IRONIS dan ganjil. Seharusnya reformasi mampu menyejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Tapi sejak reformasi bergulir empat tahun lebih silam, buah reformasi itu justru dinikmati oleh segelintir advokat, pengacara, dan penegak hukum lainnya. Berbagai kasus pidana seperti korupsi yang dulu tertimbun rapat-rapat di balik meja kekuasaan, kini banyak yang dibongkar. Akibatnya banyak (mantan) pejabat, para pengusaha dan kroni kekuasaan masa Orba, termasuk anak-anak dan mantan Presiden Soeharto, yang terjerat hukum. Dan para advokat seolah menemukan “musim panen”.
Tragisnya, diangkatnya suatu kasus tak serta merta diiringi dengan keberpihakan sebagian advokat pada kebenaran dan keadilan—dua hal yang menjadi tuntutan gerakan reformasi. Sering kali pengacara atau advokat itu terjebak pada konflik kepentingan dan mengalami kebingungan moral (moral confusion). Ini terjadi ketika yang diperjuangkan mereka bukan kepentingan hukum kliennya, tapi lebih pada kepentingan pribadi yang bersangkutan (kesalahannya). Padahal fungsi lawyer sejatinya adalah meluruskan jalannya perkara dalam rangka menemukan kebenaran.
Lebih tragis lagi, dalam memperjuangkan kepentingan klien (baca: memenangkan perkara) tersebut, seorang advokat atau pengacara tak segan-segan menabrak norma-norma hukum dan moral masyarakat, menghalalkan segala cara dan menendang kode etik profesi.
Karena itu seiring dengan membuncahnya fee yang diterima sebagian pengacara atau advokat (suatu hal yang sebenarnya sah asal tetap berpijak pada etika profesi), pada saat yang sama sinisme publik terhadap profesi pengacara, advokat atau aparat penegak hukum lainnya juga mencapai titik yang mencemaskan. Ada kesan kuat yang berkembang dalam masyarakat—dan kini kesan itu telah menjadi “vonis” buat mereka, bahwa sebagian pengacara atau advokat main mata dengan hakim, jaksa atau polisi.
Yang menarik, kesan serupa dirasakan pula oleh rekan-rekan mereka yang seprofesi. Jika hari-hari ini publik disentakkan oleh kabar yang menyatakan bahwa ada pengacara yang diduga melakukan suap (seperti dituduhkan kepada ES, advokat dan pengacara Tommy Soeharto dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita), memberikan kesaksian palsu, atau dugaan pembelokan fakta-fakta hukum yang sebenarnya, maka itu sekadar petunjuk bahwa pertama profesi pengacara sangat rawan terhadap tipu daya, main mata, kongkalingkong, dan semacamnya. Kedua, pengacara atau aparat penegak hukum lainnya adalah manusia biasa yang gampang silau terhadap uang.
Ini berarti meski posisi dan tugas mereka amat mulia, yaitu memperjuangkan keadilan dan kebenaran, sebenarnya mereka adalah manusia biasa, dan bukan malaikat yang tak punya nafsu dan karena itu tak tergoda rupiah. Oleh karena itu, publik dan kekuatan civil society lainnya seperti media massa dan aktivis LSM yang concern dengan soal ini, harus terus mengawasi dan meneriakinya jika mereka (diduga) terlibat persekongkolan jahat dengan aparat penegak hukum lain. Peran pers dalam mengungkap dan membongkar skandal busuk para aparat hukum—seperti yang dengan gencar dilakukan media massa kita—kian menemukan signifikansinya.
Hal ini perlu dan harus dilakukan karena sesungguhnya seorang aparat penegak hukum memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk membuat putih hal yang hitam dan memutihkan hal yang hitam. Dengan modal kepandaian bersilat lidah, mengutak-atik hukum, dan lebih penting dari semua itu, ketegaan mengingkari nurani dan rasa keadilan publik, mereka berpotensi mengubah wajah hukum menjadi bopeng dan kusam. Ungkapan bijak Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup, semakin meniscayakan adanya kontrol yang efektif dari publik dan dari dalam diri mereka sendiri. Sebab jika tak dikontrol maka kekuasaan mereka akan bertambah besar, absolut, dan korupsi mereka akan kian membesar dan absolut pula.
