Bursa calon wakil presiden (cawapres) memanas. Partai Golkar yang semula memberi isyarat berkoalisi dengan Partai Demokrat, secara sepihak membatalkan niatnya. Tentu saja, keputusan itu membawa angin segar bagi partai lain yang telah memberi sinyal koalisi dengan Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Berharap mendapat “pinangan” dari Susilo Bambang Yudhoyono, calon presiden (capres) dari Demokrat, adalah wajar. Maklum, berdasarkan jajak pendapat sejumlah lembaga survei politik, Yudhoyono adalah capres terunggul dibanding para pesaingnya dari partai lain. Survei Reform Institute pada Maret 2009, misalnya, menemukan bahwa elektabilitas Yudhoyono berada pada angka 46,49 persen. Urutan berikutnya, dengan selisih yang cukup jauh, adalah Megawati 13,06 persen, Prabowo 6,75 persen, Sri Sultan Hamengkubuwono X 4,53 persen, Jusuf Kalla 4,29 persen, dan Hidayat Nurwahid 3,85 persen.
Tentu saja, Yudhoyono tak hendak asal pilih calon wakilnya. Perjalanan menakhodai roda pemerintahan selama lima tahun ke depan, jika benar-benar terpilih kembali, menuntut pasangan wapres yang bisa berjalan seiring-seirama serta bebas dari gesekan yang dapat memicu keguncangan di tubuh pemerintahan. Pengalaman lima tahun lampau memberi pelajaran berharga bahwa kekompakan menjadi kunci utama stabilitas, dan “matahari kembar” di pemerintahan sungguh tak baik dan tak mengenakkan bagi seorang kepala negara.
Berdasarkan alasan-alasan inilah, Yudhoyono akhirnya mengumumkan lima kriteria calon yang bakal diajak bersanding dengannya sebagai cawapres: memiliki integritas, kepribadian, dan karakter moral; memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai pembantu presiden sesuai dengan UUD 1945; memiliki loyalitas yang penuh kepada pemerintah dan bebas dari konflik kepentingan; memiliki akseptabilitas dalam arti diterima di hati rakyat; serta dapat meningkatkan kekokohan koalisi yang akan dibangun.
Pendeknya, kriteria tersebut mensyaratkan cawapres yang kuat dan menguatkan pemerintahan, serta tak membawa benih masalah bagi presiden dalam menjalankan tugas kepresidenannya. Lantas, berdasarkan lima kriteria yang diajukan Yudhoyono tersebut, siapakah nama yang paling layak menjadi cawapres untuk mendampinginya dalam pemilihan presiden (pilpres) Juli mendatang?
Hasil survei Reform Institute pada Maret 2009 memperlihatkan sejumlah nama yang memiliki angka dukungan cukup signifikan untuk menjadi wapres. Nama-nama yang mendapat dukungan di atas 2% adalah: Sri Sultan (16,24%), Jusuf Kalla (16,16), Hidayat Nurwahid (11,59%), Prabowo (9,81%), Wiranto (4,17%), Akbar Tanjung (3,33%), Adhyaksa Dault (3,29%), dan Sutrisno Bachir (2,89%).
Berdasarkan hasil survei tersebut, serta melihat peta koalisi Partai Demokrat—dengan tidak memasukkan tokoh dari PDIP, Gerindra, dan Hanura—maka nama-nama yang potensial untuk menjadi cawapres adalah: Jusuf Kalla, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Hidayat Nurwahid, Akbar Tanjung, Adhyaksa Dault, dan Sutrisno Bachir.
Di luar nama-nama tersebut, terdapat juga nama-nama lain di luar survei yang kerap disebut media memiliki kans untuk menjadi cawapres, yaitu Sri Mulyani Indrawati dan Siti Fadilah Supari mewakili non-partai atau teknokrat, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh dari Golkar, dan Hatta Rajasa dari PAN.
