Komitmen pemerintah untuk menjamin bahwa mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat akan diajukan ke pengadilan tidak dapat ditawar lagi sejak disetujuinya UU Pengadilan HAM oleh DPR. UU ini diharapkan menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam memenuhi tanggung-jawabnya untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM. Tuntutan hukuman yang pantas bagi kasus-kasus pelanggaran HAM, terutama yang terjadi pada masa lalu, menjadi ujian penting bagi komitmen pemerintah untuk melaksanakan reformasi.
Oleh karena itu gagasan untuk mendirikan Pengadilan HAM harus dipandang sebagai bagian dari reformasi proses peradilan dan perundang-undangan secara luas. Reformasi semacam itu membutuhkan sistem peradilan yang adil, independen dan mampu menjatuhkan hukuman bagi pelanggaran HAM sesuai dengan standar-standar hukum HAM internasional.
Terlepas dari itu, draft UU Pengadilan HAM telah mengundang banyak polemik dan kontroversi sejak digulirkannya sekitar setengah tahun yang lalu. Sebagian besarnya dipusatkan pada masalah pemberlakuan prinsip retroaktif. Melalui prinsip ini Pengadilan HAM ad hoc berwenang mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, yang dilakukan sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 43 ayat (1) bahwa Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
Dalam diskursus hukum, terdapat beberapa ajaran yang menegaskan mengenai syarat-syarat dijatuhkannya hukuman pidana, dua diantaranya adalah adanya larangan yang tegas terhadap tindakan yang bersangkutan dan tidak berlaku surut (asas legalitas, red). Melihat pada dua prasyarat ini, suatu tindakan hanya dapat dipidana sepanjang UU melarangnya secara tegas. Tanpa itu, suatu kesalahan tidak dapat dipidana tanpa ada hukum yang mengatur/melarangnya (nullum delictum noela poena sine praevia). Dalam konteks pengadilan HAM, asas ini telah dikecualikan. Suatu tindakan yang dilakukan di masa lalu dan tidak pula dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan (pada saat dilakukannya tindakan yang bersangkutan), dapat dikenai tuduhan pelanggaran HAM (asas retroaktif).
Menurut Penjelasan Umum UU Pengadilan HAM, pemberlakuan asas retroaktif ini merupakan manifestasi lanjutan dari Pasal 28 J ayat (2), bagian dari Amandemen kedua UUD 1945, yang memang secara khusus ditujukan pada upaya-upaya pemajuan, penegakan dan perlindungan HAM.
Dalam konteks ini, tanpa berniat untuk menyampingkan Penjelasan UU Pengadilan HAM, penulis justru mempertanyakan mengenai dasar pemberlakuan retroaktif, karena tidak ada sama sekali penegasan mengenai itu dalam UUD 1945.
Mari kita lihat rumusan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 :
"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai denga pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."
Dari rumusan di atas, sama sekali tidak ada penegasan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai HAM dan pengadilan HAM dapat diberlakukan terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya UU yang bersangkutan. Dengan kata lain, Pasal 28 J ayat (2) di atas tampaknya tidak tepat dijadikan dasar bagi pemberlakuan retroaktif. Masalah ini menjadi krusial ketika muncul pertanyaan mengenai dasar hukum dari hukum yang mengatur mengenai retroakif. Bagaimana mungkin diberlakukannya retroaktif, sementara dasar hukum bagi pemberlakuan tersebut adalah tidak jelas? Terlebih apabila kita melihat pada rumusan sebelumnya, yakni Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, dimana secara tegas dinyatakan bahwa "…… hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun." Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa retroaktif tidak dapat diberlakukan (melalui peraturan perundang-undangan di bawahnya) karena bertentangan dengan konstitusi, Amandemen Kedua UUD 1945.
Dengan asumsi demikian, penulis cenderung mengatakan bahwa dasar pemberlakuan retroaktif bukanlah pada Pasal 28 J UUD 1945 ataupun Pasal lain dalam Amandemen Kedua UUD 1945, melainkan pada dasar lain yang bersifat sosiologis atau politis.
