Sebanyak 38 partai politik yang lolos ikut dalam Pemilu 2009 telah menyerahkan berkas pendaftaran calon legislatif (caleg) ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), 17-18 Agustus lalu. Dua fakta yang cukup mengejutkan dari proses pendaftaran caleg tersebut: sejumlah politisi pindah partai dan jumlah artis yang terjun ke politik meningkat.
Beberapa nama yang teridentifikasi berpindah partai adalah Rieke Dyah Pitaloka (dari PKB ke PDIP), Chatibul Umam Wiranu (dari PKB ke PKNU), Budiman Sudjatmiko (dari PRD ke PDIP), AS Hikam (dari PKB ke Partai Hanura), Saleh Husin (dari PAN ke Partai Hanura), Pius Lustrilanang (dari PDIP ke Partai Gerindra), Ade Daud Nasution (dari PBR ke PAN), dan Zaenal Maarif (dari PBR ke PD).
Nama terakhir, Zaenal Maarif, bahkan sebelumnya pernah berseteru dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ihwal pencemaran nama baik. Namun, ia kini justru merapat ke Partai Demokrat, di mana SBY menjadi Ketua Dewan Pembina-nya.
Sejumlah artis juga turut meramaikan bursa caleg, sebagian besar merupakan wajah baru dalam politik. Dari Partai Golkar ada Tantowi Yahya, Puput Novel, dan Titi Kadi. Untuk Caleg PPP, di antaranya terdapat nama Evie Tamala, Lyra Virna, Ferry Irawan, Okky Asokawati, Ratih Sanggarwati, dan Emilia Contessa. Dari PAN, partai yang paling banyak caleg artisnya, di antaranya terdapat nama Wulan Guritno, Derry Drajat, Marini Zumarnis dan Ikang Fauzi. Sedangkan PDIP mengusung Rieke Dyah Pitaloka, Edo Kondologit dan Dedy "Mi'ing" Gumelar.
Dua fakta ini makin menegaskan bahwa partai hanya menjadikan platform perjuangan dan visi-misi yang dimilikinya sekadar dokumen profilnya. Dalam praktik, yang terjadi adalah bargaining politik yang lebih tampak pragmatisme dan pengkhidmatannya pada kekuasaan, ketimbang idealismenya dalam memperjuangkan amanat rakyat. Tak heran, kalau berganti partai bukan menjadi soal yang krusial. Dan, para artis pun direkrut masuk ke partai karena popularitas yang mereka miliki dapat mendulang suara, bukan karena kualitasnya. Apa lantas yang salah dengan partai politik di negeri ini?
Kegagalan kaderisasi
Tentu saja, budaya instan menjaring elite merupakan cermin dari kegagalan partai melakukan kaderisasi. Mesin partai dalam melakukan pendidikan politik terhadap anggotanya tidak berjalan, bahkan mampet. Sebabnya beragam. Bisa jadi karena partai terlampau berkonsentrasi pada kekuasaan jangka pendek sehingga melupakan kewajiban jangka panjangnya melakukan regenerasi politik.
Sebab lainnya, partai terlampau dikendalikan oleh watak feodal elite tua (senior) yang sulit menerima kehadiran generasi muda yang lebih baru dan segar. Ini terkait sikap elite yang memandang partai sebagai kerja: ladang mencari uang dan mengumpulkan kekayaan. Bukan sebagai kendaraan memperjuangkan cita-cita masyarakat.
Yang terparah, kegagalan kaderisasi disebabkan karena memang partai tidak memiliki orientasi kaderisasi. Partai tidak memiliki program-program pengkaderan, rekrutmen pemimpin, dan pendidikan politik. Ini sangat mungkin terjadi, terutama karena kultur yang terbentuk selama ini partai kerap menjadi penjual jasa: mengorbitkan siapa saja ke kancah politik asalkan berani membayar sesuai tarif.
Akibat kegagalan kaderisasi ini, jalan yang paling mudah ditempuh adalah menggaet figur yang sudah jadi atau sudah populer. Ini bisa diperoleh dengan dua hal: memberi peluang bagi para pilitisi lompat pagar, dan menarik para artis yang memang telah memiliki popularitas di masyarakat.
Ideologi partai
Fenomena politisi lompat pagar dan metode instan menjaring artis juga disebabkan karena tiadanya ideologi yang jelas dan tegas dalam partai. Ideologi bukan saja menjadi pembeda satu partai dengan yang lain, tetapi sekaligus menjelaskan pada rakyat cita-cita yang diperjuangkan partai tersebut, strateginya, dan program-program kebijakannya.