Peluang Golkar
Lalu, kemanakah pinangan Yudhoyono itu akan bermuara? Inilah yang ditunggu sejumlah partai koalisi dengan harap-harap cemas. Sebab, meski telah mengumumkan kriteria, Yudhoyono belum memutuskan partai mana yang kadernya akan dipilih untuk menjadi cawapres. Pada titik inilah, kalkulasi politik akan bermain. Perhitungan akan dibuat berdasarkan partai mana yang bisa memberikan stabilitas pemerintahan paling maksimal Maka, hasil perolehan suara pada pemilu 9 April lalu menjadi penting. Berdasarkan hasil quick count LSI, Golkar memperoleh 13,9 persen, PKS 8 persen, dan PAN 5,8 persen. Angka-angka tersebut tak berselisih jauh dengan hasil penghitungan suara sementara di KPU.
Golkar, dengan perolehan suara terbanyak, tentunya memiliki peluang lebih besar dibanding PKS dan PAN. Tak heran bila Demokrat berharap Golkar masuk dalam koalisi. Bisa dimengerti pula bila dinamika internal partai ini cukup kentara, dengan terbentuknya dua kubu yang paling bersaing: blok Jusuf Kalla dan blok Akbar Tanjung.
Kedua tokoh ini memang memiliki kapasitas yang tak jauh berbeda: berpengalaman secara organisatoris dan sebagai politisi (masing-masing pernah dan sedang menjadi Ketua Umum Partai Golkar), berpengalaman di birokrasi pemerintahan, keduanya sipil dan bisa dikategorikan Muslim saleh, serta berasal dari luar Jawa. Bedanya, jika Kalla adalah politisi-pengusaha, Akbar adalah politisi-teknokrat.
Namun, meski dinilai mampu mengimbangi Yudhoyono dalam membuat keputusan yang cepat, tanggap, dan tegas, Kalla kerap melakukan manuver yang cukup berbahaya bagi keharmonisan hubungan presiden dan wakil presiden. Kiprahnya di pemerintahan disebut-sebut sebagai “super-wakil presiden” atau “matahari kembar”. Maka, Kalla terganjal oleh kriteria loyalitas. Sementara Akbar Tanjung pernah tersangkut kasus dana Badan Urusan Logistik (Bulog), meski kemudian Mahkamah Agung membebaskannya melalui putusan kasasi. Maka, Akbar terganjal pada kriteria integritas atau rekam jejak yang bersih dari kasus hukum. Tentunya, Yudhoyono akan mempertimbangkan mana yang paling prioritas dari kriteria yang diajukannya, serta mana yang bisa dinegosiasikan dan ditoleransi.
Pecah kongsi
Namun, setelah muncul pernyataan bahwa Golkar “pecah kongsi” alias keluar dari koalisi, apakah peluang cawapres itu akan sirna? Naga-naganya, skenario pilpres 2004 akan terulang. Golkar mungkin akan membentuk blok baru agar bisa mencalonkan kadernya menjadi presiden. Tapi, pada saat bersamaan, dia menaruh salah satu kadernya sebagai pendamping Yudhoyono.
Politik dua kaki ini akan membuat Golkar tak merasa kehilangan muka karena dianggap mengemis kursi wapres, dan dituduh tidak berani mencalonkan kadernya menjadi presiden. Namun, Golkar juga tak kehilangan sama sekali jika kemudian kalah bersaing dalam pilpres mendatang. Sementara bagi Demokrat, merangkul Golkar adalah jaminan stabilitas menghadapi koalisi segitiga emas (golden triangle) PDIP, Gerindra, dan Hanura.
Atau, meski kemungkinannya kecil, bisa saja Yudhoyono memilih calon di luar Golkar. Tak ada yang bisa memastikan kemanakah bursa cawapres ini akan bermuara. Arahnya memang sudah mulai terlihat jelas. Tapi, politik tak melulu kalkulasi matematis. Politik adalah juga seni, yang kadang penuh kejutan dan kebetulan. Maka, kita tunggu saja.