Kesan negatif publik terhadap profesi pengacara atau advokat tersebut sangat bertolak belakang dengan citra advokat atau jabatan hukum (law profession) di negara Romawi dulu. Ketika itu jabatan hukum (law profession) sangat dihormati dan dijunjung tinggi oleh publik. Bahkan untuk bisa menduduki jabatan tertinggi, yaitu consul atau presiden dalam sistem negara kita, orang harus meraihnya melalui dua jalur. Pertama jalur militer melalui jasa-jasa peperangan di daerah-daerah atau jalur hukum melalui jabatan-jabatan advokat quaestor (bendahara negara), aedilis (commisioner of publik works), praetor (hakim) dan akhirnya consul (Mr. Soemarno P Wirjanto, 1979). Bangsa Romawi memang menyumbangkan ilmu hukum kepada peradaban dan kebudayan dunia. Seorang sarjana hukum, James Bryce, bahkan menyatakan, Law is Rome’s great gift to the world. Itu dibuktikan pula oleh dedikasi, penghormatan, penghayatan dan keberpihakan para penegak hukum terhadap keadilan dan kebenaran. Bahkan banyak pemimpin dunia yang lahir dari profesi ini. Misalnya Lee Kuan Yew (Singapura), Tonny Blair (Inggris), Bill Clinton dan beberapa presiden Amerika lainnya.
POTRET buram dan citra buruk pengacara atau advokat di negeri kita di atas sebenarnya bisa diminimalisasi jika pertama, calon lulusan sarjana hukum kita benar-benar menghayati, memahami dan menerapkan etika profesi yang dipelajari di Fakultas Hukum. Tanpa penghayatan mendalam terhadap etika profesi ini, sulit diharapkan bisa bertindak dan berpraktik secara benar. Kedua, sebelum diangkat sebagai advokat atau pengacara, diadakan penilaian, penelitian, dan screening oleh sebuah komisi khusus. Di negara-negara lain, pengangkatan tersebut dilakukan oleh sebuah komisi dari integrated bar.
Ketiga, dibentuk suatu Inquiry Committee untuk menyelidiki anggota-anggota yang diduga melakukan praktik-praktik yang melanggar kode etik. Komite ini hanya bertugas untuk menemukan fakta saja (fact finding) dan tidak menilai atau memecat. Komite ini melaporkan fakta-fakta yang ditemukan ke Bar Council (semacam Ikadin, atau AAI). Bar Council inilah yang nantinya akan menentukan apakah ada pelanggaran kode etik atau tidak. Keempat, sanksi yang tegas bagi para anggota yang melanggar kode etik profesi. Jika mereka melakukan pelanggaran berat seperti mafia peradilan, atau tindakan korupsi lainnya (yang tentunya harus dibuktikan di pengadilan), maka harus dipecat, disbarred, secara tidak hormat (disgraced). Dulu, wakil presiden Amerika Serikat Spiro Agnew dan semua asisten Presiden Nixon yang terlibat skandal Watergate, dipecat dan tak boleh berpraktik hukum lagi (Mr. Soemarno P Wirjanto, 1979). Kelima, untuk itulah perlu dibentuk Disciplinary Committee yang terdiri dari pelbagai kalangan—ahli hukum, advokat, akademisi, dan LSM. Tugasnya meneliti ada tidaknya kasus prima facie. Disciplinary Committee ini bersifat ad hoc.
Keenam, organisasi profesi bagi para advokat idealnya cukup satu saja. Meski begitu, organisasi ini harus kredibel, dipimpin oleh orang yang benar-benar memiliki integritas, moralitas, dan wawasan atau pengetahuan hukum yang tinggi, dan tak punya track record buruk di masa lalu. Bar Association yang tunggal ini sebenarnya hal yang lazim di negara-negara lain di mana penegakan hukumnya telah berjalan baik. Ini untuk menjaga agar seorang advokat tak menghindar atau keluar dari suatu organisasi profesi dan pindah ke organisasi profesi lainnya jika sedang menghadapi masalah yang berkenaan dengan kode etik. Ketujuh, untuk menyukseskan agenda perombakan dunia hukum ini, harus dibuat pula Komisi Yudisial untuk memonitor, menilai, dan mempertimbangkan putusan-putusan peradilan yang melawan akal sehat dan rasa keadilan publik. Usulan ini sebenarnya pernah dilontarkan oleh Frans Hendra Winata beberapa waktu lalu. Kedelapan, segera diundangkan RUU tentang Advokat yang hingga kini masih dalam pembahasan DPR dan pemerintah. UU ini sekaligus untuk mengetahui fungsi, hak, kewajiban, dan hakikat keberadaan advokat.
