Sunday, April 1, 2012

PENGEJAWANTAHAN KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DI INDONESIA : Sebuah Telaah Kritis terhadap Kewajiban-Kewajiban Vertikal

Pengantar 

Perkembangan realitas politik di Indonesia, terutama pasca jatuhnya rezim orde baru pada pertengahan tahun 1997, telah menghasilkan banyak instrumen hukum yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia (HAM). Terlepas dari latar belakang persoalannya, instrumen-instrumen hukum ini menjadi alat tawar-menawar politik antara negara dan masyarakat. Posisi tawar masyarakat, yang sebelumnya nyaris terabaikan dihadapan negara, menjadi semakin menguat dengan munculnya kesadaran kolektif mengenai pentingnya hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang kejam dan tidak manusiawi. 

Pada sisi lain, menguatnya posisi tawar ini mengharuskan negara menurunkan tingkat dominasinya sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan. Karenanya kemudian tanggung jawab untuk memajukan dan melindungi HAM menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam setiap tindakan negara ketika berhadapan dengan masyarakat. Artinya bahwa kebiasaan-kebiasaan negara yang tidak mempunyai perspektif HAM (uncivilized) harus direduksi sedemikian rupa sehingga tidak lagi melakukan perampasan terhadap hak-hak dasar masyarakat yang bersifat universal.

Dapat dibayangkan, misalnya, Penyidik [sebagai representasi dari negara] mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam melakukan interogasi terhadap seorang tersangka suatu tindak pidana. Dalam menjalankan tugasnya, ia dapat menggunakan senjata, pemaksaan baik secara fisik maupun psikologis atau merampas kemerdekaan seseorang sekedar untuk mendapatkan pengakuan dari pihak yang sedang diinterogasinya. Rangkaian kasus ini memberikan gambaran yang jelas bahwa negara, melalui berbagai aparatnya, telah mendegradasikan masyarakat dengan segala tindakannya yang tidak manusiawi. Di sinilah arti pentingnya pemahaman terhadap persoalan-persoalan yang memungkinkan terjadinya pelanggaran HAM, terutama pelanggaran karena penyiksaan dan hal-hal yang merendahkan martabat manusia. Tulisan ini akan mengelaborasi secara singkat mengenai signifikansi Konvensi Menentang Penyiksaan dalam wacana hukum di Indonesia.

Historisitas dan Ratifikasi Konvensi Menentang penyiksaan 

Perlindungan terhadap hak-hak sipil dan politik, khususnya dalam hal perlindungan dari penyiksaan dan kekejaman yang dilakukan negara, merupakan wacana klasik dalam terminologi HAM. Sebelum masa 1975, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) selalu mendasarkan argumen bahwa Deklarasi Universal mengenai HAM (Universal Declaration of Human Right) telah mencukupi untuk dilakukannya upaya-upaya perlindungan, terutama dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa “Tidak ada orang yang menjadi sasaran penyiksaan atau kekejaman, tidak manusiawi atau Perlakuan atau Penghukuman yang Merendahkan Martabat Manusia” (No one shall be subjected to torture or cruel, inhuman or degrading treatment or punishment). 

Ternyata disadari bahwa ketentuan tersebut tidak cukup melindungi masyarakat dari penyiksaan yang dilakukan oleh negara. Hak untuk bebas dari penyiksaan adalah hak aksiomatik manusia, dimana hak tersebut dianugerahkan Tuhan kepada manusia sejak lahir dan tidak ada pihak lain yang berhak atau berwenang menguranginya (non-derogable right).

Dengan asumsi tersebut, Majelis Umum PBB pada tanggal 9 Desember 1975 menghasilkan suatu “Deklarasi tentang Perlindungan terhadap Setiap Orang dari Penyiksaan dan Kekejaman Lainnya, Tidak Manusiawi atau Perlakuan atau Penghukuman yang Merendahkan Martabat Manusia” (Declaration on the Protection of all Person from Being Subjected to Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment).

