SEBAGAI negara yang menyandang gelar buruk dalam hal korupsi, pemerintahan SBY-MJK ke depan ditantang untuk menggerus gelar itu dan mentransformasikan Indonesia menuju negara-bangsa yang modern, bersih, adil dan beradab. Selain pemulihan ekonomi dan pengangguran, penegakan hukum dan pemberantasan korupsi menunggu diselesaikan. Isu perubahan yang selama ini dikampanyekan SBY-MJK akan terus diingat publik dan pada saatnya nanti mereka akan menagihnya. Mungkin mereka akan menagih melalui demonstrasi di jalan-jalan, mengkritik di media massa, atau tidak memilihnya (lagi) pada pemilu presiden periode berikutnya. Yang pasti jika pasangan ini gagal mewujudkan perubahan signifikan, sejarah kelak akan mencatat sedih; janji SBY-MJK hanya terdengar manis di telinga. Tak seindah suaranya.
Sejauh ini isu perubahan hanyalah ilusi, wacana, dan slogan kampanye belaka. Setelah 20 Oktober nanti, saat pasangan ini resmi dilantik menjadi presiden dan wakil presiden, selama lima tahun mendatang SBY-MJK harus merealisasikan isu perubahan (perbaikan) itu ke dalam bentuk nyata: ekonomi yang stabil, pengangguran terkurangi, keamanan yang terjaga, hak asasi manusia dihormati, demokrasi politik terawat baik, keadilan yang mengejewantah, dan sebagainya.
Ada banyak pekerjaan rumah yang menunggu diselesaikan memang. Waktu lima tahun pastilah terlalu singkat untuk membereskan semua persoalan kebangsaan tersebut. Namun dengan iktikad baik, tekad besar, kemauan politik, dan kesungguhan untuk menunaikan amanat kekuasaan yang tergenggam di tangan, semua harapan itu sangat mungkin bisa diwujudkan. Pemerintah SBY-MJK harus menunjukkan visi dan arah pemberantasan korupsi serta penuntasan kasus-kasus korupsi secara terukur dengan tetap berpijak pada asas keadilan dan supremasi hukum.
Ada banyak pekerjaan rumah yang menunggu diselesaikan memang. Waktu lima tahun pastilah terlalu singkat untuk membereskan semua persoalan kebangsaan tersebut. Namun dengan iktikad baik, tekad besar, kemauan politik, dan kesungguhan untuk menunaikan amanat kekuasaan yang tergenggam di tangan, semua harapan itu sangat mungkin bisa diwujudkan. Pemerintah SBY-MJK harus menunjukkan visi dan arah pemberantasan korupsi serta penuntasan kasus-kasus korupsi secara terukur dengan tetap berpijak pada asas keadilan dan supremasi hukum.
Tugas yang kini menjadi concern utama SBY-MJK adalah menentukan siapa sosok yang pantas menduduki kursi kabinet. Dalam pos-pos kunci penegakan hukum (kejaksaan, kehakiman, kepolisian), publik tengah menunggu: siapa sosok yang pantas, akuntabel, acceptable, berintegritas, dan memiliki track record baik di bidang ini.
Tokoh yang tepat merupakan kunci awal terwujudnya pemerintahan yang baik, bersih, dan acceptable. Dalam memilih pos-pos ini, SBY-MJK mungkin akan dihadapkan pada situasi pelik: politik balas budi, “tenggang rasa” terhadap orang-orang yang mendukungnya, dan seterusnya. Namun demi pertimbangan yang jauh lebih luas dan berdimensi panjang, SBY-MJK harus bisa mengeliminasi hal-hal psikologis dan sektoral semacam ini. Sekali salah memilih orang, SBY-MJK akan segera dihadapkan pada kritik keras, kecaman, dan ancaman kegagalan penegakan hukum di masa depan. Pemerintahan Megawati memberi pelajaran amat berharga betapa kesalahan dalam menempatkan orang justru menjadi bumerang bagi kekuasaannya. Sikap lembek terlihat kuat pada tak kunjung terselesaikannya kasus Jaksa Agung MA Rachman. Dan itu agaknya menjadi salah satu penyebab kekecewaan publik pada Megawati yang sebelumnya amat diharapkan membawa perbaikan.
Sering dikatakan bahwa perangkat perundang-undangan yang dimiliki bangsa ini sudah memadai untuk membersihkan “lantai kotor” yang menodai rumah besar Indonesia. Namun sepanjang pemerintahan pasca-Soeharto, “sapu bersih” untuk menyapu semua itu sangat jauh dari memadai. Selain karena merupakan homo orbaicus atau manusia yang terbentuk karena kultur dan mentalitas (mental set dan cultural-set) lama, para aparat penegak hukum juga kurang mendapat dukungan politik dari eksekutif. Undang-undang yang baik, di tangan orang yang buruk, akan menghasilkan implikasi di ranah praktik yang tidak kalah buruk. Pada titik ini tepatlah ungkapan: It is not the formula that decides the issue, but the men who have to apply the formula.