Tanpa melakukan berbagai perombakan seperti di atas, maka reformasi hanya akan menjadi lahan basah bagi para advokat, pengacara, jaksa, atau hakim saja. Sementara di sisi lain, wajah hukum dan peradilan kita tetap saja penuh coreng moreng dan menyemburkan bau busuk seperti got mampat. Karena itulah, para advokat, pengacara dan aparat penegak hukum lainnya hendaknya bersedia untuk berintrospeksi, lebih mawas diri dan mau mendengar suara-suara publik yang kini dengan sangat tajam menyorot kinerja dan moralitas mereka.
Asmar Oemar Saleh, Advokat/Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM Kantor Menteri Negara Urusan HAM.
Lebih tragis lagi, dalam memperjuangkan kepentingan klien (baca: memenangkan perkara) tersebut, seorang advokat atau pengacara tak segan-segan menabrak norma-norma hukum dan moral masyarakat, menghalalkan segala cara dan menendang kode etik profesi.
Karena itu seiring dengan membuncahnya fee yang diterima sebagian pengacara atau advokat (suatu hal yang sebenarnya sah asal tetap berpijak pada etika profesi), pada saat yang sama sinisme publik terhadap profesi pengacara, advokat atau aparat penegak hukum lainnya juga mencapai titik yang mencemaskan. Ada kesan kuat yang berkembang dalam masyarakat—dan kini kesan itu telah menjadi “vonis” buat mereka, bahwa sebagian pengacara atau advokat main mata dengan hakim, jaksa atau polisi.
Yang menarik, kesan serupa dirasakan pula oleh rekan-rekan mereka yang seprofesi. Jika hari-hari ini publik disentakkan oleh kabar yang menyatakan bahwa ada pengacara yang diduga melakukan suap (seperti dituduhkan kepada ES, advokat dan pengacara Tommy Soeharto dalam kasus pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita), memberikan kesaksian palsu, atau dugaan pembelokan fakta-fakta hukum yang sebenarnya, maka itu sekadar petunjuk bahwa pertama profesi pengacara sangat rawan terhadap tipu daya, main mata, kongkalingkong, dan semacamnya. Kedua, pengacara atau aparat penegak hukum lainnya adalah manusia biasa yang gampang silau terhadap uang.
Ini berarti meski posisi dan tugas mereka amat mulia, yaitu memperjuangkan keadilan dan kebenaran, sebenarnya mereka adalah manusia biasa, dan bukan malaikat yang tak punya nafsu dan karena itu tak tergoda rupiah. Oleh karena itu, publik dan kekuatan civil society lainnya seperti media massa dan aktivis LSM yang concern dengan soal ini, harus terus mengawasi dan meneriakinya jika mereka (diduga) terlibat persekongkolan jahat dengan aparat penegak hukum lain. Peran pers dalam mengungkap dan membongkar skandal busuk para aparat hukum—seperti yang dengan gencar dilakukan media massa kita—kian menemukan signifikansinya.
Hal ini perlu dan harus dilakukan karena sesungguhnya seorang aparat penegak hukum memiliki kewenangan dan kekuasaan untuk membuat putih hal yang hitam dan memutihkan hal yang hitam. Dengan modal kepandaian bersilat lidah, mengutak-atik hukum, dan lebih penting dari semua itu, ketegaan mengingkari nurani dan rasa keadilan publik, mereka berpotensi mengubah wajah hukum menjadi bopeng dan kusam. Ungkapan bijak Lord Acton bahwa kekuasaan cenderung korup, semakin meniscayakan adanya kontrol yang efektif dari publik dan dari dalam diri mereka sendiri. Sebab jika tak dikontrol maka kekuasaan mereka akan bertambah besar, absolut, dan korupsi mereka akan kian membesar dan absolut pula.
Kesan negatif publik terhadap profesi pengacara atau advokat tersebut sangat bertolak belakang dengan citra advokat atau jabatan hukum (law profession) di negara Romawi dulu. Ketika itu jabatan hukum (law profession) sangat dihormati dan dijunjung tinggi oleh publik. Bahkan untuk bisa menduduki jabatan tertinggi, yaitu consul atau presiden dalam sistem negara kita, orang harus meraihnya melalui dua jalur. Pertama jalur militer melalui jasa-jasa peperangan di daerah-daerah atau jalur hukum melalui jabatan-jabatan advokat quaestor (bendahara negara), aedilis (commisioner of publik works), praetor (hakim) dan akhirnya consul (Mr. Soemarno P Wirjanto, 1979). Bangsa Romawi memang menyumbangkan ilmu hukum kepada peradaban dan kebudayan dunia. Seorang sarjana hukum, James Bryce, bahkan menyatakan, Law is Rome’s great gift to the world. Itu dibuktikan pula oleh dedikasi, penghormatan, penghayatan dan keberpihakan para penegak hukum terhadap keadilan dan kebenaran. Bahkan banyak pemimpin dunia yang lahir dari profesi ini. Misalnya Lee Kuan Yew (Singapura), Tonny Blair (Inggris), Bill Clinton dan beberapa presiden Amerika lainnya.