Asmar Oemar Saleh
Advokat, Wakil Direktur Eksekutif Reform Institute
Berharap mendapat “pinangan” dari Susilo Bambang Yudhoyono, calon presiden (capres) dari Demokrat, adalah wajar. Maklum, berdasarkan jajak pendapat sejumlah lembaga survei politik, Yudhoyono adalah capres terunggul dibanding para pesaingnya dari partai lain. Survei Reform Institute pada Maret 2009, misalnya, menemukan bahwa elektabilitas Yudhoyono berada pada angka 46,49 persen. Urutan berikutnya, dengan selisih yang cukup jauh, adalah Megawati 13,06 persen, Prabowo 6,75 persen, Sri Sultan Hamengkubuwono X 4,53 persen, Jusuf Kalla 4,29 persen, dan Hidayat Nurwahid 3,85 persen.
Tentu saja, Yudhoyono tak hendak asal pilih calon wakilnya. Perjalanan menakhodai roda pemerintahan selama lima tahun ke depan, jika benar-benar terpilih kembali, menuntut pasangan wapres yang bisa berjalan seiring-seirama serta bebas dari gesekan yang dapat memicu keguncangan di tubuh pemerintahan. Pengalaman lima tahun lampau memberi pelajaran berharga bahwa kekompakan menjadi kunci utama stabilitas, dan “matahari kembar” di pemerintahan sungguh tak baik dan tak mengenakkan bagi seorang kepala negara.
Berdasarkan alasan-alasan inilah, Yudhoyono akhirnya mengumumkan lima kriteria calon yang bakal diajak bersanding dengannya sebagai cawapres: memiliki integritas, kepribadian, dan karakter moral; memiliki kapasitas dan kapabilitas sebagai pembantu presiden sesuai dengan UUD 1945; memiliki loyalitas yang penuh kepada pemerintah dan bebas dari konflik kepentingan; memiliki akseptabilitas dalam arti diterima di hati rakyat; serta dapat meningkatkan kekokohan koalisi yang akan dibangun.
Pendeknya, kriteria tersebut mensyaratkan cawapres yang kuat dan menguatkan pemerintahan, serta tak membawa benih masalah bagi presiden dalam menjalankan tugas kepresidenannya. Lantas, berdasarkan lima kriteria yang diajukan Yudhoyono tersebut, siapakah nama yang paling layak menjadi cawapres untuk mendampinginya dalam pemilihan presiden (pilpres) Juli mendatang?
Hasil survei Reform Institute pada Maret 2009 memperlihatkan sejumlah nama yang memiliki angka dukungan cukup signifikan untuk menjadi wapres. Nama-nama yang mendapat dukungan di atas 2% adalah: Sri Sultan (16,24%), Jusuf Kalla (16,16), Hidayat Nurwahid (11,59%), Prabowo (9,81%), Wiranto (4,17%), Akbar Tanjung (3,33%), Adhyaksa Dault (3,29%), dan Sutrisno Bachir (2,89%).
Berdasarkan hasil survei tersebut, serta melihat peta koalisi Partai Demokrat—dengan tidak memasukkan tokoh dari PDIP, Gerindra, dan Hanura—maka nama-nama yang potensial untuk menjadi cawapres adalah: Jusuf Kalla, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Hidayat Nurwahid, Akbar Tanjung, Adhyaksa Dault, dan Sutrisno Bachir.
Di luar nama-nama tersebut, terdapat juga nama-nama lain di luar survei yang kerap disebut media memiliki kans untuk menjadi cawapres, yaitu Sri Mulyani Indrawati dan Siti Fadilah Supari mewakili non-partai atau teknokrat, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh dari Golkar, dan Hatta Rajasa dari PAN.