Dalam kenyataannya, instrumen PBB ini tidak mempunyai kekuatan yang mengikat secara hukum. Dengan kata lain, Deklarasi sebagai sebuah instrumen yang dikeluarkan PBB tidak mempunyai daya ikat secara yuridis bagi para anggotanya karena memang pada dasarnya deklarasi ini dikeluarkan berfungsi tidak lebih dari sekedar Pengumuman Resmi. Maka pada tanggal 10 Desember 1984, dalam putaran sidang Majelis Umum PBB diadakan konsensus terhadap rancangan Konvensi Menentang Penyiksaan yang pada akhirnya berlaku efektif per 26 Juni 1987.

Satu hal yang menarik bahwa Indonesia telah menandatangani Konvensi Menentang Penyiksaan ini pada tanggal 23 Oktober 1985. Tetapi entah apapun alasannya, pemerintah saat itu tidak serta merta meratifikasinya dalam undang-undang. Selama bertahun-tahun penandatangan konvensi tersebut tidak diefektifasi sehingga dianggap tidak mengikat Indonesia untuk mengimplementasikannya. Asumsi ini sedikit banyak mengandung kontradiksi karena menurut pendapat hukum, hak manusia untuk terbebas dari penyiksaan termasuk pada kategori ius cogens,  norma yang telah dianggap aksioma oleh komunitas internasional, tidak dapat dicabut dan tidak mempunyai perkecualian ataupun waiver.

Pendapat tersebut tampaknya telah diabaikan oleh pemerintah orde baru. Kuatnya dominasi terhadap masyarakat, menjadikan pemerintah seolah-olah lembaga yang superordinat terhadap lembaga lain. Sebagaimana diketahui, pada periode 1980-an pemerintah nyaris tidak mempunyai lembaga yang beroposisi binner secara hukum terhadapnya. Adalah sangat biasa dikemukakan pada saat itu bahwa lembaga internasional tidak dapat melakukan intervensi terhadap persoalan-persoalan internal. Bahkan terhadap kasus yang memiliki dimensi internasional pun, misalnya terhadap separatisme, negara selalu mempersepsikan bahwa hal tersebut adalah persoalan internal. 

Persepsi-persepsi negara ini pada saatnya mengalami kejenuhan hingga jatuhnya kekuasaan pemerintahan orde baru. Akumulasi kekecewaan dan sejarah penindasan masyarakat dalam skala yang sangat tinggi telah memaksa kejatuhan pemerintah dan digantikan oleh pemerintah yang cenderung akomodatif.

Tuntutan masyarakat atas hak-hak sipil dan politik serta heterogenitas persoalan yang terjadi di Indonesia, menuntut negara untuk lebih bertanggung jawab dalam pemajuan dan perlindungan HAM. DPR RI, sebagai lembaga yang mempunyai hak inisiatif, telah mengajukan usul Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau merendahkan Martabat Manusia. Pada akhirnya Konvensi Menentang Penyiksaan ini diratifikasi pada tanggal 28 September 1998 menjadi Undang-Undang No.5 Tahun 1998.
            
Sebagai sebuah realitas hukum, ratifikasi tersebut membebankan tanggung jawab kepada negara, sebagai Negara Pihak, untuk menjadikan dan memperlakukan instrumen hukum internasional sebagai hukum positif. Dengan demikian berarti, negara juga bertanggung jawab terhadap efektifitas hukum tersebut dan tidak ada alasan lain kecuali mengimplementasikannya dalam tataran empiris. 

Substansi Konvensi dan Impelementasinya di Indonesia 

Konvensi menentang Penyiksaan dibagi ke dalam 3 Bab dan 33 Pasal. Bab I (Pasal 1 s.d. 16) memuat ketentuan yang mengatur mengenai definisi-definisi dan kewajiban Negara Pihak untuk mencegah dan melarang terjadinya penyiksaan dan pelakuan atau penghukuman lain yang sifatnya kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia. Dalam Pasal 1 Konvensi disebutkan bahwa Penyiksaan adalah segala tindakan yang menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang hebat baik jasmani maupun rohani secara terus menerus pada seseorang untuk tujuan-tujuan tertentu seperti mendapatkan informasi atau pengakuan dari seseorang yang bersangkutan atau pihak ketiga, menghukumnya atas perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan seseorang tersebut atau pihak ketiga atau mengintimidasi atau memaksa seseorang tersebut atau pihak ketiga, atau untuk alasan apapun yang didasarkan pada segala jenis diskriminasi apabila kesakitan atau penderitaan yang hebat tersebut ditimpakan oleh, atau atas hasutan, atau dengan persetujuan, atau dibiarkan oleh seorang pejabat atau aparat pemerintahan.

