional yang paling mungkin ditempuh adalah mengajukan uji materiil atas pasal-pasal bermasalah atau kontradiktif tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Di sanalah pasal-pasal tersebut akan diuji apakah melanggar hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 atau tidak.
Bagaimanapun, satu hal penting yang harus disadari adalah bahwa selain asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), prinsip dasar hukum kita mengenal dan mengakui bahwa semua orang berkedudukan sama di depan hukum (equality before the law). Bagi terdakwa, prinsip ini menjadi landasan bagi kedudukan hukum yang sama antara terdakwa dan pejabat pemeriksa atau penegak hukum. Prinsip dasar tersebut menjadi rambu- rambu bagi para penegak hukum, agar tidak menggunakan cara-cara melawan hukum atau bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya. Prinsip itu juga menjadi jaminan agar hak-hak hukum terdakwa tidak lantas sirna meskipun dirinya dikenai dakwaan hukum seberapa pun beratnya.
Penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, mestilah tegak di atas caracara yang menghargai dan mengakui hakhak asasi manusia setiap terdakwa sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di muka hukum, dan bebas diskriminasi adalah prinsip-prinsip dasar yang tak boleh terlanggar dalam penegakan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Asmar Oemar Saleh, Mantan Deputi III Kantor Meneg HAM RI
Namun, meski telah memberikan kontribusi besar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia, terdapat satu ganjalan yang membuat UU PTPK cacat dan terbuka bagi uji materiil. Cacat dimaksud adalah soal delik pegawai negeri atau penyelenggara negara penerima suap, yang diatur tiga kali: Pasal 5 ayat 2, Pasal 11, dan Pasal 12 huruf (a), dengan ancaman hukuman yang berbeda-beda.
Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 11 UU PTPK memiliki maksud yang sama dan ancaman pidana yang sama, yaitu paling singkat satu tahun penjara dan paling lama lima tahun penjara dan atau denda paling sedikit lima puluh juta rupiah dan paling banyak dua ratus lima puluh juta rupiah, bagi penyelenggara negara yang menerima suap.
Lebih jelasnya, rumusan lengkap Pasal 11 berbunyi, “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungannya dengan jabatannya.”
Akan tetapi, pada Pasal 12 huruf (a), delik tersebut dirumuskan lagi dengan pidana yang sangat jauh lebih berat. Hukumannya adalah penjara seumur hidup atau penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun, dan denda paling sedikit dua ratus juta dan paling banyak satu miliar rupiah, bagi: (a) “Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.”
Tampak jelas sekali bagaimana Pasal 5 ayat 2 dan Pasal 11 berbeda ancaman hukumannya dengan Pasal 12 huruf (a), padahal ketiganya mengatur delik pidana yang sama—yang unsur-unsurnya, sesungguhnya, secara substansial tidak ada perbedaan. Pertanyaannya, apa lantas implikasi pasal-pasal yang berbeda tersebut?
Contoh sederhana adalah jika ada dua orang pejabat negara menerima suap, sangat mungkin terjadi yang satu dikenai Pasal 12 huruf (a) dan yang satu lagi dikenai Pasal 5 ayat 2 atau Pasal 11 yang lebih ringan. Maka, terjadilah penerapan hukum yang berbeda: dua terdakwa yang didakwa dengan tindak pidana yang sama dalam keadaan yang sama dikenai peraturan hukum yang berbeda. Penerapan ini melanggar hak asasi manusia tentang prinsip kepastian hukum serta perlakuan yang sama di depan hukum.
Sebagaimana diketahui, jaminan kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum telah termaktub dalam bab hak asasi manusia UUD 1945 Pasal 28-D ayat 1: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Juga, diatur pula dalam Pasal 28-I ayat 2: “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
Implikasi lain, penerapan hukum yang berbeda tersebut juga menyulitkan terdakwa dalam mempersiapkan pembelaannya. Padahal, berdasarkan Pasal 51 huruf (b) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, terdakwa berhak mengetahui dengan jelas apa yang didakwakan terhadapnya.
Selain penyelenggara negara, kekeliruan dalam UU PTPK juga terjadi dalam pasalpasal yang mengatur hakim yang menerima suap. Dalam undang-undang tersebut, hakim yang menerima suap diatur dua kali, yang satu dalam Pasal 6 ayat 2 dan yang lain dalam Pasal 12 huruf (c), dengan ancaman pidana berbeda. Pertanyaan yang sama juga bisa diajukan: bagaimana jika ada dua hakim menerima suap, hakim A dituntut berdasarkan Pasal 6 ayat 2 yang lebih ringan pidananya, sedangkan hakim B dituntut berdasarkan Pasal 12 huruf (c) yang pidananya lebih berat? Lagi-lagi, prinsip semua orang sama di depan hukum dilanggar.
Lantas, dengan adanya keganjilan dalam UU PTPK tersebut, apa yang bisa dilakukan? Solusi konstitusional yang paling mungkin ditempuh adalah mengajukan uji materiil atas pasal-pasal bermasalah atau kontradiktif tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Di sanalah pasal-pasal tersebut akan diuji apakah melanggar hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh UUD 1945 atau tidak.
Bagaimanapun, satu hal penting yang harus disadari adalah bahwa selain asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), prinsip dasar hukum kita mengenal dan mengakui bahwa semua orang berkedudukan sama di depan hukum (equality before the law). Bagi terdakwa, prinsip ini menjadi landasan bagi kedudukan hukum yang sama antara terdakwa dan pejabat pemeriksa atau penegak hukum. Prinsip dasar tersebut menjadi rambu- rambu bagi para penegak hukum, agar tidak menggunakan cara-cara melawan hukum atau bertentangan dengan hak-hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya. Prinsip itu juga menjadi jaminan agar hak-hak hukum terdakwa tidak lantas sirna meskipun dirinya dikenai dakwaan hukum seberapa pun beratnya.
Penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi, mestilah tegak di atas caracara yang menghargai dan mengakui hakhak asasi manusia setiap terdakwa sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di muka hukum, dan bebas diskriminasi adalah prinsip-prinsip dasar yang tak boleh terlanggar dalam penegakan hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Asmar Oemar Saleh, Mantan Deputi III Kantor Meneg HAM RI
No comments:
Post a Comment