Karena tak jelasnya ideologi, masyarakat pun sulit membedakan partai-partai yang kini telah lolos seleksi KPU. Dan, seorang politisi dengan gampang berpindah dari satu partai ke partai lain yang lebih prospektif bagi dirinya. Tak ada beban, apalagi malu. Sulit kita membayangkan, seorang Natsir yang tak terpilih menjadi caleg Masyumi lantas lompat jadi caleg di PNI. Bisakah Anda membayangkan seorang Sjahrir yang karena jumlah suara PSI yang tak meningkat lantas beralih menjadi politisi di Masyumi?
Padahal, ideologi penting untuk menunjukkan wajah partai yang lebih jujur, terbuka, dan tegas terhadap garis kebijakan pemerintah; atau, program-program yang akan dijalankannya ketika berkuasa pada sisi yang lain. Melalui idelogi partai, misalnya, bisa dilihat kebijakan-kebijakan partai pada sektor lapangan kerja, pangan, energi, pajak, dan kebijakan dalam bidang ekonomi dan politik lainnya.
Ketiadaan ideologi yang jelas membuat sebuah partai dapat berkoalisi dengan partai lain padahal berbeda platform dan garis perjuangan; pun, kerap terjadi perbedaan kebijakan partai di tingkat pusat dan daerah. Maka dengan ideologi, tak akan terjadi pragmatisme sebuah partai: beroposisi di tingkat pusat, tapi bergandeng mesra di tingkat daerah untuk merebut jabatan gubernur atau bupati.
Dari 38 partai yang lolos seleksi KPU, tercatat sejumlah partai berasas (ideologi) Islam, nasionalisme, dan marhaenisme. Namun mayoritas berasas Pancasila. Sebagai filsafat hidup atau way of life bangsa untuk mencapai tujuan bernegara, Pancasila, juga Islam, nasionalisme, dan marhaenisme memang mencukupi. Tapi sebagai metode dan strategi mencapai cita-cita bangsa, seperti kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan, keempat asas tersebut tidak bisa dijadikan acuan dalam membuat kebijakan di bidang ekonomi dan politik. Dibutuhkan ideologi yang lebih tegas dan jelas: liberalisme atau sosialisme. Campurannya bisa negara kesejahteraan, sosialisme-Islam, atau sosio-demokrasi.
Sayangnya, tak ada satupun partai yang berani menggunakan salah satu garis ideologi tersebut. Boleh jadi ini karena hampir tiga dekade bangsa ini mengalami proyek deideologisasi Orde Baru, sehingga pembangunan ideologi partai tidak bergerak secara progresif.
Akhirnya, partai memang harus terus-menerus mereformasi dan memperbaiki diri. Pilihan partai terhadap sebuah ideologi dan penjabarannya ke dalam strategi serta program-program kebijakan yang akan dijalankan adalah sebuah kemestian. Karena rakyat kini ingin melihat apa sesungguhnya yang diperjuangkan partai. Jika tidak, rakyat akan menghukumnya dengan tidak memilihnya: golput.
Asmar Oemar Saleh, Wakil Direktur Eksekutif Reform Institute
Nama terakhir, Zaenal Maarif, bahkan sebelumnya pernah berseteru dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ihwal pencemaran nama baik. Namun, ia kini justru merapat ke Partai Demokrat, di mana SBY menjadi Ketua Dewan Pembina-nya.
Sejumlah artis juga turut meramaikan bursa caleg, sebagian besar merupakan wajah baru dalam politik. Dari Partai Golkar ada Tantowi Yahya, Puput Novel, dan Titi Kadi. Untuk Caleg PPP, di antaranya terdapat nama Evie Tamala, Lyra Virna, Ferry Irawan, Okky Asokawati, Ratih Sanggarwati, dan Emilia Contessa. Dari PAN, partai yang paling banyak caleg artisnya, di antaranya terdapat nama Wulan Guritno, Derry Drajat, Marini Zumarnis dan Ikang Fauzi. Sedangkan PDIP mengusung Rieke Dyah Pitaloka, Edo Kondologit dan Dedy "Mi'ing" Gumelar.
Dua fakta ini makin menegaskan bahwa partai hanya menjadikan platform perjuangan dan visi-misi yang dimilikinya sekadar dokumen profilnya. Dalam praktik, yang terjadi adalah bargaining politik yang lebih tampak pragmatisme dan pengkhidmatannya pada kekuasaan, ketimbang idealismenya dalam memperjuangkan amanat rakyat. Tak heran, kalau berganti partai bukan menjadi soal yang krusial. Dan, para artis pun direkrut masuk ke partai karena popularitas yang mereka miliki dapat mendulang suara, bukan karena kualitasnya. Apa lantas yang salah dengan partai politik di negeri ini?
Kegagalan kaderisasi
Tentu saja, budaya instan menjaring elite merupakan cermin dari kegagalan partai melakukan kaderisasi. Mesin partai dalam melakukan pendidikan politik terhadap anggotanya tidak berjalan, bahkan mampet. Sebabnya beragam. Bisa jadi karena partai terlampau berkonsentrasi pada kekuasaan jangka pendek sehingga melupakan kewajiban jangka panjangnya melakukan regenerasi politik.