Pendasaran pada dasar hukum yang tidak jelas ini mempunyai beberapa implikasi. Pertama, secara hierarki. UU Pengadilan HAM telah mengatur hal baru (tidak dikenal dalam konstitusi). Pada tataran teori, perdebatan mengenai boleh tidaknya peraturan yang lebih rendah mengatur hal baru belumlah tuntas. Tetapi mayoritas akademisi menyepakati bahwa peraturan yang lebih rendah hanya bertugas menjabarkan peraturan yang lebih tinggi, bukan mengatur hal yang baru, diluar cakupan peraturan yang lebih tinggi. Ketika ini terjadi; peraturan yang lebih tinggi dapat mengenyampingkannya.
Kedua, dalam proses pesidangan. Karena dasar hukum berlakunya retroaktif tidak mempunyai cantolan yang jelas maka akan terjadi banyak perdebatan mengenai kewenangan pengadilan HAM ad hoc dalam mengadili perkara-perkara yang terjadi sebelum diberlakukannya UU Pengadilan HAM. Para pengacara dapat berkilah dibalik pengajuan eksepsi bahwa pengadilan HAM ad hoc tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara tersebut karena tindakan terdakwa dilakukan sebelum diundangkannya UU HAM. Pemaksaan berlakunya UU Pengadilan HAM, berarti bertentangan dengan konstitusi.
Melihat pada seluruh proposisi di atas, tampaknya wacana pengenaan retroaktif ini masih mengandung nilai kontroversial. Hal ini tidak dapat dihentikan sampai dengan adanya ketegasan mengenai diakui atau tidaknya retroaktif dalam konstitusi. Oleh karena itu seharusnya UUD merumuskan secara tegas dalam salah satu pasalnya khusus mengenai retroaktif, kecuali apabila perdebatan itu akan tetap dibiarkan, dan semakin banyak terdakwa pelanggaran HAM lolos dari jerat hukum.
Asmar Oemar Saleh, Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran Ham, Kantor MenegHam RI
Oleh karena itu gagasan untuk mendirikan Pengadilan HAM harus dipandang sebagai bagian dari reformasi proses peradilan dan perundang-undangan secara luas. Reformasi semacam itu membutuhkan sistem peradilan yang adil, independen dan mampu menjatuhkan hukuman bagi pelanggaran HAM sesuai dengan standar-standar hukum HAM internasional.
Terlepas dari itu, draft UU Pengadilan HAM telah mengundang banyak polemik dan kontroversi sejak digulirkannya sekitar setengah tahun yang lalu. Sebagian besarnya dipusatkan pada masalah pemberlakuan prinsip retroaktif. Melalui prinsip ini Pengadilan HAM ad hoc berwenang mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, yang dilakukan sebelum berlakunya UU Pengadilan HAM. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 43 ayat (1) bahwa Pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc.
Dalam diskursus hukum, terdapat beberapa ajaran yang menegaskan mengenai syarat-syarat dijatuhkannya hukuman pidana, dua diantaranya adalah adanya larangan yang tegas terhadap tindakan yang bersangkutan dan tidak berlaku surut (asas legalitas, red). Melihat pada dua prasyarat ini, suatu tindakan hanya dapat dipidana sepanjang UU melarangnya secara tegas. Tanpa itu, suatu kesalahan tidak dapat dipidana tanpa ada hukum yang mengatur/melarangnya (nullum delictum noela poena sine praevia). Dalam konteks pengadilan HAM, asas ini telah dikecualikan. Suatu tindakan yang dilakukan di masa lalu dan tidak pula dilarang secara tegas oleh peraturan perundang-undangan (pada saat dilakukannya tindakan yang bersangkutan), dapat dikenai tuduhan pelanggaran HAM (asas retroaktif).