Berdasarkan bunyi Pasal 1 di atas, jelaslah bahwa ruang lingkup pihak yang dibebani tanggung jawab menurut Konvensi ini adalah pejabat atau aparat pemerintahan, sebagai pihak yang memegang kekuasaan secara formal. A contrario, pihak-pihak yang bukan pejabat atau aparat pemerintahan (warga sipil) yang mengakibatkan penyiksaan atau penderitaan kepada orang lain bukanlah pihak yang dibebani tanggung jawab menurut konvensi ini.

Ketentuan tersebut adalah logis karena setiap tindakan penyiksaan atau yang mengakibatkan penderitaan kepada orang lain, dapat dikategorikan sebagai tindak pidana (ordinary crimes) yang secara yuridis telah tercakup sebagai delik dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam prakteknya, ketentuan tersebut akan cukup menyulitkan karena bagi aparat pemerintahan yang melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Konvensi, berlaku dua norma, yakni (i) hukum internasional sebagaimana ditentukan dalam Konvensi Menentang Penyiksaan; dan (ii) KUHP. Pertanyaannya, Hukum apa yang berlaku bagi tindak kejahatan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan, Konvensi Menentang Penyiksaan ataukah KUHP? Dan sampai saat ini belum pernah ada aparat pemerintahan yang dihukum menurut ketentuan dalam konvensi tersebut.

Kesulitan lainnya adalah mengenai prinsip personalitas yang dianut oleh KUHP vide Pasal 5 KUHP dimana pada intinya menyebutkan bahwa KUHP berlaku bagi Warga negara Indonesia (WNI) yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia atau bagi Warga Negara Asing (WNA) yang setelah melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia mengganti kewarganegaraannya menjadi WNI.

Ketentuan ini jelas akan menyulitkan bagi dilaksanakannya Konvensi, khususnya apabila terdapat aparat pemerintahan Republik Indonesia yang melakukan tindakan penyiksaan di luar negeri.

Hal lainnya yang cukup menyulitkan adalah mengenai “Penyertaan” (Declaration) negara terhadap Pasal 20 Konvensi (tercakup dalam Bab II Konvensi yang mengatur mengenai Komite Menentang Penyiksaan dan tugas serta kewenangannya dalam melakukan pemantauan atas pelaksanaan Konvensi). Dalam Pasal 4 jo. Penjelasan UU No.5 Tahun 1998 jo. Lampirannya disebutkan bahwa Ketentuan Pasal 20 ayat (1), (2) dan (3) Konvensi akan dilaksanakan dengan memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu Negara. Walaupun dinyatakan bahwa “Penyertaan” ini tidak mengikat secara hukum, namun tetap saja bahwa hal tersebut mengandung perkecualian secara halus (eufimisme). Klausul yang menyebutkan mengenai kedaulatan dan keutuhan wilayah mempunyai makna heterogen, dan sulit dijabarkan. Secara implisit berarti bahwa apabila Konvensi ini melanggar kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah maka Negara Pihak tidak berkewajiban melaksanakan materi Konvensi tersebut.

Selanjutnya adalah mengenai “Persyaratan” (Reservation) Indonesia terhadap Pasal 30 ayat (1) Konvensi (tercakup dalam Bab III yang mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan mulai efektifnya Konvensi, perubahan, persyaratan, ratifikasi, aksesi, pengunduran diri serta mekanisme penyelesaian perselisihan antar negara pihak). “Persyaratan” ini diajukan dengan alasan bahwa Indonesia tidak menganut asas yurisdiksi yang mengikat secara otomatis (compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Artinya Indonesia hanya akan terikat pada pengajuan penyelesaian suatu perselisihan di antara Negara Pihak kepada Mahkamah Internasional apabila terdapat pengakuan secara yuridis --artinya perlu perangkat hukum tersendiri untuk mengaturnya berdasarkan kesepakatan para pihak-- bahwa Mahkamah Internasional tersebut mengikat bagi Indonesia. Dengan demikian berarti tanpa adanya kesepakatan maka tidak mungkin dilakukan penyidikan internasional (international inquiry).