Sebab lainnya, partai terlampau dikendalikan oleh watak feodal elite tua (senior) yang sulit menerima kehadiran generasi muda yang lebih baru dan segar. Ini terkait sikap elite yang memandang partai sebagai kerja: ladang mencari uang dan mengumpulkan kekayaan. Bukan sebagai kendaraan memperjuangkan cita-cita masyarakat.
Yang terparah, kegagalan kaderisasi disebabkan karena memang partai tidak memiliki orientasi kaderisasi. Partai tidak memiliki program-program pengkaderan, rekrutmen pemimpin, dan pendidikan politik. Ini sangat mungkin terjadi, terutama karena kultur yang terbentuk selama ini partai kerap menjadi penjual jasa: mengorbitkan siapa saja ke kancah politik asalkan berani membayar sesuai tarif.
Akibat kegagalan kaderisasi ini, jalan yang paling mudah ditempuh adalah menggaet figur yang sudah jadi atau sudah populer. Ini bisa diperoleh dengan dua hal: memberi peluang bagi para pilitisi lompat pagar, dan menarik para artis yang memang telah memiliki popularitas di masyarakat.
Ideologi partai
Fenomena politisi lompat pagar dan metode instan menjaring artis juga disebabkan karena tiadanya ideologi yang jelas dan tegas dalam partai. Ideologi bukan saja menjadi pembeda satu partai dengan yang lain, tetapi sekaligus menjelaskan pada rakyat cita-cita yang diperjuangkan partai tersebut, strateginya, dan program-program kebijakannya.
Karena tak jelasnya ideologi, masyarakat pun sulit membedakan partai-partai yang kini telah lolos seleksi KPU. Dan, seorang politisi dengan gampang berpindah dari satu partai ke partai lain yang lebih prospektif bagi dirinya. Tak ada beban, apalagi malu. Sulit kita membayangkan, seorang Natsir yang tak terpilih menjadi caleg Masyumi lantas lompat jadi caleg di PNI. Bisakah Anda membayangkan seorang Sjahrir yang karena jumlah suara PSI yang tak meningkat lantas beralih menjadi politisi di Masyumi?
Padahal, ideologi penting untuk menunjukkan wajah partai yang lebih jujur, terbuka, dan tegas terhadap garis kebijakan pemerintah; atau, program-program yang akan dijalankannya ketika berkuasa pada sisi yang lain. Melalui idelogi partai, misalnya, bisa dilihat kebijakan-kebijakan partai pada sektor lapangan kerja, pangan, energi, pajak, dan kebijakan dalam bidang ekonomi dan politik lainnya.
Ketiadaan ideologi yang jelas membuat sebuah partai dapat berkoalisi dengan partai lain padahal berbeda platform dan garis perjuangan; pun, kerap terjadi perbedaan kebijakan partai di tingkat pusat dan daerah. Maka dengan ideologi, tak akan terjadi pragmatisme sebuah partai: beroposisi di tingkat pusat, tapi bergandeng mesra di tingkat daerah untuk merebut jabatan gubernur atau bupati.
Dari 38 partai yang lolos seleksi KPU, tercatat sejumlah partai berasas (ideologi) Islam, nasionalisme, dan marhaenisme. Namun mayoritas berasas Pancasila. Sebagai filsafat hidup atau way of life bangsa untuk mencapai tujuan bernegara, Pancasila, juga Islam, nasionalisme, dan marhaenisme memang mencukupi. Tapi sebagai metode dan strategi mencapai cita-cita bangsa, seperti kesejahteraan, kemakmuran, dan keadilan, keempat asas tersebut tidak bisa dijadikan acuan dalam membuat kebijakan di bidang ekonomi dan politik. Dibutuhkan ideologi yang lebih tegas dan jelas: liberalisme atau sosialisme. Campurannya bisa negara kesejahteraan, sosialisme-Islam, atau sosio-demokrasi.
Sayangnya, tak ada satupun partai yang berani menggunakan salah satu garis ideologi tersebut. Boleh jadi ini karena hampir tiga dekade bangsa ini mengalami proyek deideologisasi Orde Baru, sehingga pembangunan ideologi partai tidak bergerak secara progresif.
Akhirnya, partai memang harus terus-menerus mereformasi dan memperbaiki diri. Pilihan partai terhadap sebuah ideologi dan penjabarannya ke dalam strategi serta program-program kebijakan yang akan dijalankan adalah sebuah kemestian. Karena rakyat kini ingin melihat apa sesungguhnya yang diperjuangkan partai. Jika tidak, rakyat akan menghukumnya dengan tidak memilihnya: golput.
Asmar Oemar Saleh, Wakil Direktur Eksekutif Reform Institute
No comments:
Post a Comment