Menurut Penjelasan Umum UU Pengadilan HAM, pemberlakuan asas retroaktif ini merupakan manifestasi lanjutan dari Pasal 28 J ayat (2), bagian dari Amandemen kedua UUD 1945, yang memang secara khusus ditujukan pada upaya-upaya pemajuan, penegakan dan perlindungan HAM.
Dalam konteks ini, tanpa berniat untuk menyampingkan Penjelasan UU Pengadilan HAM, penulis justru mempertanyakan mengenai dasar pemberlakuan retroaktif, karena tidak ada sama sekali penegasan mengenai itu dalam UUD 1945.
Mari kita lihat rumusan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 :
"Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai denga pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis."
Dari rumusan di atas, sama sekali tidak ada penegasan bahwa ketentuan-ketentuan mengenai HAM dan pengadilan HAM dapat diberlakukan terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi sebelum berlakunya UU yang bersangkutan. Dengan kata lain, Pasal 28 J ayat (2) di atas tampaknya tidak tepat dijadikan dasar bagi pemberlakuan retroaktif. Masalah ini menjadi krusial ketika muncul pertanyaan mengenai dasar hukum dari hukum yang mengatur mengenai retroakif. Bagaimana mungkin diberlakukannya retroaktif, sementara dasar hukum bagi pemberlakuan tersebut adalah tidak jelas? Terlebih apabila kita melihat pada rumusan sebelumnya, yakni Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945, dimana secara tegas dinyatakan bahwa "…… hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun." Secara sederhana dapat dinyatakan bahwa retroaktif tidak dapat diberlakukan (melalui peraturan perundang-undangan di bawahnya) karena bertentangan dengan konstitusi, Amandemen Kedua UUD 1945.
Dengan asumsi demikian, penulis cenderung mengatakan bahwa dasar pemberlakuan retroaktif bukanlah pada Pasal 28 J UUD 1945 ataupun Pasal lain dalam Amandemen Kedua UUD 1945, melainkan pada dasar lain yang bersifat sosiologis atau politis.
Pendasaran pada dasar hukum yang tidak jelas ini mempunyai beberapa implikasi. Pertama, secara hierarki. UU Pengadilan HAM telah mengatur hal baru (tidak dikenal dalam konstitusi). Pada tataran teori, perdebatan mengenai boleh tidaknya peraturan yang lebih rendah mengatur hal baru belumlah tuntas. Tetapi mayoritas akademisi menyepakati bahwa peraturan yang lebih rendah hanya bertugas menjabarkan peraturan yang lebih tinggi, bukan mengatur hal yang baru, diluar cakupan peraturan yang lebih tinggi. Ketika ini terjadi; peraturan yang lebih tinggi dapat mengenyampingkannya.
Kedua, dalam proses pesidangan. Karena dasar hukum berlakunya retroaktif tidak mempunyai cantolan yang jelas maka akan terjadi banyak perdebatan mengenai kewenangan pengadilan HAM ad hoc dalam mengadili perkara-perkara yang terjadi sebelum diberlakukannya UU Pengadilan HAM. Para pengacara dapat berkilah dibalik pengajuan eksepsi bahwa pengadilan HAM ad hoc tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara tersebut karena tindakan terdakwa dilakukan sebelum diundangkannya UU HAM. Pemaksaan berlakunya UU Pengadilan HAM, berarti bertentangan dengan konstitusi.
Melihat pada seluruh proposisi di atas, tampaknya wacana pengenaan retroaktif ini masih mengandung nilai kontroversial. Hal ini tidak dapat dihentikan sampai dengan adanya ketegasan mengenai diakui atau tidaknya retroaktif dalam konstitusi. Oleh karena itu seharusnya UUD merumuskan secara tegas dalam salah satu pasalnya khusus mengenai retroaktif, kecuali apabila perdebatan itu akan tetap dibiarkan, dan semakin banyak terdakwa pelanggaran HAM lolos dari jerat hukum.
Asmar Oemar Saleh, Deputi III Bidang Penanggulangan Pelanggaran Ham, Kantor MenegHam RI
No comments:
Post a Comment