Peluang Golkar
Lalu, kemanakah pinangan Yudhoyono itu akan bermuara? Inilah yang ditunggu sejumlah partai koalisi dengan harap-harap cemas. Sebab, meski telah mengumumkan kriteria, Yudhoyono belum memutuskan partai mana yang kadernya akan dipilih untuk menjadi cawapres. Pada titik inilah, kalkulasi politik akan bermain. Perhitungan akan dibuat berdasarkan partai mana yang bisa memberikan stabilitas pemerintahan paling maksimal Maka, hasil perolehan suara pada pemilu 9 April lalu menjadi penting. Berdasarkan hasil quick count LSI, Golkar memperoleh 13,9 persen, PKS 8 persen, dan PAN 5,8 persen. Angka-angka tersebut tak berselisih jauh dengan hasil penghitungan suara sementara di KPU.
Golkar, dengan perolehan suara terbanyak, tentunya memiliki peluang lebih besar dibanding PKS dan PAN. Tak heran bila Demokrat berharap Golkar masuk dalam koalisi. Bisa dimengerti pula bila dinamika internal partai ini cukup kentara, dengan terbentuknya dua kubu yang paling bersaing: blok Jusuf Kalla dan blok Akbar Tanjung.
Kedua tokoh ini memang memiliki kapasitas yang tak jauh berbeda: berpengalaman secara organisatoris dan sebagai politisi (masing-masing pernah dan sedang menjadi Ketua Umum Partai Golkar), berpengalaman di birokrasi pemerintahan, keduanya sipil dan bisa dikategorikan Muslim saleh, serta berasal dari luar Jawa. Bedanya, jika Kalla adalah politisi-pengusaha, Akbar adalah politisi-teknokrat.
Namun, meski dinilai mampu mengimbangi Yudhoyono dalam membuat keputusan yang cepat, tanggap, dan tegas, Kalla kerap melakukan manuver yang cukup berbahaya bagi keharmonisan hubungan presiden dan wakil presiden. Kiprahnya di pemerintahan disebut-sebut sebagai “super-wakil presiden” atau “matahari kembar”. Maka, Kalla terganjal oleh kriteria loyalitas. Sementara Akbar Tanjung pernah tersangkut kasus dana Badan Urusan Logistik (Bulog), meski kemudian Mahkamah Agung membebaskannya melalui putusan kasasi. Maka, Akbar terganjal pada kriteria integritas atau rekam jejak yang bersih dari kasus hukum. Tentunya, Yudhoyono akan mempertimbangkan mana yang paling prioritas dari kriteria yang diajukannya, serta mana yang bisa dinegosiasikan dan ditoleransi.
Pecah kongsi
Namun, setelah muncul pernyataan bahwa Golkar “pecah kongsi” alias keluar dari koalisi, apakah peluang cawapres itu akan sirna? Naga-naganya, skenario pilpres 2004 akan terulang. Golkar mungkin akan membentuk blok baru agar bisa mencalonkan kadernya menjadi presiden. Tapi, pada saat bersamaan, dia menaruh salah satu kadernya sebagai pendamping Yudhoyono.
Politik dua kaki ini akan membuat Golkar tak merasa kehilangan muka karena dianggap mengemis kursi wapres, dan dituduh tidak berani mencalonkan kadernya menjadi presiden. Namun, Golkar juga tak kehilangan sama sekali jika kemudian kalah bersaing dalam pilpres mendatang. Sementara bagi Demokrat, merangkul Golkar adalah jaminan stabilitas menghadapi koalisi segitiga emas (golden triangle) PDIP, Gerindra, dan Hanura.
Atau, meski kemungkinannya kecil, bisa saja Yudhoyono memilih calon di luar Golkar. Tak ada yang bisa memastikan kemanakah bursa cawapres ini akan bermuara. Arahnya memang sudah mulai terlihat jelas. Tapi, politik tak melulu kalkulasi matematis. Politik adalah juga seni, yang kadang penuh kejutan dan kebetulan. Maka, kita tunggu saja.
Asmar Oemar Saleh
Advokat, Wakil Direktur Eksekutif Reform Institute
No comments:
Post a Comment