Oleh karena itu dalam menempatkan orang-orang yang tepat pada saat yang tepat dan tempat yang tepat bukan perkara gampang. Rasanya terlalu lama menunggu hasil kerja pemerintah SBY-MJK dalam waktu seratus hari—waktu yang kerap menjadi patokan pengamat. Ada akhirnya siapa (who) akan sangat menentukan apa (what) dan bagaimana (how) bentuk dan kinerja kabinet ke depan. Waktu seratus hari memang relatif memadai untuk menakar kualitas kerja dan performance pemerintahan SBY-MJK, namun jika orang yang duduk dalam kabinet tidak menjanjikan—baik dari sisi integritas, moralitas, dedikasi, dan track record, maka jangankan seratus hari, lima tahun pun hasilnya bisa ditebak.
PEMBERANTASAN korupsi merupakan agenda yang ditunggu publik. Jika SBY-MJK sudah menentukan orang yang tepat dengan mengacu pada prinsip the right man in the right place dan meritokrasi, maka agenda mendesak yang harus diselesaikan dalam 100 hari pertama adalah menyelesaikan kasus-kasus kakap secara terarah, komprehensif, dan berimplikasi luas pada penciptaan tatanan hukum yang demokratis. Big bang diharap bisa muncul dari upaya ini.
Dalam sebuah wawancara, SBY menyatakan akan membentuk organisasi pemberantasan korupsi dan ia sendiri akan memimpinnya (Tempo, 13-19 September 2004). Pandangan ini memang memiliki legitimasi konstitusionalnya jika merujuk pada UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Dalam Bab IV Ketentuan Lain disebutkan, “Untuk meningkatkan kualitas kinerja kejaksaan, Presiden dapat membentuk sebuah komisi yang susunan dan kewenangannya diatur oleh Presiden”.
Meskipun demikian, patut diingatkan bahwa dari pengalaman dan praktik pemberantasan korupsi pembentukan komisi bukanlah hal baru karena sejarah pemberantasan korupsi di negeri ini selalu disertai pembentukan lembaga, komisi atau organisasi baru. Saat korupsi merebak di era pemerintahan Soeharto, para mahasiswa menggelar serangkaian protes di jalan-jalan pada Januari 1970 menuntut pemberantasan korupsi. Seperti dicatat oleh Theodore M. Smith dalam “Corruption, Tradition and Change” (1971), demonstrasi ini merupakan protes terbesar pertama sejak 25 tahun republik berdiri. Dalam menanggapi persoalan dan protes keras ini Presiden Soeharto secara meyakinkan berkata: “Tidak perlu ada keragu-raguan lagi. Saya sendiri akan memimpin perjuangan melawan korupsi.”
Pernyataan yang diucapkan dalam Pidato Kenegaraan Presiden RI di depan DPR pada malam menyambut Hari Kemerdekaan ke-25 itu merupakan reaksi pemerintah setelah mempelajari rekomendasi Komisi IV—komisi yang diangkat khusus untuk menangani masalah korupsi. Setelah itu kita tahu korupsi justru makin membengkak dan komisi yang dibentuk tak efektif.
Mengapa upaya itu tak membuahkan hasil? Ini lebih disebabkan oleh tiadanya konsistensi dan keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Respons dan langkah pemerintah terlihat ad hoc, parsial, reaktif dan bertujuan meredakan ketegangan sosial-politik akibat protes agar pembangunan ekonomi tidak terguncang. Pendeknya, biar publik tidak heboh dan percaya bahwa pemerintah tengah serius memberantas korupsi.
Oleh karena itu akan jauh lebih baik jika SBY-MJK selain memberi keleluasaan kepada orang-orang yang telah ditunjuknya untuk bekerja secara independen, imparsial, dan komprehensif, juga presiden sebagai pihak paling bertanggungjawab atas upaya ini harus menjaga teguh konsistensi dan kontinuitasnya. Selain itu, koordinasi dan komunikasi dengan lembaga terkait semacam KPK harus diintensifkan. Kesan publik selama ini menunjukkan, komunikasi dan koordinasi antarlembaga terkait kurang berjalan optimal. Kinilah saatnya memperbaiki berbagai keganjilan dan kekurangan yang diwariskan aparat kejaksaan.
Di luar semua itu, diperlukan terobosan penting seperti pemeriksaan terhadap pejabat negara tak perlu meminta izin presiden agar prosedur pemeriksaan bisa lebih simpel—suatu hal yang sebenarnya sudah dimiliki KPK. Kejaksaan dan kepolisian memang akhirnya memegang peranan kunci. Karena itu hanya dengan menempatkan orang-orang yang tepat sajalah agenda pemberantasan korupsi bisa terwujud. Pada titik ini diperlukan sekumpulan orang yang tepat dalam mengisi pos-pos penegakan hukum agar pemberantasan korupsi berjalan optimal dan pembentukan lembaga atau komisi baru tidak sia-sia seperti era-era sebelumnya.
Asmar Oemar Saleh, Advokat/Mantan Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran HAM Kantor Meneg HAM RI
No comments:
Post a Comment