POTRET buram dan citra buruk pengacara atau advokat di negeri kita di atas sebenarnya bisa diminimalisasi jika pertama, calon lulusan sarjana hukum kita benar-benar menghayati, memahami dan menerapkan etika profesi yang dipelajari di Fakultas Hukum. Tanpa penghayatan mendalam terhadap etika profesi ini, sulit diharapkan bisa bertindak dan berpraktik secara benar. Kedua, sebelum diangkat sebagai advokat atau pengacara, diadakan penilaian, penelitian, dan screening oleh sebuah komisi khusus. Di negara-negara lain, pengangkatan tersebut dilakukan oleh sebuah komisi dari integrated bar.
Ketiga, dibentuk suatu Inquiry Committee untuk menyelidiki anggota-anggota yang diduga melakukan praktik-praktik yang melanggar kode etik. Komite ini hanya bertugas untuk menemukan fakta saja (fact finding) dan tidak menilai atau memecat. Komite ini melaporkan fakta-fakta yang ditemukan ke Bar Council (semacam Ikadin, atau AAI). Bar Council inilah yang nantinya akan menentukan apakah ada pelanggaran kode etik atau tidak. Keempat, sanksi yang tegas bagi para anggota yang melanggar kode etik profesi. Jika mereka melakukan pelanggaran berat seperti mafia peradilan, atau tindakan korupsi lainnya (yang tentunya harus dibuktikan di pengadilan), maka harus dipecat, disbarred, secara tidak hormat (disgraced). Dulu, wakil presiden Amerika Serikat Spiro Agnew dan semua asisten Presiden Nixon yang terlibat skandal Watergate, dipecat dan tak boleh berpraktik hukum lagi (Mr. Soemarno P Wirjanto, 1979). Kelima, untuk itulah perlu dibentuk Disciplinary Committee yang terdiri dari pelbagai kalangan—ahli hukum, advokat, akademisi, dan LSM. Tugasnya meneliti ada tidaknya kasus prima facie. Disciplinary Committee ini bersifat ad hoc.
Keenam, organisasi profesi bagi para advokat idealnya cukup satu saja. Meski begitu, organisasi ini harus kredibel, dipimpin oleh orang yang benar-benar memiliki integritas, moralitas, dan wawasan atau pengetahuan hukum yang tinggi, dan tak punya track record buruk di masa lalu. Bar Association yang tunggal ini sebenarnya hal yang lazim di negara-negara lain di mana penegakan hukumnya telah berjalan baik. Ini untuk menjaga agar seorang advokat tak menghindar atau keluar dari suatu organisasi profesi dan pindah ke organisasi profesi lainnya jika sedang menghadapi masalah yang berkenaan dengan kode etik. Ketujuh, untuk menyukseskan agenda perombakan dunia hukum ini, harus dibuat pula Komisi Yudisial untuk memonitor, menilai, dan mempertimbangkan putusan-putusan peradilan yang melawan akal sehat dan rasa keadilan publik. Usulan ini sebenarnya pernah dilontarkan oleh Frans Hendra Winata beberapa waktu lalu. Kedelapan, segera diundangkan RUU tentang Advokat yang hingga kini masih dalam pembahasan DPR dan pemerintah. UU ini sekaligus untuk mengetahui fungsi, hak, kewajiban, dan hakikat keberadaan advokat.
Tanpa melakukan berbagai perombakan seperti di atas, maka reformasi hanya akan menjadi lahan basah bagi para advokat, pengacara, jaksa, atau hakim saja. Sementara di sisi lain, wajah hukum dan peradilan kita tetap saja penuh coreng moreng dan menyemburkan bau busuk seperti got mampat. Karena itulah, para advokat, pengacara dan aparat penegak hukum lainnya hendaknya bersedia untuk berintrospeksi, lebih mawas diri dan mau mendengar suara-suara publik yang kini dengan sangat tajam menyorot kinerja dan moralitas mereka.
Asmar Oemar Saleh, Advokat/Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM Kantor Menteri Negara Urusan HAM.
No comments:
Post a Comment