Dalam hal lain yang patut diefektifkan adalah keberadaannya Komite Anti Penyiksaan yang akan mengawasi jalannya pelaksanaan Konvensi vide Pasal 17 Konvensi. Secara prosedural disebutkan bahwa setiap Negara Pihak --melalui Sekjen PBB-- wajib menyerahkan laporan mengenai langkah-langkah yang diambil oleh Negara Pihak yang bersangkutan untuk mewujudkan upaya-upayanya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Konvensi.

Apabila Indonesia, sebagai Negara Pihak, konsisten menjalankan prosedur-prosedur yang tertuang dalam Konvensi maka niscaya di sana-sini banyak terdapat perubahan atau amandemen terhadap peraturan perundang-undangan yang banyak mengundang protes karena dianggap melanggar HAM. Kenyataannya, setelah tiga tahun sejak ratifikasi Konvensi tersebut, hukum-hukum yang secara signifikan dianggap mengandung pelanggaran HAM hanya sedikit yang diubah atau diamandemen; tidak termasuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang di dalamnya tidak menyebutkan sanksi terhadap aparat pemerintah, khususnya penyidik, yang melakukan penyiksaan dalam proses penyidikannya. 

Penutup 

Seluruh proposisi di atas menunjukan bahwa ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan adalah praktek yang positif dalam mengintrodusir hukum internasional ke dalam hukum nasional Republik Indonesia. Persoalan yang secara kontekstual mengemuka bukan lagi pada perlu atau tidaknya mengimplementasikan Konvensi tersebut, melainkan pada konsekuensi hukum dari negara untuk menjadikannya efektif dalam peraturan perundang-undangan. Artinya, negara dengan seluruh kekuasaan dan kewenangannya menjabarkan Konvensi tersebut dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan menerapkannya terhadap aparat-aparat pemerintahan yang rentan atas terjadinya tindakan-tindakan penyiksaan.

Dengan melihat pada fakta-fakta hukum yang terjadi, tampaknya wacana HAM di Indonesia masih mempunyai karakteristik ambigu. Pada satu sisi terdapat kehendak yang sangat kuat untuk melakukan transplantasi ide-ide HAM secara universal ke dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, sementara pada sisi yang lain, terdapat aparat pemerintahan yang --mungkin-- tidak memahami pentingnya HAM. Akibatnya, dalam sejarah perjalanan Indonesia pasca ratifikasi masih terdapat tindakan-tindakan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat pemerintahan terhadap warga sipil; dan terhadap tindakan demikian, tidak dilakukan penyidikan kecuali penelusuran prosedural.

Hal ini mengindikasikan bahwa aparat masih berpijak pada asumsi bahwa setiap kesalahan dalam tindakan, misalnya penyidikan, adalah kesalahan prosedur, satu hal yang sudah tidak populer dalam perspektif masyarakat. Walhasil, konsep HAM yang sesungguhnya universal mungkin menjadi kontekstual di Indonesia. Oleh karena itu, untuk menghindari persepsi masyarakat internasional bahwa Indonesia termasuk salah satu negara pelanggar HAM maka selayaknya membangun suatu model pencitraan melalui efektifasi prinsip-prinsip HAM dalam peraturan perundang-undangan dan produk-produk kebijakannya.

Sebagai kontribusi ide, perlu ada mekanisme interogasi, instruksi dan lain-lain bentuk hubungan antara aparat pemerintah dengan masyarakat untuk menghasilkan sinergi, serta meminimasi kesenjangan pemahaman antara akademisi, praktisi dan subjek-subjek yang rentan terhadap terjadinya pelanggaran HAM.

Asmar Oemar Saleh, Deputi III Kantor MenegHam RI

No comments:

Post a Comment